Sebelumnya
#CerpenKita #5
SURE | Episode 1
Mata mereka saling beradu untuk mencari titik di mana mereka dapat menyatukan perbedaan yang ada. Dalam balutan cinta dan rindu yang menyatu, membuat dada keduanya membuncah dan memburu. Bagaimana cinta yang telah menyatu dengan segala pemikiran yang terlingkup dalam ruang rindu. Satu titik cahaya yang dapat membuat seulas senyuman di sudut bibir kedua insan itu. Cinta diberikan Tuhan untuk keduanya.
“Aku mau ngenalin kamu sama Mama dan Papa. Nanti malam kamu ada acara?” tanya Brian.
Sastra menggeleng pelan. Ia tak henti-hentinya menatap laki-laki yang ada di depannya itu. Senyumnya yang merona dan tatapan haru itu menunjukkan betapa beruntungnya dirinya mendapatkan laki-laki seperti Brian. Saat pertama kali bertemu, Sastra tak pernah membayangkan jika dirinya akan bersanding dengan Brian. Bahkan, pertemuan pertama yang menyebalkan membuat Sastra ingin memakan laki-laki itu hidup-hidup. Ditambah dengan sikap Brian di pernikahan sahabatnya yang membuat Sastra memberikan sumpah serapah kalau ia tak ingin bertemu lagi dengan Brian. Tapi takdir berkehendak lain saat cinta menyatukan mereka dengan segala perbedaan yang mereka miliki. Termasuk keyakinan yang dianut keduanya.
“Kamu kenapa, sih? Kok nggak berhenti natap aku kayak gitu?” tanya Brian.
“Kamu juga sok mahal. Bilang aja suka,” balas Sastra manja.
“Udah ah, yuk makan. Laper tahu,” timpal Brian yang kemudian mengambil garpu dan pisau di hadapannya.
Sastra tersenyum simpul. Brian selalu menunjukkan wibawanya di depan semua pasukannya, tapi itu semua seolah runtuh saat berada di depan Sastra. Hal itulah yang membuat Sastra merindukan momen-momen seperti ini. Makan bersama dengan perasaan yang terus membuncah karena kebahagiaan, meski kekawatiran terus menyelimuti hubungan mereka.
“Nanti malam aku datang sendiri atau kamu jemput? Rasa-rasanya aku ingin datang sendiri. Kamu hanya perlu memilihkan baju yang pas saja untukku di butik,” ucap Sastra.
Seketika Brian menggelengkan kepalanya. Ia cepat-cepat menelan daging steak yang memenuhi mulutnya.
“Aku yang akan jemput. Aku juga yang akan memilihkan baju untukmu. Oh ya, kamu nggak perlu tampil istimewa. Memakai pakaian seperti ini sudah cukup, kok. Terlihat natural.”
Giliran Sastra yang menggeleng.
“Nggak. Pakaian kantor ini terlihat terlalu resmi untuk membicarakan sebuah pernikahan atau perkenalan keluarga. Aku kan bukan mau meeting dengan klien, tapi akan menjadi pasanganmu di sana. Mungkin kita partner, tapi bukan untuk pekerjaan, melainkan untuk hidup. Jadi, aku akan berdandan selayaknya seseorang yang akan menjadi pasanganmu. Lihat saja, aku akan terlihat sangat cantik nanti,” oceh Sastra santai.
Brian terkekeh melihat sikap Sastra layaknya anak kecil yang bercerita kepada ayahnya mengenai liburan di rumah nenek. Namun untuk saat ini, bukan itu yang terpenting. Ada satu titik yang mengganjal di hati Brian. Ia masih memikirkan resiko apa yang akan mereka hadapi. Sementara, Sastra terlihat begitu santai dengan perbedaan mereka.
Apa mungkin Sastra sudah tahu dari awal tentang resiko yang akan mereka terima atau mungkin ia sengaja diam demi menjaga ketentraman hubungan mereka dan menghindari perdebatan di antara keduanya? Pikiran dan hati Brian terus berkecamuk.
“Sas, aku boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Brian ragu.
“Nanya aja. Kamu kok kayak panik gitu, sih? Aku Sastra, bukan intel musuhmu,” Sastra menanggapi santai.
“Aku serius, Sas,” timpal Brian penuh penekanan tanpa menghilangkan kelembutannya.
“Lihatlah wajahku, apakah aku terlihat bercanda? Aku serius, Brian. Lebih serius daripada kamu,” balas Sastra santai namun terdengar mantab di setiap kata-katanya.
“Nggak, deh. Nggak jadi.”
“Tuh, kan. Giliran aku udah serius malah kamunya yang bercanda. Tahu, ah,” gerutu Sastra yang tetap tersenyum.
Oh Tuhan, senyuman gadis ini begitu indah. Aku tidak sanggup jika harus meninggalkannya. Izinkan aku memilikinya dan jadikan aku imam yang baik untuknya. Bukan sekedar pasangan yang bisa menuntunnya di atas pernikahan kami, rintih Brian dalam hati seraya menatap lembut Sastra.
***
Celana panjang warna putih dengan ukuran sedikit longgar dengan atasan baju sutra semi formal memperlihatkan betapa anggunnya Sastra malam itu. Tatanan rambut dengan kedua sisi poni yang melingkupi pipinya menambah kesan imut di wajahnya. Sebaliknya, Brian sendiri hanya memakai kaos polo dan celana panjang.
Hembusan napas yang berat seakan menunjukkan betapa gugupnya Sastra. Berbeda dengan Brian yang sudah siap menunjukkan betapa seriusnya ia dengan gadis yang tengah berdiri di sampingnya itu. Brian meremas kecil jemari Sastra yang gemetar.
Setelah saling tatap, keduanya memasuki rumah megah keluarga Brian. Derap langkah kaki yang terdengar seakan siap menghancurkan hubungan mereka. Sampai akhirnya, Brian dan Sastra duduk bersama di meja makan yang bersama dengan anggota keluarga Brian.
Semua mata tertuju pada Sastra, membuat gadis sedikit menunduk akibat suasana yang terasa mengintimidasinya. Namun, senyuman Sastra yang mengembang saat mendapatkan pertanyaan yang menyudutkannya behasil mencairkan suasana. Cara menjawabnya yang santai dan lugas menjadi keunggulan sendiri untuk Sastra. Wajah imutnya yang menggemaskan begitu menghibur bagi semua anggota keluarga hingga mereka lupa untuk membicarakan masalah pernikahan dan asyik bergurau dengan Sastra.
“Ma, Pa, aku mau bicara mengenai rencana pernikahanku dengan Sastra. Bukan bercanda terus-menerus,” ucap Brian mengingatkan semua anggota keluarga.
Papa Brian tertawa ringan. “Kami tahu kalau kau sudah tidak sabar membicarakannya. Jadi bagaimana? Pernikahan model apa yang kalian inginkan?”
“Papa sudah menyetujui pernikahan kami?” tanya Brian ragu.
“Ya. Kenapa? Apalagi yang perlu diragukan? Calon menantuku sudah sempurna. Apa yang perlu dipermasalahkan?” tanya Papa Brian.
“Tapi…,” kalimat Sastra terputus saat Brian menyela.
“Aku ingin pernikahan dilaksanakan secepatnya dan aku….”
“Bisa saya membicarakan sesuatu?” Sastra ganti menyela kalimat Brian.
“Tentu saja, Nak. Bicaralah. Tidak usah sungkan.” Mama Brian menimpali.
Sastra menatap Brian. Kode untuk mengatakan yang sejujurnya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
“Ma, Pa, aku dan Sastra berbeda keyakinan. Sastra beragama kristiani,” tandas Brian dengan suara yang agak gemetar.
Suasana pun mendadak sunyi.
“Lalu?” tanya Papa Brian memecah kesunyian.
“Maksudnya?” tanya Brian tak mengerti.
“Bagaimana caranya kalian bisa menyatu dengan perbedaan seperti itu?” tanya Papa Brian lagi.
“Nama asli saya bukan Sastra Binara. Tapi Vallencia Binara. Nama itu berganti seiring saya mengucapkan syahadat tiga hari yang lalu. Saya, Sastra Binara adalah seorang muallaf,” tandas Sastra tiba-tiba yang sontak membuat Brian menatapnya tidak percaya.
“Ba-bagaimana bisa kamu….”
“Data yang kamu cari sengaja aku palsukan, Brian. Aku ingin memberikan kejutan untukmu. Sekalian menguji kesetiaan kamu, mungkin? Oh ya, happy birthday untuk hari ini,” tutur Sastra dengan senyuman kemenangan.
“Mama sama Papa udah tahu?” Brian mengalihkan pandangannya kepada kedua orang tuanya.
Keduanya mengangguk. Seketika Brian mendekat ke arah Sastra dan merentangkan kedua lengannya. Namun, mata tajam Papanya berhasil mengurungkan niatan untuk memeluk kekasihnya. Bahkan, Mama Brian menambah makanan di piring Sastra.
“Bolehkan aku berhijab saat pernikahanku nanti?” tanya Sastra.
“Tentu saja. Mau berhijab sekarang pun boleh. Tapi ingat, jangan asal berhijab ya,” ingat Papa Brian.
“Brian, ajari aku berhijab. Aku ingin mencobanya. Rasanya aku lelah setiap hari mengotak-atik rambutku,” rajuk Sastra manja.
“Kalian benar-benar jahat,” dengus Brian kesal.
“Maaf, kami telat. Jalanan macet.”
Seketika Sastra beranjak dari tempat duduknya untuk memeluk Mamanya yang datang bersama keluarganya. Brian menatap kepada Mama dan Papanya, meminta penjelasan. Tapi, mereka berdua hanya mengedikkan bahunya acuh. Dengan senyuman kemenangan, mereka berhasil merencanakan perayaan ulang tahun Brian yang selalu gagal karena strategi mereka selalu tertebak.
Malam itu menjadi malam dengan tawa penuh kebahagiaan kedua keluarga itu. Sastra dan Brian saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing-masing. Status Sastra sebagai seorang muallaf tidak menutupi betapa berubahnya dirinya dengan gaya hidup atau pakaian yang ia kenakan. Bahkan, Brian juga tidak tahu bahwa dulunya Sastra adalah seorang model yang selalu mengenakan bikini seksi dan berjalan di atas catwalk Victoria Secreet.
Sekarang, Sastra melepaskan semuanya demi keyakinan yang ia teguhkan dalam hati. Sastra Binara, kekasih hati yang sudah dihadiahkan oleh Allah untuk Brian. Detik itu juga, Brian telah melupakan sesuatu yang sudah diajarkan oleh Nabi utusan Allah. Nabi Muhammad. Bahkan segalanya belum tentu akan berakhir sesuai dengan bayangan yang sudah behasil membuat cemas.
Secara tidak langsung, kecemasan itu sudah membuktikan bahwa kita mendahului kehendak Tuhan jika semua yang ada di dalam bayangan kita adalah hal yang sudah pasti terjadi. Tidak. Semua itu salah. Di sanalah Nabi mengajarkan umatnya untuk berpikir positif guna menghindari hal-hal buruk yang dapat menyebabkan siksaan batin umat manusia atas pemikiran setan yang terus mengganggu dalam wujud tak terlihat. Oleh karena itu, Tuhan memerintahkan umatnya untuk berusaha dan berdoa, bukan berusaha dan membayangkan.
***
Sebelumnya #CerpenKita #4 COME BACK TIME | Episode 3 | |
Selanjutnya #CerpenKita #5 COME ON | Episode 2 | |
#Cerpen P.N.Z. | |
… | Episode 1 … | Episode 2 Kamu | Episode 3 Inong | Episode 4 Untuk | Episode 5 Negara | Episode 6 Pikir | Episode 7 Among | Episode 8 Menginjak | Episode 9 Pergi | Episode 10 | |
#CerpenKita #2 Ini Aku | Episode 1 Mulai | Episode 2 … | Episode 3 Pola | Episode 4 Sesuai | Episode 5 Timbangan | Episode 6 Produksi-Konsumen | Episode 7 Bahan Berani | Episode 8 Baru | Episode 9 Aku Berbeda | Episode 10 Waktu Adalah Prajuritnya | Episode 11 Baru | Episode 12 Wanita dan Perempuan | Episode 13 | |
#CerpenKita #3 BEBAS | Episode 1 KETUKAN PETIR | Episode 2 ARENA BAJINGAN | Episode 3 | |
#CerpenKita #4 MEET | Episode 1 LEAVE | Episode 2 COME BACK TIME | Episode 3 | |
#CerpenKita #5 SURE | Episode 1 COME ON | Episode 2 TIME BE OVERDUE | Episode 3 |
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.