COME BACK TIME | You Episode 3

Sebelumnya
#CerpenKita #4
LEAVE | Episode 2

Jika kamu mengira semua ini merupakan hal yang tak disengaja, maka kamu salah. Waktu yang telah kupaksakan untuk berpihak padaku akan membawamu ke dalam pelukanku kembali, Sastra. Aku tahu kesalahan itu bukanlah hal yang pantas untuk kamu maafkan hingga kamu tidak tahu siapa aku meskipun aku sengaja menghilang dari pandanganmu. Tapi ketahuilah, jika satu titik yang ada di dalam hatiku adalah tanda bahwa hanya kamu yang bisa menyentuhnya.

Brian Vasine Pramana

Ketukan pintu terdengar saat jemari tegas Brian membenahi kancing kemeja yang tengah ia pakai. Berada di depan cermin dengaan setelan jas yang sangat pas dengan tubuhnya adalah hal yang membahagiakan untuknya. Dirinya dengan jantung yang berdegup kencang. Menantikan waktu di mana ia telah memenjarakan waktu itu.

“Masuk,” perintahnya.

“Mobil sudah siap, Pak,” ucap orang yang baru masuk itu dengan menundukkan kepalanya penuh hormat.

“Baik,” ucapnya santai yang kembali menatap mematut bayangan dirinya di depan cermin sebelum kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamar bernuansa kerajaan itu.

Derap langkah kakinya terdengar begitu mengintimidasi. Jajaran orang yang siap menyambutnya menunduk seolah melihat raja. Tidak. Bukan seolah. Ia memang seorang raja.

“Apakah sudah kamu pastikan jika dia yang datang?” tanyanya dalam perjalanan.

“Sudah, Pak. Kami memang sedikit kesulitan untuk mendapatkan jadwal beliau. Bahkan, beliau sendiri yang menolak kami. Tapi saat mendengar nama anda, beliau langsung mengiyakan,” jelas sekretarisnya.

Brian tersenyum.

***

“Halo, Ndra. Ada apa?” tanya Sastra.

“Lo sekarang ada di mana?” tanya Diandra.

“Gue ada di cafe. Ada klien yang mau gue temuin,” jawab Sastra.

“Cafe mana?”

“Cafe gue sendiri, lah.” 

Seketika sambungan telepon terputus. Sastra mendecak kesal. Bagaimana bisa ia diabaikan oleh sahabatnya itu. Kalau bukan sahabat, mungkin Sastra akan membunuhnya seperti semut kecil yang tak berdaya saat berada di bawah kaki gajah. Tiba-tiba, seseorang datang dan duduk di depannya, membuat Sastra memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu menatap klien yang tengah menggunakan kacamatanya.

“Sudah lama nunggu?” tanya orang itu.

“Lumayan. Ke salon dulu?” tebak Sastra setelah melihat betapa bersih dan bersinarnya wajah laki-laki ini. Selama terjun ke dalam dunia bisnis, Sastra tidak pernah menjumpai wajah sebersih itu hingga merasa kalau laki-laki di depannya terlihat begitu cantik.

“Segitu detailnya ngelihatin saya,” sahut laki-laki itu santai.

Sastra memundurkan kepalanya lalu mengerutkan dahinya. Ia tidak menyangka akan mendapat respon seperti itu. Bagaimana bisa orang itu langsung bisa bersikap begitu akrab padanya.  Tiba-tiba laki-laki itu membuka kacamatanya dan menatap Sastra dengan senyuman.

“Kamu?”  Sastra menjulurkan jari telunjuknya.

“Apa?” sahut laki-laki itu masih dengan senyuman. 

“Ah… aku ingat. Kamu butuh payung, kan? Payung jenis apa yang bisa membantumu?” tanya Sastra yang mulai membuka pembicaraan serius.

Laki-laki itu menyunggingkan sudut bibirnya ketika memajukan tubuhnya untuk duduk lebih tegap dan siap mendengarkan pembicaraan yang serius mengenai pekerjaan. “Berikan aku payung ini,” ucapnya sambil memberikan kotak kecil.

Sastra terkejut saat laki-laki yang ada di depannya membuka kotak itu. Cincin berlian yang tidak mungkin ia beli dengan uangnya. Seketika banyak hal yang terlintas di dalam benak gadis itu. Seberapa banyak kekayaan laki-laki ini hingga ia bisa membeli barang semahal itu? Perusahaan apa yang tengah ia pimpin?

“Saya akan memaksa kamu membawa cincin ini. Tapi, saya tidak memaksa kamu menjawabnya meski kamu tahu maksud saya. Permisi,” ucapnya dengan senyuman mesterius yang kemudian beranjak pergi meninggalkan Sastra yang masih mematung.

“Maksud… maksudnya… maksudnya…,” ucap Sastra terbata seolah tak percaya dengan apa yang dilakukan laki-laki yang sampai saat itu tidak menyebutkan namanya.

Sastra menatap cincin itu lalu mengambilnya dari pengaitnya. Ia mengamati dengan begitu teliti. Melihat setiap bagian yang ada di sana. Setiap sisi dan sudut, ia telanjangi dengan kedua bola matanya yang bulat. Hingga akhirnya, dadanya terasa begitu sakit, serasa ada yang meremas dan memukulnya dengan begitu keras. Sastra mengerutkan dahinya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang datang tiba-tiba.

Sastra mengira sakit itu hanya sebentar. Akan tetapi, rasa sakit itu semakin menggerogoti dirinya. Sastra menepuk dadanya pelan. Membelainya dengan lembut. Berharap sakit itu akan berkurang hingga kemudian kepalanya seketika terasa begitu berat. Sayup-sayup suara pesawat terdengar di telinganya. Gelak tawa, senyuman hingga suara yang terdengar begitu bahagia. Indah. Tapi kenapa dadanya terasa begitu sakit? Kenapa? Kenapa dirinya seperti ini?

“Bu Sastra tidak apa-apa?” tanya seorang pelayan cafe yang melihat kondisi Sastra.

Sastra tidak menjawab. Kepalanya terus memutar memori yang entah itu berasal dari mana. Sastra memejamkan matanya seraya memegang kepalanya yang terasa begitu sakit. Sayup-sayup terdengar suara tangisan yang semakin membuatnya merasakan sakit di dalam rongga dadanya. Sastra kembali membuka matanya saat bayangan itu terlihat begitu jelas.

“Brian… Brian… Brian…,” panggilnya kalap.

Semua pelayan mendekat ke arahnya. Berusaha menolong Sastra. Akan tetapi, Sastra hanya bisa menyebutkan nama itu.

Sastra beranjak dari tempat duduknya dengan memegang kotak cincin itu. Ia berjalan dengan terhuyung. Matanya masih terasa kabur. Pelayan berusaha membantunya. Tapi ia tidak memperdulikan mereka. Sastra menghentikan taksi yang tengah melintas di depannya. Di sisa napasnya, Sastra menelepon sekretarisnya untuk menghubungi sekretaris laki-laki yang baru ditemuinya itu.

Tak berapa lama, Sastra mendapatkan sebuah alamat. Ia pun langsung  menunjukkan alamat itu kepada supir taksi. 

***

Taksi berhenti di seberang sebuah bangunan yang jauh dari keramaian. Sastra berlari mendekati bangunan itu. Berulang kali ia meneriakkan nama Brian. Pandangan matanya yang tidak fokus membuat dirinya terjatuh. Akan tetapi, sebuah tarikan tangan membawa Sastra dalam pelukan yang tak terduga. Matanya seketika menangkap kedua bola mata laki-laki itu. Dia Brian.

Brian Vasine Pramana. Laki-laki yang pernah pergi setelah kecelakaan pesawat itu. Korban yang dinyatakan menghilang dan kembali dengan wujud yang berbeda. Brian. Laki-lakinya. Cintanya.

“Kenapa kamu baru datang?” isak Sastra.

“Bukan aku yang baru datang. Tapi kamu.”

“Kenapa kamu mengingatkan aku dengan cara seperti ini?” 

“Karena aku bodoh untuk tidak memaksamu agar tetap mengingatku.”

“Aku merindukanm, Brian.”

Brian tidak menjawab. Ia hanya mamajukan langkah kakinya. Meraih pinggang Sastra dan memeluknya dengan begitu erat. Sangat erat hingga enggan untuk melepaskan Sastra dari dekapannya. Mencium puncak kepalanya dan membelai rambut lembutnya. Menyesap aroma tubuh perempuan yang selama ini ia rindukan. Sangat ia rindukan.

Sastra membalas pelukan Brian. Tak kalah eratnya. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh laki-laki yang selama ini selalu memenuhi pikirannya. Laki-laki yang selama ini ia cari. Laki-laki yang sangat ia cintai. 

“Haruskah aku melamar kamu untuk yang ketiga kalinya?” tanya Brian masih dalam pelukannya.

Sastra mendongak. Ia mulai melonggarkan pelukannya dan hendak menjauh dari jangkauan Brian. Akan tetapi, Brian langsung menahannya kembali merapatkan Sastra ke dalam pelukannya. Bahasa tubuhnya, seolah memerintahkan Sastra untuk tetap berbicara dalam posisi seperti itu.

Bagi Brian, waktu yang mereka miliki saat ini ibarat berlian yang tak bisa dibayar dengan apapun. Sastranya yang sempat menghilang karena tenggelam dalalm ingatannya yang menghilang, akhirnya kembali lagi. Sebuah cerita panjang yang entah harus dimulai dari mana. Rangkaian kata tak dapat terucap dari bibir mereka terwakilkan oleh bahasa tubuh mereka yang mengatakan betapa mereka bersyukur atas takdir yang ada.

Sebuah takdir yang mereka benci dalam kurun waktu yang cukup lama. Lelah akan segala hal. Benar kata pepatah. Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Tugas manusia hanya menjalani, berusaha, dan memohon kepada Tuhan. Bukan membantah sesuatu yang belum diputuskan oleh Tuhan.

Takabbur. Hal kecil yang tak pernah disadari oleh manusia. Hidup memang sebuah pilihan. Tapi terkadang, pilihan bukan berarti mematok sebuah tanggapan yang tak seharusnya hingga membuat diri takabbur. Hal itu dapat mendorong hati untuk menyalahkan suatu keadaan yang masih belum pasti akan berakhir sesuai dengan dugaan.

***

-TAMAT-

Sebelumnya
#CerpenKita #4
COME BACK TIME | Episode 3
Selanjutnya
#CerpenKita #5
COME ON | Episode 2
#Cerpen P.N.Z.
… | Episode 1
… | Episode 2
Kamu | Episode 3
Inong | Episode 4
Untuk | Episode 5
Negara | Episode 6
Pikir | Episode 7
Among | Episode 8
Menginjak | Episode 9
Pergi | Episode 10
#CerpenKita #2
Ini Aku | Episode 1
Mulai | Episode 2
… | Episode 3
Pola | Episode 4
Sesuai | Episode 5
Timbangan | Episode 6
Produksi-Konsumen | Episode 7
Bahan Berani | Episode 8
Baru | Episode 9
Aku Berbeda | Episode 10
Waktu Adalah Prajuritnya | Episode 11
Baru | Episode 12
Wanita dan Perempuan | Episode 13
#CerpenKita #3
BEBAS | Episode 1
KETUKAN PETIR | Episode 2
ARENA BAJINGAN | Episode 3
#CerpenKita #4
MEET | Episode 1
LEAVE | Episode 2
COME BACK TIME | Episode 3
#CerpenKita #5
SURE | Episode 1
COME ON | Episode 2
TIME BE OVERDUE | Episode 3

Comments

Tinggalkan Balasan