Sebelumnya
#CerpenKita #5
COME ON | Episode 2
Pernikahan yang digelar menggerakkan hatinya untuk menghabiskan malam dengan menikmati bulan dan bintang yang tengah menghiasi langit. Udara dingin yang terus menerpa, mengalahkan suasana hangat antara Brian dan Sastra. Gadis yang berhasil menyita perhatiannya.
“Sastra, boleh aku bicara sesuatu?” tanya Brian. Terpampang kecemasajan di wajahnya.
“Bicara aja. Bukannya dari tadi kamu emang udah bicara, ya?” gurau Sastra.
“Sebenarnya aku juga seorang muallaf,” aku Brian.
“Oh, ya? Kenapa baru cerita?” tanya Sastra agak terkejut dengan pengakuan tersebut.
“Biar kamu kaget,” balas Brian dengan senyum lebar.
“Kamu balas dendam ya sama aku?” Sastra menyipitkan matanya menatap kekasihnya itu.
“Nah, itu pinter,” balas Brian dengan senyum emenangan.
“Kamu tuh, ya,” dengus Satra pura-pura kesal.
“Kamu juga gitu, kan,” timpal Brian lagi. Memotong ucapan Sastra yang mengarahkan jemari lentiknya ke arah dada bidang Brian dan laki-laki itu menangkapnya dengan cepat. Menelangkupkan telapak tangannya di atas telapak tangan Sastra.
Suasana malam itu berubah sunyi. Hanya desiran angin malam yang bersuara. Menerpa kedua pipi mereka, membelai rambut panjang dan menggelitik bulu mata lentik Sastra. Kedua napas yang berderu dengan angin malam membentuk irama harmonis yang begitu menenangkan. Brian dan Sastra yang terdiam dan hanya saling tatap sudah cukup untuk menjadi awal pembicaraan mereka. Tanda keinginan keduanya pada situasi tertentu.
“Maafin aku,” ucap Brian memecah keheningan.
Sastra membalasnya dengan seulas senyum. Senyuman yang begitu menyejukkan. Tatapan matanya yang bulat mampu mendamaikan Brian.
“Pasti sulit kan, mendapatkan aku?” tanya Brian lemah.
“Begitulah.”
“Aku serakah, ya? Seharusnya aku bisa ada di samping kamu di saat sulit seperti itu. Bukan hanya menerima bagaimana jadinya.” Brian tersenyum getir.
Sastra menggeleng cepat. Kedua telapak tangannya yang sedari tadi berada di dalam genggaman Brian seketika terlepas dan berpindah ke tempat yang sesuai dengan posisi itu. Kedua pipi Brian. Semua jari letiknya menangkup wajah Brian yang tengah menunduk. Tak lama dari itu, Brian meraih kembali kedua telapak tangan itu. Meletakkannya di antara hidung dan bibirnya. Menciumnya berulang kali dengan air mata yang berurai.
“Kamu bukan serakah, tapi kamu mencintai aku. Bagaimana mungkin aku harus melepaskan orang yang mencintaiku? Bagaimana mungkin aku meninggalkan orang yang aku cintai? Brian, tatap aku,” pinta Sastra yang kembali memegang kedua pipi Brian dan membuat pandangan keduanya saling beradu.
“Dalam sebuah kehidupan, pasti harus ada yang dikorbankan. Kamu tahu, aku senang dengan keputusanku meski awalnya memang terasa sulit. Tapi kamu tahu, aku sudah memikirkan ini saat aku ada di Lebanon. Aku melihat kamu ada di dalam sholatku. Tatapanmu begitu damai dan bisa membuat aku terpikat. Aku tidak tahu kalau ini takdir. Yang aku tahu, takdir tidak akan bisa dirubah. Berbeda dengan nasib. Ada orang yang pernah bertanya padaku apa perbedaan antara takdir dan nasib. Di sanalah aku mengerti. Dan itu berwujud dalam diri kamu. Cintaku ke kamu,” terang Sastra dengan seulas senyum. Senyuman yang penuh kelegaan.
Brian hanya bisa terdiam. Ia tak mampu berbicara apapun di depan Sastra. Jantungnya terasa hanyut bersama dengan aliran cerita Sastra. Suaranya berhasil menghangatkan Brian yang kedinginan.
“Apa kamu tahu konsekuensinya menjadi istriku?” tanya Brian.
Senyum Sastra kembali mengembang. “Aku tahu. Tapi itu tidak akan menjadi penghalang bagiku. Aku jutsru bangga karena suamiku bekerja untuk negara. Meskipun nantinya bisa saja aku akan melahirkan anakku tanpa kamu di sampingku, setidaknya aku bahagia karena itu hadiah dari kamu. Aku bahagia dengan pernikahan ini. Aku pernah berpikir kalau aku akan mati di tengah saham yang terus mengejariku agar aku mempertahankan mereka karena aku trauma dengan cintaku, dan karena aku terobsesi dengan dendamku kepada laki-laki brengsek yang sudah membodohi aku dengan cintanya. Tapi, tidak untuk sekarang. Aku meyakini cinta yang kita rajut bersama.”
Brian menghela napas lega. Ia tidak menyangka kalau Sastra akan menerimanya dan rela mengorbankan segala apa yang ia miliki untuk dirinya. Brian hanya bisa menatap gadis itu di bawah temaram rembulan.
“Oh ya, ngomong-ngomong aku diajakin mama kamu buat ikutan pengajian. Aku juga mutusin buat melepas perusahaan untuk dipimpin adikku. Setidaknya agar aku bisa ada di rumah saat kamu pulang dinas,” tutur Sastra.
“Kamu yakin mau melepaskan perusahaan? Bukankah tu mimpi kamu?” kening Brian mengkerut menatap Sastra.
“Itu memang mimpiku. Dulu. Mimpiku terhenti saat aku memutuskan untuk menjatuhkan hatiku kepadamu. Aku sadar kalau mimpiku yang sebenarnya adalah menjadi ibu untuk anakmu. Anak kita. Dan tentu saja menjadi istrimu.”
“Aku berhutang banyak pada kamu. Dulu, aku juga pernah berpikir kalau aku tidak pantas untuk mendapatkan cinta, karena aku berpikir jika semua perempuan pasti akan takut memiliki pasangan yang kemanapun membawa senjata api. Semua perempuan yang pernah menjadi masa laluku tidak sanggup menerimaku karena profesi yang aku jalani. Mereka tidak ingin memahaminya. Entah apa yang membawaku kemari dan bertemu denganmu hingga aku mengambil langkah sebesar ini. Ya… katakanlah itu takdir.” Brian menatap Sastra lekat-lekat.
“Menjalin hubungan dengan kamu membuat aku mengerti bagaimana rasanya diabaikan. Bagaimana rasanya dicampakkan karena egoisme. Tapi, mengenal kamu juga mengajarkan aku untuk memahami kalau hati juga butuh dilindungi, dijaga, dan juga dibalas dengan hati. Kamu tidak perlu bilang kalau kamu berhutang banyak padaku, karena sesungguhnya yang berhutang banyak adalah aku,” sahut Sastra yang kembali membelai lembut pipi Brian.
“Aku bersyukur karena mendapatkan calon istri berhati peri. Aku dulunya juga berpikir kalau kamu adalah gadis yang tamak dan tidak menyangka jika ternyata kamu selembut ini,” cengir Brian sambil membayangkan betapa menyeramkannya Sastra saat pertama kali mereka bertemu dulu.
Sastra berdecak kecil. Jemari lentiknya memukul pelan lengan kekar Brian. Senyuman centilnya mampu menghilangkan suasana sendu malam itu. Hanya sedikit waktu yang mereka miliki untuk bersama hingga keduanya tak mau melewatkannya hanya untuk sekedar bersenang-senang. Mereka juga melewatinya untuk saling memahami. Satu hal yang membuat mereka enggan untuk meninggalkan satu sama lain.
Setiap kebersamaan yang mereka lalui adalah sebuah kenangan yang indah. Tidak hanya kenangan, tapi sebuah hadiah yang begitu berharga bagi keduanya. Brian dan Sastra juga sadar jika cinta merupakan sesuatu yang abstrak. Tak dapat diraba, hanya bisa dimengerti dan dipahami serta dirasakan.
Jalannya kehidupan memang tak terduga. Terkadang pahit, tapi tekadang juga manis.. Tapi saat semuanya sudah bercampur aduk dan membentuk sebuah rasa yang sesuai, maka hidup akan terasa sempurna. Begitu pula dengan cinta. Cinta akan sempurna dengan ikatan pernikahan. Sebagai buktinya, cinta juga memberikan hadiah bagi yang menunaikannya dengan sempurna. Buah hati.
Kehidupan yang terus berputar dengan bermacam-macam rasa dapat membentuk sebuah cinta yang sempurna. Kisah yang dialami Brian dan Sastra merupakan sedikit gambaran tentang metamorfosis cinta.
***
-TAMAT-
Sebelumnya #CerpenKita #4 COME BACK TIME | Episode 3 | |
Selanjutnya #CerpenKita #5 COME ON | Episode 2 | |
#Cerpen P.N.Z. | |
… | Episode 1 … | Episode 2 Kamu | Episode 3 Inong | Episode 4 Untuk | Episode 5 Negara | Episode 6 Pikir | Episode 7 Among | Episode 8 Menginjak | Episode 9 Pergi | Episode 10 | |
#CerpenKita #2 Ini Aku | Episode 1 Mulai | Episode 2 … | Episode 3 Pola | Episode 4 Sesuai | Episode 5 Timbangan | Episode 6 Produksi-Konsumen | Episode 7 Bahan Berani | Episode 8 Baru | Episode 9 Aku Berbeda | Episode 10 Waktu Adalah Prajuritnya | Episode 11 Baru | Episode 12 Wanita dan Perempuan | Episode 13 | |
#CerpenKita #3 BEBAS | Episode 1 KETUKAN PETIR | Episode 2 ARENA BAJINGAN | Episode 3 | |
#CerpenKita #4 MEET | Episode 1 LEAVE | Episode 2 COME BACK TIME | Episode 3 | |
#CerpenKita #5 SURE | Episode 1 COME ON | Episode 2 TIME BE OVERDUE | Episode 3 |
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.