Sejarah kuliner

Sejarah kuliner nusantara, memanja lidah berabad lamanya
Indonesia awalnya dikenal sebagai negeri penghasil rempah yang berlimpah. Dari bumbu berdasar rempah inilah, banyak masakan khas asli Indonesia yang tercipta. Bukan itu saja. Interaksi perdagangan dengan negeri luar Indonesia, menciptakan persilangan jenis masakan yang juga memperkaya selera.

Hingga kini, dikenal banyak masakan Indonesia yang mendunia. Dari rendang, nasi goreng, hingga sate telah banyak memanjakan para penikmat dan pencari kepuasan selera. Dan inilah sebagian masakan Nusantara dengan kisah perkembangannya di Indonesia.

Rendang

Dalam sebuah ulasan dari seorang sejarawan Universitas Andalas Padang, Gusti Anan, konon rendang diawali oleh kebiasaan masyarakat Minang bepergian lewat jalur air ke Selat Malaka hingga Singapura di sekitar abad 16. Perjalanan yang butuh waktu lama itu membuat para perantau harus menyiapkan makanan tahan lama karena tidak ada perkampungan yang bisa disinggahi sebelum sampai tujuan. Rendang sendiri disebut berasal dari kata merandang yang berarti memasak santan hingga kering secara perlahan. Hal inilah yang dianggap sebagai salah satu ciri khas yang sesuai untuk menjelaskan asal mula rendang.

Referensi lain menyebutkan bahwa rendang awalnya dipengaruhi dengan kedatangan pedagang dari India ke daerah Minang di sekitar abad 15. Mereka sering memasak dengan kari. Menurut ahli waris kerajaan Pagaruyung, kemungkinan rendang adalah proses lebih lanjut pembuatan makanan dengan kari. Perbedaannya kari lebih basah, sedangkan rendang dibuat kering sehingga lebih awet.

Naskah Kuno

Sejarawan yang menggeluti sejarah kuliner Indonesia ini menjelaskan, kuliner banyak disebutkan dalam naskah kuno Nusantara. Pada naskah tersebut, beberapa kuliner Nusantara sudah ada sejak abad ke-10 Masehi, seperti pecel, sambal, rawon, kerupuk, hingga dawet.

Terdapat perbedaan antara dokumentasi kuliner Nusantara dengan kuliner luar. Fadly Rahman menuturkan, negara-negara dengan tradisi kuliner yang didasarkan atas kuatnya tradisi untuk mencatat makanan.

Berbeda dengan Indonesia, tradisi mencatat resep tidak dilakukan oleh para leluhur. Naskah kuno hanya sekedar nama-nama makanannya saja. Namun, bukan berarti resep leluhur tersebut tidak terwariskan dengan baik hingga saat ini.

Karena itu, penulisan resep-resep kuliner Nusantara ini terbilang susah. Selain minim sumber tertulis, proses penulisan resep juga harus merekonstruksi berbagai sumber dari setiap zaman.

Sumber lain mengatakan bahwasanya
Sejarah kuliner Indonesia memang menjadi sebuah bahasan empuk yang banyak menarik perhatian. Bukan hanya karena berkaitan dengan lidah, kuliner dalam perkembangannya tak lepas dari proses politik, ekononi, dan budaya.

satu budaya kuliner yang banyak disinggung dalam sejarah kuliner di abad 19 M adalah rijsttafel. Istilah ini digunakan sekitar tahun 1870, yang mencerminkan perpaduan antara Belanda dan Jawa dalam bidang kuliner..

Meminjam istilah Auguste de Wit, Fadly menyebut jika kebiasaan mengadaptasi diri terhadap pola makam masyarakat bumiputera itu tak hanya sebatas menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada akibat perbedaan persediaan bahan makanan di Eropa dan Indonesia saat itu. Namun kebiasaan yang mulanya identik dengan bumiputera itu malah dijadikan wujud status sosial. “Itu seperti yang dikatakan Auguste de Wit terkait rijssttafel,” tulis Fadly.Sejarah kuliner nusantara, memanja lidah berabad lamanya Indonesia awalnya dikenal sebagai negeri penghasil rempah yang berlimpah. Dari bumbu berdasar rempah inilah, banyak masakan khas asli Indonesia yang tercipta. Bukan itu saja. Interaksi perdagangan dengan negeri luar Indonesia, menciptakan persilangan jenis masakan yang juga memperkaya selera. Hingga kini, dikenal banyak masakan Indonesia yang mendunia. Dari rendang, nasi goreng, hingga sate telah banyak memanjakan para penikmat dan pencari kepuasan selera. Dan inilah sebagian masakan Nusantara dengan kisah perkembangannya di Indonesia. Rendang Dalam sebuah ulasan dari seorang sejarawan Universitas Andalas Padang, Gusti Anan, konon rendang diawali oleh kebiasaan masyarakat Minang bepergian lewat jalur air ke Selat Malaka hingga Singapura di sekitar abad 16. Perjalanan yang butuh waktu lama itu membuat para perantau harus menyiapkan makanan tahan lama karena tidak ada perkampungan yang bisa disinggahi sebelum sampai tujuan. Rendang sendiri disebut berasal dari kata merandang yang berarti memasak santan hingga kering secara perlahan. Hal inilah yang dianggap sebagai salah satu ciri khas yang sesuai untuk menjelaskan asal mula rendang. Referensi lain menyebutkan bahwa rendang awalnya dipengaruhi dengan kedatangan pedagang dari India ke daerah Minang di sekitar abad 15. Mereka sering memasak dengan kari. Menurut ahli waris kerajaan Pagaruyung, kemungkinan rendang adalah proses lebih lanjut pembuatan makanan dengan kari. Perbedaannya kari lebih basah, sedangkan rendang dibuat kering sehingga lebih awet. Naskah Kuno Sejarawan yang menggeluti sejarah kuliner Indonesia ini menjelaskan, kuliner banyak disebutkan dalam naskah kuno Nusantara. Pada naskah tersebut, beberapa kuliner Nusantara sudah ada sejak abad ke-10 Masehi, seperti pecel, sambal, rawon, kerupuk, hingga dawet. Terdapat perbedaan antara dokumentasi kuliner Nusantara dengan kuliner luar. Fadly Rahman menuturkan, negara-negara dengan tradisi kuliner yang didasarkan atas kuatnya tradisi untuk mencatat makanan. Berbeda dengan Indonesia, tradisi mencatat resep tidak dilakukan oleh para leluhur. Naskah kuno hanya sekedar nama-nama makanannya saja. Namun, bukan berarti resep leluhur tersebut tidak terwariskan dengan baik hingga saat ini. Karena itu, penulisan resep-resep kuliner Nusantara ini terbilang susah. Selain minim sumber tertulis, proses penulisan resep juga harus merekonstruksi berbagai sumber dari setiap zaman. Sumber lain mengatakan bahwasanya Sejarah kuliner Indonesia memang menjadi sebuah bahasan empuk yang banyak menarik perhatian. Bukan hanya karena berkaitan dengan lidah, kuliner dalam perkembangannya tak lepas dari proses politik, ekononi, dan budaya. Salah satu budaya kuliner yang banyak disinggung dalam sejarah kuliner di abad 19 M adalah rijsttafel. Istilah ini digunakan sekitar tahun 1870, yang mencerminkan perpaduan antara Belanda dan Jawa dalam bidang kuliner.. Meminjam istilah Auguste de Wit, Fadly menyebut jika kebiasaan mengadaptasi diri terhadap pola makam masyarakat bumiputera itu tak hanya sebatas menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada akibat perbedaan persediaan bahan makanan di Eropa dan Indonesia saat itu. Namun kebiasaan yang mulanya identik dengan bumiputera itu malah dijadikan wujud status sosial. “Itu seperti yang dikatakan Auguste de Wit terkait rijssttafel,” tulis Fadly.


Terbit

dalam

oleh

Tags:

Comments

Leave a Reply