SUMPAHKU PADA LAUTAN | RASA Episode 8

“Suka?” tanya seseorang tepat berada di sisi telinganya.

Ia menganggukkan kepalanya. Gadis itu menganggukkan kepalanya. Suaranya yang lembut, dan memikat, membuat laki-laki itu merapatkan genggamannya ke dalam sela-sela jemari mungil yang kini ada di atas telapak tangannya.

Gelombangan rambutnya yang menyapu lembut wajah tegasnya, membuat hidungnya tak henti-henti untuk menghirup puncak kepala gadis yang ada di depan dadanya. Gadis yang sangat rentan di pandangan matanya, meski ia adalah gadis yang kuat. Di matanya, gadis yang kini ada di depannya adalah gadis yang tak ternilai dengan apapun. Yah.. meski itu adalah kepemilikannya.

“Dalam saksi angin lautan, ombak samudera, hingga dalamnya palung laut, serta ganasnya badai laut, aku atas nama lautan yang kuarungi Hafied Wahyu Pramono bersumpah, melepaskan kepemilikannya kecuali kamu, gadis kecilku,” gumamnya dalam hati.

“Bang… abang…,” panggilnya berulang kali hingga membuatnya untuk membalikkan badan.

Ia terdiam dalam bisu. Melodi semilir angin  lautan, seolah ikut bertanya dalam kerutan keningnya. Kening yang menjadi tempat berlabuh bibir tipis yang tengah ada di depannya. Sosok lelaki yang menjadi titik dimana ia tak mau berkehendak lebih dari apa yang pernah ia lakukan sebelumnya.

Dalam bisu, ia mempertanyakan beberapa hal. Dalam dekat, ia mendapati kedua bola mata yang tengah menatapnya dengan diam. Tatapan mata yang entah apa maksudnya, ia tak mampu menerjemahkannya. Namun, kediamannya, seolah berusaha untuk masuk dalam pintu bola mata hitam itu. Mata yang pekat, dan bulat dengan sempurna.

“Abang… abang kenapa?” tanyanya saat ia sudah tak mampu menemukan sesuatu meski ia telah memasuki tempat yang biasa ia temukan di kala ia membalas tatapan laki-laki yang biasa menatapnya tanpa alasan.

“Nggak papa. Abang hanya pengen natap mata kamu aja,” jelasnya singkat.

“Abang aneh tahu,” ucapnya singkat.

Sunyi. Hanya kecupan itu yang terdengar. Tentu saja di tempat yang biasa digunakan untuk mendaratkan bibir dan keningnya. Kening, yang mempertemukan mereka berdua. Kening, yang mengubah posisi mereka. Kening, yang menjadi album memori keduanya. Dan, karena kening itulah Hafied memilih gadis kecil yang tengah memejamkan kedua mata bulatnya untuk meresapi kecupannya.

“Abang, Zania mau nanya sesuatu boleh?” tanya Zania singkat.

“Apa?” jawab Hafied dengan melepaskan kecupannya.

“Abang kemarin kemana? Zania berulangkali coba buat hubungin Abang. Tapi, tak juga diangkat? Bukankah kemarin Abang masih libur? Nggak naik kapal lagi,” tanya Zania dengan wajah polosnya.

“Ada hal yang perlu Abang selesaikan. Oh iya, gimana dengan kuliah kamu?” tanya Hafied dengan tersenyum.

Zania terdiam. Ia tetap menatap kedua bola mata lelakinya. Zania, terus mengamati kedua bola mata itu. Seolah ia bisa membaca apa yang dipikirkan oleh Hafied. Berulangkali Hafied tersenyum, seraya bertanya-tanya ringan. Ia mengoceh atau bahkan berkicau seperti burung.

Bahkan Hafied juga menggiring Zania untuk berjalan-jalan di sepanjang pantai setelah mereka berhenti saat Hafied tengah mengecup kening Zania tadi. Zania melakukan apa yang diinginkan oleh laki-lakinya. Ia berjalan di belakang Hafied. Menundukkan kepalanya, melihat ke arah jejak kaki yang tertera di depannya. Seperti menghitung waktu yang ada.

Hembusan lautan menjadi teman Zania saat ia terus mendengarkan apa yang diucapkan Hafied. Lelakinya. Yang akan menjadi suaminya. Zania terus memutar pikirannya. Hatinya berkata seolah ia harus bertanya. Zania menolak apa yang dikatakan hatinya, tapi pikirannya terus bekerja sama dengan hatinya, hingga berhasil membuat Zania menyetujui bisikan hatinya.

Malam itu menjadi malam, yang indah untuknya. Dia, tapi entah dengan lelakinya. Zania menatap ke arah punggung lebar itu. Punggung yang selama ini memikul beban yang begitu berat. Punggung itu dianugerahkan kepada lelakinya, sebagai pelindung. Tentu saja melindungi ribuan penumpang yang tengah naik di atas kapalnya. Sebuah kemudi, yang ada di bawah tanggung jawabnya. Bagi Zania, semua itu gila. Bahkan sangat gila, dan terus menggila.

“Kenapa?” tanya Hafied. Ia mengucapkan pertanyaan itu di kala ia sadar, bahwa genggaman yang selama ini ia jaga agar selalu ada di sana, terlepas dari jangkauannya. Gadis itu, Zania Vabrigas. Untuk pertama kali melepaskan genggaman laki-lakinya.

“Kenapa?” tanya Hafied mengulang ucapannya saat Zania tak menjawab pertanyaannya. Tidak seperti biasanya. Sorotan mata itu terlihat begitu jelas. Sorotan mata, yang tersenyum. Sorotan mata itu, terlihat bahagia. Tapi garis wajahnya, tak menunjukkan kebahagiaan yang ada.

Zania memajukan langkahnya. Ia berdiri lebih dekat dari jarak yang tercipta di sana. Hafied membenarkan posisinya. Ia berdiri tegak seperti semula ia menghentikan langkah kakinya di sana. Saat posisi kedua berasa ada di saat yang tepat, Zania mengulurkan telapak tangannya. Ia menatap ke arah kedua bola matanya yang mengucapkan ‘jangan lakukan itu’.

“Tak bisakah Abang mengatakan sesuatu?” tanya Zania.

“Sesuatu apa yang ingin kamu dengar?” tentang Hafied dengan memajukan posisi kepalanya. Menerobos angin pantai, yang berusaha memisahkan dirinya.

“Katakan sesuatu tentang kejujuran,” ucap Zania tanpa melepaskan tatapan mata.

Hafied menjauhkan kepalanya. Ia memalingkan wajahnya dan memilih untuk menatap mulut pantai yang terus menggodanya. Tapi caranya memalingkan wajahnya, terasa begitu berat saat ia harus melepaskan jemari yang tadinya melepaskan genggamannya, kini harus bergantian ia yang melepaskan.

“Abang jawab Zania,” ucapnya singkat dan lembut.

“Abang nggak bisa jawab sekarang,” jawab Hafied tegas tanpa menatap kedua bola mata Zania.

Zania menggerakkan jemarinya. Membelai kedua sisi pipi Hafied yang tengah berpaling darinya. Membawa wajah itu, untuk kembali menatapnya. Melihat kedua bola mata Zania yang tengah menanti jawabannya.

“Zania nggak akan memaksa Abang untuk mengatakannya sekarang, nanti, besok, lusa, atau kapanpun itu. Tapi yang pasti, Zania akan terus menunggu Abang. Sampai kapanpun Abang mau mengatakan. Karena Zania yakin, Abang bukanlah orang yang pandai menyembunyikan sesuatu di kotak yang seharusnya Abang gunakan sebagai tempat persembunyian Abang,” jelas Zania.

Hafied tak mengatakan apapun. Ia hanya terdiam dalam seribu bahasanya. Tanpa ucapan apapun dari bibir kelunya, ia memerintahkan angin lautan untuk mendorongnya. Agar ia mampu untuk membawa gadis kecil yang tengah ada di depannya ke dalam rengkuhan pelukannya. Ke dalam dekapan dadanya, dan berada di bawah nafasnya.

Zania menempatkan kepalanya mengikuti jemari Hafied yang menuntunnya untuk tepat berada di jantungnya. Samar-samar, ia dapat mendengarkan degup jantung lelakinya. Dan sayup-sayup, ia mendengar teriakan girang dari pucuk kelapa yang tengah menyaksikan mereka. Begitu juga dengan nyanyian bahagia ombak, yang tengah merestui mereka bersama dengan bulan di sana. Tentu saja, bersama iringan waktu.

Comments

Tinggalkan Balasan