Sebelumnya
#CerpenKita #4
COME BACK TIME | Episode 3
Untukmu di sana. Ketahuilah, bahwa jiwa di mana hati ini berada tak bisa memahami dirimu. Bukan berarti ini sebuah kebohongan. Tapi, jiwa di mana hati ini berada telah menurut pada petunjuk waktu dan takdir akan sebuah kejujuran cinta.
-P.N.Z-
Udara berhembus dalam dengunan napas berat. Mengalun begitu kencang bak halilintar yang terus menyambar. Brian Vasine Pramana menatap lurus hamparan padang pasir yang tengah berhembus marah dengan deburan debu yang membaur bersama dengan butiran pasir, membentuk partikel kotor yang berhasil menerpa wajahnya yang sendu. Wajah yang sekuat tenaga menahan amarah hingga membuatnya tak mampu mengatakan apapun dalam deraian air matan.
Untuk pertama kalinya, laki-laki yang tampak gagah memegang pedang dan pistol yang bertugas menjadi penentu strategi perang demi membela negaranya menangis dalam kesendirian karena harus menerima sebuah kenyataan pahit.
Berulang kali salivanya tercekat. Memandang sebuah bayangan nyata yang tak dapat ia hindari dalam renungannya malam itu. Waktu terus memanggilnya untuk bertugas. Namun, hatinya yang remuk dalam remasan jemari lentik seakan tak mampu membuat dirinya kembali dalam strategi perang esok hari. Kenyataan itu berhasil membuat Brian tertunduk lemas di atas kaki kokohnya.
“Lo kenapa?” tanya Mirza, sahabat sekaligus rekan kerjanya.
Brian menggeleng lemah. Ia menunduk, menatap meja kerjanya untuk menyembunyikan matanya yang mulai panas.
“Cewek itu lagi? Ada apa sama dia?” tanya Mirza lagi.
“Gue nggak tahu harus bicara apa,” timpal Brian yang mulai berbicara dengan suara tercekat.
Mirza menautkan alisnya melihat map coklat yang tergeletak di atas meja. Bola matanya menyapu setiap tulisan yang ada di sampul map itu. Melihat satu persatu foto yang terpampang jelas di sana. Senyuman gadis itu begitu imut. Bibirnya yang mungil dengan mata bulat lengkap dengan pipi yang tembam sungguh menggemaskan. Mirza menatap sahabatnya yang kini sudah menangis sesenggukan layaknya seorang bayi yang ditinggal ibunya.
“Sastra Binara?” gumam Mirza saat membaca nama yang terpamapang pada map milik Brian. “Gue heran sama hidup lo. Ribet banget, sih. Orang tua lo udah menyediakan cewek secantik bidadari dan yang lo pilih cewek berwajah kucing kek begini? Oke. Gue akui dia imut.”
“Menurut lo kalau jatuh cinta pada pandangan pertama harus lihat di asalnya dari mana? Yang ada gimana caranya gue dapetin dia.” Brian melotot ke arah Mirza.
Mirza menghembuskan napas berat. Dia yakin ini akan menjadi urusan yang rumit bagi Brian nantinya. Keluarga Brian dan Sastra benar-benar saling bertolak belakang.
“Apa yang akan lo lakuin? Jangan bilang lo akan maksa dia buat ikut sama lo dan ninggalin kehidupannya demi lo?” Mirza menyipitkan matanya, seolah paham dengan apa yang akan dilakukan Brian.
Brian mengangguk dengan telapak tangan yang mengacak rambutnya. Frustasi. Sedangkan Mirza menepuk jidatnya dengan raut wajah yang cemas. Membayangkan hal yang akan terjadi nantinya. Bagimana tidak? Hati Brian memang sangat halus, tapi tekadnya sekuat besi dan baja. Jangan berharap ada yang bisa menghentikannya apabila ia sudah membulatkan tekad.
“Nggak. Ini semua nggak bener. Lo yang bener aja? Sastra beda jauh dari lo, Bri! Gila kalau lo mau ngenalin dia ke orang tua lo dengan posisi seperti ini. Lo yakin bokap lo nggak akan bunuh lo nantinya atau menggal kepala Sastra supaya lo bisa jauh dari dia selamanya. Lo sama aja bunuh diri,” oceh Mirza yang berhasil membuat Brian beranjak dari tempat duduknya dan memukul meja kerjanya dengan keras.
“Terus gue harus gimana? Gue cinta sama Sastra! Gue sayang sama dia! Gue mau dia, bukan yang lain. Apa yang lo bakalan lakuin kalau ada di posisi gue, hah? Gue bukan lo yang terus menolak perbedaan dan rela menyiksa diri sendiri dan juga orang yang gue cintai hanya karena perbedaan,” tandas Brian dengan suara tercekat.
“Tapi perbedaan lo terlalu jauh. Sastra beda keyakinan dengan lo. Dia bukan menginginkan imam. Dia hanya ingin suami yang berdiri di atas altar bukan di depan penghulu dengan seperangkat alat sholat. Lo harusnya mikir kalau nyokap lo punya penyakit jantung. Kalau dia tahu gimana? Lo mau bunuh nyokap lo demi cewek itu? Konyol lo, Bri!” balas Mirza tajam.
Brian kembali terduduk lemas. Matanya menatap resiko mengerikan yang akan terjadi apabila Sastra hadir di rumahnya. Tapi, satu pilihan Brian, dia akan melakukan hal yang bisa membuatnya menyatu dengan gadis pilihannya. Itu tekadnya.
Mirza yang menatap sahabatnya seakan terus memohon kepada Tuhan agar mempermudah jalan Brian untuk menyelesaikan masalah ini.
“Kapan kita kembali ke Indonesia?” tanya Brian mantab.
“Malam ini.”
“Oke. Gue akan selesaikan urusan di sini. Semua pasukan kita yang di sini nggak ada yang luka, kan?” tanya Briam mulai konsentrasi dengan pekerjaanya.
Mirza mengangguk.
***
Malam itu seakan menjadi malam yang sangat menentukan masa depan Brian. Hatinya yang masih bergemuruh seperti badai terus membawa kakinya yang gemetar untuk memasuki gedung pencakar langit yang akan mempertemukannya dengan Sastra. Namun, sebelum dirinya masuk, Sastra justru sudah berada di lantai bawah dan berlari kecil ke arah Brian. Seakan ingin memeluk kekasihnya yang baru saja kembali dari medan perang dengan selamat.
“Jangan lari, nanti jatuh, Sastra,” kata Brian lembut saat pandangannya melihat hels Sastra yang tinggi.
“Aku sudah terbiasa memakai ini. Kamu apa kabar? Di sana nggak ada sinyal, kah? Kamu kok nggak ngabarin aku sama sekali,” rajuk Sastra dengan dengan wajah cemberut yang dibuat-buat. Sama seperti parasnya yang imut, sikapnya pun begitu menggemaskan.
“Begitulah. Kamu udah makan?” tanya Brian seraya menatap sendu mata bulat Sastra.
“Kamu kenapa? Kok sedih? Ada masalah?” tanya Sastra menyelidik saat membalas tatapan mata Brian.
Brian menggeleng. Ia berusaha menguatkan dirinya agar tidak menangis di depan kekasihnya. Laki-laki itu benar-benar begitu lemah apabila berhubungan dengan Sastra. “Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Brian mengalihkan pembicaraan.
“Oh, iya. Ayo makan di luar bersama. Aku sengaja nggak makan tadi karena dapat kabar dari batalyonmu kalau kamu akan pulang hari ini,” ajak Sastra yang berhasil membuat Brian tidak tahan membelai rambutnya.
“Aku udah besar. Jangan digitiuin, dong. Malu tahu,” protes Sastra menyingkirkan telapak tangan Brian dan menggantinya dengan mengamit manja lengan kekasihnya itu.
Senyum Brian terulas. Ia merasa sangat bahagia malam ini. Melihat Sastra membuatnya semakin meneguhkan hatinya yang sejenak ragu dengan keputusannya. Sastra adalah miliknya dan harus menjadi miliknya.
***
“Kamu mau pesan apa?” tanya Sastra lembut.
“Terserah kamu. Kamu aja yang milihin buat aku,” timpal Brian sambil meraih kedua tangan Sastra membuat wajah gadis itu merona merah. Sikap Brian malam ini benar-benar sangat romantis. “Sastra, aku mau bicara sesuatu sama kamu,” sambung Brian mulai memasang tampang serius.
“Bicara aja. Aku dengerin kok,” timpal Sastra yang masih tersenyum simpul.
“Aku serius. Taruh dulu buku menunya. Kan udah pesen tadi. Kamu mau pesen apa lagi? Tumben makan banyak. Biasanya juga dikit,” omel Brian.
“Oke,” sahut Sastra yang langsung meletakkan buku menu. “Sekarang bicaralah.”
“Aku mau menikah,” aku Brian singkat.
Kedua mata Sastra membulat seketika seperti kelinci yang marah. Bibir mungilnya bergetar. “Maksud kamu, kita putus?” Sastra menanggapinya dengan suara tercekat.
Brian tertawa kecil, kemudian ia meraih kedua telapak tangan Sastra dan mengeratkan genggamannya. “Kamu lemotnya kok nggak hilang-hilang, sih. Aku heran dengan sifat lemot kamu yang seperti ini kok bisa-bisanya jadi CEO?”
“Ah, Brian. Serius, ah. Kalau kamu nggak minta putus terus kamu minta kita nikah, gitu?” timpal Sastra dengan sedikit senyuman yang terulas di sudut bibirnya.
Brian mengangguk dengan senyum terulas di bibirnya.
Sastra terdiam seketika. Matanya menatap lurus ke arah mata Brian yang tajam. Bibir mungilnya terkatup rapat, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun, seolah terhipnotis, Sastra menganggukkan kepalanya mantab dengan meski tahu resiko yang akan dihadapinya.
Brian menghembuskan napas lega. Akhirnya ia memiliki semangat untuk memperjuangkan perbedaan di antara mereka dengan keyakinan bahwa Tuhan memberikan cinta sebagai anugerah dan menciptakan perbedaan dalam cintanya sebagai bentuk ujian yang harus dilalui.
Brian yakin Tuhan yang ia yakini tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan umatnya. Brian juga yakin kalau Tuhan akan membantu dirinya dalam menyelesaikan segala ujian yang ia hadapi. Tinggal menawari saja, bagaimana usaha Brian untuk menyelesaikan ujian hidupnya.
***
Sebelumnya #CerpenKita #4 COME BACK TIME | Episode 3 | |
Selanjutnya #CerpenKita #5 COME ON | Episode 2 | |
#Cerpen P.N.Z. | |
… | Episode 1 … | Episode 2 Kamu | Episode 3 Inong | Episode 4 Untuk | Episode 5 Negara | Episode 6 Pikir | Episode 7 Among | Episode 8 Menginjak | Episode 9 Pergi | Episode 10 | |
#CerpenKita #2 Ini Aku | Episode 1 Mulai | Episode 2 … | Episode 3 Pola | Episode 4 Sesuai | Episode 5 Timbangan | Episode 6 Produksi-Konsumen | Episode 7 Bahan Berani | Episode 8 Baru | Episode 9 Aku Berbeda | Episode 10 Waktu Adalah Prajuritnya | Episode 11 Baru | Episode 12 Wanita dan Perempuan | Episode 13 | |
#CerpenKita #3 BEBAS | Episode 1 KETUKAN PETIR | Episode 2 ARENA BAJINGAN | Episode 3 | |
#CerpenKita #4 MEET | Episode 1 LEAVE | Episode 2 COME BACK TIME | Episode 3 | |
#CerpenKita #5 SURE | Episode 1 COME ON | Episode 2 TIME BE OVERDUE | Episode 3 |
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.