PERCAYA | INTELLIGENCE Episode 2

Sastra terdiam termangu, merasakan hembusan napas sang malam di bawah gelapnya cahaya untuk mencapai sebuah kesunyian. Mencoba untuk mencerna, meresapi, dan memahami sebuah rentetan kata yang terulas dalam bait ucapan. Bersama sebuah luka, dan bersama dengan sebuah kata. Apa adanya.

Terdengar dering ponsel yang bergetar di atas meja apartemen gadis itu. Matanya yang menatap lurus dengan sekelabat bayangan yang berjalan beriringan, seketika berhenti menjalar. Brian Vasine Pramana. Nama itu lagi. Sejenak, Sastra hanya menatap layar ponselnya yang terus berdering. Tanpa meraihnya, Sastra mengalihkan pandangannya. Ia justru memijat kepalanya yang terasa penat.

Sastra menghembuskan napas beratnya. Malam itu, adalah malam yang begitu menyebalkan untuknya. Misinya untuk mengetahui siapa Brian, gagal total. Entah kenapa Brian bisa tahu kalau ia tengah diselidiki oleh Sastra. Sastra pun tidak membalas chatting dari Brian karena takut salah bicara dan menggagalkan rencananya.

Namun, tidak bicara pun sudah menggagalkan rencananya. Sial. Sastra berdecak kesal. Ia mengacak rambutnya frustasi. Lembaran kontrak kerja yang ada di depannya seketika berhampuran saat melihat seseorang ada di depannya. Matanya menatap tajam. Sosok tinggi besar di tengah gelapnya ruangan menjadi titik ketakutan tersendiri untuk Sastra.

Tubuhnya gemetar. Badannya mengejang. Sastra ketakutan hingga mengambil ponselnya dan menekan tombol hijau di nama Brian. Entah kenapa, di saat seperti itu hanya Brian yang ada otaknya. Laki-laki yang berhasil membuatnya jatuh.

“BRIAN!” teriak Sastra yang langsung beranjak dari tempat duduknya saat mendengar dering ponsel Brian di dalam ruangannya.

“Aduh! Sastra, maaf,” desah Brian kesakitan saat Sastra terus menghujani dirinya dengan gebukan map yang mengelilingi tubuhnya.

Di dalam kegelapan, mereka ada di posisi itu. Hingga pukulan itu berhenti saat lampu telah menyala terang. Menunjukkan wajah masing-masing.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Sastra garang.

“Kangen sama kamu,” jawab Brian sekenanya dengan tetap memegang lengannya yang terasa panas.

“Brian!” dengus Satra sembari melayangkan pukulan di pundak laki-laki itu.

“Aduh! Emang kangen, Sastra Binara.”

“Tahu, ah!” rajuk Sastra kesal.

Brian mendekati langkah Sastra yang menjauh darinya. Ia ikut duduk di sofa, menghadap Sastra. Menatap wajah cemberut Sastra,  selalu mengundang tawanya. Hal itulah yang membuat Sastra merasa sebal.

“Ternyata kamu penakut juga ya,” kekeh Brian.

Hal itu mengundang tatapan tajam dari Sastra. Namun, bagaimanapun juga mata Sastra tidak akan membuat Brian beringsut dan terdiam takut. Justru malah membuatnya gemas terhadap gadis itu. Bagimana tidak? Matanya yang bulat dengan warna mata yang hitam pekat. Bibir mungil dengan pipi tembam seakan memperlihatkan dirinya seperti seekor kelinci lucu saat marah.

“Brian…,” rajuk Sastra kesal saat tak dapat membuat Brian berhenti tertawa karena melihat ekspresinya.

“Kamu lucu kalau begini. Aku kangen saat-saat seperti ini,” ucap Brian di sela tawanya sambil mencubit pipi tembam Sastra.

Sastra berusaha menghindar. Tapi tatapan mata laki-laki itu berhasil membuatnya terpaku dan membuatnya tidak bergerak. Sebuah tatapan yang begitu lembut. Sebuah tatapan yang begitu dalam. Tatapan yang memaksa Sastra untuk membukakan pintu hatinya agar Brian dapat berjalan memasukinya. Menjelajahi dan menemukan titik di mana ia dapat merengkuh gadis yang ada di depannya dalam dekapan yang tak selamanya akan ada di sana. Karena waktu menuntunnya untuk siap dalam sebuah kematian.

“Kamu tadi lewat mana?” tanya Sastra berusaha untuk mencairkan suasana.

“Jendela,” jawab Brian singkat.

“Hah? Jendela mana? Kok bisa.” 

“Pakai helikopter,” jawab Brian asal.

“Brian!”

“Kenapa kamu melakukan itu? Nggak bakal mempan, Sastra,” ucap Brian lembut tanpa ada kemarahan sedikit pun.

“Emang salah kalau aku ingin tahu kehidupan kekasihku?” tanya Sastra mulai serius.

“Emang harus ya menyelidiki aku?” 

“Karena sekali pun aku bertanya, kamu nggak akan pernah menjawab. Jadi, untuk apa bertanya jika aku bisa bertindak.” 

“Tapi itu menyakiti aku,” jawab Brian yang masih menatap kedua manik mata kelinci itu.

By : Henry Be

Sastra terdiam. Bibirnya terbungkam. Ia tak menyangka kalau Brian akan berbicara seperti itu. Sastra dapat merasakan betapa kecewanya laki-laki itu. Suaranya yang serak dan tercekat terdengar begitu sendu. Hal itu membuat Sastra tak mampu untuk menatap sepasang mata Brian. Mata laki-laki yang tengah tersakiti karena ulahnya.

Memang tak seharusnya Sastra melakukan hal itu. Di sana, ia tahu bahwa laki-laki di depannya saat itu bukan memandang dirinya karena karirnya yang melejit di usianya yang masih muda, melainkan hanya membutuhkan kepercayaan atas hubungan mereka. Kepercayaan yang telah Sastra sirnakan dengan tangannya sendiri.

“Maaf, mungkin aku….”

Brian memutus ucapan Sastra yang berusaha menjelaskan semuanya. Jari telunjuknya berada tepat di depan bibir Sastra, membuat gadis itu memberontak. Tapi, tatapan mata Brian  menuntut agar Sastra mau diam sejenak dan tenang di bawah kendalinya. Sastra pun hanya bisa menurut.

“Apakah aku tidak meyakinkan untuk mencintaimu? Atau aku begitu meragukan untuk memberikan dirimu kepercayaan terhadapku?”

Sastra menggeleng. Ia tak tahu harus bagaimana lagi saat melihat mata itu begitu tersiksa dengan tingkahnya.

“Aku mencintaimu, Sastra. Sangat mencintaimu,” ucap Brian penuh penekanan dengan senyuman getir di sudut bibirnya.

Sastra tak dapat lagi menahan semuanya. Ia menepis tangan Brian yang terus memegang kedua pipinya dengan lembut. Beranjak dari tempat duduknya yang berhasil membuat dirinya begitu dekat dengan Brian hingga terlihat tanpa ada celah. Ia menjauh dari sofa. Menatap langit malam menembus jendela kaca apartemennya.

“Aku tidak bisa seperti ini terus. Tidak mungkin aku menjalin hubungan spesial dengan orang yang tidak jelas asal usulnya. Kerjanya apa, asal keluarganya dari mana. Kamu juga datang dan pergi sesuka hatimu saja. Kamu pikir aku dermaga?” ucap Sastra dengan suara yang mulai tercekat.

“Aku tidak pernah mau pergi, Sastra. Bahkan, kalau bisa aku ingin selalu ada di sampingmu! Tapi, waktu menugaskan aku untuk pergi.”

“Kenapa kamu pergi, Brian. Pekerjaan? Saat aku bertanya tentang pekerjaanmu, kamu tidak pernah mau menjawabnya.”

“Karena aku belum siap untuk menjelaskan semuanya, Sastra,” terang Brian dengan suara berat.

“Kenapa Brian, kenapa? Apakah aku tidak  pantas mendegarkan semua itu? Apakah….”

“Aku akan bicara sama kamu mengenai siapa diriku.”

Sastra terdiam. 

“Beri aku waktu sampai aku kembali. Aku janji akan menjelaskan semuanya ke kamu. Aku hanya ingin kepercayaan dari kamu. Nggak lebih. Karena dengan itu, aku sudah cukup bahagia dengan hubungan kita. Waktuku tidak banyak, Sas. Aku harus pergi. Dua hari lagi aku akan datang menemui kamu,” ucap Brian tergopoh dengan nada suaranya yang lembut.

“Kamu mau pergi lagi?”

Brian mengangguk. Ia kemudian mengecup kening Sastra. Sastra menghayati semua itu. Kelembutan, kasih sayang, kepercayaan serta prinsip Brian terhadap dirinya, berhasil membuatnya bertahan. Mempertahankan cintanya dengan laki-laki misterius semacam dirinya.

“Aku pergi dulu, Sayang,” ucap Brian lembut dengan tatapan mendalam.

“Hati-hati. Oke?” balas Sastra tak kalah lembut.

Brian kembali mengecup keningnya. Sastra merasa begitu berat melepaskan lengan laki-laki itu. Hatinya sudah terlalu dalam jatuh di dalam pelukan Brian. Tapi apa daya untuk Sastra yang seperti itu. Ia hanya bisa berjanji kalau akan berada di posisi yang sama. Menunggu Brian dalam diam dengan memberinya sebuah pemintaan. Yaitu, kepercayaan.

“Jaga diri baik-baik,” seru Brian sebelum memasuki mobilnya.

Sastra mengangguk seraya melambaikan tangannya mengantar kepergian Brian.

“Aku janji, aku akan memberikan kepercayaan itu untuk kamu, Brian,” gumam Sastra dalam hati sambil menatap mobil Brian yang semakin menjauh darinya.

Sastra kembali masuk ke dalam apartemen. Ia memilih untuk merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Berharap Brian datang di dalam tidurnya.

***

Comments

Leave a Reply