WATTPAD

Dad… Maafkalah aku, karena aku tidak bisa menjadi calon penyanyi yang aduhaaai. Karena aku, hanyalah seorang Proffesor Muda. Dad… Maafkanlah aku, karena tidak bisa memberikanmu cucu. Karena aku, hanya takut menjadi seperti dirimu di saat pernikahanku nanti. Dad… Maafkanlah aku, karena aku tidak bisa mendidik adikku untuk menjadi laki-laki yang menghamili perempuannya di luar pernikahan. Karena aku, hanya bisa mendidik adikku, menjadi seorang pilot.

-P.N.Z-

Mentari yang bersinar di balik awan yang tengah berdiri gagah dengan rintikan air yang membasahi bumi. Suasana mendung dengan hawa yang dingin adalah hal yang memicu dimana hati yang enggan tergerak saat berada di dalam posisi yang nyaman. Entah mengaa demikian, berselonjor di atas sofa yang empuk dengan membaca beberapa halaman  buku bacaan yang ada di dalam tabnya.

Bekerja keras. Mungkin, atau memang itu merupakan hal yang tak lagi tabu untuknya. Tetesan air mata mengaliir deras dar sudut matanya yang bulat. Butiran air itu terlihat dengan jelas di balik bayangannya dirinya yang terlihat indah.

Yah.. wanita yang menjadi belahan jiwanya. Di bawah cahaya mendung sore hari yang begit dingin, dengan alunan melodi musik air hujan yang damai, seolah terlihat begit damai untuknya. Untuk dirinya, gadis itu. Ah… bukan! Bukan hanya gadis. Ia adalah wanitanya. Wanita yang telah berhasil mengalihkan dunianya. Wanita, yang saat ini tak sadar bahwa ia telah mengamatinya.

Sastra Binara. Yah. Itulah namanya. Nama yang selalu menjadi ambisinya untuk menjadi yang terbaik. Wanita yang selalu membawanya dalam fantasinya. Wanita, yang selalu menyiksanya saat ia berada jauh darinya. Wanita, yang berhasil membuatnya kalap dan gila saat Sastra tidak memberikan kabar di tengah dinas luar negerinya sebagai abdi negara. Memilikinya, dan menjaganya dengan baik adalah prioritasnya dan komitmennya. Baginya, Sastra adalah berlian yang harua ia jaga disamping negaranya. Yah.. dia Sastra Binara. Istrinya.

“Hei!!,” sapanya dengan membelai punggung wanitanya.

“Kamu?!,” tanyanya saat sadar bahwa laki-lakinya telah ada disampingnya.

“Sampai nggak sadar kalau aku ada di sini?,” tanyanya dengan menatap kedua bola mata bulat milik Sastra.

“Iya, Mas!,” ucapnya manja dengan bangun dari selonjornya.

“Kenapa sayang?,” tanya Brian dengan membelai kepala Sastra dengan lembut. Seolah ia ingin menyalurkan rasa sayangnya kepada Sastra.

“Mas…,” panggilnya manja dengan menyandarkan kepalanya di pundak Brian.

Brian tersenyum. Kebahagiaan yang sempurna baginya. Menemukan cinta, yang menjadikan dirinya genap. Yah… Brian yang telah kehilangan arah akan sebuah kehidupan, kembali kepada dirinya dengan uluran tangan Sastra. Wanita yang tengah ada di depannya. 

Wanita, yang telah menjadikan satu-satunya untuk dirinya. Wanita, yang merelakan segalanya, hanya untuk dirinyaa. Laki-laki, yang menjadi bukti bahwa Tuhan telah memberikan hadiah terindah untuknya. Yah.. laki-laki itu. Brian Vasine Pramana.

“Kenapa, hmmmm?,” tanya Brian dengan meraih kepala Sastra yang tengah bersandar dipundaknya seraya menempelkan pipinya di atas kepala Sasta. Menunjukkan, betapa ia sangat mencintai istrinya.

“Kamu habis nangis?,” tanya Brian saat ia menyadari diamnya Sastra setealaaha melihat tetesan air mata di atas layar tablet yang telah Sastra pegang.

Sastra tidak menggubris ucapan Brian. Sampai Brian mengangkat wajah Sastra dengan perlahan menggunakan kedua telapak tangannya.

“Kenapa, Ma?!,” tanya Brian pelan dengan penuh hati-hati.

“Ceritanya, bikin aku nangis, Mas,” ucapnya dengan perlahan.

Brian menahan tawanya saat mendengar jawaban Sastra yang konyol. Sastra yang meliihat itu, hanya bisa mengerucutkan bibir mungilnya. Namun, bukan Brian jika ia tidak bisa membuat Sastra menjatuhkan dirinya ke dalam pelukannya. Ciuman di kening Sastra, adalah hal yang dilakukan oleh Brian saat itu. Bukan Sastra pula bila ia tidak bisa memberikan balasan kasih sayang suaminya itu.

“Jika kamu menangisi hal yang membuat dirimu trenyuh akan suatu hal, akankah kamu akan menangis trenyuh saat suamimu harus menunggu makanan di kala ia tengah lapar dan berharap istrinya di rumah untuk menyiapkannya makanan?,” tanya Brian dengan lembut.

Sastra terdiam mendengarkan sindiran halus suaminya mengenai bagaimana bisa ia tengah melupakan hal itu di saat ia fokus kepada pekerjaannya. Yah… pekerjaan yang menyita otaknya untuk terus mencari sumber referensi agar ia dapat menuliskan kembali rangkaian ceritanya yang tengah menjadi hal penantian oleh para pembacanya. Satu hal, kesalahan yang sampai sekarang menjadi salah satu kesalahan yang mana Brian, tidak pernah berhenti untuk mengingatkannya tanpa mengeluh sedikitpun.

“Kenapa kamu seperti ini, hmmmm?,” tanya Sastra dengan kedua bola matanya yang tengah hanyut dalam rasa rindu, sakit, dan sayang serta cintanya beradu menjadi satu.

“Karena kesalahan, bukan seluruhnya akan menjadi kesalahan meski ia mendasar pada kesalahan. Kesalahan, bukan selamanya akan menjadi kesalahan. Melainkan, kebenaran saat kesalahan telah berproses menjadi sebuah kebenaran. Begitu juga dengan kamu. Kamu! Istriku. Wanita, yang tak seharusnya aku peringatkan dengan kerasnya suaraku, atau kerasnya hatiku. Wanita, diciptakan bukan untuk dibentak hingga ia terskiti. Melainkan, disayangi, dicintai, dan juga dilindungi. Termasuk aku melindungi kamu dari api neraka. Aku, di sini adalah imam untukmu. Dimana aku harus membimbing kamu, dikala apapun itu posisinya. Tapi ketauhilah Sastra, terciptanya kamu untukku, bukan untuk kusia-siakan dengan bentakan hanya karena sebuah kesalahan yang tak akan selamanya menjadi kesalahan,” jelasnya seraya memegang kedua telapak tangan Sastra yang mana tanpa mengalihkan pandangan matanya yang terfokus menatap kedua mata Sastra dengan begitu dalam.

“Brian…,” ucapnya lembut dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca.

“Hmmmm?,” tanya Brian menanggapi dengan sorotan kedua bola matanya yang lembut.

“Terimkasih, telah menjadi suamiku. Terimakasih, telah menjadi orang yang ikhlas mencintaiku tanpa mengharapkan kesempurnaan dariku. Termakasih, telah menerima semua kekuranganku dan membimbingku menjadi sebuah kesempurnaan. Kamu, bukti dari Tuhan, kalau Tuhab Baik sama aku, Mas! Kamu… laki-laki, terindah buatku. Aku bersyukur memiliki kamu. Makasih, banyak, Mas!,” ucap Sastra dengan mencium pipi Brian dengan seluruh rasa cintanya.

“Ikut aku yuk!,” ajak Sastra seraya mengulurkan tangannya setelah ia beranjak dari tempat duduknya.

“Kemana, Sas?!,” tanya Brian.

“Ayo, Mas!!!!,’ pintanya dengan senyuman indahnya.

Brianpun menuruti kemauan Sastra. Berjalan mengikuti langkah kaki istrinya tanpa melepaskan genggaman tangannya. Menunggu sesuatu, yang entah apa hasilnya. Namun yang pasti, hal tersebut telah berhasil membuat Brian tercengang dengaan apa yang ada di depannya.

Taman kecil dengan bunga-bunga yang ada di sekitarnya. Meja dengan dua buah kursi, dan meja panjang yang ada di sekitarnya. Sastra yang tengah berdiri di depannya, membalikkan tubuhnya. Tersenyum kepada laki-laki yang tengah berdiri di belakangnya dan tercengang di sana.

By : STIL

Bagaimana tidak? Ia tak menyangka Sastra dapat bersikap seromantis dan sedewasa itu. Ia juga tidak menyangka bahwa Sastra bisa memasak banyak makanan. Dimana, selama ini, ia selalu berpikir bahwa istrinya, seorang Sastra Binara hanya bisa mengandalkan makanan pesan atau maasakan pembantu untuk memenuhi kebutuhan perut ratanya.

“Kenapa? Kaget aku bisa kayak gini?,” tanya Sastra memastikan saat melihat ekspresi Brian yang tak percaya dengan apa yang ada di depannyaaa.

“Iya sayang. Kamu belajar darimana? Dan, emang kamu punya waktu untuk melakukan ini semua sedangkan kontrak kerja kamu dengan beberapa rekan bisnis sudah menyita banyak waktu dan..”

“Mas…,” panggilnya seraya mendekat ke arah Brian. Meletakkan kedua telapak tangannya di dada Brian.

“Ini yang membuat aku berubah. Ini, yang membuat aku mau berubah. Dan ini, yang membuat diriku untuk merubah. Kamu, Mas! Kamu adalah titik dimana aku mau melakukan ini semua. Kamu, suamiku. Pria, yang meluluhkan aku dan menghancurkan egoku. Kamu, yang hadir dalam hidupku sebagai pasangan hidupku. Kamu itu hadiah terindah dari baiknya Tuhan kepadaku, Mas.  Kamu…,”

“Aku cinta sama kamu, Ma!,” ucap Brian memutus ucapan Sastra dengan menarik pinggang Sastra agar merapatkan dirinya ke arah lebih dekat dengan Brian. Mencium keningnya dengan sangat lembut dan penuh dengan tekanan di bibirnya. Menunjukkan betapa ia tak kuasa membendung rasa rindu dan cinta yang menjadi satu dalam balutan ruang hatinya saat itu.

Jantungnya yang terasa penuh dengan geduban serta dobrakan akan saluran cintanya, mendorong dirinya dan otaknya agar memerintahkan seluruh otorik perangkat tubuhnya. Membelai dengan lembut adalah hal yang ia lakukan saat itu kepada Sastra. Tanpa melepaskan keda telapak tangannya dari pinggang Sastra, ia mencium bibir Sastra sekilas sebagaimana suami kepada istrinya.

“Kamu, anugerah yang terindah untukku. Kamu adalah pelangi dalam rangkaian hidupku. Terimakasih sudah berkorban banyak untukku. Terimkasih, sudah mau berubah hanya untukku. Aku bahagia dengan ini semua. Aku bahagia, Sastra!!! Kamu, sumber kebahagiaanku. Terimkasih,” ucapnya dengan mencium kedua telapak tangan Sastra seraya meremasnya dengan kelembutan. 

“Jika itu terimkasih kamu, aku yang akan berterimakasih karena sudah mau mengajarkan aku sebagaimana kewajiban istri, Mas. Aku sadar, nggak seharusnya aku memberikan masakan orang lain sedangkan aku masih bisa memasak untuk kamu. Aku janji, Mas. Aku nggak akan ngecewakan kamu lagi. Kemarin, adalah hari terakhir  dimana aku tak akan melakukan kesalahan yang sama,” jelas Sastra.

Brian hanya menganggukkan kepalanya. Mencium telapak tangan Sastra dengan lama, dan mengerahkan seluruh perasaannya, hingga mengundang Sastra untuk mencium kening brian yang tengah terpejam mengerahkan cintanya melalui ciumannya.

“Kamu, adalah bagian doa dalam berkahnya hidupku, Mas. Kamu, adalah bagian hartaku harus aku jaga dengan kasih sayangku. Yah… Kamu.. suamiku. Brian Vasine Pramana,” gumamnya dalam hati.

“Makan yuk! Perutmu udah bunyi, Mas!,” ucap Sastra mengingatkan agar Brian tak terlalu lama menikmati ciumannya.

“Sayang, kamu menghancurkan romantisku, loh!,” ucapnya dengan senyuman guraunya.

“Ya kan aku kasihan Mas sama perutmu, udah protes minta diisi kamu malah asik sendiri,” jelas Sastra.

“Iya, iya! Ayo makan,” ucapnya menuruti kemauan istri centilnya itu seraya melingkarkan lengan kekarnya ke arah pinggang Sastra dengan possesif.

Memakan masakan Sastra yang kedua kalinya setelah Sastra melewatkan kewajibannya sebagaimana seorang istri yang tepat waktu memasakkan suaminya menjadi titik ukur penyesalan tersendiri baginya setelah Brian begitu baik pada dirinya dan hidupnya. 

Yah… kehidupan Sastra yang dulu, jauh dan bahkan sangat jauh dari sebagaimana gendernya. Sastra yang tak pernah mengenal waktu untuk peduli dengan lingkungan sekitarnya. Sastra yang hanya biisa bermain dengan pekerjaan bisnisnya. Sastra yang enggan untuk bersentuhan dengan dapur. Hingga Sastra yang enggan untuk mengenakan kain hijab sebagai peunutup auratnya saat ia berada di luar rumah.

Semua itu, berubah seluruhnya setelah laki-laki itu. Dia, Brian Vasine Pramana, mengambil alih seluruh kendali hidupnya. Membuat dirinya jatuh di atas cinta yang telah ditawarkan Brian, hingga perjalanan pelaminan yang menjadi bagian dari hidupnya. Sebuah pernikahan yang sempat membuatnya takut.

Namun, uluran tangan Brian yang memberikan kepercayaan dimana Brian yang selalu menjaga kepercayaan yang telah diberikan Sastra sebagaimana Sastra menerima uluran itu, hingga ia percaya bahwa pernikahan adalah jalan indah yang mana keburukannya akan menjadi suatu berkah dan keindahan tersendiri.

Dibandingkan, berjalan dalam jalinan hubungan cinta dan kasih yang menjadikan kebahagiaan adalah penderitaan yang tak pernah disadari karena gelapnya kalbu yang menyelimuti. Baginya, Sastra Binara. Sosok yang tak pernah percaya akan sebuah hubungan, seketika  percaya sepenuhnya bahwa hubungan terindah adalah pernikahan.

Comments

Tinggalkan Balasan