SUDUT

Mentari pagi terasa begitu terik. Akan tetapi, kesejukannya tak dapat terpungkiri saat kedua bola matanya yang cokelat sangat menikmati pagi itu dengan berbagai macam menu makanan kesukaannya. Suatu hal yang jarang dilakukan olehnya, terkait dirinya yang terus berada di dalam ruangan itu. Yah.. ruangan yang menjadi candu serta ambisinya, untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Tidak memperdulikan dirinya yang tersiksa hanya karena jam waktu makan, atau hanya sekedar melakukan hal-hal kecil.

“Terimakasih atas makan paginya,” ucapnya kepada pembantunya.

“Sama-sama Prof,” ucapnya hormat dengan menundukkan kepalanya.

“Untuk apa kamu memanggil sala Prof? Panggil aja Tia. Kita seumuran, kan?!,” tanya Tia memastikan.

“Tapi…”

“Aku tahu kalau ilmu akan menjadi tolak ukur perbedaan seseorang. Tapi tidakkan sebuah pandangan mengenai derajat manusia di depan mata Tuhan sama? Tidak akan ada salahnya jika manusia mengaplikasikan itu dalam kehidupannya selama itu adalah hal yang mulia? Bagaimana menurutmu? Adakah sanggahan mengenai pendapatku?,” tanya Tia dengan mengambil nasi goreng seafood yang ada depannya.

Gadis muda itu hanya terdiam menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana terkait dengan ucapan majikannya yang begitu bertingkat. Ia tahu dan ingin menjawab semua pertanyaan itu. Tanggapan dan ide, serta gagasan seketika muncul di dalam kepalanya. Responsif yang begitu pasif terlihat begitu jelas di matany. Yah.. di kedua bola mata cokelat itu.

Agrintia Labirina Nabar. Nama itu, adalah nama asli untuknya. Baginya sandangan nama lain untuknya, bukanlah hal yang spesial. Tapi kenangan untuk mendapatkannya, adalah hal yang sangat berarti untuknya. Proffesor. Sebutan untuknya. Ah tidak! Proffesor termuda, itulah lebih jelasnya. Bukan! Bukan itu. Itu hanyalah kenyataannya. Liba?!! Ya! Itu lebih baik dan memang sesuai dengan kenyataannya. Little Albert.

Makna yang terkandung di dalam julukannya selama ia menempuh pendidikan di dalam akademinya. Semua teman-temannya memanggil dirinya Liba. Little Albert. Keturunan Albert Einstein yang menggilla. Mungkin bukan kenyataan jika ia adalah putri kecil Albert Einstein. Tapi kemampuan berpikirnya, begitu menggila di usianya yang masih sangat muda. Dua puluh tahun, adalah waktu dimana ia melakukan pemahaman bila terukur dengan ‘Taksonomi Bloem’ dimana sebuah tolak ukur yang digambarkan dengan diagram, oleh beberapa ahli untuk menentukan kemampuan seseorang yang ditentukan dengan usianya.

Usia yang seharusnya memahami, tidak digunakan untuk dirinya. Agrintia Labirina Nabar. Lebih tepatnya, Prof. Agrintia Labirina Nabar. Usia itu, adalah waktu dimana ia berpacu dengan Taksonomi Bloem sebagai pengembangan diri yang sudah ada pada sebuah kreativitas. Bukan menuntut, melainkan alamiah pikirannya sudah mampu untuk memumpuni sebagai seorang ilmuan yang menemukan suatu hal. Termasuk hal baru yang layak ia teliti dan menerapkannya dalam kontesk kehidupan manusia.

“Duduklah! Kau dan aku memang majikan dan pembantu. Tidakkah kau berpikir jika aku menyuruh duduk karena aku ingin makan bersamamu? Tidakkan kau ingin menikmati pagimu dengan pekerjaan barumu ini? Rumah barumu juga? Nikmatilah semuanya selama itu masih ada dalam batasan normal,” pinta Tia dengan santai. Senyuman ramahnya tak pernah luput dari kedua sudut bibirnya.

Yah.. bibir yang mengucapkan ketegasan pada setiap kata-katanya. Sebuah deretan kata yang terbentuk menjadi sebuah kalimat dimana mendukung adanya penjelasan yang memiliki makna. Bibir itu sangat elegan. Karena pemikirannya, ia tampah begitu anggun. Sangat, dan sangat anggun. Itulah yang ada di dalam pandangan pembantu itu.

“Apa kau suka buku?,” tanya Tia spontan.

Pembantunya yang diam, melihat ke arah matanya yang tengah menatapnya dengan senyuman. Senyuman elegannya. Penuh dengan pemikiran dan idenya. Satu titik yang diingat oleh Pembantu itu. Ia, memiliki majikan dengan senyuman yang mengerikan. Betapa tidak? Senyuman yang tak dapat di artikan namun terlihat begitu elegan dan menyeramkan.

Dengan anggukan kepalanya, ia menjawab pertanyaan Tia sebelum ia memasukkan makanannya ke dalama mulutnya. Seulas senyuman kembali terlihat di kedua sudut bibirnya. Raut wajahnya yang putih bersih terlihat senang.

“Aku memiliki dua perpustakaan di rumah ini. Lantai 3. Di sana ada dua ruangan yang terbagi sesuai dengan jenis bukunya. Jika kau suka, datanglah! Jangan hanya melihat dan memandanginya di depan pintu layaknya kau ingin memakan ice cream,” ucap Tia dengan mengunyah steaknya.

Pembantunya membelalakkan kedua bola matanya setelah ia tertangkap basah oleh majikannya. Raut wajahnya terlihat begitu ketakukan. Tapi senyuman itu, kembali terlempar untuknya dan memberikan kedamaian di sana.

“Maaf, Prof. Ah salah! Nona! Aduh! Itu, Tia! Saya tidak bermaksud…”

“Aku sudah tahu maksudmu. Pelajarilah sesukamu. Jikalau perlu lanjutkan pendidikanmu,” ucapnya dengan senyuman.

“Kamu…”

“Tidak mungkin ada seorang majikan yang tidak memperlajari latar belakang pegawainya,” ucap Tia menyela.

Diam. Itulah yang dilakukan oleh pembantunya. Yah.. hari itu adalah hari dimana ia tak tahu tengah berada di posisi mana. Majikannya yang jenius, telah mengetahui semuanya. Sejeli apapun ia menyembunyikan semua itu dari Tia, kemungkinan diketahuinya semakin besar.

“Ingatlah Tia! Dia jenius. Kenapa kau bodoh sekali!,” umpatnya menghardir dirinya sendiri.

“Entah apa yang ada dipikiranmu saat ini? Alangkah baiknya jika aku memanfaatkan jeniusku untuk membimbing dirimu. Tidakkah kau sayang karena kau tidak menyelesaikan strata satumu hanya karena biaya? Kembalilah ke sekolah. Bekerjalah dengan keras, dan berusahalah untuk menjadi apa yang kau inginkan. Kecuali, kamu memang berharap seperti ini atau kau akan tetap memandangiku sebagai idolamu karena sebuah pencapaian rekorku saat ini? Atau posisi dimana kau membanggakan dirimu karena kau ada di panggung kemenangan karen hasil yang kau capai sesuai dengan keinginanmu? Hidupmu, ada di tanganmu! Begitu juga dengan jalannya. Kau yang menentukan. Dan proses itulah yang akan menentukan hasilmu,” jelas Tia tegas.

“Kenapa kau sangat peduli denganku? Aku hanya pembantumu. Bukan adik, atau teman, bahkan keluargamu.”

“Lantas, bagaimana jika peduliku karena kau anggapan bahwa kau adik, teman bahkan keluargaku? Masihkah kau akan menyangkal teori kehidupan mengenai tahta majikan dan pembantu? Tidak! Semuanya berbeda dikarenakan konteksnya. Kau akan memahami itu nanti! Aku pergi dulu! Nikmatilah harimu,” ucap Tia dengan beranjak dari tempat duduknya dan meraih tasnya. Meninggalkan ruangan itu dengan menepuk  pundak pembantunya dengan pelan. Seolah memberikan semangat atas masalah apa yang ada di dalam dirinya.

Denting waktu berjalan seiring dengan putaran bumi pada porosnya. Gerakan matahari seiring dengan perputaran bumi dan waktu. Langkah  kakinya, telah sampai pada gedung pencakar langit itu. Dengan setelan jas yang membingkai tubuhnya, flat shoes hellsnya terdengar begitu elegan di setiap langkahnya. Lantai Marmer gedung itu, memantulkan bayangan dirinya layaknya cermin. Geraian rambut gelombangnya, tidak menghilangkan leher jenjangnya yang indah.

Guru Besar. Yah.. seorang Agrintia Labirina Nabar. Menjadi guru besar yang berusia paling muda. Bahkan jauh lebih muda dibandingkan dengan yang lain. Ruangan kerjanya yang begitu berkelas seolah menjadi hal yang asing baginya. Ruangan yang paling nyaman untuknya. Laboratorium, dan juga ruang kerja penelitian. Bukan semacam kantor yang serupa bisnis.

“Terlihat aneh?,” tanya seseorang yang ada di ambang pintu.

“Prof. Robert?!,” panggilnya terheran.

“Aku menjenguk keponakanku yang pernah aku ceritakan kepadamu waktu itu. Ah ya! Mengenai ruangan? Mungkin mereka terlalu memujamu hingga memberikan ruangan serapi ini? Bukankah kau terbiasa dengan lab yang cairannya ada dimana-mana?!,” tanya Prof. Robert dengan nada guraunya yang sengaja menggoda Tia.

“Anda sangat mengenal saya mengenai hal ini,” ucapnya singkat dengan senyuman ramahnya.

“Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan dirimu mengurung diri di dalam  lab. Oleh karena itu aku memberikan ini kepadamu. Pergilah keluar sesekali, nikmati udara segarmu. Dan ngomong-ngomong, aku sudah megajarkan meteri kepadamu bahayangan cairan kimia apabila terlalu banyak kau hirup dan masuk ke dala ruang paru-parumu meskipun kau telah memakai masker,” jelas Prof. Robert.

“Hahahaha, Anda lebih perhatian Prof ketimbang Deddy saya,” ucap Tia dengan tawa renyahnya. Oh iya Tia, sebentar lagi keponakanku akan datang menemuimu sebagai perintahku. Berikan dia beberapa berkas yang aku titipkan padamu saat kau ada di Ukrania untuk meneliti beberapa hal di sana. Anggaplah ia dekat denganmu. Aku harus kembali ke Amsterdam siang ini. Jadi aku harap, kau bisa membantunya. Dan jangan melupakan murid-muridmu sebagai gantinya aku meminta kebaktianmu,” ingat Prof. Robert.

Tia tersenyum ramah dengan kekehan renyah. Betapa dekat hubungan mereka hingga menjadi seperti itu. Layaknya seorang ayah dan anak yang saling bertukar pikiran mengenai beberapa hal. Meski terkadang, atau bahkan mereka berdua tidak pernah akur apabila dalam sebah perdebatan mahakaryanya.

Setelah berbincang sedikit, Prof. Robert melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ruangan itu. Tiapun memulai aktivitas barunya. Dimana ia harus berjalan menyusuri kelas-kelas dan menyalurkan semua ilmunya untuk mereka yang membutuhkan. Meskipun instansi sudah menyediakan lift khusus untuknya.

“Permisi!,” ucap seseorang mengetuk pintu ruangan Tia dengan halus.

“Ya?!,” tanya Tia seraya ia menyiapkan beberapa berkas yang harus ia bawa untuk menunjang pembelajaran di kelas.

“Kamu!,” ucapnya banmal.

“Ya?!,” tanya Tia tak mengerti.

“Ah! Kau sudah melupakanku ternyata. Masih ingat dengan pameran karyamu waktu itu? Saat kau menabrak tubuhnya layaknya aku makhluk abstrak?,” ujarnya menjelaskan agar Tia mengingatnya.

Tia terdiam. Ia memejamkan matanya. Membuka file memori ingatannya. Dan clear terbuka hingga ia bisa mengingatnya. Otak jeniusnya, berhasil menyimpan memori itu dengan benar. Terdapat di dalam rak buku yang seharusnya menjadi satu titik dimana ia membedakan hal penting yang perlu diingat, dan tidak.

“Ah, kamu! Si Batu itu?!,” ucapnya mantab.

“Hah? Batu? Lo pikir gue malin kundang?,” ucapnya sewot.

“Dadamu seperti batu. Keras banget! Makanya aku bilang kamu batu,” jelas Tia.

By the way, pamanku sudah ke sini kan tadi? Beliau bilang kalau berkasnya ada di kamu. Mana?!,” tanyanya to the point.

Tia tidak menjawab pertanyaannya. Melainkan, ia memberikan flash disknya yang berisi seluruh data Prof. Robert. Entah apa isinya, Tia masih belum mengetahuinya. Tapi yang pasti, itu adalah berkas penting.

“Kamu mau kemana?!,” tanya laki-laki itu saat Tia melangkahkan kakinya keluar ruangan setelah memberikan flash disk yang berisi berkas kebutuhannya.

“Keluar. Kenapa?,” tanya Tia santai.

“Kamu dosen di sini, kan? Kebetulah kamu akan mengisi kelasku, bagaimana kalau ke sana bersama?,” tanyanya.

“Boleh,” jelasnya.

Merekapun jalan bersama menuju kelas yang dituju. Adapun pembicaraan mereka lebih banyak mengerucut kepada laki-laki itu. Untuk sejenak, Tia merasa heran. Laki-laki yang tengah ada disampingnya sangatlah berbeda sikapnya saat pertama kali bertemu dengannya. Dirinya yang lembut, terlihat begitu agresif saat ini. Sampai akhirnya, lamunan Tia buyar saat laki-laki itu sengaja menyenggol bahunya pelan.

“Namamu siapa?,” tanya laki-laki itu.

“Hah?!,” tanya Tia memastikan.

“Lo nggak dengerin gue sama sekali dari tadi?!,” tanyanya dengan nada yang tinggi.

“Denger. Hanya ada beberapa hal yang mengganggu hingga aku tidak menyimak dengan konsentratif meskipun aku menginginkan hasil yang konkrit.”

“Apaan coba?!,” tanya laki-laki itu.

“Kau sangat terkejut saat melihatku pertama kalinya dan sekarang kau bertemu aku dengan posisi guru dan murid. Sedangkan usiamu sama dengan usiaku,” jelas Tia mengutarakan kesimpulan cerita laki-laki itu.

“Hehehehe, namamu jadi siapa?,” tanyanya mengulang.

“Sama dengan saat seminar,” ucap Tia santai.

“Bisakah kita berkenalan dengan benar dan layaknya literatur tersendiri?,” tanya laki-laki itu dengan nadanya yang serius, tanpa ada gurauan, atau juga gelak tawa renyah tanda gurauannya.

“Baiklah. Agrintia Labirina Nabar. Ku harap, kau tidak memanggilku Prof pada literatur tersendiri yang kau maksud itu,” jelas Tia.

“Kenalin. Gue, Ambarama Dimas Syakti,” ucapnya dengan mengulurkan telapak tangannya.

Tia menghentikan langkahnya yang semula sejajar dengan laki-laki itu. Tia mengalihkan tatapan matanya yang lurus melihat jalanan. Kini tengah terfokus dengan laki-laki yang ada di depannya. Yang tengah mengulurkan telapak tangannya dan memberikan sensasi aneh dan asing baginya.

“Rama. Lo bisa panggil gue Rama,” ucapnya saat ia menunggu Tia mengulurkan telapak tangannya pula.

“Tia,” ucapnya singkat dengan membalas telapak tangan Rama.

“Mungkin saat berada di kelas, gue bakalan bilang Saya dan Anda. Tapi saat di depan teman-teman gue, gue bakala panggil Lo dan Gue. Tapi saat hanya ada kita berdua, setidaknya aku dan kamu. Jika memang kamu tidak keberatan mengenai itu,” ucapnya sserius dan mantab.

“Literatur? Okkay! It’s okay!,” ucap Tia santai.

Perasaan aneh terselip di dalam dirinya. Hati dan pikirannya, seketika bekerja secara bersamaan. Tia jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan hatinya untuk bekerjasama dengan otaknya. Baginya, otak saja sudah cukup untuk bekerja sendirian.Tapi hal ini, adalah hal yang memiliki dimensi berbeda di mata Tia, hingga ia harus menggunakan da komponen sekaligus.

Tanpa komando apapun, Tia berjalan meninggalkan Rama. Dan Rama mengikutinya seraya menselaraskan langkah Tia hingga mereka berjalan beriringan. Kelas yang ramai dan bising, seketika terdiam sunyi dan senyap layaknya kuburan. Ah! Bukan. Melainkan, layaknya melihat bintang yang tengar bersinar terang dengan kecantikannya. Senyumnya begitu elegan, hingga kaki jenjangnya berhenti melangkah dan membuka penerangan mata kuliah dengan perkenalan diri.

“Ada yang ditanyakan?,” tanya Tia dengan santainya.

“Permisi, Bu. Apakah ibu sudah menikah?,” tanya salah satu muridnya dengan lantang dan nada berguraunya. Mengingat, kelas begitu sunyi dan terfokus dengan Tia yang memperkenal diri secara singkat.

“Tidak. Saya yakin, saya masih ada di bawah kalian. Saya berumur dua puluh tahun. Adakah yang satu umuran dengan saya?,” tanya Tia bersantai.

Salah seorang mengangkat tangannya. Sedangkan yang lainnya, hanya melongo dan mengcapkan kata-kata ‘wah’, ‘wow’, ‘keren’, ‘amazing’, ‘perfect’, dan lainnya. Dimana intinya, mereka sangat memuja Tia dengan kecerdasannya.

Sebuah senyuman, kembali terulas di kedua sudut bibirnya. Senyuman elegan, yang menunjukkan tahtanya. Yah.. senyuman yang sangat indah itu, juga menakutkan itu, menjadi titik dimana ia terlihat begitu mempesona. Dirinya, Agrintia Labirina Nabar.

“Agrintia!!!,” panggil seseorang seraya berlari kecil mengikuti langkah Tia yang semakin menjauh dari ruangan itu.

“Rama?!,” gumamnya sedikit terkejut saat Rama memanggilnya.

Rama menganggukkan kepalanya, kemudian ia berjalan mendekat ke arah Tia hingga jarak diantara mereka tinggal selangkah. Untuk itu, Tia memundurkan langkahnya menjauh, tapi Rama justru melarangnya karena Tia dapat terjatuh.

“Apakah teori militermu mengajarkan ini?,” tanya Tia saat ia hendak terjatuh.

“Ya! Salah satu cara untuk mengalahkan musuh dengan cara yang sederhana hingga kita bisa menunda meledaknya bom, atau meluncurnya peluru,” ucap Rama santai.

“Ah, tahu ah! Ada apas sih?,” tanya Tia sebal saat Rama tak berwajah bersalah.

“Bolehkah aku meminta tolong?,” tanya Rama ragu.

“Apa?,” jawab Tia sebagai tanda menyetujuinya.

“Tolong ajari aku beberapa mata pelajaran yang sedikit terkendala utukku,” ucapnya lembut.

“Pergilah ke perpustakaan. Aku akan menyusul. Aku ada rapat dengan para guru besar,” ucapnya singkat dan pergi meninggalkan Rama di sana.

Sebingkai senyuman, terlihat begitu indah di kedua sudut bibir laki-laki itu. Ambarama Dimas Syakti. Menunjukkan betapa bahagia ia dengan jawaban yang telah diberikan oleh Tia terhadapnya. Di sela Rama berada di perpustakaan, Tia tengah mengisi jadwal untuk mempresentasikan hasil kerjasamanya dengan bberapa negara untuk melakukan student exchange yang akan digelar sebagai wujud kinerja pengajar untuk memajukan sistem pendidikan yang ada di sana.

Lebih dari tiga jam Tia berada di ruangan yang penuh dengan gagasan yang menantang ntuk di jawab perihal kerjasama mereka. Sampai akhirnya, Tia baru menyadari sebuah hal bahwa ia tengah memiliki janji dengan Rama. Laki-laki itu tengah menunggunya di perpustakaan. Tia berlari kecil menuruni tangga saat ia mengetahui lamanya lift berjalan. Otaknya yang bekerja dengan nyaman saat presentasi seketika buyar saat mengingat janjinya.

Nafasnya terengah. Akan tetapi, hatinya telah lega saat ia mendapati pintu perpustakaan di depan matanya. Dengan langkah cepat, Tia memasuki perpustakaan itu. Ia berjalan menyusuri meja dan beberapa rak buku. Sampai akhirnya, ia menemukannya. Rama. Yah… Ambarama Dimas Syakti. Tia mendekat ke arahnya. Ia mendapati buku yang berserakan dengan Rama yang tengah tertidur pulas di sana.

Tia melihat beberapa  rangkaian soal. Rumit, termasuk rumit untuk taraf Rama. Akan tetapi, Rama sudah bisa menyelesaikannya. Tia yang tadinya ingin memberikan materi rumit, mengurungkan niatnya dan menggantinya dengan memberikan rumus penyelesaian yang lebih cepat daripada yang ditemukan Rama. Tia mengambil pensil dalam diam. Dengan pelan, ia menggoreskannya di kertas kosong itu.

Kedua bola mata cokelatnya memperlihatkan betapa mudahnya mengerjakan soal yang biassa menjadi camilan untuknya saat berada di Ukrania dulu. Dari sana, ia dapat melihat betapa lelahnya Rama. Wajahnya terlihat begitu pulas dalam tidurnya. Tia memutuskan untuk memberikan jas kantornya. Ruangan perpustakaan yang dingin seolah menjadi gangguan untuk Rama.

“Rama,” panggilnya rendah.

“Nyenyak banget kamu tidurnya, hmmm?!,” nyata Rama dengan senyuman.

“Hah? Aku tidur? Ya ampun! Maaf-maaf sekali,” ucap Tia dengan mengatubkan kedua telapak tangannya.

“Kenapa dengan tidur? Kamu tahu, aku merasa spesial saat aku bisa ditemani tidur oleh seorang gadis yang tengah hangat menjadi perbincangan para taruna di sini. Yah.. meskipun tidurnya tidak di atas ranjang,” ucapnya Rama dengan senyum bangganya.

“Dasar mesum!,” ucap Tia dengn raut wajahnya yang menunjukkan betapa ia sangat sebal dengan ucapan Rama.

Tawa renyah keluar dari mulutnya. Ia juga tersenyum kepada Tia yang tengah memasang wajah cantiknya dengan raut wajah yang cemberut. Sampai pada akhirnya, Tia sadar bahwa tidur nyamannya juga karena kehangatan jacket yang melekat di tubuhnyaa. Terdapat nama Rama di sana. Sedangkan jas kantornya, juga masih melekat di tubuh Rama.

“Kenapa? Ada yang aneh?,” tanya Rama memastikan sekaligus menggoda Tia.

“Ini disengaja atau gimana sih?,” ujar Tia dalam tanya.

“Yaudah, sampai pulang gini aja biar sweet, gimana?!,” tanya Rama menggoda.

“Tch! Mana ih, itu punyaku. Lagian, ini jacketmu besar di tubuhk,” ucapnya dengan melepaskan jacketnya dan hendak mengambil jasnya. Akan tetapi, Rama justru membenarkan jacket yang hendak dilepas oleh Tia.

“Apaan lagi?,” tanya Tia terheran.

“Bawa aja jacketku. Aku bawa jasmu, biar ada kenang-kenangannya literatur,” ucapnya singkat dengan melepaskan jas Tia dan melipatnya dengan  rapi.

“Kamu aneh tahu nggak, sih!,” nyata Tia.

“Hahahaha, aneh-aneh gini aku ngangenin tahu! Oh iya, ini kamu yang ngerjakan? Kok rumusnya dikit? Boleh diterangin?,” tanya Rama mulai fokus dengan pelajarannya kembali.

Tiapun mendekatkan dirinya. Kemudian, memberikan penerangan kepada Rama hingga Rama mengerti semua aspek yang sekiranya menyulitkan dirinya. Sampai akhirnya, Rama memutuskan penjelasan Tia dan beralih ke pembicaraan yang seharusnya ia bicarakan dengan Tia.

“Kamu malam ini sibuk enggak?,” tanya Rama.

“Malam ini? Kenapa emang?,” jawab Tia dengan berbalik tanya.

“Aku mau ngajakin kamu makan malam. Kebetulan, ada temenku yang ngajakin dinner party. Emmm, anu! Tapi kamu santai aja, beda instansi kok. Dia dari Angatan Laut. Jadi, kemungkinkan kecil kala dia tahu literatur kita,” ucap Rama menjelaskan saat ia menyadari raut wajah Tia yang seolah menolak apabila itu berhubungan dengan teman sekelasnya.

“Akan aku pertimbangkan,” ucap Tia.

“Makasih! Oh iya, nomor ponsel? Surel? Atau…”

Tanpa menjawab, Tia memberikan selembar kertas. Akan tetapi, Rama tidak menerimanya. Ia hanya memandangnya. Tia yang terheran akhirnya menghembuskan nafas beratnya saat ia menyadari akan kemauan Rama. Literatur. Tiapun meraih ponsel Rama yang tergeletak diantara buku mereka. Kemudian, mengetikkan nomornya dengan jelas.

“Aku mau jawaban pastinya sekarang,” ucap Rama frontal.

“Aku…”

“Aku berjanji tidak akan ada orang yang tahu mengenai literatur kita,” jelas Rama.

“Mmmmm, baiklah!,” cap Tia dengan menganggukkan kepalanya setuju.

Ramapun tersenyum. Akan tetapi, senyuman itu terasa berbeda dari sebelumnya. Entah bagaimana jelasnya, yang pasti Tia merasakan dimensi yang tidak pada semestinya. Dimana ia merasakan sesuatu yang berbeda. Akan tetapi, tatapan mata Rama seolah menunjukkan betapa sedihnya dirinya. Yah.. dirinya yang tak berbicara dan hanya mengucapkannya melalui kedua bola matanya. Akan tetapi,  entah kenapa Tia seolah ingin memahaminya. Ia ingin meneliti apa yang tengah terjadi di dalam dirinya dan sosialisasinya terhadap Rama.

Laki-laki itu, berhasil membuatnya penasaran hingga Tia ingin bertindak untuk memulai kembali penelitiannya. Di sana, Tia bisa tahu mengapa Prof. Robert meletakkan keputusannya di tempat itu. Meski pada dasarnya, ia tidak tahu mengapa waktu terasa mendekatkan dirinya dengan Rama, atau sebuah kesengajaan Prof. Robert merangsang dirinya melakukan sebuah penelitian baru yang akan membawanya untuk ada di ajang yang lebih tinggi.

Tapi yang pasti, Tia meyakini akan kehadiran Rama di dalam waktunya yang terasa begitu cepat bukanlah sebuah kesengajaan. Akan tetapi, sebuah proses dimana ia harus memahami budayanya kembali. Membantu, siapapun tanpa memandang apapun. Hanya cukup memandang apa, dana bagaimana prosesnya. Bukan siapa atau darimana asalnya. Satu titik pandangan Tia dalam mempertahankan kualitas dirinya. Dimana ia memberikan yang terbaik untuk setiap waktunya. Dialah, Agrintia Labirina Nabar.

#Cerpen P.N.Z.
#CerpenKita #6
TERPENDAM | Episode 1
ASK ABOUT IT | Episode 2
REASON | Episode 3
#CerpenKita #7
DEFENSE | Episode 1
KALAP | Episode 2
BEAUTY NIGHT | Episode 3

Comments

Tinggalkan Balasan