3 MAAF

Jemari itu saling terkait. Menautkan satu sama lain, dan menyangga dagunya. Kakinya, ia selonjorkan di atas tumpukan buku yang begitu tebal. Buku yang ada di samping kanan kirinya, menjadi sesuatu yang pantas untuk digunakan sebagai kursi. Ketebalan itu, seperti sebuah benda yang mampu menompang tubuh seseorang. Tak heran jika ia menginjak buku itu setelah ia mendapatkan apa yang dimaksud dari buku itu, dan tersimpan dengan rapat di dalam memori otaknya.

Ia memjamkan kedua kelopak matanya yang berat. Di sudut matanya, menggelitik bayangan masa lalu yang kini telah diputar di depan layar, dan menjelaskan masa itu. Empat tahun yang lalu. Tahun itu, menjadi waktu dimana ia, tak dapat mengeluarkan air matanya, sekaligus tersenyum. Wajah cantiknya, terbias dengan waktu yang terus menuntutnya untuk melangkahkan kakinya menjauh dari literatur yang tak seharusnya ia tempati.

Jemari lentiknya, menghentikan putaran vedeo yang tengah berputar di depan matanya. Ia membuka kedua bole matanya, saat kedua telinganya mendengar bel rumah berbunyi. Ia bergegas menurunkan kaki jenjangnya, dan melepaskan jas labnya setelah ia merenungi waktu itu, dan menikmati putaran film kisah nyata di dalam kepala jeniusnya.

Gadis itu berjalan keluar ruangan. Yah.. ruangan yang minim cahaya, dan banyak menyimpan rahasia. Ruangan di balik rak buku perpustakaan yang terhubung dengan kamar pribadinya. Dia, gadis jenius itu. Lahir dengan seluruh getar otaknya, yang melebihi detak jantungnya. Dia, Agrintia Labirina Nabar.

“Persilahkan dia masuk. Dia pemilik rumah ini,” ucap Tia saat ia melihat CCTV pos satpam yang melarang seseorang untuk memasuki rumah megahnya.

“Siapa, Sayang?” tanya Mama Tia.

“Pelacur pesananku,” ucapnya ringan dengan berjalan meninggalkan mamanya yang masih berdiri bingung dengan ucapan putrinya.

“Biar saya saya yang membukakan pintunya, Non.”

Tia tidak menjawab. Ia hanya merentangkan satu lengannya, yang ada di kedua saku celana skinnynya.

“Tapi, Non…”

“Saya tahu bibi lelah, di sini saja. Temani saya dan mama,” pintanya lembut.

By : Laura Chouette

Di dalam saku celananya, Tia mengetukkan jemari telunjuknya. Seolah ia menghitung langkah kaki seseorang yang siap menerobos masuk ke dalam istana megahnya. Kedipan matanya yang berjalan dengan detik waktu, siap menerima sesuatu yang menjadi ketakutan di masa empat tahun yang lalu. Dan langkah kakinya yang tegar, setelah ia berlari dari literatur itu, kini telah berdiri dengan seluruh raga dan jiwanya yang genap.

“Tia…,” panggilnya lirih.

“Ya.. aku Tia. Agrintia Labirina Nabar,” jawabnya ringan.

“Kapan kamu pulang?” tanya laki-laki itu.

“Entah. Indonesia membuatku rindu daripada Ukrania dan Amerika,” jelasnya.

“Kau. Masihkah kau menjadi pelacur Daddyku?” tanya Tia seraya membalikkan tubuhnya dan duduk di atas sofa empuk yang ada di istana megah itu.

“Kemarilah, duduklah di sini. Bukankah aku juga anakmu? Selain laki-laki yang telah menghamili siapa? Menantumu itu? Aku lupa namanya. Bagaimana kabar cucumu?” oceh Tia dengan senyuman dan jiwanya yang tenang.

“Tia! Jaga ucapanmu!” bentak Daddynya.

“Ah iya, aku ada oleh-oleh untukmu, Dad…” ucapnya dengan berdiri kembali dan memberikan sesuatu yang ada di saku celananya.

Ayah Tia mengeryitkan dahinya. Kedua bola matanya yang mulai terbakar api, menanyakan maksud Tia memberikan kotak berisi flash-disk. Tia yang membaca emosi itu, hanya mengedikkan kedua bahunya, dan tersenyum ringan.

“Tahun lalu, kau ada di sini dan menyaksikan air mataku. Diriku yang terlalu muda, bersikap kurang baik padamu. Dan di hari fitri tahun ini, kita bisa bertemu kembali. Senang bisa bertemu denganmu setelah empat tahun lalu. Apa kabar? Kau belum menjawab pertanyaanku. Dan untuk silaturrahmimu tahun lalu yang tidak kuterima, kini aku menerimanya.”

“Tia!!! Hentikan!!!!” bentak Ayahnya.

Tia menolehkan kepalanya yang terfokus pada wanita di depannya. Potongan rambutnya yang pendek. Bola matanya yang hampir keluar, tinggi badannya tak sama dengan tinggi otaknya. Dan, riasan wajahnya yang berlebih menunjukkan betapa murahannya wanita di depannya.

“Aku berterimakasih padamu, atas semua jasa yang kau berikan. Dengan menggoda Daddyku, aku tahu bahwa Daddyku tidak mengetahui perbedaan antara biji cabe dan bongkah berlian.”

“Ah ya, kau ingin silaturrahmi dengan mamaku, kan? Atau dengan adikku. Atau, dengan aku yang kau tertawakan empat tahun yang lalu? Kau ingin bertemu dengan siapa? Dan siapakah yang ingin kau sakiti?” tanya Tia dengan memajukan langkahnya. Kemudian, ia mendekatkan kepalanya, dengan telinga wanita itu.

“Kau, datanglah kemari. Karena aku memiliki sesuatu, agar kau tahu siapa yang pantas untuk kau sakiti, wanita jalang,” bisiknya dengan senyuman rendah.

Kemudian, Tia memundurkan langkahnya. Ia kembali menatap ke arah Ayahnya yang tengah berdiri di depannya dengan sorotan matanya yang kosong.

“Dad.. Maafkanlah ketiga kesalahanku.”

Ayahnya hanya terdiam mematung dengan ucapannya, saat sadar apa yang diucapkannya, berhasil menjadi tonggak untuk melihat betapa, sakitnya ia terbilah pedang emas yang ia ciptakan sendiri.

Tia membalikkan tubuhnya. Kemudian, ia meninggalkan ruang tamu yang menjadi saksi dimana Tia yang merengek memohon kepada wanita pelacur itu agar tidak menghancurkan mamanya, kini ia memberikan jalan kepadanya untuk menghancurkan seluruh komponen tangisannya empat tahun yang lalu. Adiknya, dan ibunya. Karena ia cukup tahu bagaimana rasanya, menjadi pribadi yang bijaksana, dan wibawa, dengan apa yang ada. Karena dia, adalah Agrintia. Bukan Ira.

Comments

Leave a Reply