Mulai | Episode 2

“Perbedaan pendapat bukanlah hal yang menjadikan cinta terhambat.”
P.N.Z-

Mulai | Episode 2
Sumber : Tyler Nix

“Kamu yakin, mau pergi ke sana?” tanya Inong.

“Tolong, restui saya,” jelasnya dengan wajah memelas.

“Tak bisakah kamu tetap ada di sini?” tanya Inong dengan wajah yang tak kalah memelas.

“Lepaskanlah dia, jangan kau cengkeram putramu hanya karena ia jauh darimu. Aku menjadi suamimu bukan hanya sekedar menjadi suami. Melainkan, aku ingin membangun keluarga denganmu,” jelas Among tersirat.

Inong terdiam. Kemudian, ia menatap Tulus dengan tatapan kecewanya. Bahkan, lebih tepat pada arah sedih bahwa apa yang selama Inong idamkan dari Tulus tidak sesuai dengan keinginannya.

“Inong, tolong ijinkan Tulus. Tulus mohon, Tulus memohon kepada Inong,” ucap Tulus dengan menyatukan kedua telapak tangannya seketika. Ia tak lagi memperdulikan makanan yang tadinya sangat lezat ia santap dengan perangkat alat makan yang kini ia lepaskan hanya untuk menyatukan telapak tangannya.

“Terserah kalian saja,” ucap Inong singkat.

Sungguh. Itu merupakan cara horror bagi Tulus, Burju dan Among saat mendengar ucapan Inong yang demikian. Ketiga laki-laki itu tak dapat menyangka jika perkara yang terjadi merupakan salah satu hal yang menjadi awalan untuk kemarahan Inong yang sangat menakutkan itu. Bagi ketiganya, lebih baik Inong marah dengan cara berkicau layaknya burung lakbird, atau ayam jago yang biasa berkokok di pagi hari untuk menunjukkan bahwa hari telah berubah dibandingkan dengan diam seribu bahasa, atau marah dengan cara menjawab cara yang singkat layaknya hantu yang tak berhendak untuk berkikik agar terlihat menakutkan.

“Kalian makan saja, habiskan. Lanjutkan makanannya,” jelas Among untuk mempertegas situasi.

“Tulus, habiskan makananmu. Dan Burju, lanjutkan makanmu kalau kau mau nambah, tambah saja,” lanjut Among dengan nadanya yang lembut. Dan, tegas tentunya.

Tulus dan Burju menganggukkan kepalanya layaknya tokoh Tom and Jerry yang sering mereka tonton di televisi. Mereka melaksanakan apa yang dikatakan oleh Among. Begitu juga Among, melaksanakan apa yang diucapkan dan diperintahkan kepada anak-anaknya. Sedangkan Inong, sudah melanjutkan makan sejak kata ‘terserah’ keluar dari mulutnya.

Suasana makan malam itu menjadi makan malam yang menegangkan untuk mereka. Ketegangan itu karena dinginnya sikap Inong yang tak seperti biasanya. Inong, memiliki kebiasaan untuk menambahkan makanan di piring Tulus, Burju dan Among. Namun, untuk makan malam kali ini, tidak demikian. Inong lebih memilih untuk diam. Terdiam dan makan makanannya.

Adapun kebiasaan lainnya, yaitu Inong selalu mengupaskan buah yang tersedia di sana dan memberikan kepada Tulus, Burju serta Among. Sampai kami merasa kenyang dengan buah yang dikupaskannya. Selain itu, Inong juga tak tanggung apabila menawarkan coklat panas. Apalagi, pada saat suasana hujan yang tak berhenti untuk turun, hingga hawa dingin menerpa. Tapi, semua kebiasaan itu telah lenyap. Seperti ditelah bumi. Ah… tidak. Bukan ditelan bumi. Tapi ditelan oleh kata-kata yang Tulus ucapkan.

“Tulus, Among tunggu di ruangan Among,” ucap Among dengan beranjak dari tempat duduknya.

Tulus yang tengah menengadah untuk membalas tatapan Among yang berdiri, kembali menatap ke arah Burju. Kemudian  ke arah Inong yang masih terdiam seraya tangannya yang bergerak untuk membereskan beberapa piring kotor yang telah digunakan untuk makan. Burju memberikan anggukan kepalanya untuk menenangkan Tulus. Burju tahu, bahwa adiknya itu tengah bingung untuk menuruti siapa, antara Inong dan Among yang kali ini berbeda pendapat.

Tuluspun menganggukan kepalanya. Membalas anggukan Burju. Anggukan kepala Tulus ditujukan sebagai tanda bahwa Tulus berterimakasih atas apa yang diberikan oleh Burju untuk menolongnya. Dan Tulus yakin, kalau Burju akan menenangkan Inong serta memenangkan kembali hati Inong. Sehingga, terciptanya suasana hangat keluarga, kembali utuh. Bukan hanya dengan satu alasan semuanya akan berubah.

***

Sumber : Clem Onojeghuo

“Masuk,” ucap seseorang dibalik pintu kaca itu.

“Ini Tulus, Among,” ucap Tulus dengan nadanya yang serak. Yah… nada serak itu selalu keluar saat Tulus mera ketakutan hingga telapak tangannya dan tubuhnya terasa gemetar.

Tulus membuka pintu kaca itu. Ia dapati Amongnya yang tengah menundukkan kepalanya di depan berkas yang begitu tebal. Dengan dekorasi abu-abu yang matang, dan juga beberapa perpaduan warna abu-abu muda menjadikan ruangan kerja Among terlihat begitu elegan dengan keseluruhan dekorasi. Termasuk, dekorasi rak buku yang tidak pernah jauh dari meja kerjanya.

rBanyak pertanyaan saat pertama kali pembangunan ruangan kerja Among. Mulai dari kenapa Among tidak mau jauh dari rak buku, hingga ruangan yang full-mirror. Pernah, sekali Burju menawakan beberapa dekorasi ruangan yang classic. Lebih condong ke arah kayu, dan warna catnyapun lebih condong ke arah coklat karena menyesuaikan. Tapi, Among menolak dan lebih memilih ruangan demikian.

Hal itu membuat Tulus semakin penasaran dengan keputusan Among semacam itu. Dan, Among menjawabnya dengan jawaban yang sederhana, “Jika Among menggunakan kayu pada tiap komponen ruangan ini? Berapa kayu yang harus Among butuhkan dan tukang jualan kayu menebang pohonnya kemudian dijual ke Among? Memangnya, bisa dipastikan, jika penjual kayu itu melakukan tebang-tanam untuk menjaga kelestarian spesies kayu tersebut? Tidak, kan? Jika Among menggunakan kaca, material yang digunakan untuk pembentuk kaca, masih dapat diperbaharui selama ilmu pengetahuan diperharui.”

eBahkan, jawaban itu tidak pernah terlintas di dalam kepala Tulus selama ia mengenal Amongnya. Yang pernah Tulus tahu tentang Among cukup membuat Tulus tahu saja, bahwa pmikiran Among mengenai segala tindakan yang Among gunakan tidaklah sembarangan dan tidaklah cukup dengan satu alasan saja. Among akan menyediakan banyak alasan dengan segala perbandingan sebagai suatu presentase sebagai bentuk proses. Sehingga, apabila di jawab Among akan memberikan alasan kuat. Sebab, alasan tersebut, banyak dan tidak cukup satu saja.

“Mana berkasmu?

Tulus berjalan mendekat ke arah Amongnya. Kemudian, ia menarik kursi yang  ada di dekat meja kerjanya untuk duduk lebih dekat dengan Amongnya. Kemudian, ia membuka map berwarna biru itu dan mengeluarkan beberapa kertas. Di sana, terdapat beberapa gambar. Gambar-gambar itu meliputi bangunan-bangunan yang menunjukkan kualitas infrastruktur di sana. Kemudian, beberapa cuplikan gamabar mengenai ruangan-ruangan yang digunakan untuk praktek sekaligus beberapa komponen kalimat singkat menunjukkan kualitas Universitas itu.

“Hanya ini saja?” tanya Among setelah Tulus memberikan beberapa penjelasan mengenai kualitas infrastruktur dan juga kualitas fasilitas yang disajikan oleh Universitas.

Tulus sempat terdiam karena ia merasa bahwa apa yang disampaikan telah cukup. Namun, di mata Among, penjelasan yang diberikan oleh Tulus sangatlah minim sehingga Among mempertanyakan hal yang membuat Tulus berusaha berpikir untuk kembali memberikan eksplor informasi mengenai Universitas yang ingin ia masuki untuk menempuh pendidikannya dan dapat dipercaya oleh Among dan Inong.

“Ah, iya.. Anu… kurang mengenai alumni serta prospek ke depan jurusan yang ingin Tulus ambil, Among,” ucap Tulus setelah menemukan jawaban itu.

“Silahkan,” ucap Among dengan menggerakkan telapak tangannya ke depan. Menandakan bahwa Tulus telah dipersilahkan menjelaskan, dan Among bersedia mendengarkan seluruh informasi yang akan dijelaskan oleh Tulus.

“Baiklah Among, Tulus akan memulainya dari ini,” ucap Tulus dengan menuliskan beberapa kata dan menyambungkan dengan panah di atas kertas putih yang ia gambari dengan bulpoin yang tersedia di tempat bulpoin ruangan kerja Amongnya.

Tulus memberikan penjelasan secara visual, audio, dan kinestik kepada Among. Dan, Among meganggukkan kepalanya seraya ia menanyakan beberapa hal perihal penjelasan Tulus yang memang belum dikenai oleh Tulus. Akan tetapi, pertanyaan itu masih seputar apa yang dijelaskan oleh Tulus.

Sehingga, terciptanya, diskusi antara keduanya. Terdengar dingin. Beberapa kali, ada perdebatan kecil karena pandangan Among yang terlalu luas, dan Tulus yang mengimbangi tidak selihai Among. Hingga ada perdebatan karena gambaran yang diberikan Among, sampai pada Tulus buruk, sehingga Tulus tidak dapat menerimanya dan menentangnya. Namun, karena Among mengerti bahwa Tulus tidak sampai di sana, maka dari itu Among menuntun Tulus perlahan hingga Tulus mengerti dan tercipta kembali diskusi yang damai.

“Among sudah mengerti bagaimana keinginan kamu dan prinsip kamu mengenai tanggapan prospek kamu setelah kamu keluar dari jurusan itu. Begini saja, cari informasi mengenai pendaftaran, dan juga biaya hidup dan bangunan di sana. Among akan menyediakan sesuai dengan kebutuhan kamu. Sekaligus, cari informasi kapan kamu libur, sehingga Among bisa memperkirakan Inongmu tak lagi sedih dan resah karena melepaskan kamu dari kampung halaman kamu, paham tidak?” tanya Among saat hendak mengakhiri dikusinya.

“Baiklah, Among. Besok akan Tulus sediakan apa yang Among butuhkan,” ucap Tulis dengan mengangukkan kepalanya.

“Kamu bisa pergi sekarang, dan lanjutkan kegiatanmu,” ucap Among memutus diskusi itu.

Tulus hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia mengembalikan bulpoin yang ia pinjam dari ruang kerja Among, kemudian ia merapikan berkas-berkas yang berserakan di meja kerja Among. Memasukkan kembali berkas itu, dan Tulus beranjak dari tempat duduknya. Sebelum meninggalkan ruangan kerja Among, Tulus mengembalikan posisi kursi yang tadinya ia gunakan selama diskusi. Barulah setelah itu, Tulus melangkahkan kakinya keluar ruangan dan berjalan menuju kamarnya.

Berbeda dengan Among. Setelah kepergian Tulus, Among lebih memilih untuk terdiam. Kedua tangannya menyatu, kemudian menempel pada bibirnya. Kedua matanya terpejam, seolah ia memikirkan sesuatu. Bibirnya semakin terkatup seolah ia memendam sesuatu. 

Tak lama dari itu Among merebahkan tubuhnya di kursinya. Among memutar kursinya, dan menghadap ke arah luar. Terlihat pemandangan sawah dan perkebunan yang terhampar luas. Memandangnya sedikit lebih lama, membuat Among menghembuskan nafasnya. Dan, membuatnya beranjak dari tempat duduknya, dan mendekat ke arah kaca jendela. Dengan melipat kedua tangannya, Among menikmati pemandangan itu seolah ia membayangkan sesuatu yang tak dapat diketahusi siapapun selain Among. Termasuk dia.

***

Sumber : Ashley Schulze

“Inong mau kemana?” tanya Burju saat Burju tengah berbincang dengan Inong di dalam kamar Inong.

Tulus mendengarkan seruan Burju. Namun, Tulus terdiam. Ia mengeraskan hatinya seperti ia mengeraskan tekadnya untuk tetap berada di dalam keputusan itu. Tulus tahu, bahwa tidak seharusnya ia seegois itu. Akan tetapi, deretan ucapan yang terdengar di dalam telinganya kala itu merupakan kata yang tertancap dengan paten di dalam hatinya. Rendy. Sahabatnya itu, telah mengucapkan banyak hal. Tak hanya saat mereka saling bertemu saja. Rendy juga berkata mengenai hal tersebut melalui chat atau pesan singkat. Terkadang, Rendy juga mengirimnya melalui audio.

“Aku ingin bicara denganmu,” ucapnya ketus.

Laki-laki itu membalikkan tubuhnya. Dan benar saja dia berdiri di sana. Di pintu itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Burju yang melihat hal tersebut, seketika menghentikan langkah kakinya. Kemudian, ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya dengan cepat. Jika perempuan itu telah berada di garis itu, tidak mungkin Burju bisa menghalangi, karena ia meyakini, bahwa perempuan itu tidak akan berbicara sebagai seorang perempuan yang berperan sebagai seorang Ibu. Tapi, perempuan yang menghakikatkan cinta atas dasar prinsip hidupnya.

“Masuklah. Duduklah dengan tenang,” pinta laki-laki itu.

“Aku akan berbicara sebagai seorang perempuan. Bukan sebagai seorang Ibu atau istri kepadamu saat ini,” ucap perempuan itu.

“Katakan saja, aku akan menerimanya. Apapun itu, selama apa yang kau ucapkan masih dapat dilogika,” ucapnya singkat.

Perempuan itu menarik nafasnya dan menggerakkan bibirnya dengan semakin membungkan. Hal itu dilakukannya karena ia enggan mengatakan ‘Iya’ sebagai sebuah persetujuan, atau hanya sekedar menganggukkan kepalanya sebagai bentuk persetujuan. Sungguh, perempuan itu begitu keras jika hatinya telah mengumandangkan kemarahan.

“Aku tidak mau kau menyetujui Tulus untuk menempuh pendidikan di Universitas,” ucap perempuan itu tepat langsung pada intinya.

“Alasannya?” tanya laki-laki itu santai tanpa menghilangkan ketegasannya.

“Kau tega membuang anakmu dari luar kota ini? Membiarkan dia tidak mendapatkan perhatian dari seorang Ibu? Ah.. bukan itu. Apa kau tega membuang anakmu di luar sana tanpa perhatian masakan yang dapat mengenyangkan perutnya? Bukankah Tulus adalah penerusmu? Bukankah dia yang akan menjadi pewarismu setelah Burju menjadi pewarisku? Jangan buat Tulus mengenal dunia luar yang keji itu!” ucap perempuan itu dengan nadanya yang mulai meninggi.

“Jika kau berbicara atas dasar sebagai seorang perempuan, setidaknya kau bisa memahami bagaimana seseorang yang tengah berusaha mewujudkan mimpinya. Tapi kurasa, saat kau menyebut bahwa aku sangat jahat hingga tega membawa Tulus ke luar dari tempat ini dan kau menganggap bahwa aku tidak memperhatikan isi perutnya dengan masakan, aku rasa kau tengah berbicara sebagai seorang Ibu. Tanpa kau sadari, kau berbicara tentang cinta. Aku tidak ingin berdebat terlalu banyak mengenai Tulus. Tapi aku hanya mengingatkan saja padamu, jangan jadikan perbedaan pendapat merupakan hal yang membuat cintamu terhambat. Itu sangat menyedihkan,” ucap laki-laki dengan tegas. Dan, tak kalah ketus.

“Apa kau bilang?”

“Sayang… dengarkan aku baik-baik. Jangan memandang Tulus, atau Burju sebagai seseorang yang lemah. Ini adalah kesempatan kita untuk mendidik mereka sebagai putra-putra kita. Dengan kemauan mereka sendiri, kita dapat mendidik mereka bahwa dunia tidak sehangat selimut yang diberikan Ibu mereka. Biarkan mereka tahu, bahwa dunia di luar sangatlah kejam dank eras. Biarkan mereka pulang dengan ketangguhan mereka. Aku akan mengawasi kehidupan mereka. Jangan kawatir. Yang perlu kamu lakukan, hanya merestui mereka, dan seringlah meminta kabar mereka, sekaligus menanyakan beberapa hal yang menurut kamu itu merupakan salah satu kebiasaan buruk mereka. Cukup kontrol mereka dengan kepercayaan kita. Biarkan mereka bertanggung jawab atas apa yang telah kita percayakan kepada mereka. Jadi, tolong mengertilah,” ucap laki-laki itu.

“Tapi, Bang. Apa kamu tega melihat Tulus kamu lepaskan begitu saja seperti burung?” tanya perempuan itu dengan nada memelasnya. Seolah ia memohon kepada suaminya, agar suaminya mengerti apa yang ingin ia kehendaki.

“Bukankah dengan tidak melepaskannya sama saja kita memperlakukan Tulus seperti burung yang selalu berada di dalam sangkar?” skakmat laki-laki tersebut.

Perempuan itu mendengus dengan nafas yang besar dan berat. Seolah, ia sudah kehabisan kesabaran dengan menghadapi laki-laki yang ada di depannya saat ini. Laki-laki yang kini tengah berperan sebagai seorang ayah dalam konteks pembicaraan mereka.

“Abang… kalau Tulus sakit bagaimana?”

“Ada rumah sakit di sana,” ucap laki-laki itu santai dan singkat.

“Maksudnya kalau tidak ada yang merawatnya bagaimana?”

“Ada perawat dan dokter yang akan merawatnya,” lagi-lagi ucap laki-laki itu singkat.

“Maksudku seperti keluarga,” ucap perempuan itu tetap membela dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.

“Dia akan punya teman. Tidak mungkin Tulus akan terdiam dan hidup seorang , diri. Aku yakin, ia akan hidup bersama dengan orang baru. Yang mana, orang itu bisa jadi teman dekatnya. Atau bahkan, kedekatan itu layaknya seperti keluarga. Tak ada yang tidak mungkin, sayang. Sudahlah, kamu kuatkan saja hatimu untuk melepaskan Tulus. Lagipula, dia seorang laki-laki. Kapan lagi kita akan mendidiknya untuk menjadi laki-laki yang tangguh? Kapan? Kalau bukan saat ini, sesuai dengan keinginannya. Biarkan dia terbang bebas layaknya burung yang tahu diri akan rumahnya. Aku yakin, akan ada hari libur dimana Tulus bisa pulang ke rumah dan bertemu kita kembali. Tenangkan dirimu,” ucap laki-laki itu seraya mendekat dan memegang kedua pundak perempuannya. Perempuan yang kini tengah membayangkan banyak hal, mulai ditenangkan dengan laki-laki yang ada di depannya. Laki-laki yang merupakan Ayah dari anak-anaknya.

“Bang… Aku tak mau terjadi yang tidak-tidak kepada Tulus,” ucap Perempuan itu dengan nadanya yang bergetar.

“Aku tidak mengirim Tulus ke medan perang, atau neraka sayang. Aku hanya mengirim Tulus jauh dari kita untuk menimba ilmu. Itu saja. Akupun tidak ingin, putraku hanya hidup dengan jiwanya saja. Namun, raganya yang seharusnya diisi dengan sesuatu, harus kosong sedemikian rupa layaknya tengkorak hidup,” ucap laki-laki itu sarkastik dalam perumpamaannya.

“Maka dari itu, aku memohon padamu agar mengijinkan Tulus menempuh kehidupannya. Menempuh kemauannya, termasuk untuk menggapai cita-citanya. Jangan halangi hanya karena alasan kau kawatir. Akupun sejujurnya kawatir. Hanya saja, aku minta kepadamu, besarkanlah hatimu untuk membiarkan anak kita mencapai cita-citanya, kau paham?” tanya laki-laki itu lembut.

Perempuan itu terdiam. Ia tetap menatap kedua bola mata suaminya. Kemudian, dalam hitungan detik saat suaminya memastikan apa yang ia janjikan mengenai Tulus putranya akan baik-baik saja, perempuan itu mengangukkan kepalanya. Dan, tentu saja anggukan kepala itu disertai dengan linangan air mata, yang mulai memenuhi pelupuk matanya. Sungguh, laki-laki itu memeluknya dengan erat dalam dekapannya. Kemudian mencium, dan mengendus puncak kepalanya.

“Tolong jaga, putraku, Bang.”

“Tulus juga putraku. Tak hanya putramu saja. Sudah jelas, dan akan kupastikan aku akan menjaganya.”

“Dalam segi apapun?” tanyanya.

“Iya, dalam segi apapun kecuali nyawanya. Aku tak dapat memastikan. Tapi yang pasti, aku akan mempertahankan nyawanya,” jelas laki-laki itu mengakhiri kata-katanya dengan mencium kening perempuannya saat perempuannya melepaskan pelukannya.

“Janji?” tanyanya masih meyakinkan dirinya sendiri.

Laki-laki itu menganggukkan kepalanya seraya memejamkan matanya. Seolah ia juga memantabkan dirinya sendiri mengenai apa yang ia janjikan kepada perempuan itu. Perempuan yang telah menjadi ibu dari anak-anaknya.

***

“Kau membaca apa?” tanyanya.

“Buku. Ini menarik,” ucapnya dengan menunjukkan sampul buku. Ada gambar pesawat terbang.

“Untuk apa buku itu?” tanyanya lagi.

“Hanya ingin saja aku membacanya,” jelasnya singkat.

“Kau ingin mempelajari ini di Universitasmu?” tanyanya lagi.

“Tidak. Aku tidak ingin mempelajari itu. Aku hanya ingin tahu isi dalamnya buku itu.”

“Untuk apa kau membaca sesuatu yang tidak bersangkutan denganmu? Merugikan waktumu bukan?” ucapnya.

“Tidak. Tidak ada suatu cerita bahwa apa yang kau baca bila itu tidak bersangkutan dengan keperluanmu, maka waktumu akan tersita dan kau menjadi orang yang merugi hanya karena itu. Tidak. Itu tidak benar. Buku itu akan bermanfaat untukmu, begitupun isi bacaannya. Tanpa kau sadari, suatu saat kau akan menerapkan isi yang ada dalam buku itu. Ya, buku yang kau baca yang notabenenya tidak kau butuhkan karena tidak bersangkutan denganmu. Tidak ada ilmu yang sia-sia, Bang.”

“Tulus… apa benar demikian? Aku ingin buktinya saja. Makanya, aku enggan membaca buku karena aku tak merasa demikian,” jelas laki-laki itu.

“Karena kau kurang sabar dalam menunggu kesempatan dimana kau akan membutuhkan pemahaman isi buku yang tidak bersangkutan itu, Bang.”

Burju terdiam. Ia memandang ke arah buku itu. Matanya tertuju ke arah itu sedikit lebih lama. Jelas saja, Burju membayangkan suatu hal. Hal itu telah ada di dalam pikirannya sejak lama. Namun, rasa itu melenyapkannya dengan paksa saat Burju ingin mengembangkan bayangannya itu. Bukan itu yang ia inginkan. Ada sesuatu sendiri yang Burju inginkan dan hingga saat ini, hanya dirinya seorang yang dapat mengetahuinya. Ah… Bukan. Masih ada Tuhan yang tidak dapat ia sembunyikan apa yang inginkan. Maka dari itu, hanya dia dan Tuhan yang mengetahuinya.

“Bang.. bang… Abang!” panggil Tulus berulangkali. Akan tetapi, Burju masih saja terdiam dalam pandangannya ke arah buku itu. Buku yang menjadi rangsangan untuk mengembalikan beberapa bayangannya yang sempat hilang hanya karena rasa itu telah melenyapkannya dengan paksa.

“Wooooooyyyyyy!!!!!” teriak Tulus tepat berada di samping telinganya seraya menggoyang tubuh Burju yang membeku hanya dengan memandangi apa yang ada di depannya. Yah.. buku itu. Buku yang bersampulkan gambar kapal.

“Aw!!! Yaaaa!!!!” teriaknya lagi tak kalah tinggi suaranya seraya ia terjingkat dan menjauh dari tempat duduknya semula.

Dan benar saja, tawa itu menggelegar dengan pingkalan-pingkalan di tubuhnya. Sungguh, untuk pertama kalinya, Tulus tertawa dengan puas dan selebar-lebarnya mulutnya menertawakan kakaknya yang tengah terjingkat akibat ulahnya.

“Dasar kau adik durhaka,” ucap Burju dengan memegang telinganya. Seolah telinganya telah jebol karena mendengar teriakan Tulus yang begitu memekik.

“Hahahaha…. Salah siapa sendiri kau melamun tidak jelas. Berulangkali sudah aku memanggilmu. Tak hanya memanggil. Pun aku juga menggoyang tubuhnya. Dan benar saja, ragamu berada di sini, tapi pikiranmu entah minggat kekmana,” terang Tulus membela diri.

“Tetap saja, kau begitu menjengkelkan apabila demikian. Menyesal diriku ini berkumjung ke kamarmu,” keluhnya memprotes.

“Hoy, Abang… Janganlah kau marah layaknya anak kecil. Ah… bukan-bukan. Anak kecil terlalu bagus untukmu. Bagaimana kalau banci tingkat panci?” tanya Tulus tak berhenti mengejek.

“Woy! Adik kurang ajar,” ucar Burju tak tahan dengan ledekan.

Tuluspun membalasnya dengan menjulurkan lidahnya, begitu pula dengan Burju yang berlari ke arahnya untuk mendekat sedangkan Tulus, berusaha meloloskan dirinya agar tak tertangkap oleh burju. Demikian pula, mereka berlarian di area ruangan kamar tidur Tulus dan mengobrak-abrik bantal serta guling yang kini tak lagi berupa wujudnya. Hingga mereka turun ke bawah melalui tangga masih saja dalam kondisi kejar-kejaran. Among dan Inong yang melihat mereka, sempat terbingungkan oleh sikap dan tingkah putra-putranya. Namun, mereka tak berhenti tertawa pula seraya menggelengkan kepalanya seolah mereka menyaksikan kartun Tom and Jerry.

***

Comments

Leave a Reply