WILL BE SOCKED | INTELLIGENCE Episode 3

Pesta tergelar begitu megah. Alunan lagu yang beet mengawali suasana yang dikhususkan untuk para tamu. Semua tamu tampak menikmati jamuan yang ada. Termasuk gadis itu. Rambutnya yang terurai panjang tampak berkilau saat bertemu dengan cahaya lampu gedung pernikahan itu.

Setelan jas pink berpadu dengan perangkat putih di tubuhnya, ditambah make-up yang natural, memperlihatkan betapa anggunnya dia. Matanya yang bulat seperti kelinci dengan warna bola mata yang hitam pekat seperti menggunakan lensa untuk menambah pekatnya warna itu. Namun, tidak saat dia kembali di definisi awal. Natural. Selain make-up dan matanya yang natural tanpa lensa, menunjukkan betapa tegasnya gadis itu.

Pantas di usianya yang sekarang ini, dia sudah mampu duduk di deretan bangku yang dikhususkan untuk para pemimpin perusahaan. Prestasinya pun melejit begitu cepat. Saat semuanya terasa begitu sempurna karena dapat bergandengan dengan pasangan masing-masing, gadis itu berjalan dengan pandangan lurus. Wajahnya yang imut tidak menunjukkan bahwa dia pantas masuk ke dalam tempat itu. Gedung pernikahan.

Umurnya yang sudah menginjak angka dua puluh lima sudah mengharuskannya menjalani hubungan yang serius. Namun, baginya keseriusan yang ada di dalam hubungannya masih sangatlah meragukan untuk dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Sastra Binara. Itulah namanya. Sastra. Sesuai dengan pekerjaannya sebagai seorang kepala redaksi di sebuah perusahaan percetakan. Yang mana, ia merangkap menjadi seorang sutradara.  

“Hai, apa kabar?” tanya salah seorang teman Sastra dengan senyuman lebar.

“Baik,” balas Sastra dengan seulas senyum.

“Masih single aja, Sas. Nggak pengen nyusul kita-kita?”

Oh my god! Yang bener aja!” Mata Sastra melebar saat melihat perut buncit temannya itu. Dia pun membungkukkan tubuhnya, lalu meletakkan telapak tangannya di perut temannya itu. Menyapa sang jabang bayi ada di dalamnya.

“Lo udah ke sana belum?”

“Belum. Ini gue mau ke sana. Kabarin ya kalau anak lo udah lahir,” ucap Sastra masih mengulas senyum.

“Beres, deh,” sahut teman Sastra sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.

“Lo cepet-cepet nyusul, dong, Sas. Jangan suka ngasih. Sekarang giliran kita yang seharusnya ngasih lo,” celetuk temannya yang lain.

Sastra hanya tersenyum simpul. Menganggukkan kepala dan mengucapkan kata-kata umum hingga dapat menghindar dari hiruk pikuk teman-temannya yang terus menyuruhnya menikah layaknya kedua orang tuanya yang terus menyinggung masalah pernikahan dan juga cucu.

Beberapa obrolan ringan telah berlalu. Sampai akhirnya, Sastra merasa terkejut saat dia merasakan sebuah lengan yang mengamit pinggangnya dengan posesif. Sastra mendongkakkan kepalanya hendak melepaskan diri. Namun, saat melihat senyuman nakal dari laki-laki itu, Sastra justru tersenyum.

Perkataan manja berulang kali terlontar dari mulut mungil Sastra hingga membuat teman-temannya tersenyum iri. Bahkan,  ada yang mengaku jika suami mereka tidak seromantis laki-laki yang tengah memeluk pinggang Sastra. Brian Vasine Pramana.

“Kamu kapan datang?” tanya Sastra membuka percakapan.

“Barusan,” jawab Brian dengan senyuman polosnya.

“Brian, aku serius.”

Brian terkekeh. “Oke-oke. Dua hari yang lalu.”

“Kok nggak ke kantor?” Sastra mengerutkan dahi.

“Nungguin, ya?” goda Brian sambil tersenyum jahil.

“Tahu, ah!” Sastra merajuk manja sembari meninggalkan laki-laki itu dan berjalan ke arah tempat duduk pengantin untuk memberikan kado yang sudah  dipersiapkannya jauh-jauh hari.

Setelah sedikit berbincang, sang pengantin meminta foto kepada Sastra sebagai kenangan-kenangan. Dari kejauhan, tampak Brian yang sedang memperhatikan Sastra berfoto dengan wajah cemberut gara-gara mood kekasihnya itu telah dirusak olehnya. Sambil menunggu Sastra kembali, Brian memutuskan untuk mengambil minuman.

Dari kejauhan, Brian memperhatikan kekasihnya yang tampak begitu  cantik. Berkilau seperti mutiara dan begitu indah seperti berlian. Brian tak henti-hentinya menatap Sastra yang berjalan kembali ke arahnya. Ia langsung melangkahkan kakinya dengan cepat saat ada seseorang menabrak Sastra dan menumpahkan minuman serta makanannya ke kepada baju Sastra.

Minuman itu mengenai wajah Sastra yang cantik. Segera, Sastra berjongkok ke bawah. Ia menggendong anak laki-laki kecil yang tidak sengaja tertendang kakinya. Mata kelincinya yang hitam pekat membulat sempurna dengan seluruh kekhawatirannya. Jemari lentiknya berulang kali mengecek seluruh tubuh anak kecil itu. Bahkan, Sastra juga memeluknya meski anak kecil itu tidak menangis.

Karena terlalu fokus dengan anak itu, Sastra menghiraukan permintaan maaf yang terus terucap dari mulut ketus itu. Bukannya marah, Sastra justru meninggalkan tempat kejadian dan menggendong anak kecil itu. Dalam gendongannya, dia menanyakan di mana kedua orang tua anak itu.

“Itu anak gue. Mau lo bawa ke mana, hah?” seru seseorang saat Sastra hendak meninggalkan tempat kejadian.

Sastra membalikkan tubuhnya.

“Apa lo udah gila ninggalin anak lo sendiri di tempat kayak gini. Lo niat nggak sih punya anak?” balas Sastra ketus.

“Lo tahu apa tentang anak? Nikah aja belum. Jangankan nikah, cowok aja lo nggak punya!” bentak orang itu dengan senyum meremehkan.

“Saya pacarnya,” ucap Brian yang tiba-tiba muncul di samping Sastra.

Wanita itu menatap Brian mulai dari ujung kaki hingga ke atas. Tidak ada yang spesial. Hanya bibirnya yang indah. Bahkan, penampilannya pun tidak menarik. Mungkin dapat dikatakan bahwa tidak ada harganya dibandingkan dengan suaminya yang seorang pebisnis itu.

Wanita itu adalah Winda. Orang yang bermusuhan dengan Sastra sejak SMA. Sampai sekarang pun, permusuhan itu masih terjalin rapi. Padahal, dalam sejarah hidup Sastra selama mengenal Winda, dia merasa tidak pernah mengambil atau merebut apa yang dimiliki oleh Winda. Jangankan merebut, memikirkannya saja tidak pernah. Bahkan, selama di SMA, Sastra justru sibuk dengan dirinya sendiri untuk mendapatkan beasiswa keluar negeri yang akan memberangkatkannya satu minggu lagi.

“Ada apaan, nih? Lo masih ada di sini, Bri?” tanya sang pengantin laki-laki yang tiba-tiba muncul di antara keributan yang terjadi.

“Kamu kenal sama dia?” tanya Sastra polos.

“Pacar lo sahabat deketnya suami gue kali, Sas. Lo baru tahu?” terang sang pengantin perempuan yang juga ikut menghampiri mereka.

“Kehidupan pacarnya aja dia nggak peduli. Gimana mau menikah,” ejek Winda sinis.

Brian menengahi. Hal itu berhasil membuat Winda menyingkir. Sedangkan sang pengantin perempuan sibuk menenangkan Sastra yang tengah berdiri tegar mendengarkan seluruh cacian Winda.

“Brian, apa maksud semua ini?” Sastra menoleh ke arah Brian.

“Sastra,” ucap temannya berusaha menenangkan Sastra.

“Sayang.” Sang pengantin laki-laki menengahi agar istrinya tidak ikut campur dengan urusan Sastra dan Brian. “Bukannya apa-apa, Sas. Bukan kewajiban gue untuk menjelaskan semuanya. Dan lo Brian, dia kekasih lo. Nggak seharusnya lo terus merahasiakan saiapa diri lo sebenarnya. Dia juga butuh kepastian. Untuk ini gue nggak mau ikut campur urusan kalian. Ayo sayang,” tandas sang pengantin laki-laki yang kemudian menggiring istrinya untuk menemui para tamu.

Sastra yang berdiri termangu akhirnya tersadar dan memutuskan untuk meninggalkan Brian yang masih berdiri diam. Seolah menunggu reaksi Sastra terhadap kejadian yang barusan. Bagaimana tidak? Brian menyembunyikan rahasia sebesar itu selama ini. Entah kenapa Brian tidak mau menjelaskan siapa dirinya. Dan kenapa Sastra harus tahu siapa Brian dari mulut orang lain. Bukan dari Brian sendiri.

“Sastra! Sastra tunggu aku!” seru Brian seraya berusaha meraih lengan Sastra yang tergelantung bebas.  “Sastra, aku akan jelasin semuanya.”

Sastra tetap menghiraukan ucapan Brian. Dia menepis tangan Brian dan terus melangkahkan kakinya untuk keluar gedung. Sampai akhirnya, langkah Sastra terhenti tepat saat Brian meneriakkan sesuatu.

“Aku Denjaka!” seru Brian.

Sastra menoleh. Menatap Brian yang tengah menatapnya dengan tatapan sendu. Namun, itu tak dapat meruntuhkan keteguhan hatinya. Dia kembali melangkah meninggalkan Brian. Tapi, untuk kali ini laki-laki itu berhasil menghentikan Sastra.

“Oke! Aku memang salah karena tidak memberi tahumu tentang diriku. Tapi, aku melakukan ini semua demi kebaikan kita bersama, Sastra,” tandas Brian dengan suara tercekat.

“Kebaikan apa? Kebaikan agar aku terus ada di dalam kendali kamu? Aku bukan prajurit kamu, Brian!”

“Aku sengaja membawa kamu dalam kendaliku karena aku tidak mau kehilangan kamu! Aku takut kamu akan meninggalkan aku setelah tahu siapa diriku sebenarnya. Mungkin bagi semua orang, pekerjaanku adalah sesuatu yang sangat membahayakan. Tapi, aku menyukai pekerjaan ini. Kehilanganmu lebih menakutkan daripada peluru yang kapan saja bisa membunuhku.”

“Brian! Aku tidak pernah berpikir untuk meninggalkanmu. Justru aku yang terus berpikir kalau kamu akan meninggalkanku saat aku tidak lagi sempurna untukmu.” Bulir air mata mulai membasahi pipi Sastra.

“Kenapa kamu selalu membuat aku tertawa di saat serius seperti ini, Sastra.” Kedua sudut bibr Brian terangkat  saat  melihat Sastra sampai berjongkok saking terharunya. Sikap konyol yang selalu membuat Brian tertawa.

Brian ikut berjongkok di depan Sastra. “Sastra, aku mau menikah.” pernyataan itu membuat tangis Sastra pecah. “Sastra, kamu kenapa? Kamu kenapa sayang?” tanya Brian mulai kawatir.

“Kamu beneran ninggalin aku, kan. Brian jahat!” isak Sastra sambil menepuk dada Brian pelan.

Brian kembali tertawa saat mendengar ucapan kekasihnya. 

“Berdiri dulu, Sas.” Kedua tangan Brian memgang tangan Sastra dan membantu gadis itu berdiri.

“Apa lagi?” tanya Sastra yang masih terisak.

“Aku mau menikah… dengan kamu.”

Ucapan Brian kembali membuat tangisan Sastra semakin keras.

 “Ini kenapa sih, kok malah nangis terus?”  ucap Brian sembari mengusap air mata Sastra.

“Brian!” seketika Sastra memeluk Brian erat.

“Jadi bagaimana? Kamu mau kan menikah denganku?” tanya Brian di tengah pelukannya.

“Besok datang ke rumah. Aku kenalin sama Mama dan Papa. Kamu tahu, aku justru mau punya suami pemberani seperti kamu daripada seorang pebisnis. Jadi, selama ini kamu kamu sering menghilang karena tidak mau….”

“Iya. Aku tidak mau bikin kamu khawatir, Sastra. Siap kan jadi istrinya Denjaka AL?” Brian menatap lekat-lekat kedua mata Sastra.

Sastra mengangguk pelan, lalu kembali memeluk Brian. Dia berharap jemarinya yang membelai punggung laki-laki itu, dapat menjadi semangatnya untuk melindungi negara. Sastra bangga karena dia akan menikah dengan laki-laki seperti Brian.

Terkadang, cinta yang menakutkan akan sebuah profesi, kedudukan, atau posisi, merupakan cinta yang layak untuk membalikkannya menjadi suatu hal yang tidak perlu ditakutkan. Melainkan, dilawan dengan keluar area atau out of the box. Karena, tidak semua yang buruk, akan selamanya menjadi buruk, dan sebaliknya.

***

-TAMAT-

Comments

Tinggalkan Balasan