SOPIR | RASA Episode 7

“Maaf Pak. Anda tidak diperbolehkan masuk,” ucap seseorang yang ada di pos penjaga.

“Dia, juga seorang sopir. Hanya saja kita berbeda divisi,” jelas Dirga saat Hafied tidak menyerahkan kartu akses masuk.

Penjaga tersebut masih tidak mempercayainya. Dirga yang geram karena terlalu lama menunggu, akhirnya Dirga menyerobot masuk dan menyingkirkan penjaga gerbang lapangan terbang itu. Alarm, berbunyi dengan nyaring. Banyak orang berlarian ke sumber suara.

Pasukan. Yah.. pasukan itu tengah mengepung Dirga yang berbuat arogan. Semua orang yang tengah menggunakan seragam kebanggaan mereka tengah mengangkat senjatanya masing-masing. Dirga yang masih kesetanan dengan sikapnya dan terus memukuli serta menghujani penjaga itu mendapatkan peringatan melalui salah satu pistol yang tengah di pegang oleh pasukan itu.

Hafied yang berusaha melerai justru kalah karena Dirga yang masih kesetanan dengan emosinya yang menggila. Berulang kali teriakan dari pemimpin pasukan itu, terdengar menggema di dalam alam bebas lapangan terbang mereka.

“Berhenti atau mati?” ucap seseorang yang seketika berhasil menghentikan tingkah Dirga. Suara itu tidaknya asing bagi Dirga. Bahkan sangat familiar.

“Daddy,” panggil Hafied lirih.

“Turunkan senjata kalian, biar aku yang mangurus harimau ini,” ucap ayah Hafied seraya menggiring Dirga untuk mengikuti langkahnya. Begitu juga dengan Hafied.

Pasukan yang tengah mengepung itu menurunkan senjatanya setelah pemimpin pasukan memberikan aba-aba untuk menuruti perintah atasannya. Dirga, juga seketika menurut dengan ucapan ayah Hafied. Mengingat, kedudukan ayah Hafied yang jauh lebih tinggi baginya, dan ia yang lebih tinggi daripada pimpinan pasukan itu.

“Pergilah ke lapangan terbang itu, selama kamu siap mendapatkan hukuman dari saya,” ucap ayah Hafied singkat saat berada di dalam ruangan itu.

“Siap Capt,” ucap Dirga dengan memberikan mengangkat telapak tangan kananya dan memberikan hormat.

Ayah Hafied meninggalkan ruangan kerjanya dan membiarkan sahabat putranya untuk melakukan sebagaimana tugas mereka untuk mengakhiri kenakalan mereka. Hafied menghembuskan nafas beratnya. Ia meraih telapak tangan Dirga dan meletakannya untuk menjadi sikap tegaknya.

“Makasih udah menjadi perisai buat gue di kala gue hanya bisa sebagai anak panah untuk lo,” ucap Hafied dengan menatap kedua bola mata Dirga.

“Gue nggak akan menjadi perisai untuk lo. Karena tugas gue bukan untuk menjadi perisai. Tapi menjadi busur panah yang selalu digunakan untuk meluncurkan anak panah. Perisai, adalah tugas lo setelah ini. Bukan hanya lo yang akan menjadi perisai. Tapi, gue juga demikian. Kita akan mencintai wanita yang akan kita jadikan sebagai tempat berlabuh untuk lo, dan mendarat untuk gue setelah gue terbang. Fied, jangan pernah menganggap kita saling membebani. Karena beban itu nggak berlaku untuk kita berdua. Lo udah lupa sama janji kita? Tch! Masa kecil yang bodoh,” jelas dengan decahan ringannya saat ia kembali mengingat masa kecil mereka. Sungguh hal yang sangat gila.

“Haruskan kita mulai nakal lagi?” tanya Hafied dengan senyumannya yang menyeringai.

“Iya dong. Harus. Gue yakin, saat lo udah menikah nanti, gue akan kesulitan mencari sela waktu buat ngajakin lo nakal lagi. Karena lo, akan sibuk menghabiskan sisa waktu lo di akhir pekan dengan istri dan juga anak-anak lo,” ucap Dirga.

“Okke fine!,” ucapnya singkat dengan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan ayah Hafied.

***

By : Ashim D’Silva

Suara bising, terdengar begitu jelas. Suara yang menjadi cita-cita untuk Hafied, dan suara yang menjadi kegenapan hati untuk Dirga. Takdir yang memutar balikkan keinginan mereka, dan menjadikan kehidupan mereka jungkir balik layaknya sebuah permainan hamster.

“Lo siap?” tanya Dirga setelah ia menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh Hafied sebagai pilot yang sesungguhnya. Sedangkan Dirga yang seharusnya berada di depan kemudi peswat itu, menjadi CO pilotnya.

Dalam deruan nafas yang menyertai deru mesin pesawat, Hafied menggerakkan jemarinya yang seharusnya memegang kemudi kapal. Mengambil alih mesin baling-baling yang siap mengantarkannya untuk mengarungi samudera. Yang siap membawanya dalam pertempuran bersama dengan badai lautan, gelombang samudera, hingga amukan semesta, yang tersampaikan dengan air laut itu.

“Fied!!!,” teriak Dirga saat Hafied terlalu tinggi membawa awak pesawat dan melebihi batas  tinggi seharusnya.

Sorry-sorry, gue salah. Gue nggak sengaja,” jelas Hafied berusaha mengendalikan dirinya dan pesawat itu.

“Lanjut-lanjut. Itu tekan tombol yang ada di samping lo,” pinta Dirga dengan menunjuk ke arah tombol yang seharusnya ia tekan. Sedangkan dirinya, mengendalikan awak pesawat yang menjadi bagiannya. Kepalanya menengadah ke atas, meraih rangkaian tombol untuk menurunkan akurasi kecepatan. Sekaligus, mengimbangi Hafied yang berusaha untuk menyeimbangkan awak pesawat dengan kondisi angin yang mulai kencang saat mereka berada pada tempat yang berbeda.

Hafied tetap berada pada kemudi pesawatnya. Ia menganggap bahwa kemudinya berada dalam tegangan yang aman. Tapi Dirga yang merasakan itu semua, seolah tak wajar. Dirga melepas audionya. Ia mendengarkan deru mesin dengan telinga telanjangnya. Sejenak, Dirga melongok keluar.

Dirga kembali menolehkan kepalanya ke arah Hafied yang masih baik-baik saja dengan kesalahannya. Ia menatap ke arah Hafied. Kedua bola matanya menunjukkan bahwa Dirga tengah mengajukan pertanyaan kepada Hafied perihal tombol apa yang telah Hafied tekan untuk mengendalikan awak pesawat.

“Ya ampun!” decah Dirga dengan menepuk jidatnya.

Hafied masih bertanya tentang kesalahannya. Akan tetapi, dari sana ia sudah cukup mengerti bahwa ia tengah keliru menekan tombol yang seharusnya ia tekan. Dalam kendalinya, Hafied mengambil tindakan untuk tetap mengendalikan kemudinya. Sedangkan Dirga mengendalikan awak pesawat dengan mengambil alir seluruh tombol. Termasuk yang ada dalam kendali Hafied.

Karena jika tidak awak pesawat akan meluncur dengan menjorok ke bawah. Dalam artian, mereka akan mendarat dengan kepala, bukan menggunakan kaki yang seharusnya mereka gunakan. Layaknya sebuah burung, burung tersebut mendaratkan dirinya dengan paruhnya. Bukan dengan kaki kesayangannya yang menjadikan dirinya selamat.

“Kita akan landing dalan waktu lima menit. Lo kendalikan awak pesawat dalam posisi vertikal. Jangan melebihi sudut itu. Jikalau enggak, maka sayap pesawat akan menyentuh lapangan. Sehingga, keseimbangannya akan terganggu. Jadi, usakan ada pada sudut yang gue sebutkan tadi. Misalkan sayap yang kiri kena, maka sayap yang kanan demikian. Sedangkan tubuh depan dan belakang akan ambruk duluan yang depan. Dan kita bisa meledak dalam ruangan ini. Lo paham kan maksud gue Fied?” tanya Dirga menjelaskan.

Hafied menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia kembali fokus dengan kemudinya. Untuk kali ini, Hafied sadar bahwa ia masih belum berada pada posisi vertikal. Hafied mengatakan keluhannya. Ia juga berulangkali menanyakan hal untuk menormalkan sudut agar mereka bisa mendarat dengan sempurna.

Dirga yang berusaha mengimbangi terus mengimbanginya. Ia juga tak henti-hentinya untuk memberikan peringatan dan arahan kepada Hafied. Keduanya bersinergi dengan kemampuan masing-masing. Berulangkali, Hafied menjorokkan awak depan kapal sebagai suguhan pendaratan pertama.

“Fiiiied!!! Lo yang bener, gue harap lo jadi nikah! Jangan bikin gue mati Fied. Gue sama Diandra belom siap mati!!! Plis Fied, gue masih mau hidup. Gue mau pendidikan! Gue masih pengen pegang pesawat tempur Fied,” jelas Dirga ketakutan.

“Iya ini gue lagi usaha. Gue juga mau nikah kali, masak mati sekarang. Mati konyol lagi,” jelas Hafied berusaha menetralkan perasaannya yang bekecamuk.

Dirga tak henti-hentinya memberikan arahan. Ia juga tak henti-hentinya berpegangan pada dasbor pesawat. Bahkan Dirga mempersiapkan dirinya untuk memecah kaca pesawat apabila pesawat di rasa tidak bisa turun dengan sempurna.

Mereka berdua berkomat-kami selayaknya membaca mantra dan doa keselamatan. Bagaimana tidak? Semakin mereka mendekati matras pendaratan, Hafied masih belum bisa memberikan posisi vertikal. Ia justru memberikan posisi pesawat dengan sudut terbalik. Sungguh hal yang menggila.

“Ga, kenapa gue merasa gue mau mati ya? Ini nggk vertikal-vertikal, gue masukin derajatnya susah,” jelas Hafied.

“Lu kasih kecepatannya sesuai dengan itu, dong.”

“Ya ini udah, tapi nggak vertikal-vertikal. Otak gue berasa buntu, Men,” jelas Hafied.

“Lu kalau mau bunuh diri, jangan ajak-ajak gue dong Fied. Gue masih pengen nikah juga kali. Apalagi gue belum ketemu cewek gue dalam setahun ini gara-gara gue ditingal ke Ukrania. Ah, plis lah. Lu yang bener aja. Udah masukin kecepatan sekian coba,” ucap Dirga dengan menyebutkan angka-angka yang seharusnya dicapai oleh Hafied.

“Ga, susah coy!,” ucapnya dengan wajahnya yang mulai memucat.

“Oke, gini! Lo dengerin gue untuk terakhir kalinya. Kita tukar posisi. Lo melangkah ke tempat gue, dan gue melangkah ke tempat lo. Pesawat akan jatuh dengan kecepatan second. Gue gk akan nyebutin angkanya, karena gue yakin lo bakalan milih mati sekalian. Gue akan hitung sampai hitungan ketiga. Dalam hitungan kedua, lo berdiri dari kursi itu, tanpa melepaskan kemudi sekaligus lo melangkahkan kaki lo ke tempat duduk ini. Oke?” tanya Dirga memastikan Hafied mengerti dengan intruksinya.

Hafied menganggukkan kepalanya seraya berdeham. Ia tidak membalas sorot mata Dirga. Karena, ia tetap fokus dengan kemudi dan lintasan yang seharusnya terus berada dalam pengawasannya.

“Pada hitungan ke satu, lo siap-siap untuk beranjak dari kursi yang lo duduki itu. Inget, tanpa melepas kemudi. Okke?” tanya Dirga kembali memastikan.

Dirga memulai hitunggan, begitu juga dengan Hafied yang memulai langkah intruksi yang diberikan oleh Dirga. Dalam lintasan pikirannya, Dirga sudah membayangkan hal buruk itu. Begitu juga dengan  Hafied. Yang ia bayangkan, hanya Zania. Gadis kecilnya. Permatanya yang menjadi titik dimana ia mau mundur dari langkahnya. Dari cita-citanya. Dari apa yang ia banggakan. Karena ia tahu, memiliki Zania, tak sebanding dengan apa yang sudah ia perjuangkan selama ini.

Keberhasilan keduanya membuahkan hasil. Kini, Dirga kembali mengambil kemudi, meski mereka sempat jatuh tanpa pendaratan. Akan tetapi, jatuhnya awak di atas udara, dialihkan Dirga dengan memutar awak pesawat. Membawa sayap kanan awak pesawat, dan membawa ke matras landing, dengan posisi derajat yang sudah seharusnya. Kenakalan, yang masih mereka lakukan di kala usia mereka yang sudah mulai beranjak dewasa. Dari sana, mereka tahu, takdir mereka mereka yang menentukan, tapi bukan berarti hasilnya.

Comments

Leave a Reply