Sebelumnya
#CerpenKita #4
MEET | Episode 1
“Di mana Dokter Diandra?” tanya Sastra dengan napas agak tersengal kepada resepsionis yang tengah santai memakan snack.
“Apakah anda sudah memiliki janji dengan beliau?” tanya resepsionis itu.
“Bilang saja kalau dia…,” ucapannya menggantung saat ada kepala perawat yang mengetahui keberadaan Sastra di sana dan memotong pembicaraan mereka berdua.
“Anda bisa langsung masuk ke lift tersebut. Di sana anda akan menemui pintu yang menghubungkan ruangan pribadi Dokter Diandra.”
Sastra mengangguk mantab. Dengan langkah tergesa-gesa ia memasuki lift khusus itu. Pada saat pintu terbuka, Sastra mendapati Diandra yang tengah berbincang dengan resepsionis yang ada di lantai itu.
“Diandra!” panggil Sastra.
“Lo? Cepat sekali?” timpal Diandra dengan senyuman di sudut bibirnya.
Sastra berusaha mengatur napasnya yang masih terengah-engah.
“Dan lo kelihatan kacau banget deh, Sas!” sambung Diandra.
“Ini semua gara-gara berkas yang lo kasih.”
“Baiklah. Kebetulan sekali aku sudah selesai operasi. Kamu beruntung, Sastra. Ikutlah denganku,” ajak Diandra.
Berjalan mengekor di bekalang Diandra adalah hal yang hanya bisa dilakukan oleh Sastra saat itu. Jika bukan karena perihal enam tahun silam, Sastra enggan untuk melakukannya.
“Bagaimana bisa semua ini bisa terkuak? Jawab gue, Diandra,” desak Sastra dengan suara gopohnya.
“Tenanglah. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Aku akan menjelaskan semuanya.”
“Baiklah.” Sastra berusaha menenangkan dirinya.
“Sebulan yang lalu, aku ke Australia untuk menjadi relawan di sana.” Diandra memulai ceritanya setelah OB menaruh dua gelas teh hangat untuk mereka berdua. “Aku juga ada keperluan dengan beberapa temanku yang terus menunggu kedatanganku untuk mengurus salah satu pasien VIP di sana. Kamu tahu, bagaimana spesialnya pelayanan pasien VIP yang seakan-akan menghalangi kehendak Tuhan untuk mengambilnya. Aku pergi ke ruang radiologi untuk memeriksa secara detail obat yang aku cari untuk menentukan operasi dan aku melihat sosok yang aku kenal. Namun, dari sikapnya, sepertinya dia bukan orang itu. Sampai akhirnya, aku menghampiri beberapa pegawai radiologi dan meminta berkas orang itu.”
“Jadi, dia masih hidup?” sahut Sastra serius saat Diandra menyesap teh panasnya.
“Tepat sekali. Lalu, saat berada di Bandara, aku bertemu dengan temanku. Saat kami sedang memgobrol, dia mendapatkan panggilan pesanan makanan. Aku mengenal suara itu, tapi wajahnya tertutupi tubuh temanku itu. Karena merasa penasaran, aku pun mendekat dan ternyata bukan dia. Tapi aku yakin kalau itu adalah dia. Jadi, aku hanya bisa memberikan berkas itu sebagai bukti kalau dia masih hidup.”
“Sampai sekarang seluruh orang-orangku belum menemukan di mana dia berada.”
“Sepertinya, keberadaannya memang sengaja dirahasiakan, Sastra. Apa kamu masih ingat kapan terakhir kali kalian bertemu dan apa yang kalian bicarakan?” tanya Diandra.
Sastra menyipitkan matanya lalu menunduk. “Dia hanya mengatakan kalau tidak akan pergi jauh-jauh dariku. Tapi nyatanya dia meninggalkanku dengan cara seperti ini. Membuat aku menganggap bahwa pertemuan indah itu adalah pertemuan terburukku.”
“Coba sambungkan dengan semua berkas yang aku berikan dan data yang kamu punya. Aku yakin, dia tidak akan jauh dari kita. Aku sarankan jangan menyuruh orang lain untuk mengambil alih ini semua. Tanganilah dengan tanganmu sendiri jika kamu memang menginginkan dia kembali. Aku tahu kalau jadwalmu sangatlah padat, tapi setidaknya kamu bisa menyelesaikan ini semua sendiri.”
Dengan anggukan kepala, Sastra menyesap teh yang masih mengepul. Matanya menerka sebuah kejadian di mana sebuah kemungkinan orang itu datang. Tapi semuanya terasa buntu. Sastra merasa semua usahanya sudah tak ada hasil dan membuktikan bahwa dirinya telah gagal untuk menemukan keberadaanya.
“By the way, sejak kapan lo nggak konsisten manggil gue, Ndra?” tanya Sastra kembali menyesap teh panasnya.
“Maksudnya?” Diandra mengerutkan kening.
“Nggak biasanya aja lo pakai kata aku-kamu kalau ngomong sama gue. Ada masalah?” tanya Sastra menyelidik.
Diandra menatapnya dengan was-was. Dan benar saja, sahabatnya itu masih mengenali dirinya. Sastra memang seorang individualis, tapi saat berada di samping orang-orang tercintanya, Sastra bukanlah orang yang patut untuk ditakuti, melainkan orang yang patut untuk dipeluk.
“Gue Sastra, bukan Fransisca.”
“Dasar. Emang lo pikir Fransisca nggak kayak lo? Kalian itu mirip. Beda bidang aja. Lagian lo tadi juga sempet pakai aku dan kamu juga.”
Sastra terkikik. “Seenggaknya gue nggak seseram dia yang pulang-pulang ngerusak labnya sendiri. Lo bayangin aja bahan kimia segitu banyaknya dan ada yang bersifat membakar jatuh ke mana-mana. Serem tahu.”
“Ada-ada aja.” Diandra menggeleng pelan.
“Lo beneran nggak mau curhat soal masalah lo itu?” tanya Sastra mulai serius.
“Gue takut, Sas.”
“Takut? Sejak kapan lo takut? Lo bedah orang aja nggak takut, kenapa sekarang sama gue takut? Emang wajah imut gue nyeremin, Ndra?” sahut Sastra setengah menggoda.
“Dasar. Mau dengerin nggak?”
“Iya-iya. Ada apa emang? Dia ngajakin lo nikah lagi?” tanya Sastra mengena.
Diandra mengangguk lemas. Matanya tak berani menatap mata bulat milik Sastra dan memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lemari berkas yang berisi data-data penyakit pasiennya.
“Seharusnya lo bersyukur saat ada laki-laki yang ngucapin itu dengan tatapan tulus. Bukan malah menghindar dengan alasan takut. Kalau dia udah janji bisa mengatasi ketakutan yang lo rasain, kenapa lagi lo harus takut?” Sastra menatap Diandra lekat-lekat.
“Gue takut kalau dia bakalan kayak punya lo, Sas.”
Seketika Sastra terdiam. Jantungnya serasa terhantam batu besar. Tubuhnya mendadak terasa lunglai. Sastra tidak menyangka, ternyata apa yang terjadi padanya bisa berdampak kepada sahabatnya. Sastra tidak tahu jika selama ini alasan Diandra melangkahkan kakinya untuk pergi adalah karena takut ditinggalkan.
“Kalau dia….”
“Dia sama seperti laki-laki lo, Sas. Perilakunya seolah nunjukin kalau dia bakalan ada buat gue. Lo bilang sendiri kan, kalau perilaku sudah bisa menunjukkan segalanya. Gue ngerasa posisi gue sekarang sama kayak lo dulu,” tutur Diandra.
“Ndra, dengerin gue. Nggak semua orang sama. Setiap orang punya takdir masing-masing. Oke, gue akui kalau gue punya takdir buruk tentang masalah ini. Tapi, lo bakalan senasib kayak gue pas ketemu cowok yang mirip sama…. ” Sastra menggigit bibir bagian bawahnya, lalu melanjutkan perkataannya. “Brian. Dia bukan Brian, Ndra. Dia Dirga. Please, jangan kayak gini. Apa lo nggak mikir gimana perasaan Dirga kalau dia tahu alasan lo sekonyol ini?”
“Tapi gue takut kalau semua yang gue kawatirin bakalan terjadi, Sas,” ucap Diandra gemetar.
Sastra mendekat ke arah Diandra. Memegang bahunya, berharap sahabatnya tidak menjadi perawan tua hanya karena rasa takut yang belum tentu terbukti. Ketakutan tidak akan pernah sirna apabila penderita tidak ada kemauan untuk melawannya.
“Gue ngerti gimana perasaan lo sekarang. Tapi sebelumnya gue nanya sama lo. Apakah hati lo ada di Dirga?” tanya Sastra.
Diandra menganggukkan kepalanya seraya menatap kedua bola mata Sastra.
“Turuti kata hati lo. Gue yakin, hati lo terus berbisik kalau lo pengen menjadi milik Dirga. Tapi ketakutan itu yang terus mendorong lo buat ngejauh dari Dirga. Diandra, semua masalah ada penyelesaiannya. Tinggal bagaiamana cara lo buat nyeleseinnya. Lo bicarain ini baik-baik sama Dirga. Gue yakin kalian bakal nyatu, kok. Selama lo ada kemauan buat memulai hal yang menurut lo nggak mungkin, sama artinya lo mencoba, Ndra.”
Diandra terdiam. Matanya masih terus memperhatikan ketulusan yang keluar dari wajah kelinci itu. Sastra Binara. Wibawanya memang membuatnya terlihat kejam. Tapi, sebenarnya dia sangat lembut dan penuh kasih sayang. Kelinci memang menyeramkan saat menunjukkan giginya, tapi sangat lembut saat ia menyentuhkan bulu lembutnya.
“Ah, ya. Gue baru ingat. Dua hari yang lalu, lo cerita ke gue kan kalau lo baru mengoperasi pasien yang kemungkinan bertahan hidupnya sangat kecil bahkan nyaris mustahil. Tapi ternyata lo berhasil menyelamatkan dia setelah mencobanya. Ambil aja gambaran sederhananya seperti itu. Udah, ah. Gue mau balik, seharusnya lo yang sembuhin gue, bukan malah gue. Lo kan dokter, gimana sih,” tandas Sastra seraya beranjak dari tempat duduknya.
Decakan ringan keluar dari mulut Diandra yang kemudian memeluk Sastra yang langsung disambut hangat oleh sahabatnya itu. Senyuman tulus mengembang dari bibir mereka berdua.
***
Sebelumnya #CerpenKita #4 COME BACK TIME | Episode 3 | |
Selanjutnya #CerpenKita #5 COME ON | Episode 2 | |
#Cerpen P.N.Z. | |
… | Episode 1 … | Episode 2 Kamu | Episode 3 Inong | Episode 4 Untuk | Episode 5 Negara | Episode 6 Pikir | Episode 7 Among | Episode 8 Menginjak | Episode 9 Pergi | Episode 10 | |
#CerpenKita #2 Ini Aku | Episode 1 Mulai | Episode 2 … | Episode 3 Pola | Episode 4 Sesuai | Episode 5 Timbangan | Episode 6 Produksi-Konsumen | Episode 7 Bahan Berani | Episode 8 Baru | Episode 9 Aku Berbeda | Episode 10 Waktu Adalah Prajuritnya | Episode 11 Baru | Episode 12 Wanita dan Perempuan | Episode 13 | |
#CerpenKita #3 BEBAS | Episode 1 KETUKAN PETIR | Episode 2 ARENA BAJINGAN | Episode 3 | |
#CerpenKita #4 MEET | Episode 1 LEAVE | Episode 2 COME BACK TIME | Episode 3 | |
#CerpenKita #5 SURE | Episode 1 COME ON | Episode 2 TIME BE OVERDUE | Episode 3 |
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.