Sebelumnya
#CerpenKita #3
ARENA BAJINGAN | Episode 3
Kamu datang dengan angin simfoni…
Menyejukkan jiwa, hingga terbuai rindu…
Hati yang terguncang, membuncah takut akan merana…
Dan menerima, hanya dengan batasan tawa…
Namun, terdiam membisu saat kamu datang bersama cinta…
Karena, ada ikatan percaya…
Untukmu, di mana kau menyuruhku untuk berhenti dan kau memilih untuk menghampiri. Dalam waktu yang lama, hingga semuanya menyiksa. Hingga aku mati rasa, kemudian buta. Di sana aku tak dapat melihatmu. Aku hanya bisa mengingat siapa kamu…
-P.N.Z-
Sebuah perkenalan yang konyol. Perkenalan yang tidak pernah memiliki sesuatu untuk dikenang. Hal yang biasa. Sangat biasa. Hanya hujan udara malam yang dingan.
Sastra berlari kecil meninggalkan tempat itu. Ia sudah bosan karena telah lama menunggu kedatangan sopir pribadinya yang telah berjanji untuk menjemput beberapa jam setelah kedatangan Sastra kembali ke Indonesia.
Di bawah guyuran hujan, Sastra melangkahkan kakinya. Menghindari titik hujan dengan senyuman yang indah. Mata bulatnya berulang kali berkedip saat air hujan menggoda bulu matanya. Menetes lembut menembus alis tebalnya dan menggelitik permukaan wajahnya hingga ia berulangkali mengembangkan senyuman yang indah. Hujan malam itu sangat menggodanya setelah merasa puas dengan salju di Amsterdam.
Sastra mengangkat kepalanya saat tak lagi merasakan dinginnya air hujan. Dilihatnya sebuah payung yang menutupi kepalanya. Sastra mengikuti arah payung itu hingga mata bulatnya bertemu dengan sepasang mata yang tengah menatapnya cemas. Senyuman ringan itu ada di sudut bibirnya sebelah kiri.
“Ayo jalan,” ucap laki-laki itu saat Sastra tengah tertegun menatapnya.
Sastra hanya bisa mengangguk tanpa bisa mengatakan satu kata pun. Serasa terhipnotis, ia mengikuti langkah laki-laki itu hingga sampai di sebuah tempat. Sepi. Hanya suara hujan yang menemani keduanya. Angin yang berhembus kencang, membawa air hujan menyirami tubuh Sastra. Namun, tak lama kemudian, laki-laki itu melangkahkan kakinya untuk berdiri di depan Sastra. Memunggungi hujan agar Sastra tidak terkena derasnya air yang tumpah dari langit
Sastra kembali terdiam. Rambutnya yang basah kuyup seakan terasa kering saat laki-laki itu meletakkan sapu tangannya di atas kepala Sastra. Bola matanya yang hitam dan pekat menatap mata laki-laki itu. Hanya satu sikap yang Sastra dapatkan. Bukan wajah yang datar, cool, atau cuek. Melainkan, sebingkai senyuman yang menunjukkan akan sebuah perintah bahwa Sastra harus ada di tempat yang sama agar tidak terkena cipratan hujan.
Lama laki-laki itu ada di posisinya. Sampai akhirnya, hujan mulai reda. Namun, kebisingan udara membuat Sastra tak bisa mendengar apa yang diucapkan laki-laki itu. Sastra memutuskan untuk mendekatkan telinganya. Begitu juga dengan laki-laki itu yang memutuskan untuk mendekatkan mulutnya.
“Rumah kamu di mana? Ini sudah malam.”
“Aku menunggu supirku. Tapi dia tidak kunjung datang. Aku hendak pergi ke sana.”
Laki-laki itu mengikuti arah telunjuk Sastra. Sebuah perusahaan.
“Kamu mau ke sana?” tanya laki-laki itu.
Sastra mengangguk.
“Ya sudah. Kamu pakai saja ini. Ayo ikuti saya biar tidak tambah basah,” ajak laki-laki itu sembari meraih telapak tangan Sastra yang sudah putih pucat karena terkena guyuran hujan yang bercampur dinginnya malam.
Sastra hanya bisa menatap laki-laki yang berjalan di depannya. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Entah mengapa Sastra hanya bisa menuruti apa saja yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Tatapan mata itu telah berhasil menghipnotis Sastra.
Sastra Binara. Gadis berwajah imut serperti kelinci dengan bibir tipis dan mungil yang mengembang indah di tengah hujan malam itu.
“Masuklah,” ucap Sastra dengan suaranya yang gemetar.
“Kamu kedinginan?” tanya laki-laki itu.
Sastra Terdiam. Bagaimana bisa laki-laki itu begitu peduli dengan dirinya. Mungkin, kejadian yang baru saja mereka lewati wajar untuk dilakukan oleh orang yang baru kenal. Tapi kecemasan yang terpancar di wajahnya tidak dapat mencerminkan jika itu adalah hal yang wajar untuk perkenalan mereka. Bukan perkenalan, lebih tepatnya sebuah pertemuan yang tidak disengaja.
Tanpa komando apapun, laki-laki itu mendekatkan dirinya ke arah Sastra. Ia meraih kedua telapak tangan Sastra dan mengapitnya dengan telapak tangan besarnya. Satu kali lebih besar daripada jemari lentik Sastra. Tubuhnya yang tegap dan tinggi membuat Sastra harus mendongkakkan kepalanya.
Laki-laki itu menggosok telapak tangan Sastra dengan lembut dan cepat hingga telapak tangan gadis itu terasa begitu hangat. Sesekali, laki-laki itu menatap Sastra yang hanya bisa terdiam. Banyak pertanyaan yang mulai bermunculan di dalam pikirannya. Mulai dari siapa laki-laki itu dan kenapa ia bisa ada di dalam kejadian hari itu.
“Apakah kamu mengenal saya sebelumnya?” tanya Sastra spontan, mengatakan apa yang di benaknya saat itu.
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya pelan. Matanya masih menyiratkan kecemasan. Di dalam posisi yang sama, mereka berdiri di depan perusahaan dengan saksi kedua satpam yang menyaksikan aktivitas mereka.
“Apakah sudah baikan?” tanya laki-laki itu yang masih memegang kedua telapak tangan Sastra.
Sastra menatap telapak tangannya yang berada tepat di depan dada bidang laki-laki itu. Napasnya yang cepat dan mulai teratur terlihat begitu tegang. Pandangannya bertemu dengan kedua mata laki-laki itu. Bulat, dengan sudut yang runcing. Alisnya yang tebal memperlihatkan betapa tajamnya mata laki-laki itu. Bibirnya yang tipis terlihat indah. Rahangnya yang keras memperlihatkan kejantanannya. Garis di bibir dan janggutnya terlihat begitu jelas. Sampai akhirnya, Sastra kembali dalam mata itu. Terperangkap cukup lama hingga tanpa ia sadari desakan yang begitu melesat, sangat terasa di dalam dadanya yang membuncah. Sastra menemukan kedamaian di sana. Beban pikirannya yang terasa penuh seakan sirna seketika saat menatap mata laki-laki itu.
“Bu Sastra, klien sudah menunggu anda,” ucap salah satu pegawai yang tengah berlari kecil saat melihat Sastra tengah berdiri.
“Ah ya, aku lupa kalau aku ada meeting. Apakah semuanya sudah dipersiapkan?” tanya Sastra yang buru-butu melepaskan kedua telapak tangannya dari tangan laki-laki itu.
“Sudah, Bu. Klien sudah menunggu selama lima belas menit setelah kedatangan anda,” jelas pegawainya singkat.
“Baiklah, kamu masuk saja dulu. Aku akan berganti baju. Siapkan bajuku di ruanganku. Aku akan datang segera,” ucap Sastra seraya tersenyum manis. “Dan kamu, sebagai rasa terima kasihku karena meminjamkan jaketmu hingga basah seperti ini, aku akan membalasnya. Ini kartu namaku. Kamu bisa menghubunginya apabila memerlukannya. Aku rasa, kamu tahu bagaimana posisiku. See you again,” tukas Sastra seraya meninggalkan laki-laki itu dan berjalan memasuki kantornya.
Dengan langkah gontai, Sastra menaiki lift khusus yang bisa mengakses cepat ke ruangan pribadinya. Ruangan kerja sekaligus ruangan eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu.
Sebagai seorang CEO dengan gender yang tak biasa dilakukan, mengharuskan Sastra memegang seluruh kekuasaan di bawah kendalinya. Setiap hari ia harus bertarung untuk mempertahankan saham atau obligasi yang ada di pasar modal. Bulatan matanya menunjukkan bahwa genggaman dunia ada di tangannya. Manis, sungguh manis. Indah, sungguh indah. Keramahan dirinya tak menghilangkan wibawanya. Namun, tundukan kepalanya sudah cukup membuat semua orang bergidik ngeri saat berada di sampingnya.
Sastra terkejut saat mendapati ada yang tengah mengawasinya di sofa ruangan kerjanya.
“Ngagetin aja sih, lo!” dengus Sastra sambil mengelus dadanya pelan.
“Tumben lama banget?” tanya Diandra.
“Lo ngapain di sini? Nggak ada jadwal operasi?” Sastra malah balik bertanya.
“Ada. Cuma gue mau nunjukin ini ke lo,” tukas Diandra yang kemudian menyerahkan amplop coklat yang ada di atas meja.
“Gue akan buka nanti. Klien udah nunggu,” timpal Sastra. Ia segera mengganti jas kantornya lalu sedikit mengeringkan rambutnya yang basah dan merapikan kembali rambutnya yang tergerai bak ombak yang mengiasi wajah bulatnya.
“Oke, nggak masalah. Lo bisa datang ke kantor gue nanti setelah lo lihat itu. Simpan baik-baik,” ucap Diandra seraya menepuk bahu Sastra dan meninggalkan sahabatnya itu.
Sastra hanya menganggukkan kepalanya. Ia ikut melangkah keluar bersama Diandra dan berbelok arah ke ruang meeting.
Selama memimpin meeting, Sastra teringat dengan amplop yang diberikan Diandra. Sastra tahu betul sifat Diandra yang tidak mungkin menemuinya hanya untuk sekedar menjenguk. Ditambah lagi Diandra juga rela menunggunya tadi. Pasti ada sesuatu yang penting.
“Bagaimana Bu Sastra?” tanya penyaji yang sudah menampung beberapa pertanyaan dari klien yang tengah menunggu jawaban dari Sastra. “Bu Sastra?” tanya penyaji mengulangi.
“Ah ya, maaf. Ada sedikit yang menggangu.” Sastra kembali menatap layar monitor. Dengan tanggap ia menjawab semua pertanyaan dan memberikan sedikit ulasan ringan mengenai topik yang mereka bahas. Sastra juga lebih menyingkat waktu meeting.
Setelah menyudahi meeting, Sastra buru-buru kembali ke ruangannya. Sastra yakin, amplop yang dibawa Diandra merupakan sesuatu yang besar.
***
Benar saja, Diandra sudah membuatnya terguncang dan berlari terbirit-birit ke arah lift untuk pergi ke rumah sakit di mana sahabatnya itu berada.
Dalam langkahnya, jantung Sastra terasa berdegup begitu kencang. Langkahnya yang panjang-panjang menunjukkan betapa takutnya gadis itu. Ketakutan yang selama ini tersembunyi dengan selimut wibawanya. Ketakutan yang berhasil membuatnya gila dan kalap. Ketakutan yang berhasil membuatnya seakan bisa mati jika melewatkan hal ini. Ketakutan itu sangat menyiksa dan terus saja menghantuinya.
Bola mata Sastra tidak berhasil menyembunyikan ketakutan itu. Bersama rasa takutnya, ia sampai di rumah sakit. Hanya untuk dia. Cintanya yang telah hilang dan belum sempat ia temui. Hal yang paling penting dibanding segalanya. Cinta itu harus ada dalam genggamannya agar ia bisa meletakkannya di tempat yang sesuai.
Sebelumnya #CerpenKita #4 COME BACK TIME | Episode 3 | |
Selanjutnya #CerpenKita #5 COME ON | Episode 2 | |
#Cerpen P.N.Z. | |
… | Episode 1 … | Episode 2 Kamu | Episode 3 Inong | Episode 4 Untuk | Episode 5 Negara | Episode 6 Pikir | Episode 7 Among | Episode 8 Menginjak | Episode 9 Pergi | Episode 10 | |
#CerpenKita #2 Ini Aku | Episode 1 Mulai | Episode 2 … | Episode 3 Pola | Episode 4 Sesuai | Episode 5 Timbangan | Episode 6 Produksi-Konsumen | Episode 7 Bahan Berani | Episode 8 Baru | Episode 9 Aku Berbeda | Episode 10 Waktu Adalah Prajuritnya | Episode 11 Baru | Episode 12 Wanita dan Perempuan | Episode 13 | |
#CerpenKita #3 BEBAS | Episode 1 KETUKAN PETIR | Episode 2 ARENA BAJINGAN | Episode 3 | |
#CerpenKita #4 MEET | Episode 1 LEAVE | Episode 2 COME BACK TIME | Episode 3 | |
#CerpenKita #5 SURE | Episode 1 COME ON | Episode 2 TIME BE OVERDUE | Episode 3 |
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.