Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian, tapi bukan hasil tenunannya sendiri, yang menyantap makanan, tapi bukan hasil panenan ladangnya, dan meminum anggur tapi bukan berasal dari perasannya sendiri. Kasihan bangsa yang memuja orang-orang zalim sebagai pahlawan, yang menyanjung para penjajah sebagai sang gagah. Kasihan bangsa yang mencela nafsu di ketika mimpi, namun takluk pada ketika terjaga. Kasihan bangsa yang membungkam suaranya kecuali untuk meratapi arakan duka pemakaman, tanpa kubangan, kecuali meratapi keterjatuhannya, dan enggan melawan sebelum lehernya terpasang di pemancungan.
Kasihan bangsa yang politikusnya adalah serigala berbulu domba, yang para filosofnya adalah para pemain sulap, dan keseniannya adalah seni picisan dan jiplakan. Kasihan bangsa yang menyambut penguasanya yang baru sambil meniupkan terompet, dan mengolok-oloknya ketika berpamitan, demi untuk menyambut lagi penguasa baru lainnya, dan berterompet lagi. Kasihan bangsa yang para penasihatnya adalah orang-orang pikun, sedangkan orang-orang kuatnya masih dalam gendongan. Kasihan bangsa yang terpecah menjadi keeping-keping, dan setiap keping menganggap dirinya sebagai sebuah bangsa.
-Kahlil Gibran-
Episode sebelumnya…
Burju memandang lembaran kertas yang ada di depannya. Kedua bola matanya tak berhenti untuk menatap rangkaian harga yang tertera di sana. Nama-nama buku yang telah ia beli, membuat jantungnya seperti terasa menari. Menari menikmati apa yang tengah berkeliling di kepalanya saat ini.
Semuanya seketika teralihkan saat Burju menyadari bahwa roda mobil tengah memasuki pelataran rumahnya. Ia melipat selembar kertas panjang yang telah ia pandangi sejak ia keluar dari toko buku di kota.
“Gimana? Ada semua?” tanya seseorang sebelum Burju turun dari mobil.
Burju menjawab pertanyaan itu dengan menganggukkan kepalanya. Seraya, ia menggegat bibir bawahnya. Dan, mengusahakan untuk mengusir pikiran yang tengah berkeliling memenuhi kepalanya. Ia juga berusaha untuk menikmati tatapan matanya yang santai. Karena, ia tahu benar, bahwa kelemahannya ada di dalam pikirannya. Apabila pikirannya tengah tidak baik-baik saja, maka semuanya akan terpengaruhi. Seperti tatapan kedua bola matanya.
“Kamu kenapa, Nak? Sakit? Ini kenapa kamu berkeringat dingin?” tanya Rindi saat ia menghampiri Burju dan menggandeng lengan putranya yang tumbuh jauh lebih tinggi darinya.
“Mana ada, Inong.”
“Ini,” ucap Rindi dengan membelaikan telapak tangannya di lengan Burju. Kemudian, meletakkan di bawah sinar matahari yang tak jauh dari jangkauannya. Hal itu, ditujukan kepada Burju agar Burju tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Rindi merupakan suatu kebenaran.
“Kamu sakit, Ju?” tanya Ramos kepada Burju saat ia melihat kebenaran itu.
Burju seketika menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah bagasi. Ia berharap, dengan apa yang dilakukannya saat ini dapat menutupi semuanya. Semua, yang tidak satu orangpun tahu.
“Ada berapa buku yang tidak ada?” tanya Ramos setelah ia mengetahui apa yang diinginkan oleh putranya.
“Hanya ada dua buku, Among.”
“Baguslah. Biarkan satpam yang mengangkut semua bukunya. Kamu masuk saja, sama Inong. Oh iya, nanti notanya kamu tarok di meja kerja Among ya,” ucap Ramos memberikan pesan di kala ia hendak pergi keluar rumah.
“Among mau ke mana?” tanya Burju.
“Mau ke toko. Lihat persediaan gudang. Sama sekalian cek, apa aja yang udah habis.”
“Hati-hati ya, Bang.”
“Iya, sayang.”
Ramos meninggalkan Rindi dan Burju yang tengah berdiri memandang kepergiannya. Ia pergi menggunakan motornya. Bukan mobil yang baru saja digunakan oleh Burju.
“Rindi,” panggil seseorang. Silalahi. Ibu Rendy.
“Iya?” tanya Rindi seraya berjalan meninggalkan Burju yang masih berdiri mematung memandang kepergian Ramos yang mulai menjadi titik hitam di matanya. Kemudian, menghilang.
“Permisi, Bang Burju. Ini bukunya ditarok di mana, ya?” tanya satpam.
“Langsung tarok aja di perpustakaan, Among. Saya mau pergi ke ruangan saya dulu. Nanti untuk penataannya. Biar saya sendiri yang atur. Karena, Among udah pesen sesuatu ke saya mengenai penataan,” ucap Burju memberikan penjelasan atas pertanyaan yang diberikan oleh satpam terhadapnya.
Dengan anggukan kepalanya, satpam berjalan ke dalam. Dan Burju masih berdiri di tempatnya. Ia menikmati hembusan nafas dan angin yang menerpa tubuhnya. Keringat dingin yang keluar dari dalam tubuhnya seolah mengering seketika setelah mendapatkan terpaan itu.
“Burju, ngapain di situ?” seru Rindi saat ia masih melihat Burju berdiri di tempat yang sama. Sedangkan, ia telah berada di ambang pintu bersama dengan Silalahi. Rindi memberikan komando dengan melambaikan tangannya agar Burju berjalan ke arahnya.
Burju tersenyum ringan menanggapi lambaian itu seraya berjalan masuk ke dalam rumah. Menikmati waktunya bersama dengan Rindi. Mamanya.
“Burju masuk ke dalam kamar dulu, ya.”
“Iya sayang,” ucap Rindi seraya berjalan mendahului Rindi dan juga Silalahi yang keduanya berjalan beriringan.
***
Burju menatap ke arah sampul buku yang berada di depannya. Yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas ranselnya. Ia menatap kedua buku yang ia beli dari toko buku bersama dengan buku yang diinginkan oleh Ramos. Burju juga tak melewatkan dimana ia menatap lembaran kertas yang sedari tadi ia tatap di dalam mobil.
“Maafkan, Burju Among,” gumamnya ringan seraya menundukkan kepalanya.
“Kenapa Burju?” tanya seseorang.
Seketika Burju memutar tubuhnya. Ia melihat ke arah sumber suara. Suara dengan rupa yang sudah berdiri di depan pintu. Suara yang telah mengagetkan ia. Rindi. Mamanya.
“Kenapa kamu tampak tekejut begitu?” tanya Rindi seraya berjalan mendekat ke arah Burju.
“Enggak, kok Inong,” ucap Burju dengan nada suara yang berusaha menormalkan suaranya.
“Ini semua buku yang diminta oleh, Amongmu?” tanya Rindi dengan menyentuh sampul buku yang menarik di matanya. Hal ini dapat dilihat dari pijaran matanya. Bibirnya terulas senyuman tipis.
Rindi mengalihkan pandangan kedua bola matanya ke arah laki-laki yang tengah berdiri tak jauh darinya. Rindi menangkap keringat sebesar biji jagung yang keluar dari pelipis Burju. Burju yang menyadari hal itu, segera menyeka keringatnya.
“Burju sedikit mengeluarkan tenaga. Jadi berkeringat, dan Burju belum mandi. Saat sampai ke rumah hari ini…”
“Nak, tidak ada yang kamu sembunyikan dari Inong, kan?” tanya Rindi memutus ucapan Burju yang tengah memberikan penjelasan. Ah tidak. Bukan memberikan penjelasan. Melainkan, tengah memberikan keterangan palsu untuk menutupi apa yang sedang ia tutupi saat ini.
Burju menelan air liurnya. Tenggorokannya seketika tercekat. Lebih tercekat dari sebelumnya. Bahkan, saat di dalam mobil, tenggorokannya sudah tercekat. Namun, ini lebih dari saat di dalam mobil. Bahkan, tubuhnya seketika menegang. Dan, kepalanya seperti terhamtam benda yang begitu keras. Kakinya, berusaha menguatkan seluruh tubuhnya.
“Burju… jawab Inong, Nak.”
Burju hanya bisa menelan ludahnya. Hatinya ingin membuat bibirnya berbicara. Namun, pikirannya yang sudah terdahului dan terlampau kacau, tidak dapat melakukan apa yang diinginkan oleh hatinya. Bibirnya masih tertutup rapat. Bibirnya, masih terasa kelu.
“Burju…,” panggil Rindi seraya melangkahkan kakinya lebih dekat ke arah Burju.
Burju hanya membalasnya dengan dehaman. Bahkan, dehaman yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Rindi ia gunakan dengan cara yang sangat sulit. Burju kembali menyeka keringatnya yang mengalir di pelipis. Ia menyadari, bahwa kali ini ia tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu dari Rindi. Satu hal yang tidak pernah ia lupakan dalam setiap waktu. Rindi, adalah ibunya. Dalam tubuhnya, mengalir darah Rindi. Dan, Rindi yang lebih banyak menyumbangkan darahnya selama di kandungan. Burju mengerti betul mengenai posisi tersebut.
Dengan segenap hatinya, Burju menyerahkan seluruh ketakutannya di dalam ucapannya kali ini. Sebelumnya, ia memejamkan kedua bola matanya. Kemudian, ia menggerakkan segala pikiran dan hatinya untuk membicarakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Bu.. Bur.. Ju..,” ucapnya terbata. Rindi yang memperhatikan, menuntun Burju untuk mengatakan apa yang hendak dikatakan olehnya.
Rindi memegang kedua pundak Burju. Kemudian, menuntun Burju dengan menganggukkan kepalanya, seolah tak akan terjadi apapun setelah Burju mengutarakan ucapannya.
“Saya…,” ucap seseorang terputus saat melihat Burju dan Rindi berada di situasi itu.
“Bur.. Ju…”
“Abang Burju udah bohong sama Among dan Inong,” ucap seseorang dengan lantang.
Seketika Ramos, dan Rindi menolehkan kepalanya. Tulus. Ia tengah berjalan mendekati Ramos dan Rindi.
“Maksud kamu apa?” tanya Rindi dengan melepaskan kedua telapak tangannya dari pundak Burju.
“Ini,” ucap Tulus dengan memberikan sesuatu yang berada di genggaman tangannya.
Rindi berlari kecil mendekat ke arah Tulus. Ramos meraih itu dengan cepat. Kemudian, melihat apa yang ada di dalamnya. Seketika, Rindi terperangah. Tulus meraih tubuh Mamanya dan memberikan kekuatan kepada Rindi. Begitu pula dengan Ramos. Saat Ramos merasa bahwa Tulus dapat menjaga Rindi, Ramos kembali melihat apa yang telah diberikan oleh Tulus.
“Bisa kau jelaskan ini kepada, Among?” tanya Ramos memberikan ketegasan.
“Bicaralah, Bang. Jangan ulangi tindakanku sebagai pengecut!” ucap Tulus tak kalah tegas.
Burju yang melihat kejadian hari ini, membuat dirinya terpukul. Bagaimana tidak? Burju memberikan pendidikan kepada Tulus adiknya untuk berani. Tetapi, di saat seperti ini, ia tak bisa memberikan penjelasan kepada siapapun mengenai apa yang telah diajarkan olehnya.
“Abang Burju..,” ucap Tulus terpotong saat Ramos memberikan tatapan tajam kepadanya. Seolah-olah, di saat ini bukanlah Tulus yang diberikan pertanyaan. Melainkan Burju. Sehingga, Ramos menginginkan, Burju yang memberikan jawaban.
“Jawab Burju,” ucap Among memberikan kejelasan lebih tegas.
Burju menutup kedua bola matanya. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Kedua telapak tangannya menggenggam. Giginya gemeratak menggegat. Pelipisnya tak berhenti mengeluarkan keringat dingin dari setiap pori-porinya. Dan… bibirnya yang terkatup rapat.
“Tulus akan menerima tawaran Among selama Abang Burju mau memberikan penjelasan mengenai apa yang Abang Burju lakukan,” ucap Tulus memberikan penawaran.
Rindi yang berada di sana, dengan seluruh tubuhnya yang melemah hanya bisa mengeluarkan air mata. Menangisi kejadian yang telah terjadi hari itu.
“Burju mau jadi pilot. Dan, sebenarnya semua buku yang Among inginkan ada semua. Akan tetapi, dua buku yang tidak ada Burju gantingan dengan buku yang Burju inginkan. Dan…. ” ucap Burju dengan memejamkan kedua bolama matanya. Ia juga menundukkan kepalanya. Ucapannya terputus saat Ramos mendahului apa yang hendak diucapkannya.
“Dan buku itu mengenai penerbangan. Pilot seperti yang kau inginkan?”
“Aku akan bantu untuk masuk ke sekolah itu,” ucap seseorang.
Ramos kembali menolehkan kepalanya. Keluarga Rendy telah mendengar semuanya.
“Benarkah, Tulang?” tanya Burju seketika saat kedua bola matanya terbuka.
“Benar. Ada sahabat Tulang yang sudah tamat sekolah pilot. Nanti akan Tulang berikan informasi lebih lanjut.” Ucap Parulian kepada Burju.
Ramos melihat kedua bola mata itu. Kedua bola mata yang kini tengah berbinar. Berbinarnya kedua bola mata itu menunjukkan betapa tersentuh hatinya. Tulus, menatap Burju dengan tatapan tak menyangka. Ia tersenyum seraya menundukkan kepalanya. Matanya terpejam. Gelap. Di dalam pikirannya, terlintas tulisan itu. Yah… Tulisan yang telah ia ambil dari meja belajar Burju.
“Uli, bisakah aku bicara dengan kamu? Mengenai apa yang diinginkan oleh Burju?” tanya Ramos menyudahi hatinya yang trenyuh dan memilih untuk menyelesaikan sesuatu yang dianggapnya menjadi suatu permasalahan atau kejanggalan.
Parulian menganggukkan kepalanya dengan senyuman. Bola matanya menyiratkan sebuah kebanggaan atas apa keinginan yang diinginkan oleh anak-anaknya. Dari sana, Parulian berharap bahwa ia akan menjadi seseorang yang bisa memberikan kesuksesan untuk anak-anaknya. Bukan hanya anaknya, melainkan cucunya nanti. Tidak dengan warisan. Tapi, kemampuan.
“Bagaimana kalau di ruang kerjaku saja?” tanya Ramos.
“Boleh,” ucap Parulian dengan berjalan di belakang Ramos dan melewati Silalahi serta Rindi yang tengah lemas di dalam sandaran Tulus.
***
“Mengenai Rendy, Tulus dan Burju bagaimana menurut kamu?” tanya Ramos kepada Parulian saat keduanya berada di dalam ruangan kerjanya.
“Maksudmu?” tanya Parulian.
“Kamu tidak mengecek harga pasar?” tanya Ramos.
“Sudah. Aku sudah mengeceknya. Memang ada problem? Lalu maksudmu bagaimana?” tanya Parulian dengan tatapan matanya yang sinis.
Ramos terdiam. Ia menggesek dagunya dengan ibu jari serta jari telunjuknya secara bersamaan. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
“Kau tidak akan mengorbankan kebahagiaan anak-anakmu, kan?” tanya Parulian kepada Ramos saat ia mengetahui maksud dari pokok diskusinya kali ini.
“Haruskah aku kehilangan semuanya?” tanya Ramos.
“Tch! Kau gila!”
Parulian berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan ke arah jendela. Ia menyadari, bahwa ia telah mengganggu penglihatan Ramos. Namun, ia menghiraukan hal itu. Parulian membuka korden lebih lebar lagi. Ia bersandar di pinggiran jendela. Memandang tanah yang terhampar luas. Apa yang ia lihat sama seperti sebuah lukisan. Sungguh.
Hijau itu, adalah hasil perkebunan yang sudah seharusnya ia dapatkan di bulan ini dengan jumlah yang seharusnya. Akan tetapi, tidak demikian. Sehingga, harga pasar menjadi naik. Dan, pengeluaran konsumen semakin mencekik. Ia menyadari permasalahan itu.
Bahan-bahan mentah yang diolah melonjak naik sama dengan bahan mentah yang memang sudah biasa dijual mentah. Tidak dengan Ramos. Ia memang pengepul bahan mentah. Dan bahan mentah yang ia dapatkan, ia jual dengan mentah di pasar. Berbeda dengan Ramos. Ramos adalah pengelola bahan mentah. Ia menyadari, bahwa Ramos akan mengeluarkan biaya lebih tinggi daripada lainnya.
Biaya itu, bahkan dua kali lipat dari biasanya karena bahan baku pokok harganya melonjak. Bahkan, jika Ramos mengajak Parulian untuk bekerjasama dalam menstabilkan usahanya, Parulian tidak dapat memberikan sepenuhnya bantuan. Karena, bahan baku pokok yang diinginkan oleh Ramos, juga tersedia dengan harga mahal. Adapun jika sudah menjadi produk yang siap diberikan oleh konsumen, harganya akan naik dua kali lipat atau bahkan lebih. Karena termakan biaya produksi, distribusi, dan pembelian bahan baku pokok.
“Jika aku kehilangan semua, bagaimana aku memberikan fasilitas kepada anak-anakku?” tanya Ramos di tengah keheningan keduanya.
“Masih ada solusi lainnya. Jangan terburu-buru,” ucap Parulian.
“Apa lagi? Kepalaku sudah ingin meledak rasanya jika aku harus memperhitungkan semuanya.”
“Siapa yang akan kau korbankan masa depannya?” tanya Parulian.
“Tulus.”
Seketika Parulian membalikkan tubuhnya. Ia menolehkan kepalanya cepat kepada Ramos. Tatapannya menajam. Bibirnya terkatub rapat. Memandang Ramos dengan tatapan tidak menyangka adalah hal yang ia lakukan kala itu. Tak lama dari itu, ia mendengar suara pintu ruangan terbuka dengan keras. Bahkan, pintu itu terpental dari tembok dan meninggalkan suara decitan yang meringkik. Seperti, seseorang yang tengah mendapatkan suatu kesakitan atas sesuatu.
Suara engahan dan langkah yang cepat, terdengar begitu jelas. Tatapan mata yang tajam, dan tamak terlihat semakin jelas. Genggaman tangan yang siap menyakiti siapapun, terasa begitu tajam. Dan, suasana itu menjadi tidak sehening sebelumnya.
“Tulus nggak mau!!!! Tulus mau menempuh pendidikan. Kalau memang Among keberatan dengan biaya yang harus dikeluarkan, Tulus akan berjuang sendiri di sana. Among tidak perlu memikirkan hal ini.”
“Tenang dulu, Lus,” ucap Parulian memberikan arahan.
Tulus menghiraukan apa yang dikatakan oleh Parulian. Ia justru memajukan langkahnya. Berjalan mendekati Ramos. Menatap wajah Ramos dengan tatapan kecewanya. Ia tidak menyangka bahwa Ramos akan menjual masa depannya dan mengorbankan kebahagiaannya.
“Sekarang, Tulus mau nanya sama Among. Kenapa harus Tulus yang dikorbankan? Kenapa nggak Abang Burju? Kita sama-sama anak Among. Tapi kenapa harus Tulus? Tulus salah apa?!” tanya Tulus dengan nadanya yang mulai meninggi dan kemudian ditelan oleh titik air matanya.
“Karena Abangmu sudah dimakan umur. Maka dari itu, Among mendahulukan Abangmu. Among tidak mengorbankan masa depan kamu. Among hanya ingin menempatkan kamu di masa yang tidak memberikan kamu kesulitan. Maka dari itu, Among mengajak waktu untuk bekerjasama. Begitu juga kamu, Tulus.”
“Umur? Tch! Hanya karena umur, Among memberikan keputusan ini?! Nggak. Nggak bisa! Tulus nggak bisa nerima ini semua.”
“Kalau emang lo nggak bisa nerima, kasih solusi lo! Jangan hanya menyalahkan orang tua dan menyalahkan keadaan,” ucap seseorang di ambang pintu. Rendy.
Tulus menolehkan kepalanya. Begitu juga dengan Parulian. Ramos, yang terhalangi pandangnya oleh tubuh Tulus meminggirkan posisi kepalanya ke celah yang memungkinkan. Rendy berjalan masuk ke dalam saat ia merasa bahwa situasi yang diberikan memungkinkan.
“Nih buku lo!” ucap Rendy menyerahkan buku bersampul spiderman.
Tulus hanya memandangi buku itu. Kemudian, Rendy meraih telapak tangan Tulus. Memberikan buku itu di atas telapak tangannya. Hingga Tulus beralih menatap buku itu. Tak lama dari itu, Tulus membuka buku itu. Rendy yang melihat hal itu, tersenyum tipis. Di dalam hatinya saat itu, berharap bahwa semuanya tidak akan menjadi bayangan buruknya.
“Maksudnya apaan?” tanya Tulus yang masih tidak mengerti.
Rendy mendekatkan dirinya. Kemudian, ia memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan tulisan di dalam buku Tulus. Buku yang sudah ada sebelum masalah ini terjadi. Buku yang menjadi bagian dari cita-cita Tulus. Rendy tahu banyak mengenai apa yang diinginkan oleh Tulus. Maka dari itu, Rendy selalu memberikan dukungan penuh terhadap apa yang dibutuhkan oleh Tulus. Termasuk hari ini.
“Jadi gini semuanya, ini rencana Tulus udah dari dulu sih. Sebelum adanya problem ini. Siapa tahu bisa bantu,” ucap Rendy dengan menunjukkan beberapa gambar di buku.
Buku tersebut menggambarkan siklus yang bisa dilakukan oleh Ramos untuk memperbaiki apa yang sedang menjadi masalahnya. Siklus yang ada di dalam buku tersebut menjadi bagian dari pemikiran Tulus yang dijelaskan oleh Rendy.
Saat Rendy memberikan penjelasan, Tulus akhirnya menambahkan beberapa hal yang dapat menunjang dari penjelasan Rendy sebagai tolak ukur pemberian solusi yang bisa diberikan dan menutup kemungkinan untuk Ramos mengorbankan masa depan Tulus.
Di sana, Rendy memberikan penjelasan bahwa masalah yang dihadapi oleh Ramos sebagai pelaku produksi atau penyedia pangan bagi konsumen adalah dengan menghasilkan bahan mentahnya sendiri. Bukan membeli atau mengambil dari luar seperti yang dilakukan oleh Ramos selama ini.
“Among bisa ajarin Tulang Ramos?” tanya Rendy kepada Parulian.
“Tentang?” tanya Parulian.
“Tentang penyediaan bahan mentah. Seperti proses pertanian, Among.”
“Bisa. Lahannya?” tanya Parulian.
“Bisa pakai lahan kita,” ucap Rendy.
“Boleh. Atau Among tidak menjual bahan mentah ke pasar? Tapi menjual ke kau saja Ramos?”
“Bisakah?” tanya Ramos dengan wajahnya yang penuh harap.
“Bisa. Anggap saja ini sebagai balas budiku padamu setelah permasalahan Rendy selesai.”
“Akhirnya… syukurlah. Terimakasih, Uli.”
“Sama-sama,” ucap Parulian dengan senyuman yang damai.
Rendy kemudian melanjutkan penjelasannya. Begitu juga dengan Tulus yang menyimak apa penjelasan dari Rendy. Ia kini menjelaskan mengenai strategi penjualan yang bisa dilakukan oleh Ramos. Memang, selama ini Ramos mengerjakan pekerjaan atas dasar ingin menolong masyarakat sekitar supaya bisa mengkonsumsi bahan pangan jadi dengan harga yang murah dan sesuai dengan penghasilan perbulan. Namun, setelah adanya masalah yang menimpa dirinya saat ini, Ramos meyakini bahwa harga pasar akan naik. Karena, bahan mentah mahal ditambah dengan biaya produksi yang juga mahal.
“Selain cara yang diberikan oleh Rendy barusan dengan menyediakan bahan mentah sendiri dan mengkondisikan larinya bahan mentah sebelum sampai ke tangan konsumen, dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat atau penduduk setempat bahwa produk lokal yang Among berikan, merupakan produk yang wajib dan harus mereka cintai. Dengan begitu, produk dari luar yang membuat Among kesulitan penjualan dan akhirnya menggerus pedagang bahan mentah, dapat tertangani secara berkala,” jelas Tulus kepada Ramos yang tengah memperhatikan jalannya diskusi itu dengan serius.
“Dan untuk menanggulangi permasalahan ini di kemudian hari, aku akan membantu masyarakat setempat untuk mengumpulkan bahan mentah mereka dan memberikannya kepadamu. Dan satu lagi, aku akan bersedia memberikan pelatihan kepada mereka untuk memperdayakan sumber pertanian kita, untuk supplay bahan mentah lebih banyak. Karena aku yakin, ini akan kembali terjadi setelah beberapa produk luar masuk ke dalam pasar kita dan bersiang dengan produk pasar kita,” jelas Parulian kepada Ramos.
“Bagaimana menurut Tulang? Apakah sudah membantu?” tanya Rendy kepada Ramos yang sudah ia anggap sebagai pamannya.
Ramos masih menatap lembaran kertas yang berada di buku itu. Buku yang dipegang oleh Rendy. Kedua bola matanya menatap gambaran siklus itu dengan tajam. Kemudian jari telunjuknya dan ibu jarinya menggesek dagunya perlahan secara bersamaan. Terlihat jelas dari sorotan matanya bahwa Ramos tengah menimang sesuatu.
“Masih belum bisa kah, Tulang?” tanya Rendy lagi. Dahinya berkerut perlahan. Cemas. Hal ini juga terjadi kepada Tulus. Sedangkan Parulian tengah menunggu dan menimang jawaban apa yang akan diberikan oleh Ramos.
Sungguh, keputusan kali ini akan menjadi bagian dari masalah yang rumit untuk Ramos. Karena Ramos, adalah penompang kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Maka dari itu, pendidikan yang di enyam oleh Ramos sudah termasuk tinggi bahwa tertinggi di jamannya. Berbeda dengan saat ini. Di era yang sekarang, pendidikan Ramos hanyalah pendidikan yang rendah. Tapi, kebermanfaatan yang ia berikan sudah terasa oleh masyarakat. Oleh karena itu, ia mendapatkan kehormatan dan memang disegani oleh masyarakat dan dianggap sebagai tokoh oleh masyarakat.
“Bisa. Kita coba dulu semuanya. Masalah berhasil tidaknya, akan kita tentukan nanti solusinya agar bisa lebih jelas bagaimana titiknya,” ucap Ramos dengan nadanya yang serius.
Seketika, Tulus mendudukkan dirinya di sofa samping Ramos duduk. Rendy bernafas lega dan menegakkan tubuhnya. Parulian bernafas dengan lega dan menatap Ramos dengan tatapan tak menyangka dan bangga.
Episode sebelumnya…
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.