“Kau, adalah kado terindah dalam hidupku. Bentuk doa yang selalu kupanjatkan kepada Tuhan. Kau, adalah bentuk sempurna. Renkarnasi kebaikanku, yang selalu kusangkal. Hanya namamu yang selalu mengangkasa dalam setiap ucapku. Kau, yang tengah berusaha bersahabat dengan ganasnya ombak lautan dan mengharap pelukan pucuk kelapa.”
–P.N.Z–
Pernah, mencoba. Pernah, menahan. Pernah, belajar. Pernah, pernah, dan pernah. Tapi waktu, seolah tak merestuinya. Waktu terus berpihak entah kepada siapa. Tak tanggung dan tak kurang doa yang terus mengangkasa. Namanya, yang entah siapa. Namanya, yang sebagai bentuk sebuah harapan. Harapan, yang entah kapan akan datang. Harapan, yang entah kapan menjadi kenyataan. Hanya langkah, langkah, dan langkah untuk mencapai tujuan.
Bisikan itu terdengar jelas. Bahkan sangat lantang. Tapi telinganya yang indah dengan anting-anting berlian di tengah lehernya yang putih dan jenjang. Bersih. Tanpa ada garis. Terlihat betapa ia rajin merawat tubuhnya. Terlihat pula dari anting-anting itu, bahwa ia cukup memiliki status ‘kaya’ dengan harga anting-anting yang hanya menjual tiga rumah. Atau menjual lima apartemennya.
Tapi tidak. Semua itu bukalah dirinya. Ia tidak tahu mengapa ia terlahir dari keluarga yang cukup dengan kalimat itu. Ia tidak mengerti kenapa mulut munafik ‘mereka’ seketika berhenti saat mendengar nama Vabrigas hendak melewati mereka. Yah.. gadis dengan rambut pendeknya sebahu. Mata sipit dengan bola matanya yang coklat bersemu hitam. Terlihat jelas jika itu turunan blaster. Bibir mungilnya. Hidung mancung mungilnya. Sama persis seperti kucing. Mini, dan mungil.
“Bisakah kau mengatakan keburukanku di depanku saja tanpa harus membicarakanku di belakangku?” tanyanya santai dengan memainkan kukunya yang terawat. Jari mungil, yang diciptakan dengan lentiknya.
“So.. so- rry…,” ucapnya terbata seraya mengeluarkan keringat dingin tanpa ia sadari.
Gadis itu mengangkat kepalanya. Menatap wajah lawan bicaranya, dan menatap kedua matanya. Jarinya yang lentik, dengan sengaja mengusap pelipis yang berkeringat itu. Nafasnya, begitu mengintimidasi. Suaranya, begitu menyakiti. Dan senyuman itu, sungguh membunuhnya. Senyuman, yang menjadi malapetaka bagi siapapun. Dia, Zania Vabrigas.
“Kuharap, kuku cantikku dan jemari lentikku, tak lagi menyentuh kulit kotormu, dan hanya untuk menutup mulut yang entah ibumu melahirkanmu dengan bantuan iblis yang mana. Kau, dengarkan aku. Zania Vabrigas, tak seharusnya kau membicarakan ia di belakangnya. Tapi bicaralah di depanku. Karena aku, lebih menghormati itu. Cakman itu!” tegasnya dengan nada yang rendah dan setengah membisik.
Tatapan itu, suara itu, sentuhan itu, begitu menakutkan. Gadis itu memang sangat menakutkan. Tak ada seorangpun yang berani menyentuhnya. Kesehariannya, ia selalu sendiri. Tapi ia tak merasa sendiri. Ia selalu enjoy dengan kesendirian itu. Dia tidak memperdulikan lingkungan sekitarnya. Ia juga tak pernah tertekan dengan lingkungan yang membuatnya sendiri. Bagaimana tidak? Sikapnya yang begitu menakutkan hanya orang-orang tertentu saja yang berani mendekatinya atau bahkan bisa menyentuhnya. Atau mungkin, orang yang sama dengannya.
Sejak kecil, ia selalu menjadi sorotan dengan dirinya yang menonjol. Kehidupannya yang selalu berada dilingkungan VIP menjadikan dirinya sangat rentan untuk berada di luar. Lingkungan luar yang menurutnya tak cocok untuknya, bukanlah keinginan dirinya. Melainkan kedua orang tuanya. Bagi kedua orang tuanya, Zania yang selalu percaya dengan dirinya sendiri dan tidak menggantungkan dirinya kepada orang lain, adalah hasil didikannya.
________________________***__________________________
“Seburuk itukah kamu dulu sayang?” tanya seseorang yang tengah duduk di sampingnya.
Zania menganggukkan kepalanya. Bibir mungilnya tak henti-hentinya, meminum air kelapa muda dan ia menikmati malam itu. Di mulut pantai, ia menikmati deburan ombak dan sapaan ombak. Dengan orang, yang jauh berbeda dengannya.
Entah mengapa Tuhan mempertemukannya dengan laki-laki itu. Ia tak secantik dirinya, tak seputih dirinya, dan tak lebih dari dirinya. Tapi laki-laki itu, berhasil membuat dirinya berada di bawahnya. Entah bagaimana caranya. Tapi, semua itu benar-benar terjadi seolah hanya menjadi-jadi.
Dengan laki-laki itu, ia mulai menemukan langkahnya. Dengan laki-laki itu, ia mendengar bisikan indah, Syahdu, dan menenangkan. Hingga hatinya yang keras seperti batu, bukan hanya meleleh saja. Melainkan, hancur seketika.
Laki-laki yang berada pada tapak kaki kerasnya. Tapak kaki, yang sudah sama-sama membatu bersama dengan hatinya. Mengeras bersama masa yang sudah tak patut menjadi sebuah masa atau peristiwa.
Bukan pakaian yang melekat di tubuhnya itu yang membuatnya mencintainya. Bukan pula tali dan beberapa perangkat yanga ada di dada dan pundaknya. Bukan tubuh atletisnya. Bukan pula hasil waktunya. Tapi, rasa yang berhasil menghantuinya. Rasa yang membuatnya jatuh cinta. Entah mengapa?
Dan, untuk pertama kalinya, bibir mungilnya mengucapkan sepatah kata bahwa ia menerima kado sempurna. Kesempurnaan itu begitu indah. Kesempurnaan itu nyata. Kesempurnaan itu, sudah jelas membuat kita bahagia.
“Kamu, adalah kado terindah untukku. Kamu, nyata. Bukan bayangan semata. Baik ucapanmu, wujud rasa hingga karsa. Aku tak tahu mengapa? Tapi Tuhan memang selalu ada. Tuhan selalu mendengarkan setiap doa yang kuminta. Sungguh serakah aku kepada-Nya. Tapi apalah daya, aku hanya manusia. Tugasku memang ditakdirkan dan digariskan untuk meminta. Agar aku selalu mengingat, bahwa aku hanya ciptaan-Nya,” ucap Zania dengan menikmati deburan ombak dan melepaskan mulutnya dari
“Terimakasih atas segalanya. Terimakasih karena selalu ada. Terimakasih telah menjadi cinta. Terimakasih telah menjadi puja. Bukan karena bangga. Tapi karena rasa. Yang entah berasal darimana. Hingga aku tak mampu berkata. Aku juga hanya manusia. Aku hanya punya rasa sebagai wujud anugerah-Nya,” ucap laki-laki itu dengan membelai kepalanya.
Zania memejamkan kedua bola matanya. Meresapi angin lautan. Menikmati suara laut, Dan menikmati belaian itu. Sesuatu yang tak pernah terkira. Dalam rangkaian kata, Zania hanya bisa berdiam. Termangu mencintai hingga terasa tak bernyawa. Melayang ke angkasa, dan ada pada pucuk kelapa. Seperti rasa yang terus dirindu oleh sosok nahkoda.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.