DIMENSI

-Untukmu yang telah hadir dan menjagaku. Kesabaran dan ikhlasmu, adalah permata dan mutiara bagiku. Tak perlu takut aku pergi, karena dirikupun lebih takut kau pergi. Ketahuilah, Kau… adalah ketakutan terbesarku-

P.N.Z

Lantunan melodi yang mengalun dengan indah seperti bunga gelombang cinta. Segar merekah dengan embun setelah panas dan hujan. Dan, terbit terang seindah pelangi. Membias cahaya, melengkung dengan indah, bersama dengan kabut awan. Bergerak, seraya mengikuti putaran mentari yang mulai menampakkan dirinya. Di langit itu, kota pelajar ia memijakkan kakinya. Satu kata yang selalu terucap dari bibir mungilnya, kota ini akan menjadi saksi dimana aku berlari dalam diamku.

“Felly!!!” panggil seseorang saat gadis itu tengah berokus dengan lensa kamera yang ia pegang.

Berhenti menatap objek yang tengah menjadi sasarannya. Objek yang manjdi titik pusat kota dimana tempat yang menjadi saksi bisu itu. Seibisu langkahnya, dan dirinya yang sudah entah harus melangkah kemana. Kedua bola matanya tak berkedip sebagaimana layaknya. Terkesiap bersama dengan angin, terbentak dalam debaran jantung yang terus berpacuk setelah gendang telinganya menangkap suara itu. 

“Fel…ly…,” panggilnya ragu seraya memegang kedua pundak Felly yang tak kunjung menolehkan kepalanya ke arah belakang.

Diam. Sunyi. Senyap. Sepi. Dan, dingin yang mendera sekujur tubuhnya. Setitik rintik hujan membasahi pias wajahnya. Wajah yang ada dalam majalah fhasion, hingga majalah barang-barang branding lainnya.

“Kenapa kamua ada di sini?” tanya orang itu.

“Maaf kalau kita dipertemukan. Permisi,” ucap Felly saat sudah tak mampu membendung degub jantungnya yang terus berpacu dengan begitu cepat. Hingga ia memutuskan untuk pergi meninggalkan orang yang tengah ada depannya. Rio.

“Felly, bentar dulu! Ada yang perlu gue bicarakan sama lo,” ucapnya singkat dengan melepaskan telapak tangannya yang masih siap sedia di atas pundak Felly setelah Felly melirik ke arah telapak tangan kekar itu.

“Gue nggak punya waktu banyak, Ri. Sorry, gue harus pergi,” ucapnya singkat dengan tetap melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Rio.

Namun, sejenjang apapun kaki Felly, ia tidak akan bia mengalahkan kaki panjang Rio yang mengejar langkahnya. Begitu juga dengan jemari lentiknya. Sepintar apapun Felly menyembunyikan telapak tangannya, ia tidak akan dapat menyembunyikan telapak tangannya sekaligus jari lentiknya.

Satu kebiasaan sama yang biasa dilakukan oleh Arka. Laki-laki itu. Seketika langkahnya terhenti saat pikirannya terlintas nama itu. Yah… laki-laki itu. Arka. Arkana Aditya. Felly membalikkan tubuhnya, ia mendapat Rio yang menghentikan langkahnya seketika saat jarak kakinya sudah mulai mendekati kaki Felly.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Felly seketika.

Rio yang hendak berbicara, seketika ia terdiam dan menjawab pertanyaan Felly dengan memberikan isyarat melalui  kedua bola matanya. Fellypun melangkahkan kakinya. Mengikuti langkah Rio. Berjalan melewai jalanan kota, masuk ke dalam lorong yang panjang, kemudian terus berada di sebuah tempat yang jauh dari keramaian.

Felly menatap pintu itu dengan bergidik ngeri. Pintu yang terlihat telah menua, hingga membuat dirinya menatap pintu itu dengan wajah ketakutan. Akan tetapi, Rio menenangkan dirinya dengan menatap kedua mata Felly. Memegang kedua bahu Felly, dan memberikan isyarat agar Felly tidak takut.

“Ketakutan lo akan berubah menjadi tangisan darah, Fel,” gumam Ro saat Felly sudah melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam tempat itu.

Di sana, ia mendapati perabotan kuno. Seperti, sebuah perabotan mahal yang dibeli di museum. Banyak pertanyaan di dalam benak Felly. Langkah Felly terlihat ragu-ragu. Berulang kali, ia menolehkan kepalanya ke belakang. Melihat Rio yang masih terlihat begitu satai emmasuki bangunan ini. Seolah, ia terbiasa dengan suasana bangunan ini.

“Silahkan duduk, Fel.”

Felly yang mendengar ucapan itu di tengah kesunyian ruangan itu, menuruti apa yang diinginkan oleh Rio. Duduk di atas kursi kuno, dan terkesan antara ruang tamu dan ruang kerja. Seperti sebuah ruangan yang multifungsi.

Terdengar kucuran air dari sebuah ceret. Felly yang tadinya fokus dengan memperhatikan langit-langit ruangan itu, teralihkan seketika saat ia melihat Rio tidak ada di tempat semula danmendengar kucuran air. Akan tetapi, tak lama kemudian Rio keluar dari balik ruangan seraya membawa minuman. Terhidup aroma kopi yang khas. Italy.

By : Steve Harvey

Felly menaikkan sebelah alisnya. Terheran dengan aroma kopi itu. Darimana Rio mendapatkan kopi Italy saat ia berada di Indonesia. Dan kenapa Rio tinggal di tempat yang menyeramkan seperti ini. Sungguh sesuatu yang tidak bisa dibayangkan. Karena Felly, mengenal Rio adalah tipikal sosok yang sama dengan Arka. Seleranyapun sama dengan Arka. Laki-laki, yang berhasil membuatnya jatuh cinta dan ada pada keputusan yang sama.

“Nggak kaget kali, Fel kenapa gue bisa punya kopi Italy? Seorang fotografer nggk mungkin akan menetap di satu negara. Begitu juga dengan lo, kan? Buktinya lo tahu darimana kalau ini adalah kopi Italy kalau lo aja nggk pernah ke sana sendiri?” nyata Rio dengan meletakkan nampan itu.

Bukannya duduk, Rio justru melangkahkan kakinya menjauh dari Felly. Langkahnya mendekati rak buku yang tak jauh dari sana. Kemudian, melihatRio mengambil sebuah buku yang tebal layaknya kitab injil, dan membawanya ke Felly.

“Gue mau jujur sesuatu sama lo. Sebenarnya….”

Katanya yang terputus, membuat Felly yang hendak meminum kopi itu hanya berhenti menunggu keputusan Rio.

“Lo minum aja deh, Fel.”

“Lo mau ngomong apa sih? Aneh banget?” tanya Felly dengan meminum kopi itu. Kemudian meletakkannya ke tempat semula.

“Ikut gue sekarang. Ada yang perlu gue omongin ke lo,” ucapnya seraya beranjak dari tempat duduknya. 

Dengan cepat, Felly mengikuti langkah Rio. Dan, lagi-lagi memasuki suatu ruangan. Terlihat sosok yang terbaring di sana. Felly menyipitkan kedua bola matanya. Berusaha melihat sosok yang tertutup dengan plastik.

“Dia kenapa? Dan siapa?” tanya Felly ringan.

“Arka.”

“Maksudnya?” tanya Felly seketika dengan menaikkan sebelah alisnya,

“Arka, masih hidup.”

“Maksudnya?” tanya Felly dengan menaikkan kedua alisnya dan menegakkan duduknya.

“Selama ini, yang chattingan sama lo sebenernya bukan Arka, Fel. Tapi, gue.”

“Nggak.. Nggak… ini nggak mungkin. Maksudnya… maksudnya, gimana Rio?!!!” bentak Felly.

“Tenang dulu, Fel. Gue akan jelasin semuanya ke, lo. Kenapa gue nggak mau nemuin lo waktu itu di Italy. Itu bukan Arka yang chat. Tapi gue. Begitu juga dengan permintaan lo saat berada di Paris dan New York. Gue nggak mau nemuin lo karena gue bukan Arka. Gue Rio.”

“Masalahnya Arka sekarang dimana? Kenapa harus lo yang pegang ponsel dia? Kenapa bukan Arka sendiri? Kenapa.. kenapa… Rio…,” panggilnya lemas saat ia tak mampu menompang penjelasan Rio.

“Arka di situ, Felly. Dia di sana menunggu, lo.”

“Nggak, nggak mungkin.. ini.. ini.. ini semua nggak masuk akal Rio!!!” bentak Felly otaknya mulai berjalan.

Ia kembali mengingat dimana pada saat itu, Arka tidak pernah mau mengangkat telfon darinya. Baik vedeo call, ataupun bertemu. Semuanya logis. Sangat logis. Tapi alasan mengapa demikian? Semua itu masih semu dan abu-abu.

“Sebelum Arka terbaring di sini, dia selalu berpesan kalau jangan sampai dia lost contact sama lo. Maka dari itu, gue ngakalin caranya gimana? Dia nggak mau lo kawatir. Makanya dia nggak bilang apapun ke lo. Tapi lo tahu, setiap malam Arka selalu kejang saat gue lupa untuk chat dan melakukan kebiasaan Arka. Seolah dia mengawasi gue di tengah sakitnya. Arka terbaring kayak gini karena kecelakaan pesawat saat hendak ke New York. Dia sengaja gue rawat di sini karena gue nggak mau Arka kehilangan segalanya.”

”Maksudnya?” tanya Felly masih tidak mengerti.

“Buku ini, adalah buku keluarga Arka. Dia memiliki saudara tiri. Apabila cap jari Arka didapatkan oleh saudara tirinya, seluruh perusahaan dan asetnya akan menjadi milik saudara tirinya, dan ia akan mengubah atas namanya. Felly, alasan gue nggk bisa terus bersembunyi karena gue tahu, Arka membutuhkan lo di sini. Tempat ini adalah tempat rahasia. Hanya gue dan Arka yang tahu. Dan, lo untuk saat ini, dia…”

Felly  sudah tak berminat mendengarkan bagaimana penjelasan Rio. Ia memilih untuk berjalan dan berlari ke arah Arka. Mendekat ke sana. Menyingkap korden plastik yang mengisolasi lelakinya. Laki-laki yang berani membuat dirinya berkomitmen dengan cinta.

“Kenapa kamu melakukan ini, Ka? Seburuk itukah aku untuk di samping kamu? Yang aku cintai bukan Rio. Tapi kamu, Ka. Plis bangun, Arka. Kumohon,” ucap Felly dengan tangisannya yang mulai memecah.

Berulangkali Felly mendesah menyebut nama Arka. Seperti sebuah doa yang terpanjat, untuk sengaja memanggil Arka. Seperti sebuah harapan doa, dimana ia dapat kembali berjalan dengan lelakinya. Sampai tiba saat dimana Rio, memberikan secarik kertas, dan juga sebuah buku agenda yang memang kusus diberikan kepada Felly.

Rangkaian kata itu tersusun dengan rapi. Felly memahami kata perkata, dengan kucuran air matanya yang terus bertumpah ruah. Sampai tiba dimana, Felly beranjak dari tempat duduk itu. Mengusap air matanya. Mengecup kening Arka, dan melangkah pergi meninggalkan bangunan itu.

Felly yang terjatuh karena kondisi Arka, Felly yang tak mampu lagi mengingat masa dimana ia bersama Arka, Felly yang menginginkan satu harapannya kembali dengan mempermainkan ambisi. Sungguh satu layanan kecil, saat ia berada di atas panggung yang sesungguhnya. Mengaum layaknya singa liar, dan menuntut kembali hak yang seharusnya ia dapat. Mengukir kembali masa bersama dengan Arka, dan membangunkan Arka dengan paksa. Dialah, Felly Anggi Wiraatmaja.

Selanjutnya
#CerpenKita #…
… | Episode 1

Sebelumnya
#CerpenKita #…
… | Episode 1

#Cerpen P.N.Z.
#CerpenKita #6
TERPENDAM | Episode 1
ASK ABOUT IT | Episode 2
REASON | Episode 3
#CerpenKita #7
DEFENSE | Episode 1
KALAP | Episode 2
BEAUTY NIGHT | Episode 3

Comments

Leave a Reply