Sesuai | Tulus Hutasoit Episode 5

Kerja adalah cinta yang terjelmakan. Dan apabila engkau tidak dapat bekerja dengan cinta, dan hanya dengan kebencian, lebih baik kautinggalkan pekerjaanmu, lalu duduk-duduk di kuil dan meminta sedekah dari orang-orang yang bekerja dengan sukacita. Sebab, bila engkau membuat roti dengan rasa enggan, maka pahitlah jadinya dan takkan membuatmu kenyang. Dan bila engkau memeras anggur dengan menggerutu, maka gerutuanmu hanya akan menjadi racun bagi anggur itu, dan apabila engkau bernyanyi meskipun seperti pada bidadari, tapi engkau tidak mencintai nyanyian itu, engkau hanya menulikan telinga manusia dari suara-suara malam dan siang.
-Kahlil Gibran-
Sesuai | Episode 5
hannah-busing

Episode sebelumnya…

https://tulisin.kekitaan.com/2019/02/24/pola-cerpenkita-episode-4/

#CerpenKita
Episode 5

“Tulus…,” panggil Rendy memecah keheningan.

“Hmmmm?” tanya Tulus menanggapi panggilan Rendy.

“Lo, nyaman dengan posisi lo sekarang?” tanya Rendy mulai membuka percakapan.

            Tulus terhenyak. Kedua bola matanya seketika menatap lurus ke arah tembok itu. Tembok yang semuanya berisi sticky note. Rangkaian rumus-rumus tercatat di sana. Rangkaian huruf-huruf petunjuk, dan juga beberapa komponen yang ia butuhkan, tertera di sana. Tapi, kedua bola mata itu tak lagi membaca apa yang ada di dalam sticky note itu.  Melainkan, pikirannya tak memberikan perintah kepada bola mata itu, dan retina itu untuk menangkap apa yang ada di sticky note.

            “Lus…,” panggil Rendy lagi.

            Tulus masih terdiam. Ia masih terhenyak dengan pertanyaan Rendy sebelumnya.

            “Lus,” panggil Rendy lagi.

            Tulus, menjawab dengan cara yang sama. Ia terdiam dengan seribu bahasanya. Semua itu disebabkan karena pertanyaan itu. Pertanyaan, yang berhasil melubangi jantungnya. Jantung yang telah ia gunakan untuk bernafas. Jantung, yang telah ia gunakan untuk memompa darah ke seluruh tubuhnya, mengalir ke arah pikirannya, dan menguasai alur-alur yang sesungguhnya. Hingga menggerakkan pikiran, dan bibirnya untuk terdiam tanpa menggerakkan apapun itu.

            “Ren…,” panggil Tulus.

            Kini, Tulus yang memulai panggilan itu di kala Rendy mulai terdiam setelah pertanyaannya tak diindahkan oleh Tulus beberapa waktu yang lalu.

            “Apa lo merasakan hal yang sama dengan gue? Dengan pertanyaan itu?” tanya Tulus memberikan jawaban dengan tipe yang sama.

            “Hmmmm,” jawab Rendy dengan menganggukkan kepalanya.

            Tulus yang mulai terdiam seketika menutup kedua bola matanya.  Lalu, ia menutup buku yang tengah ia pegang untuk ia pelajari bersama Rendy dikala Rendy mulai memasuki ruangan kerja Tulus. Ruangan kerja itu ia gabungkan bersama dengan ruang tidur. Rangkaian ruangan itu, diberikan oleh Amongnya setelah Among tahu apa yang diinginkan oleh Tulus selama ini. Ruangan kerja itu dijadikan dengan harapan, Tulus akan menggunakan lebih banyak waktunya untuk bekerja dibandingkan tidurnya.

            Berjalan ke arah jendela. Menyingkap tabir yang ada di dalam ruangan itu. Itulah yang dilakukan Rendy saat ia mendengar suara gemuruh. Benar. Belum sempat ia memundurkan langkah kakinya dari tabir itu, air hujan membasahi jendela ruangan Tulus.

            “Menginap saja. Among yang akan mengijinkanmu ke orang tuamu,” ucap Tulus.

            “Iya. Aku tidak akan sakit lagi, setelah aku telah sakit selama bertahun-tahun hanya karena sebuah keinginan yang tak berani aku katakan kepada kedua orangtuaku. Maka dari itu, aku mengharapkan sesuatu dari sebuah keberanianku,” ucap Rendy menatap Tulus. Tentu saja dengan posisi yang sama seperti sebelumnya.

            Telinganya menangkap suara hujan yang lebat, dan diterima oleh hatinya dengan tenang. Wajahnya yang tegas, terlihat hanya rupa siluet akibat pendaran cahaya yang minim. Begitu juga dengan Tulus. Mereka berdua saling beradu tatap. Seolah ingin mencurahkan teriakan hatinya masing-masing yang selama ini terpendam, dan menahan segala apapun yang ingin diucapkan sebab satu hal saja.

            “Sebutkan,” ucap Tulus singkat.

            Rendy memberikan tatapan itu disertai dengan hembusan nafasnya. Di hari yang mulai gelap. Dan, bahkan telah gelap karena mendung, Rendy menemukan diri Tulus sebagai seorang pendengar. Bukan orator yang sama seperti di sungai sore itu. Malam ini, Tulus membukakan hatinya untuk mendengar segala keluhan Rendy dengan jawaban yang singkat. Kode itu, sudah cukup membuat Rendy terenyuh akan siapa Tulus selama ini.

            “Budaya yang ada di sekitar kita. Yang merupakan jantung hidup kita, bukanlah sesuatu yang mengharuskan kita berpendidikan. Bahkan, pendidikan di tempat kita dianggap sesuatu yang tidaklah penting. Hanya saja, ada beberapa segelintir orang yang berpendidikan. Seperti Amongmu,” ucap Rendy.

            “Lantas, kenapa Amongmu tidak mendidik aku terbuka dengan pendidikan?” tanya Tulus. Pertanyaan itu berhasil membuat Rendy terhenyak dan sontak memundurkan kepalanya tak jauh dari beberapa senti dari tempat semula.

            “Ren… Masalah pendidikan, dan anggapan masalah pendidikan, bukan dari orang tua kita. Orang tua adalah tempat kita berlindung dan mengenyam pendidikan internal. Seperti sopan santun, dan juga beberapa budaya yang sudah mendarah daging dalam diri orang tua kita, kemudian akan diwariskan kepada kita. Masalah siapa yang menjalankan, itu adalah hak kita. Bukan atas didikan mereka membuat kita tertutup akan sesuatu yang seharusnya menjadikan kita terbuka atas diri kita sendiri,” jelas Tulus saat ia menangkap kedua bola mata Rendy yang menuntut Tulus untuk memberikan jawabannya.

            Rendy yang hendak menjawab, dan sudah membuka kedua bibirnya untuk memberikan jawaban sebagai bentuk pendapat, seketika berhenti saat ia melihat seseorang berdiri di ambang pintu. Tulus yang menyadari itupun, menolehkan kepalanya ke arah apa yang sudah menjadi objek tatapan Rendy.

            “Permisi jika Among menganggu pembicaraan kalian yang serius. Tadinya, Among hendak mengetuk pintu. Tapi, Rendy lebih dulu melihat Among di sini,” ucap Among memberikan penjelasan.

            “Tidak Papa, Tulang,” ucap Rendy sopan.

            “Bagaimana Among? Adakah Among perlu bicara dengan Tulus? Atau Rendy?” tanya Tulus memberikan tawaran.

            “Among ingin berbicara dengan kalian berdua sekaligus. Boleh Among masuk?” tanya Among.

            “Boleh,” ucap Rendy dan Tulus bersamaan.

            Rendy dan Tulus seketika saling mengadu tatapan. Begitu dengan Among yang terkejut akan demikian menjatuhkan tatapannya kepada mereka berdua. Tertawalah mereka atas apa yang dilakukan oleh Tulus dan Rendy. Ruangan yang sunyi itu, seketika ramai akan tawa mereka.

Among berjalan mendekat.  Begitu juga dengan Rendy. Ia berjalan mendekat ke arah Tulus. Kemudian, menepuk kedua pundak laki-laki bujang itu. Laki-laki yang mulai dewasa dengan keadaan yang berawal dari protes dirinya mereka masing-masing.

            “Begini, Rendy, Tulus. Inong sudah masak untuk makan malam kalian. Bagaimana kalau kalian pergi dari ruangan yang pengap ini? Kemudian, menikmati makan malam kalian? Hmmm?”

            “Oh… Tulus kira ada apa? Baiklah kalau begitu, kami akan ke sana Among,” ucap Tulus dengan menolehkan kepalanya ke arah Rendy dan memberikan kode agar Rendy mengikuti langkah Tulus.

            Among mengiringi mereka keluar dari ruangan. Tak jauh dari ruangan itu, Tulus sudah bisa melihat Inong tengah menyiapkan makanannya. Di sana, juga ada Burju. Kursi untuk Rendy juga sudah disediakan. Biasanya, hanya terdapat empat kursi. Karena, kali ini di keluarga Hutasoit ada Rendy, maka mengindahkan Rendy merupakan suatu kewajiban.

            “Duduk Ren,” sapa Burju.

            “Iya Bang, terimakasih,” ucap Rendy dengan senyuman yang ramah.

            Mereka seperti keluarga sendiri. Dimana, Inong juga menyiapkan nasi untuk Rendy. Seperti putranya sendiri.

            “Rendy… Boleh Tulang menanyakan sesuatu kepada kamu?” tanya Among Tulus memulai pembicaraan di kala Inong memberikan lauk di atas piring Among.

            “Tentu saja boleh Tulang, silahkan. Rendy akan menjawab jika Rendy merasa bisa menjawabnya,” ucap Rendy menjawabnya dengan nadanya yang rendah dan sopan.

            “Keluargamu kalau memasak nasi bagaimana, Ren?” tanya Among Tulus.

            “Biasanya dicampur dengan wijen, Tulang. Kemudian, diberikan garam serta pandan sedikit. Untuk aroma,” ucap Rendy memberikan penjelasan seraya tersenyum kepada Inong sebagai bentuk terimakasih karena diletakkannya lauk yang begitu lezat di atas piring Rendy.

            “Seperti nasi punel begitu? Layaknya orang Jawa?” tanya Among Rendy.

            “Bukan, Tulang. Itu inovasi dari keluarga Rendy sendiri. Kalau orang Jawa hanya menggunakan pandan tanpa garam dan juga wijen. Kalau Rendy berbeda Tulang,” jelas Rendy.

            “Kenapa kamu tidak meneruskan itu menjadi sebuah usaha?”

            “Memang akan laku, Tulang? Kan kebiasaan masyarakat sekitar tidak begitu, Tulang,” ucap Rendy.

            “Bisa jadi akan begitu, kalau kamu mau memulainya terlebih dahulu. Kamu nanti mau kuliah ambil jurusan apa?” tanya Among Tulus.

            “Yang pasti, bukan dunia Boga Tulang,” ucap Rendy dengan nyengir kuda.

            “Kalau kamu sudah ada niatan untuk mencoba, kamu bisa berkomunikasi dengan Tulang mengenai hal itu,” ucap Among Tulus memberikan uluran bantuan tangannya mengenai dunia wirausaha jika Rendy mau memulainya.

            Rendy menjawabnya dengan anggukan kepalanya yang ringan.

            “Udah… jangan ngobrol terus, ayo makan,” kata Inong mengingatkan.

            Merekapun memakan makanan yang telah siap dimakan. Menikmati makan malam di rumah Tulus, bukan pertama kalinya memang. Tapi, obrolan yang disajikan kali ini berbeda di saat obrolan itu hadir waktu Rendy masih kecil. Kali ini, Among memberikan banyak pengertian mengenai dunia luar dan pendidikan. Hal  ini juga disampaikan oleh Among karena Rendy dan juga Tulus hendak menempuh pendidikan lanjutan. Maka dari itu, Among memberikan jawaban itu.

***

            “Selamat Malam, Pak. Ini saya Ramos Hutaosit,” ucap Among Tulus.

            “Oh.. Iya Pak. Jadi bagaimana? Rendy masih di sana, kan?” tanya Ayah Rendy.

            “Iya, Pak. Ini Rendy masih ada di sini. Ini, saya mau mengabarkan, biarkan Rendy menginap di sini, Pak. Karena, hujan juga belum reda. Kalaupun saya antarkan menggunakan mobil, jalanan akan licin. Dan medan yang dilewatipun sangat curam. Saya harap, bapak berkenan memberikan ijin kepada Rendy untuk menginap di sini. Lagipula, ini anaknya tengah berlajar dengan Tulus di ruang kerja Tulus,” ucap Ramos. Ayah Tulus.

            “Boleh Pak. Sangat boleh. Titip Rendy, Pak Ramos,” ucap Ayah Rendy dari dalam telepon yang tengah dipegang oleh Ramos.

            “Kalau begitu, saya akhiri dulu ya Pak, telepon ini,” ucap Ramos mengakhiri telepon malam itu dengan meletakkan gagang telepon di tempatnya semula setelah mendapat persetujuan dari ayah Rendy. Sejenak, Ramos memandang kedua orang yang tengah saling bertukar pikiran untuk menemukan solusi dimana permasalahan yang tengah mereka hadapi.

            “Kenapa Bang?” tanya seseorang tiba-tiba.

            Ramos terkejut dengan menolehkan kepalanya cepat. Istrinya. Ibu Tulus.

            “Sungguh keji aku telah menyia-nyiakan usaha mereka. Membunuh impian mereka, dan dan menelantarkan niat baik mereka untuk menjadikan diri mereka bermanfaat untuk sekitarnya.

            “Itu sebelum mereka melawan ketakutan yang mereka hadapi, Bang. Namun, sekarang tidaklah demikian. Mereka, hadir dengan diri mereka yang baru setelah melawan ketakutan yang ada di dalam diri mereka. Mereka seolah tak lagi berkenalan dengan waktu setelah kemenangan yang mereka rasakan. Sungguh… akupun sempat menyesali kala itu, jika aku tak melepaskan putraku.”

            Ramos terdiam. Mencerna seluruh ucapan yang telah diucapkan oleh istrinya. Untuk pertama kalinya, Ramos merasakan bagaimana nikmatnya penyesalan yang dapat diperbaiki dengan usaha untuk mengikhlaskan. Begitu juga dengan istrinya.

            “Nantulang belum tidur?” tanya Rendy.

            “Belum. Kamu sendiri kepa belum tidur, Ren?”

            “Masih ada beberapa soal yang belum terpecahkan, Nantulang. Jadi, Rendy dan Tulus mau menyelesaikan dulu.”

            “Kenapa tidak besok pagi saja?” tanya Tulang.

            “Kepalang tanggung Tulang. Sudah menemukan rumus-rumusnya. Hanya saja, tinggal memasukkan angka yang terdapat di dalam soalnya,” ucap Rendy ringan.

            “Tulus…,” panggil Among.

            Tulus tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia masih duduk di kursi meja belajar, dan mengerjakan soal yang dimaksudkan oleh Rendy.

            “Tulus…,” panggil Inong mengulangi. Berharap, untuk kedua kalinya panggilan yang diberikan, Tulus dapat beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri kedua orang tuanya yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan itu. Tak jauh dari telepon kabel yang terdapat di sana.

            Ramos dan istrinyapun, berjalan ke arah Tulus. Bahkan, langkah kaki yang menyentuh lantai tidak menggerakkan Tulus sama sekali. Sampai Ramos menyentuhkan telapak tangannya di bahu Tulus untuk memecahkan pikirannya yang terlalu fokus hingga tak mampu untuk menggerakkan seluruh organ tubuhnya kecuali jantung.

            “Among, Inong…,” ucap Tulus terkejut.

            Among tak menanggapi panggilan Tulus. Among justru menutup buku Tulus.

            “Ada apa Among?”

            “Seharusnya, Among yang bertanya kepada kamu, Nak. Ada apa sampai kamu tidak mendengarkan panggilan dari orang tuamu? Apakah soal yang kamu kerjakan terlalu sulit? Atau kamu, tengah berusaha menyelesaikannya dan memang sengaja menghiraukan panggilan Among dan Inong? Hmmm?” tanya Among skakmat.

            Tulus tertawa ringan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

            “Hehehe, keduanya Among. Akan tetapi tidak sampai ke arah sana.  Dimana, Tulus menghiraukan panggilan Among dan Inong,” ucap Tulus dengan wajahnya yang serius. Wajah itu ia tujukan untuk memberikan keterangan bahwa ia benar-benar tidak bermaksud untuk menghiraukan panggilan itu.

            “Tidakkah kamu memiliki belas kasihan dengan temanmu? Hmmm?” tanya Inong.

            Tulus yang mengerti akan hal itu seketika menarik Rendy ke dalam ruangan kerjanya. Wajahnya terlihat begitu gugup. Ramos hanya bisa melihat keanehan yang terjadi dengan putranya itu.

            “Rendy sudah tidur. Tulus janji akan tidur. Ini kami tidur. Sampai jumpa esok pagi, Among, Inong,” ucapnya dengan mengantarkan Among dan Inongnya keluar dari ruangan itu. Saat sampai di depan pintu, ia menutup pintu dan mengakhiri pertemuannya dengan senyuman.

***

            “Lo tadi bilang ke Among kalau gue kesulitan?” tanya Tulus menyelidik kepada Rendy.

            “Mana ada? Aku keluar tadi mau ke kamar mandi,” jawab Tulus.

            “Lalu, kenapa Among bisa tahu?” tanya Tulus tetap menyelidik.

            “Bohong!” ucap Tulus memberikan bantahan.

            “Serius gue nggak bohong. Ngapain juga gue bohong sama lo?” ucap Rendy membela dirinya sendiri. 

            “Lo tahu nggak, cara lo bisa bunuh gue, Ren! Among bisa berpikir gue nggak mampu untuk masuk ke Universitas yang gue inginkan. Ini bisa jadi bom kematian gue!”

            “Tapi serius, Lus. Gue nggak ada maksud kayak begitu. Tiba-tiba aja, bokap lo ada di depan pintu waktu gue mau ke kamar mandi buang air kecil. Ngapain juga gue mau ngerusak impian lo, Lus?! Ini adalah mimpi kita berdua. Nggak akan ada ceritanya gue ngehancurin lo dengan cara selicik itu,” terang Rendy memberikan penjelasan.

            “Gue kerja mati-matian buat ngedapetin apa yang gue inginkan. Karena gue yakin, gue bakalan bisa ngedapetin apa yang gue inginkan dengan posisi gue bekerja keras begitu,” ucap Tulus dalam nada suaranya yang penuh dengan keluhan.

            “Lo pikir, gue nggak kayak gitu?! Gue juga mati-matian Lus! Gue nggak main-main dengan apa yang gue lakuin sekarang. Jangan dengan mudah lo nganggep gue lagi main-main sekarang!” ucap Rendy dengan nadanya yang mulai meninggi.

            “Tapi cara lo seperti lo lagi main-main sekarang. Ini bukan sesuatu yang pantas lo mainkan. Kesulitan kita, cukup kita yang tahu. Orang tua nggak perlu tahu apa yang lagi kita butuhin saat ini. Gue nggak mau mereka menganggap kita nggak mampu. Kemudian berpikir bahwa memberikan kita ijin di hari-hari sebelum kejadian ini, menjadi penyesalan terbesar mereka,” terang Tulus memberikan penjelasan.

            “Penjelasan lo seolah-olah, lo emang nggak percaya sama gue tentang kejadian dimana bokap lo melihat kesulitan lo dan kesulitan gue, Lus. Terserah lo mau percaya atau enggak dengan apa yang udah gue jelasin ke lo. Karena pada intinya, nggak ada niatan sama sekali untuk menghancurkan niatan lo mengenai kerja keras itu. Dan, lo perlu tahu tentang satu hal. Gue jujur tentang semua ini,” ucap Rendy seraya menjauh dari Tulus untuk menghindari pertikaian yang nantinya akan semakin menjadi.

            “Ren!” panggil Tulus saat ia melihat Rendy hendak meninggalkan ruangan dengan membuka pintu ruangan.

            “Tulang…,” ucap Rendy terkejut hingga langkah kakinya mundur ke belakang.

            Tulus yang mendengar hal itu, seketika mendekat ke arah Rendy.

            Benar saja, keduanya tertegun memandang Ramos yang berdiri di depan pintu. Tak ada yang berkedip dari kedua bola mata rendy.

            “Pertengakaran kalian mengalahkan pertengkaran kami berdua,” ucap Ramos kepada Rendy dan juga Tulus yang berdiri tertegun di depan pintu.

            Istri Ramos, memandang keduanya dengan pandangan menegur dan menghakimi. Dimana, tingkah keduanya masih sama seperti anak kecil yang berebut mainan. Hanya saja, berbeda konteks yang mereka bahas. Namun, di matanya keduanya masih anak kecil yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian lebih. Tak heran, jika Ramos dan istrinya memandang Rendy seperti anak kecil.

            “Among…,” ucap Tulus rendah dan pelan.

            “Among, ke.. ken… kenapa di sini?” tanya Tulus terbata.

            “Among tidak akan menyalahkan Rendy. Bukan karena Rendy sebagai seorang tamu di sini, kemudian patut diberikan hormat sebagaimana mestinya. Among, menganggap Rendy sebagai putra Among sendiri saat ia telah menginjakkan kakinya di rumah ini, Tulus. Among membenarkan apa yang dikatakan oleh Rendy. Among mengetahui dengan sendiri. Bukan karena Rendy. Sebelum Rendy keluarpun, Among sudah berada di depan pintu.”

            “Oh iya. Kamu tadi bertanya kenapa Among berada di depan pintu kan? Karena Among dan Inong mendengar pertengkaran hebat kamu. Selain itu, karena Among melihat kamu begitu serius dari luar ruangan setelah orang tua Rendy menelepon,” ucap seseorang tiba-tiba dari balik pintu yang terbuka dengan kehendaknya.

            “Among…,” panggil Tulus terkejut.

            “Tulus… Anakku. Biarkan Rendy tidur, Nak. Ini sudah malam. Jangan terlalu membahas masalah pekerjaan. Ada waktunya dimana kalian harus beristirahat,” ucap Inong dengan memperlihatkan dirinya dibalik tubuh tegap Among.

            “Baiklah, Tulus akan tidur,” ucap Tulus menyerah dengan nadanya yang rendah.

            Tulus berjalan ke arah tempat tidur. Kemudian, ia merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Tidak sampai di sana, Tulus sempat mengintip ke arah pintu yang nyatanya masih terbuka. Mengetahui hal itu, Tulus akhirnya menarik selimutnya dan memejamkan matanya.

            “Tidurlah juga, Ren. Hiraukan Tulus jika ia mengajakmu bicara,” ucap Ramos kepada Ren.

            “Baik, Nantulang.”

            Ramos dan istrinya, menepuk pundak Rendy. Memberikan secuil kasih sayangnya sebagai orang tua pengganti malam itu. Setelah itu, Ramos dan istrinya pergi meninggalkan kamar Tulus, setelah memastikan kedua anak itu tertidur dalam lelapnya. Sekaligus memastikan bahwa mereka berdua mengakhiri pertengkaran hebatnya.

***

            Pagi itu, menjadi pagi yang dingin. Semalam hujan turun begitu deras. Tak berhenti sama sekali. Ramos melihat sendiri bagaimana hujan itu turun ke bumi. Membasahi, mengundang embun, dan menentang matahari untuk menyinari bumi hari ini. Khususnya memberikan cahayanya yang terik hingga memanasi bumi pagi ini.

            “Abang,” panggil seseorang seraya mengetuk pintu ruangan kerja classic itu.

            “Rindi. Masuk sayang,” ucap Ramos kepada istrinya.

            Rindi berjalan masuk ke dalam ruangan suaminya. Ia menghampiri Ramos yang ada tengah berdiri menghadap jendela. Memandang keluar sana, dan menghiraukan kursi kerja yang tengah menggoda untuk digunakan duduk sebagai tempat duduk yang nyaman.

            “Ada apa?” tanya Ramos.

            “Ada yang ingin Rindi tanyakan sama, Abang?” ucap Rindi.

            “Apa sayang?” tanya Ramos mendekati tempat duduknya. Kemudian Rindi duduk di meja kerja Ramos. Ramos menggerakkan telapak tangannya dengan manja ke pinggang Rindi. Lengan kekarnya, memeluk pinggang Rindi yang ramping.

            “Mengenai pertengkaran Tulus dan Rendy semalam, Rindi berpikir untuk membantu mereka dengan memberikan fasilitas guru privat kemari. Untuk membantu mereka dalam mengerjakan tugas yang dianggap oleh mereka sulit. Menurut Abang gimana?” tanya Rindi kepada Ramos.

            “Boleh. Ide bagus. Tapi berikan kepada mereka pengertian bahwa kamu tidak menganggap kalau mereka tidak mampu. Sampaikan niat baikmu. Kamu tahu sendiri bagaimana pertengkaran semalam dengan pandangan Tulus yang demikian,” jelas Ramos.

            “Untuk biaya…,” ucap Rinsi terpotong saat jemari Ramos membelai pinggangnya.

            “Abang akan tanggung. Uang belanja, dan uang tambahan kamu simpan dengan baik,” ucap Ramos memberikan penerangan.

            “Tapi uang tambahan itu Rindi tidak terlalu membutuhkan. Jadi, Rindi pikir tidak ada salahnya jika Rindi gunakan untuk biaya pendidikan Tulus,” ucap Rindi memberikan pembantahan kepada Ramos.

            “Sayang… dengerin Abang. Itu hitungannya sudah berbeda. Hmmmm…. Nurut sama Abang ya?” ucap Ramos kepada Rindi. Tatapan mata yang diberikan oleh Ramos, memohon kepada Rindi agar Rindi mau menuruti keinginannya.

            “Baiklah kalau begitu.”

“Oh iya, hari ini kamu masak apa sayang?” tanya Ramos

“Kalau begitu, kita bicarakan ini dengan anak-anak di meja makan saja. Semuanya sudah siap, kan?”

“Siap semua kok, Bang. Yuk, sarapan. Tapi Tulus sama Rendy belum Rindi bangunkan,” ucap Rindi.

“Yasudah kalau begitu, bangunkan saja dulu mereka.”

“Abang nanti nyusul ke meja makan?”

Ramos hanya menganggukkan kepalanya ringan. Kemudian, Rindi beranjak dari tempat duduknya, dengan melepaskan telapak tangan Ramos dari pinggangnya. Ramos membalasnya dengan senyuman setelah mendapatkan kecupan dari Rindi. Istrinya.

***

Episode sebelumnya…

https://tulisin.kekitaan.com/2019/06/25/timbangan-cerpenkita-episode-6/

Terbit

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan