KETETAPAN | SNAKE Episode 4

 “Zania!” panggil seseorang saat ia berjalan menyusuri jalanan itu. Jalan, yang berlorong dengan dinding pohon pinus. Dingin, sejuk, dan… sedikit ketakutan saat ia membayangkan hal itu.

“Lo?!” nyata Zania saat ia melihat seseorang tengah berlari ke arahnya.

“Sekarang kita ada kelas, kan?” tanya Safa.

“Hmmmm, mau bareng?”

“Jelaslah. Lo udah makan belom?” tanya Safa perhatian. Mengingat, Zania adalah gadis yang sangat malas untuk urusan makanan. Ditambah, jadwalnya yang padat. Baik itu untuk mempersiapkan kompetisinya, ataupun jadwal kompetisinya serta jadwal mata kuliah dan tugas-tugas kuliahnya. Yah.. itulah Zani. Zania Vabrigas.

Gadis, yang meliuk indah saat berada di panggung kemenangan. Gadis, yang meliuk indah, dengan lesung pipitnya saat ia tengah tersebut. Gadis, yang meliuk indah saat kedua matanya menyipit di kala ia tengah tersenyum dengan lesung pipitnya.

Gadis, yang terlihat seksi, saat ia mengemukakan pendapatnya di depan forum. Gadis, yang terlihat seksi dengan konsentrasinya saat berada di atas bidang datar. Dengan bermacam-macam warna cat, jenis pensil, dan juga pentel yang ada di jemari lentiknya. Dia, liar seperti ular. Yah.. ular yang lahir dari keluarga Vabrigas.

“Zan… by the way nih, kemaren gue lihat lo di caffe La’ De’ Veour. Bareng cowok. Siapa? Pacar lo?” tanya Safa menyelidik.

“Oh ya?! Lo ngapain ada di sana?” tanya Zani balik bertanya.

“Pesen Pizza. Kemaren gue baru balik dari kampus jam segituan. Awalnya sih gue ragu, makanya gue nggak nyapa lo. Tapi, saat gue udah ada di luar caffe, gue baru lihat dengan jelas kalau itu adalah lo, Zan. Karena saat gue ada di dalam, posisi lo munggungin gue. Tapi saat udah di luar, wajah lo kan kelihatan tuh dari samping, baru deh kelihatan jelas kalau itu lo,” jelas Safa panjang lebar.

“Hmmmmm, gue emang semalem ada di sana,” ucap Zani singkat.

“Laki-laki yang ada di depan lo itu, cowok lu?” tanya Safa memastikan.

“Hmmm….,” dehamnya dengan menganggukkan kepalanya pelan.

“Oh ya?! Sejak kapan lo jadian sama dia? Waaahhhhh, nggak nyanga Zania bisa pacaran, hahahaha,” ucapnya diselingi dengan tepukan tangan.

“Ish. Bisalah. Gue udah gede kali,” ucapnya dengan memicingkan matanya seraya tersenyum.

“Ah, iya deh, tahu.. percaya, percaya. Tapi, itu bukan mainan lo, kan?!” tanya Safa.

“Hush! Mulut lo, Fa. Sejahat apapun gue ke cowok, mempermainkan bukanlah gue, Fa. Bagi gue, permainan udah cukup saat gue bermain dengan yang namanya kompetisi, strategi kemenangan, dan.. ah tahu lah sendiri, gue kayak gimana, Fa. Udah yuk, masuk.”

“Hmmmm, yuk!”

Kembali berjalan menaiki setiap anak tangga. Obrolan ringan dan beberapa candaan ringan menjadi sarapan hangat untuk Zania yang memang tidak pernah sarapan pagi kecuali pada saat ia tengah berada di rumah. Meski materi berlimpah ruah, Zania bukanlah tipikal orang yang senang membuang uangnya.

Meski itu, hanya untuk menyewa pembantu sekedar memasak makanan keseharian. Baginya, makanan itu akan segera basi. Mengingat, jadwalnya yang padat dan mengharuskan dirinya makan sambil bekerja dengan gerakan ekstra. Semua itu, tak lain hanya untuk mengejar waktu.

“Oh Tuhan….,” gumam Safa saat melihat sesuatu yang terjadi di dalam kelasnya.

“Abang,” panggil Zania rendah.

“Hai,” sapanya dengan senyuman seraya berjalan ke arahnya.

“Kamu nggak kerja?” tanya Zania saat laki-laki itu berada tepat di depannya dengan sebuket bunga mawar berwarna putih dan merah.

Happy birthday, sayang.”

“Bang Hafid. Kamu… kamu… kamu…”

“Sssssttttt. Nikmati waktuku, sebelum aku yang menikmati waktuku,” jelasnya dengan menatap kedua bola mata Zania. Tatapan itu, begitu tulus. Hangat. Dan…. tatapan yang berhasil membuat Zania, meletakkan keputusan akan hatinya. Agar menetap pada satu tempat, dan tak lagi merasakan kedinginan karena emosi, atau hangatnya hati saat ia meminum secangkir coklat panas dengan celupan biskuit yang memanjakan lidahnya.

By : Analia Baggiano

Dengan cinta itu, Zania berusaha memanjakan dirinya. Ah.. bukan. Bukan dirinya. Melainkan, hatinya dan pikirannya yang terus tersiksa dengan padatnya waktu akan jadwalnya. Tidak hanya sekedar berkarir. Tapi, menenangkan dirinya, juga memadatkan jadwalnya.

“Terimakasih untuk hari ini,” ucap Zania lembut.

“Sama-sama. Abang nggak bisa lama-lama. Mungkin, ini kesalahan abang memilih cita-cita. Tapi, abang lebih senang kalau cita-cita kamu tidak terlalu memeras otakmu, Dek. Kamu tahu, abang lebih menyayangi otakmu dan hati daripada dirimu. Karena bagi abang, kamu hanya bergerak untuk mereka berdua. Berbeda dengan abang, yang bergerak untuk penumpang abang. Baik itu barang, atau manusia. Jika resiko abang adalah meninggal karena menembus ombak. Maka, resiko meninggal kamu lebih konyol daripada abang jika kamu terlalu menyiksa diri kamu dengan berpikir telalu keras. Kamu tahu, bukan hanya hati yang membutuhkan makanan yang berupa kasih sayang. Tapi, otak juga membutuhkan makanan. Setidaknya, bawalah air putih kemanapun kamu berada. Karena abang nggak mau, kamu meninggal lebih dulu dengan cara yang konyol, hanya karena dehidrasi. Paham?” tanyanya seraya memegang dagu Zania.

“Hmmmmmm, hati-hati di jalan, Bang.”

“Pasti. Tunggu abang kembali,” pintanya lembut seraya mengecup kening Zania dengan memejamkan sepasang matanya. Begitu juga dengan Zania. Pejaman mata itu, adalah waktu dimana ia merasakan ketulusan perasaan laki-laki yang ada di depannya. Laki-laki, yang selalu mengucapkan ‘jangan lupakan aku’. Laki-laki, yang selalu berusaha memberikan waktunya. Laki-laki, yang terus berjuang melawan ganasnya ombak. Laki-laki, yang berusaha bersahabat dengan lautan. Dan, laki-laki yang berusaha kembali dengan selamat.

“Abang pergi dulu. See you,” ucapnya seraya melangkahkan kakinya.

Derapan sepatu yang mengiringi langkahnya, teriring dengan langkah kaki, mengangkat telapak tangan Zania untuk menyaksikan kepergian laki-laki itu. Laki-laki, yang menjadi titik kerinduannya di kala jarak memisahkannya. Meski demikian, bukan alasan Zani memilih untuk kesepian.

Mungkin ia akan menyiksa dirinya dengan memeras otaknya. Tapi, sedikit. Bahkan, lebih sedikit. Karena ia tahu, pesan, adalah kesan. Dan, pesan adalah ketetapan. Yah.. ketetapan antara dirinya untuk dia yang telah berpesan. Hafied Wahyu Pramono.

       ************************* MASA SEKARANG ***************************

“Jadi, itu alasan lo nolak gue sekarang? Hanya karena kisah ulang tahun lo yang udah berlalu itu? Dengan laki-laki itu? Yang tega ninggalin lo? Dan… yang tega nyiksa lo kayak gini?! Hello Zania!!! Please, realita! Cinta nggak bisa seperti ini terus menerus. Gue yakin, lo akan segera putus sama dia,” sumpahnya dengan senyuman remeh.

Zania menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia tersenyum lembut saat mengingat wajah Hafied. Ia, juga bahkan terkekeh ringan, saat mendengar suaranya. Canda tawanya, dan…. peristiwa, yang telah mereka lalui bersama.

“Mungkin, lo bisa bilang kayak gitu. Tapi, enggak untuk gue. Bukan berarti dia tega nyiksa gue dengan meninggalkan gue, kemudian gue mati rasa dengan merindukan dia. Enggak. Lo salah besar besar, Man. Lo nggak berhak membicarakan dia. Karena lo, belom kenal dia.”

“Zan, baiknya dia itu apa sih, sampai lo berani nolak gue, hah? Apa karena dia tajir? Atau dia tampan melebihi gue? Atau, lebih pintar daripada gue? Apa yang lo banggain, sampai lo mau mempertahankan dia, hah?! Zan! Please, lo cewek. Gue yakin, kalau lo bakalan butuh belaian.”

“Bukan karena apapun. Hanya karena kekurangannya dia yang salah memilih cita-citanya, hingga gue harus kena impasnya. Tapi, semua itu nggak sebanding dengan ketulusan yang diberikan oleh dia. Cintanya, sejernih air laut. Sikapnya, seindah batu karang. Dan bahkan suaranya, setenang angin laut. Candanyapun, seperti ombak lautan. Kasih sayangnya, tak terukur meski ia berulang kali mengitari samudera. Herman, bagi gue, Bang Hafid, adalah laki-laki terbaik yang pernah singgah dalan hidup gue. Jika ia setia dengan cita-citanya, sebagai pelaut. Kenapa enggan dengan cintanya. Bukan berarti egois. Karena gue sendiri, aja juga punya cita-cita. Guepun nggak mau melepas cita-cita gue saat itu hanya satu langkah. Apalagi, saat kita sudah berada di tempat itu. No! I Miis Him, because him, do not totured. So please, you dont come back in my life. Because, I dont love you, if I just thingking a friends for you. Permisi!,” ucapnya tegas tanpa menghilangkan kelembutannya.

Zania beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan meninggalkan laki-laki yang tengah memaksa, akan cinta harus memiliki. Senyuman di sudut bibirnya dengan gelengan kepala, menjadi akhir malam itu. Berjalan menjauh dari caffe mewah dan terkenal akan sajian Italia, adalah hal utama yang ia lakukan.

Akan tetapi, sebuah suara di tengah keramaian, menghentikan langkahnya. Zania menolehkan kepalanya. Seketika, ia berlari dengan kencang. Menembus angin, yang terus membelainya. Namun, belaian angin sudah tak berarti untuknya. Baginya, belaian kedua telapak tangan kasar itu, lebih halus dibandingkan angin yang membelainya.

“Terimakasih, sudah bertahan.”

“Hmmmmm.”

Ia tersenyum dengan lembut. Kembali mengecup kening Zania. Kembali ke masa, yang telah tama menjadi rangkaian peristiwa. Masa, yang penuh dengan cobaan di kala Hafied harus kembali menembus ombaknya dan kembali ke pelukan gadis, yang tengah menantinya dengan sabar, dan tabah.

“Ayo pulang. Aku sudah memasakkan sesuatu untuk kamu,” ucap Hafied.

“Oh iya? Di apartemenmu?” tanya Zania.

Hafid menggeleng lembut seraya tersenyum tanpa melepaskan pinggang Zania.

“Apartemenku?” tanya Zania menebak-nebak layaknya anak kecil.

Hafied menganggukkan kepalanya. Dan, kembali mencium kening Zania saat ia tak tahan setelah melihat kedua bola mata Zania yang mendongkak di kala itu. Mengingat tinggi mereka lumayan jauh.

Zania memilih untuk melepaskan pelukannya, kemudian berlari meninggalkan Hafied dan mengundangnya untuk mengikuti langkahnya. Sampai akhirnya, mereka berlarian di depan caffe layaknya seperti anak kecil. Menjadi pusat perhatian pengunjung caffe, akan kemesraan mereka. Beberapa dari mereka, tersenyum seolah mereka ikut merasakan kebahagiaan mereka. Kecuali, Herman.

Tak lama dari itu, Hafied menangkap Zania dan membawanya ke dalam dekapannya. Kemudian, mereka berjalan ke dalam mobil. Kembali ke apartemen, untuk melanjutkan sisa malam itu. Yah… menikmati rencana Hafied, yang entah ada apa dengan makanan buatannya.

Comments

Leave a Reply