ONE

“Fel! Lo ada dimana sekarang?,” tanya seseorang dengan nada kawatirnya.

Felly menjauhkan telinganya. Ia melihat layar ponselnya. Benar. Sahabat berisiknya. Bram. Lebih tepatnya, Bram Salesvegas. Sahabat sekaligus rekan kerjanya. Ah tidak hanya itu saja, Bram termasuk ke dalam list orang-orang yang ada di sekitar Felly, dimana orang itu sangat gemar membuat onar dan berisik saat berada di studio musik, maupun luar studio.

“Apaan sih? Gue baru landing!,” ucap Felly jutek.

“Lo cepetan dateng ke kampus bego! Udah telat lima belas menit masih santai-santai?! Dasar gila ini anak!,” ucapnya tanpa spasi.

Fellypun memutus sambungan telfonnya. Kerutan di dahinya dan decahan ringan yang keluar dari sudut bibirnya menunjukkan betapa sebalnya ia dengan Bram yang begitu berisik saat berada di telfon. Felly menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia melihat betapa terlambatnya ia. Akan tetapi, bagaimana lagi, semua itu sudah menjadi hal yang tak lazim apabila pesawat harus berhenti di beberapa tempat untuk mengamankan penumpangnya.

Tanpa berpikir panjang, Fellypun mengambil alih rencana jam terbangnya. Yang semula ia menunggu mobil pribadi menjemputnya, Felly memilih untuk memanggil taksi agar ia tidak terlalu lama larut dalam ketelatannya. Perlengkapan yang harus ia bawa. Jelas saja tidak ada sama sekali. Jadwal kelas terakhirnya di New York tidak memungkinkan ia menyiapkan perlengkapan macam itu. Bagaimana bisa? Jika Felly selama satu harian full dengan durasi tidur selama satu jam saja, ia bisa menyiapkan perlengkapan kecilnya.

“Kamu telat?!,” ucap seseorang dengan garangnya.

“Ya!,” ucap Felly ketus. Bukan Felly jika ia mengucapkan hal terlembut kepada seseorang. Terutama kepada seorang laki-laki. Yang ada, ia akan menjadi buronan apabila ia bersikap terlalu lembut.

“Namamu siapa?!,” ucap orang itu kasar dengan menatap Felly garang. Seolah ia berusaha membuat Felly takut. Namun, semua itu salah. Felly tidak menundukkan kepalanya sama sekali. Ia justru membalas tatapan orang itu. Bola matanya yang tajam, melihat name tag yang ada di dadanya. Leo. Leonard. Itulah namanya.

“Wira,” jawab Felly berbohong.

“Habis ini kamu menghadap saya! Sana duduk dan cari kelompok gugusmu!,” ucapnya kasar.

Felly tidak menjawab. Melainkan, ia langsung pergi tanpa memberikan hormat terlebih dahulu. Sampai akhirnya, ia kembali dipanggil oleh orang itu.

“Eh! Kamu nggak punya sopan santun?! Gue kakak kelas lo! Bukan temen sebaya lo!!!,” ucapnya membentak Felly.

Felly terdiam, matanya yang terkatup merasakan bentakan itu, mulai terbuka dan menatap orang itu. Yah.. mata tajam itu. Mata seekor singa menatap orang itu dengan tajam. Seolah siap memangsanya dan memasukkan ke dalam mulutnya dengan sekali lahap tanpa melumatnya terlebih dahulu.

“Kamu…. kamu… ngapain lihat saya seperti itu?,” tanyanya dengan nada yang mulai gemetaran.

“Felly! Felly!,” panggil seseorang dengan berbisik. Tapi masih bisa di dengar oleh Felly. Bram. Yah.. itu adalah suara milik Bram. Sejenak, Felly mengalihkan matanya ke arah Bram. Dan Felly mendapat kode agar ia mengakhiri tingkahnya. Tapi Felly menghiraukannya.

Tanpa mengucapkan apapun, Felly meraih jari telunjuk yang tengah mengarahnya. Ia memegangnya, kemudian menatap Leo dengan tajam. Seolah siap mematahkan jari telunjuknya.

“Kamu.. kamu.. kamu mau apa hah?!!!”

“Kak, wanita bukan untuk dibentak. Wanita, diciptakan untuk dilindungi! Jika memang dia salah, ingatkan dengan cara yang lebih lembut. Wanita, adalah bagian dari tulang rusukmu. Dia tidak memiliki pasangan siapapun selain kamu yang menjadi bagian tulang rusuknya! Dan ingat, jangan pernah memperingatkan wanita dengan cara menunjuk dirinya dan tatapan mata yang tajam dan suara bentakan yang keras! Paham?!,” ucapnya halus dengan penuh peringatan disetiap kalimatnya.

Hening. Yah.. itulah yang terjadi saat itu. Semua mata terkesima dengan adegan yang ada di sana. Bahkan, ada beberapa orang yang berbisik, siapakah gadis itu? Mengapa ia begitu berani dengan kakak kelas yang terkenal garang. Bahkan, semua siswa saja enggan untuk menyentuhnya atau sekedar berbicara dengannya.

Merasa jengah, Felly meninggalkan tempat dan kembali ke gugusnya tanpa ada rasa bersalah. Ia duduk dengan santainya, dan kembali mendengarkan intruksi yang sempat terhenti karena adegannya tadi. Kembali lagi, Felly Anggi Wiraatmaja. Ia, kembali hadir dengan sensasinya.

Sampai akhirnya, intruksi selesai. Banyak orang yang membicarakan dirinya. Bukan Felly jika ia menggubris apa yang ada di sekitarnya. Langkahnya terhenti saat ada seseorang yang menarik lengannya. Seketika, Felly menolehkan kepalanya. Senyuman cengir yang begitu menyebalkan. Bram.

“Lo ngapain sih bikin ulah mulu sama gue, hah?,” tanya Felly dengan sebalnya.

“Ih, lu aja yang sensi, Buk! Nih!!!,” ucapnya seraya memberikan selembar kertas.

Felly mengerutkan dahinya. Ia menatap ke arah Bram seolah, kenapa Bram menerima tawaran universitas agar mereka mau tampil di atas panggung yang tidak seharusnya Felly menerima itu semua.

“Fel, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Gue cuma mau ngingetin akan, posisi lo nggak akan selamanya bisa lo sembunyikan. Lagipula, ada beberapa temen gugus gue yang udah ngenalin lo. Gue tahu, kalau gue bukan seperti lo. Tapi setidaknya jujurlah aja dengan lingkungan sekitar lo mengenai siapa jati diri lo. Bangkai nggak selamanya bisa terkubur dalam tanah tanpa memberikan bau busuk Fel!,” ucap Bram  menasehati.

Diam. Felly hanya terdiam dengan seribu bahasa. Yah.. memang. Itulah kebiasaan Felly. Ia selalu menyembunyikan siapa dirinya saat ia tengah berada di lingkungan barunya. Indonesia. Negara yang telah lama ia tinggalkan demi mengasah kemampuannya di New York.

Selama ia kecil hingga sekarang, Felly mengambil studi di New York dan kembali ke negaranya dengan segala kesempurnaan kemampuannya.Tapi bagi Felly, kesempurnaan itu tidak akan pernah ada. Sehingga, ia akan merasa haus dengan kesempurnaan itu dan terus berusaha menyempurnakannya.

“Gue tinggal dulu, waktu istirahat tinggal dikit. Mending lo cepet-cepet makan. Lagipula, bentar lagi Billy sama Riska bakalan dateng. Dan gak baik juga kalau gue lama-lama di sini. Yang ada, gue semakin menambah radiasi posisi lo aja buat bikin ketahuan di khalayak publik,” jelas Bram dengan sengiran seraya ia menepuk pundak Felly.

“Tch! Dasar!,” decah Felly dengan senyuman miringnya. Sekaligus, senyumnya.

Yah.. senyuman yang jarang atau bahkan tidak pernah ia lakukan karena hal-hal sepele sekalipun. Felly melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti karena Bram. Langkah kakinya yang begitu elegan disertai dengan kibasan helai rambutnya, terlihat begitu indah. Tidak. Bukan indah. Melainkan, cantiknya ia, tidak terbayarkan dengan apa yang lakukan. Baginya, cantik itu relatif. Secantik apapun seseorang, apabila ia tidak berilmu, maka jangan pernah berkata bila ia cantik. Karena ilmu itulah yang membuat dirinya cantik.

By : Eaters Collective

Suasana kantin begitu ramai. Felly yang tengah sengaja duduk sendiri dan menikmati makanannya, seketika terganggu dengan tepukan di punggungnya. Ia memejamkan matanya. Bram. Dalam pikirannya, tidak ada orang yang sejail itu selain Bram. Seketika Felly menolehkan kepalanya. Mulutnya yang siap mengaum seperti singa lapar seketika menganga saat seseorang yang tidak ia kenali berada di belakangnya.

Senyuman. Sebuah senyuman. Felly hanya membalasnya dengan wajah datarnya. Kedua bola matanya yang tajam seolah berbicara siapa kamu? Dan hal itu, disadari oleh laki-laki itu. Laki-laki yang memakai seragam, sama dengan yang telah membentaknya tadi pagi. Leo. Felly melihat ke arah name-tage yang ada di dadanya. Tapi nihil. Rupanya laki-laki yang tengah ada di depannya telah melepaskan name-tagenya.

“Boleh saya duduk di sini?,” tanyanya saat melihat kursi kosong yang ada di samping tempat duduk Felly.

Felly hanya menganggukkan kepalanya pelan tanpa menjawab pertanyaan laki-laki itu. Ia juga ikut duduk setelah laki-laki itu duduk disampingnya. Tanpa menggubris sekaligus mengiraukan, Felly melanjutkan makan siangnya.

“Nama kamu siapa?,” tanya laki-laki itu santai. Tentu saja dengan senyuman.

“Wira!,” ucap Felly datang tanpa mengulurkan tangannya atau menerima uluran tangannya. Dari kejauhan, Felly mendengar gelak tawa Bram yang tahu kalau Felly merasa terganggu dengan kehadiran laki-laki yang ada disampingnya. Dan hal itu sudah berhasil mengundanag tatapan tajam Felly yang tertuju ke arah Bram. Akan tetapi, bukan Bram apabila ia harus takut dengan tatapan itu. Sudah menjadi lagu Felly mulai dari kecil apabila berhubungan dengan hal tersebut.

“Namamu bukannya Felly Anggi Wiraatmaja. Murid yang barus saja pindah dari New York, dan telat karena landing pesawat dan juga menunggu mobil pribadi di depan parking area bandara? Seorang penyanyi yang baru saja menggila di usianya yang genap delapan belas tahun? Gadis komposer termuda dan berhasil menjadi penggerak roda bisnis studio musik serta perekrutan album para musisi muda yang ada di bawah namamu? Hingga wajahmu terpampang di majalah bisnis Amerika?,” jelasnya detail dengan memperlihatkan majalah yang ia bawa.

Seketika Felly tersedak dengan makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Felly berlari terbirit untuk mengambil minuman hingga ia menerobos barisan yang mendapat cacian dari beberapa orang. Tapi saat ia tengah menatap orang yang mencacinya, seketika mereka terdiam. Tatapan itu begitu tajam. Sangat tajam. Tatapan yang seolah siap menguliti lawan matanya. Entah darimana asalnya, yang jelas mata itu sangat mirip dengan mendiang ayahnya. Reynaldy Harja Kusuma Wiraatmaja.

“Gimana rasanya berbohong? Enak?,” tanya laki-laki itu dengan suara bassnya.

Felly mendecah kesal dalam hati. Ia menghembuskan nafas beratnya. Sedangkan laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan, dan itu sangat menyebalkan. Yah.. senyuman yang sangat menyebalkan. Dalam detik itu juga, ia telah berhasil menyita perhatian Felly. Gadis yang jengah dengan keramaian dan haus akan kemenangan.

“Ikut gue!,” pintanya singkat.

Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan setelah mendapatkan apa yang ia mau. Dengan langkah cepat, ia mengikuti langkah Felly dan berjalan di belakangnya. Mengekor seolah tengah melindungi wanitanya dari godaan oang-orang sekitar yang tengah terpesona dengan Felly.

Bagaimana tidak? Postur tubuhnya begitu seksi, tinggi. Ditambah, penampilannya yang casual hari itu, memperlihatkan natural looking untuk Felly. Polesan make-up yang cheer-look dan glowing di area, kedua pipi dan dahinya, serta dagunya, tidak menunjukkan bahwa ia menggunakan make-up. Hiasan matanya yang hanya menggunakan mascara tipis tanpa menggunakan eye-shadow terlihat begitu natural layaknya wajah aslinya. Bibirnya yang mungil seksi, hanya menggunakan lip-ice di bibir dalamnya. Warna pinknyapun sangat natural.

“Mau lo apaan?,” tanya Felly to the point.

“Gue mau akses masuk!,” jelasnya singkat.

Felly mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh laki-laki yang ada di depannya. Sampai akhirnya, laki-laki itu mengeluarkan kertas kecil berwarna putih dengan tulisan hitam timbul di atasnya. Terdapat namanya. Yah.. sebuah kartu nama.

“Datang malam ini. Temui gue di hotel ini. Atau lo nggak akan tenang kuliah di sini, maupun di New York,” jelasnya dengan senyuman di sudut bibirnya.

“Tch!,” decah Felly dengan wajah sebalnya.

Laki-laki itu membalasnya dengan senyuman, kemudian meninggalkan Felly di sana. Felly membaca deretan kalimat di atas kertas putih itu. Liberty Company. Perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Setara dan sejenis dengan Unilever.

“Bagaimana bisa gue bertemu dengan orang semacam dia? Dan, kenapa dia nyasar pula ke negara yang sama. Sedangkan, gue sudah berusaha menghilang dari ini semua? Felly, Felly, nasib lo buruk banget!,” decahnya lelah seraya ia menghembuskan nafas beratnya.

Baginya, dunia artist, dan modelling sudah membosankan. Ia ingin mencari dunia yang baru. Tapi, kenapa ia harus kembali ke dunianya yang lama? New York dan Indonesia. Sama saja. Itulah yang dirasakan Felly saat itu.

“Lo ngagetin gue aja sih?!!!,” protes Felly saat ia mendapati seseorang yang tiba-tiba muncul di depannya. Dan hal tersebut membuat kepalanya terbentur dada bidang laki-laki itu. Sialan. Itulah satu kata yang ada di dalam hati Felly. Mewakili ucapannya yang penuh dengan kekesalannya.

“Lo lama amat sih di dalem? Ngapain aja?!,” tanyanya.

“Suka-suka gue dong gue mau ngapain?! Lagian, lo ngapain berdiri kek satpam di sini? Urusan kita usah kelar kale! Jadi mending lo pergi aja kenapa sih?! Lo tuh ganggu banget tahu!,” cercah Felly.

“Aish! Ternyata lu tuh banyak mulut juga ya?! Udah deh mendingan..”

“Hussshhh! Udah ah awas lo! Berisik banget sih!,” ucap Felly memutus pembicaraan dan meninggalkan laki-laki itu. Ia berjalan dengan raut wajahnya yang ditekuk. Tapi, spesialisasi yang dimiliki Felly. Kondisi apapun hatinya, kecantikannya tak pernah menghilang.

“Lo kenapa, Bro?!,” tanya seseorang.

“Enggak!,” jelasnya kesal.

“Lah?! Lo kenal sama itu cewek?! Nyebelin tahu! Tapi, lumayan lah! Dia cantik!,” ucap Leo kepada laki-laki itu.

Seketika laki-laki itu menatap tajam ke arah Leo. Seolah ia tidak mau kalau ada yang tertarik dengan Felly. Untuk pertama kalinya, Arkana Aditya merasakan kehilangan dengan suatu kata yang dapat dikatakan sebagai hal yang sepele.

“Lo suka sama dia? Cewek itu?! Sumpah demi apaan, Ka?! Jarang-jarang lo tertarik sama cewek?! Alhamdulillah.. akhirnya temen gue normal! Sumpah, gue takut lo tuh homo, Men!” ucapnya senang seraya menepuk lengan Arka.

“Lo mau gue apain, hah?!,” ucapnya sok garang.

“Yaelah! Biasa aja kale! Udah ih, makan! Gue laper banget tahu! Sumpah! Gue yakin, lo tadi makan juga cuman buat deketin dia! Sekarang, ayo makan dengan tenang! Gue nggak mau dapet ocehan dari bokap lo karena lo sakit lagi kek kemaren!,” pitanya dengan menggeret Arka untuk berjalan mengiringinya dan makan bersamanya.

Yah.. seperti itulah persahabatan mereka. Layaknya seorang saudara yang saling memperhatikan. Begitu pula dengan Arka yang bersikap berbeda kepada Felly. Karena pada hakikatnya, Arka menginginkan Felly menjadi miliknya.

“Jadi, gitu ceritanya awal kamu jatuh cinta sama aku?,” tanya Felly dengan imutnya.

“No, no! Saat kamu berbicara kepada Leo bahwa wanita diciptakan bukan untuk dibentak. Tapi dilindungi! Sampai di sana, aku sadar akan satu hal! Wanita adalah hal yang berharga. Kamu mengajarkan aku banyak hal, sayang. Dan hal itulah yang menjadikan aku yakin untuk menempuh masa depan bersama dengan kamu. Entah apa ini memang takdirnya atau bukan aku mencintai kamu? Tapi, mendapatkan kamu juga perlu usaha. Buktinya, aku harus menarik perhatian kamu dengan sikap menyebalkan. Awalnya aku takut kalau kamu nantinya akan menghindar. Tapi ternyata salah, dengan keyakinanku, aku bisa mendapatkan kamu meskipun trikku tergolong konyol.”

“So? Jadi niat kamu waktu itu memang sengaja pengen kenalan sama aku?,” tanya Felly memastikan.

Arka menganggukkan kepalanya. Karena posisinya yang meminum jus dan mengharusnya ia hanya berdehem, terlihat sangat lucu di mata Felly. Hingga Felly tak kuasa melihatnya dan mencubit kedua pipi Arka. Yah.. Arkana Aditya yang sekarang tengah menjadi calon suaminya.

Suatu cerita perkenalan masa lalu. Dimana perkenalan yang ada karena takdir, dan tercipta karena sebuah usaha. Saat semua orang bertanya mengenai tahta dan kepantasan mereka bersama karena kelebihan, semua itu justru hal yang salah. Mereka bersama karena mereka kagum dengan hal kecil yang mereka miliki.

Dan mereka, mau menerima kekurangan satu sama lain, untuk dilengkapi dan menjadi hal yang sempurna. Itulah yang menjadikan mereka bertahan. Tahta, harta, dan juga kelebihan, hanyalah salah satu sisi pelengkap saja. Karena pada dasarnya,  cinta yang mereka miliki adalah karena pribadi masing-masing yang terlihat begitu menarik hingga pantas untuk dimiliki dan disandang berdua.

Comments

Leave a Reply