Perpisahan Tanpa Salah

Mata bulatnya menatap ke arah ponselnya dengan tatapannya yang tajam. Sudut bibirnya tersenyum miring setelah mengingat kejadian yang baru saja berhasil menguras emosinya. Emosi yang selalu menjadi keputusan penggal untuknya. Satu keputusan, yang tidak dapat dikembalikan dengan apapun itu. Baginya, keputusannya adalah hal yang mutlak. Tidak dapat dibentuk kembali, atau dirubah.

Yah.. dirinya. Dia, gadis dengan bola mata yang bulat, bibir yang mungil, dan wajahnya yang imut. Usianya yang menginjak dua puluh lima, tidak pernah terpancar di dalam wajahnya yang masih terlihat berumur tujuh belas tahun. Dia, Sastra Binara. Dia yang berdiri di atas kokohnya perusahaan pencakar langit. Dengan seluruh kekuasaan yang menjadi genganggamannya, adalah bentuk langkah besarnya.

“Permisi,” ucap salah satu pegawainya setelah mengetuk pintu dengan sopan. Sastra yang tengah terfokus memandang ponsel tersebut, seketika terpecah dengan ketukan pintu itu.

“Masuk!” ucapnya singkat.

“Awas minggir!” ucapnya kasar dengan tergesa saat seseorang di balik pegawainya.

Sastra yang tengah terduduk tenang, tetap tenang seraya menunggu kehadiran seseorang yang sudah pasti akan menjadi sosok dan tokoh dimana ia akan memaki Sastra. Gadis itu. Dengan senyuman konyolnya, Sastra memijat pelipisnya. Dimana gadis yang selalu menakuti para pegawainya dengan tatapannya yang dingin dan ucapannya yang ketus serta bawaannya yang tenang, menjadi titik dan tolak ukur keanggunannya.

“Eh gila!!!” ucapnya dengan menjitak kepala Sastra.

“Aw!” desis Sastra dengan menyuruh pegawainya pergi dari ruangannya. Mengingat, tamu gilanya sudah bertemu dengannya.

“Lo gila apa bersikap seperti itu ke dia? Sastra! Seharusnya lo jaga dia baik-baik!!!” ucap sahabatnya dengan pakaian rumah sakitnya yang masih lengkap.

“Bau lo amis baget bego!” decah Sastra saat gadis gila yang tengah menyergapnya membuka jas Dokternya.

Yah.. dia. Gadis gila yang tengah menghampirinya adalah sahabatnya. Sahabat sinting dan gila yang akan menjadi sekarat seperti saat ini adalah dia. Diandra Graceina. Lebih tepatnya, Diandra.

“Lo ke sini nggak ninggal pasien di ruang operasi, kan?!!” tanya Sastra masih tetap dengan posisinya. Dimana jarinya menutup hidungnya. Aroma obat-obatan dan bau amis, sangat menyengat.

“Serah lo, deh! Sekarang gue mau bicara sama lo! Duduk yang bener kenapa sih?! Lo tuh nggak ada anggun-anggunnya tahu!!!” oceh Diandra.

“Perasaan, lo dari tadi udah ngomong deh,” nyata Sastra yang mana berhasil membuat Diandra semakin menggila dengan kemarahannya.

Karena kesal, Diandrapun meminum air putih yang ada di meja Sastra. Air putih yang seharusnya masuk ke tenggorokan CEO muda itu, harus lenyap ditelan seorang dokter bedah yang tengah menggila di ruangan kerja orang lain.

“Sas, dengerin gue. Lo tuh…” ucapnya terputus saat ia tidak tahu harus berbicara bagaimana lagi.

“Apaan? Lo mau ngomong apaan, Ndra?” tanya Sastra dengan memencet tombol telfon yang ada di sofa ruangan kerjanya. Memesan coklat dingin, dengan harapan sahabatnya yang tengah menggila dapat meredam amarahnya yang entah mengapa.

“Sas, sesekali lo dengerin gue kenapa sih?” tanya Diandra.

“Gue udah dari tadi kali dengerin lo. Lonya malah nggak ngomong-ngomong. Justru marah-marah nggak jelas lagi,” ucap Sastra.

Diandra justru mengembang kempiskan hidungnya itu. Ia juga tak henti-hentinya mengambil nafas beratnya, kemudian mengepalkan kedua tangannya yang terus berusaha untuk menoyor Sastra namun tak bisa. Melihat tingkah laku Diandra, Sastra hanya terdiam. Ia justru menahan tawanya melihat tingkah konyol sahabatnya itu.

“Lo kenapa, hah? Habis kena kutukan malinkundang? Gue nggak mau tanggung jawab nih, yang ngutuk bukan gue,” jelas Sastra dengan kekehan ringannya.

Diandra yang kesal, namun tak dapat melontarkan kekesalannya, hanya bisa mengembang kempiskan hidung mancungnya. Hingga ia tak mampu menahannya, dan membuat dirinya menggebrak meja. Sastra yang terkekeh seketika menghentikan kekehannya dan menatap Diandra dengan belalakan kedua bola matanya.

“Gue tuh sebel banget tahu nggak sih sama lo! Lo tuh sampai kapan kayak gini terus? Ketawa-ketawa sendiri, kayak orang bego. Lo tuh seharusnya nangis!” ucapnya dengan menunjuk-nunjuk Sastra seolah ia sangat membenci Sastra.

“Tch!” ucap Sastra berdecak kesal. Ia memalingkan wajahnya seraya tersenyum miring. Kemudian, kembali menatap kedua bola mata Diandra yang mengobarkan kobaran api. Di sana, juga terlihat betapa ia menangis merintih daam balutan amarahnya. Yang Sastra yakini, ia tahu semuanya.

Sastra mengalihkan pandangannya saat terdengar ketukan pintu. Sastra menyerukan agar seorang yang tengah mengetuk pintu masuk ke dalam. Dan benar dugaannya, OB yang tengah mengantarkan coklat dingin untuknya dan Diandra. Sastra beranjak dari kursi kekuasannya. Ia berjalan ke arah sofa mengiringi OB yang meletakkan minuman pesanannya di sana sesuai dengan perintahnya.

“Permisi,” ucap OB itu dengan melangkahkan mundur kakinya.

Sastra hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia duduk di atas sofanya, setelah memastikan bahwa pintu ruangannya tertutup dengan benar. Sastra meraih cangkir yang telah mengembun itu. Ia, menyesap coklat dingin itu seraya memejamkan kedua bola matanya. Merasakan sesuatu, yang menjadi usahanya untuk melupakan sesuatu.

“Sas, sampai kapan lo akan diam? Dia membutuhkan jawaban itu,” ucap Diandra melemah.

Sastra membuka kedua bola matanya. Ia kembali menatap Diandra yang tengah duduk di depannya. Entah mulai kapan, yang pasti Sastra dapat memastikan sebuah tatapan. Tatapan itu menyorot kesakitan, meski ia tahu tak seharusnya Diandra yang merasakan. Patut saja, karena mereka sahabatan.

“Sastra… dengerin gue,” ucapnya seraya mengetuk meja kaca sebagai penanda.

“Gue udah dengerin lo, Ndra dari tadi. Gue diem karena gue nggak tahu harus gimana? Gue nggak tahu kenapa? Semuanya berasa nyata. Gue berharap ini mimpi,” jelasnya.

“Emang salah dengan cinta? Nggak ada salahnya cinta hadir di dalam hidup lo. Kenapa lo meragukan cinta itu, Sas? Karena ada dua pilihan? Enggak. Lo salah. Karena, permasalahan keyakinan? Enggak juga. Cinta Cuma butuh dimengerti dan dipahami, bukan ditinggalin. Lo udah besar. Jangan bersikap seolah lo adalah anak kecil, yang masih belajar menyikapi cinta,” jelas Diandra panjang lebar.

“Cinta yang datang ke gue kali ini, beda Ndra. Cinta yang datang ke gue kali nggak bisa gue anggap remeh sebagaimana gue menyikapi kedatangan cinta-cinta yang lainnya. Bagi gue, cinta ini begitu rumit. Sampai gue nggak tahu harus kayak gimana?”

“Sastra, setidaknya lo nggak ngediemin dia. Laki-laki lo, yang udah nunggu jawaban dari lo. Laki-laki, yang lagi sekarat pengen tahu kata-kata yang terucap dari mulut lo. Ayolah. Semalem gue bilang sama Dirga. Dan dia juga bilang sama gue, kalau dia aja akan gila misalkan dia ada di posisi Brian. Tipe laki-laki kita sama, Sas. Hanya saja, laki-laki kita beda matras, Sastra.”

“Gue tahu.. tapi gue…”

“Tapi gue bingung gimana caranya buat bilang?” tanya Diandra setelah ia membaca raut wajah Sastra.

“Hmmmmmm,” ucap Sastra menganggukkan kepalanya.

Diandra berdecak. Kemudian ia menatap Sastra, yang memasang wajah bodohnya. Ia juga tengah memasang wajah yang bersalah, dan itu membuat Diandra bersikap bodoh juga. Ia terkekeh ringan dengan sikap Sastra yang bodoh. Ia juga tak menyangka sahabatnya menjadi seseorang yang gila dalam urusan cinta. Bahkan sangat gila.

Sepi. Tak ada satupun dari mereka yang bersuara. Hingga akhirnya, Diandra mengeluarkan ponsel dari saku seragam ruang operasinya. Ia menekan beberapa tombol. Sambil menunggu, ia meraih bulpoin yang tengah menempel indah di jas Sastra. Tentu saja, jas yang tengah dikenakan oleh Sastra.

By : STIL

Tak hanya itu, Diandra juga meraih kertas yang ada di meja samping Sastra. Terletak pada samping telepon kantor yang biasa digunakan untuk menghubungkan dirinya dengan orang-orang sekitarnya.

“Lo baca tulisan ini, saat panggilan udah tersambung,” ucap Diandra tanpa melihat ke arah Sastra dan sibuk dengan tulisannya.

“Rangkaian kata lo lebih bagus gue kali. Kalau enggak gitu, nggak mungkin gue bisa jadi CEO di perusahaan ini kalau karya tulisan gue buruk,” ucap Sastra saat ia tahu bahwa Diandra menyuruhnya untuk melakukan hal bodoh dan konyol layaknya anak kecil.

Diandra menghiraukan hal itu. Namun, tak lagi saat Sastra mengambil ponsel itu dari tangannya. Memutus panggilan yang sengaja ia sambungkan agar Sastra dapat berbicara dengan Brian.

“Gue punya cara sendiri untuk berbicara dengan Brian. Perpisahan gue memang tanpa sebuah alasan. Bukan pula tanpa ada kesalahan. Tak pantas untuk dikatakan sebagai sebuah perpisahan. Karena tak adalah permasalahan yang berapi dari kesalahan. Hanya saja, waktu yang tepat belum berjalan.”

“Gue tahu lo sahabat yang baik. Gue juga tahu kalau lo adalah sosok yang mengharapkan hubungan gue dengan Brian baik-baik saja. Tapi dalam sebuah hubungan nggak akan terpungkiri bagaimana badai mendera. Permasalahan pasti ada. Gue tahu, lo sayang sama gue. Tapi ini adalah hidup gue. Ada cara-cara tersendiri dimana gue menyelesaikan masalah gue. Nggak ada masalah kalau lo memperingatkan gue, karena lo kenal bagaimana gue. Tapi jangan halangi atau bahkan melarang gue menggunakan cara gue sendiri. Karena gue tahu, mana yang terbaik bagi gue,” lanjut Sastra menjelaskan.

Diandra terdiam saat ia menatap sahabatnya yang telah usai menjelaskan bagaimana maunya. Ia melihat sorot ketenangan di wajahnya. Sepintar apapun Diandra membaca gerakan lawan bicaranya, ia tidak akan bisa membaca Sastra sepenuhnya. Gadis itu sudah terbiasa berbohong bersama keadaan. Dimana waktu terus saja mendukungnya.

Helaan nafas berat, terdengar begitu jelas di ruangan sunyi itu. Diandra yang ragu, mulai percaya saat ia mengamati sorot mata Sastra. Mungkin benar apa yang dikatakan Sastra. Permasalahan ini adalah bagian dari hidupnya. Ia memang seorang sahabat untuk Sastra. Tapi bukan berarti ia berhak mengatur apa yang dilakukan Sastra. Dari sana ia tahu, kekhawatiran dan ketakutannya, membuat ia buta arah akan sebuah langkah.

Comments

Tinggalkan Balasan