Dalam dimensi waktu
Aku menemukanmu kembali
Dirimu, dalam wujud yang berbeda
Entah mengapa?
Aku yang seperti ini bisa menjadi pilihanmu
Kamu yang sempurna untukku
Kamu yang terlalu indah untuk aku miliki
Kamu, permata dan mutiara
Tak tahu bagaimana caranya merangkai kataku
Namun yang pasti, aku hanya untukmu
Disela diriku, bermain dengan waktu
Hingga aku memutuskan menghentikan waktu
Karena aku takut masa ini akan menghilang
–P.N.Z–
Udara segar terlihat dari baliik jendela besar itu. pemandangan gunung yang terlihat bersama dengan kabut yang berkeliling disekitarnya, telihat begitu akur. Gradasi langit pagi berwarna biru, sama halnya dengan warna kolam renang yang ada di bawah. Senada dengan mega putih di langit, dan hijaunya lapangan golf serta taman yang tersedia disana. Komleks apartemen mewah. Yah.. di sanalah ia memulai hidupnya.
Dia. Gadis itu. Gadis berwajah kelinci dengan bulatan matanya yang lebar. Bibirnya yang mungil, serta tubuh seksinya yang tengah dibalut kemeja putih besar milik suaminya. Mengingat, dirinya yang baru saja kembali ke negaranya, tanpa bekal baju sama sekali. Sastra. Sastra Binara. Bidadari kecil nan mungil, baginya.
Aroma mentega yang tengah dipanaskan membawa aroma harum yang berhasil mengundangnyaa. Berjalan perlahan. Wajahnya yang kusam layaknya selimut yang masih terlingkar di lehernya yang kekar. Dada bidangnya, tercetak jelas tanpa helai kain sana.
Satu kebiasaan buruk, atau bahkan sudah menjadi hobinya, setelah pernikahannya waktu itu. Yah.. pernikahan kilat yang gila, dengan alasan yang sangat sederhana. Seserhana alasannya mencintai gadis itu. Yah… Gadis yang tengah berdiri di depan kompor, oven, dengan berbagaai alat memasak di kedua tangannya.
“Brian…,” panggilnya memperingatkan saat ia merasa ada kedua telapak tangan yang memeluknya dari belakaang.
“Nggak mau,” ucaaap Brian dengan suaranya yang serak. Khas bangun tidur pagi setelah ia bergadang untuk menyelesaikan laporannya.
“Ntar kamu kena minyaknya loh,” peringat Sastra.
“Jangankan kena minyak, berhadapan dengn bom lebih sering sayang,” jelasnya dengan mencium kepala Sastra.
“Ia deh nurut,” ucap Sastra pasrah.
Baginya, membuat konflik itu sama halnya menantang laki-laki yang tengah asik menciumnya setelah ia tak bertemu dengan Sastra selama tiga bulan. Dinasnya ke lar negeri yang mengharuskan ia berpisah dengan Sastra, membuat satu titik kerinduan saat ia bertemu dengan istrinya. Tugas berat sekaligus tantangan untuk Sastra, dimana ia tidak bisa berharap banyak untuk lepas dari pelukana suaminya. Atau genggaman suaminya yang manja. Sangat, dan sangat manja.
“Sayang, kamu kenapa sih? Kok wajahnya aneh begitu? Kaku banget. Padahal ini bukan pertama kalinya aku memeluk kamu. Begitu juga dengan kamu. Masak tiga bulan udah bikin lupa aku meluknya gimana?,” protes Brian saat menyadari otot perut Sastra yang kaku.
“Enggak kok. Ih udah! Kamu mandi dulu sana,” pinta Sastra dengan mengedikkan bahunya yang tengah digunakan Brian untuk bersandar.
“Tumben banget protes masalah mandi. Orang kamu juga nggak pernah mandi,” ejeknya dengan mencibirkan bibirnya.
Sastra yang tertangkap basah membelalakkan matanya. Dengan senyuman dan gemas, ia mencium pelipis Brian yang tengah terpampang di sana. Satu kode yang biasa diberikan Brin untuknya. Memberikn telak atau skakmatt untuk gadisnya. Ah buka gadisnya! Melainkan, wanitanya.
“Love you, sayang!,” bisiknya dengan mencium pipi Sastra kemudian meninggalkan Sastra sendiri, dan masuk ke kamar mandi.
Sastra membalasnya dengan senyuman. Kemudian, ia kembali berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Yah.. pekerjaan yang sangat atau bahkan masuk ke dalam list dimana ia tidak pernah melakukan pekerjaan itu. Bahkan, jangan sampai melakukan pekerjaan itu. Namun, laki-laki itu. Dia. Suaminya. Brian Vasine Pramana telah merubah seorang Sastra Binara yang keras kepala, menjadi lembut selembut sutera.
Yah… Sastraa yang tak sukaa dengan anak kecil, seketika menginginkan seorang bayi hadir di dalam rahimnya setelah iia terus menolak untuk memiliki seorang bayi. Dimana mengharuskan Brian, untuk menunggu, menunggu, dan menunggu.
Kesabaran itu, menjadi titik utama dia mau belajar memasak. Melihat Briaan yang selalu memakan makanan instan, dan juga pola hidupnya yang kurang sehat. Dikala Sastraa siap mempekerjakan pembantu rumah taangga, Brian menolaknya dengan mentah. Bahkan di waaktu itu, Brian mengucaapkan kata yang berhasil membuat Sastra sadar.
Ia lebih baik mati perlahan, daripada ia harus memakan makanan wanita lain sedangkan ia tengah memiliki istri. Disanalah Sastra berlari dari waktu padatnya. Meluangkan waktunya yang padat dimana ia harus memikirkan strategi pemasaran, peretasan pasar, pembacaan pangsa pasar, inovasi permintaan pasar, penanaman saham, hasil saham, tingkat inversor, hingga investasi dan segala keuntungannya.
“Eh, udah matang aja nih!!,” ucap Brian dengan menggosok kepalanya.
“Sayang sini!!,” pinta Sastra dengan meletakkan piring di atas meja makan.
“Apa?!,” tanya Brian setelah mendekat ke istrinya.
Sastra hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia meraih handuk itu, dan menggosok kepala Brian dengan lembut. Tinggi tubuhnya yang jauh lebiih pendek daripada Brian yang tinggi dan tegap dengan tubuhnya yang astletis, mengharuskan Sastra untuk mengangkat tumitnya. Meraih kepala suaminya, dan mengeringkan rambut. Brian terkekeh dengan senyumannya. Bibir tipisnya, membingkai dengan indah saat istrinya terlihat sangat seksi dengan penampilan yang acak-acakan itu. Brianpun menggendong Sastra. Kemudian, membawanya dalam pangkuannya.
“Brian…,” panggilnya rendah saat Brian mengambil sumpitnya.
“Hmmmm?,” tanya Brian.
“Jangan dimakan,”ucapnya dengan menundukkan kepalanyaa.
“Lah, kok gitu? Terus kamu masakin siapa sayang kalau bukan buat aku?,” tanya Brian dengan mengangkat wajah istrinya.
“Aku takut rasanya nggak enak, Mas.”
Seketika gelak tawa keluar dari mulut Brian. Kekehannya juga tak kunjung berhenti dan berhasil membuat bibir mungil Sastra mengerucut hebat. Satu hal yang menjadi pola kesukaan Brian. Posisi bibir yang pas untuk dicium.
“Brian!,” panggil Sastra sebal dengan memukul dada bidang Brian.
“Apa?!,” tanyanya seraya memakan sup kerang rumput laut, yang telah di masak Sastra.
Sastra tidak menjawab. Ia justru mengeluarkan ekspresi wajahnya yang takut sekaligus kawatir untuk hasil makanannya. Sastra turun dari pangkuan Brian, ia bersiap untuk lari setelah membayangkan rasanya hancur di dalam mulut Brian. Akan tetapi, kebiasaan itu sudah terbaca oleh Brian, hingga dia dapat mencegahnya dan membuat Sastra terududuk kembali di kursi.
“Kamu boleh ngritik aku nggak enak, aku minta maaf karena emang….”
“Sayang!,” panggil Brian dengan memegang pipi Sastra daat Sastra tengah memejamkan matanya dan siap menerima kritikan dari suaminya.
“Hmmm?,” tanyanya rendah dengan mencoba membuka matanya.
“Aku akan jujur. Masakan kamu nggak seenak restoran atau koki terhebat di dunia. Tapi dengan usaha kamu, masakan kamu, adalah masakan seorang istri yang mencintai suaminya. Di sanalah aku menganggapnya hebat. Sas, aku memperistri kamu bukan menuntut kamu untuk menjadi apa yang aku mau. Aku menerima apa kekurangan kamu. Aku tahu, kamu itu nggak sempurna. Begitu juga dengan aku, sayang. Di dunia ini nggak ada yang sempurna. Makanya dissempurnakan. Salah satunya adalah menerima apa adanya. Tahu alasannya?”
Sastra menggelengkan kepalanya. Sorotan matanya yang masih takut seolah membuat Brian mendekatkan dirinya. Mempererat sentuhan telapak tangannya, di kedua sisi wajah istrinya.
“Jika kita menerima kekurangan, maka kita akan merasa cukup dan enggan untuk mencari yang cukup. Atau bahkan lebih. Karena dari kekurangan saja sudah kita terima. Aku nggak akan protes gimana hasil masakannya. Bagiku, kekurangan kamu adalam kelebihan kamu. Jangan pernah menganggap dirimu jatuh di depanku, sayang. Kumohon! Beradalah di sisiku. Bukan di atasku, dibelakangku, atau didepanku. Tapi di sisiku. Tempat dimana aku bisa selalu memandang kamu. Menggenggam tanganmu, dan juga meraihmu dalam pelukanku. Paham?!,” tanya Brian lembut setelah ia menjabarkan penjelasannya.
“Jika memang begitu, kenapa masih ada perselingkuhan?,” tanya Sastra.
Seketika Brian mengerutkan dahinya. Ia terkejut saat istrinya mengajukan pertanyaan yang aneh untuknya. Seolah, dirinya telah menghianati pernikahan mereka. Padahal tidak. Jangankan melakukan, terlintas dipikirannya saja tidak.
“Maksud kamu gimana, sayang?,” tanya Brian memastikan.
“Aku takut, kamu akan melakukan itu.”
“Bentar-bentar. Kenapa tiba-tiba bahas hal ini? Ada hal yang mengganggu kamu?,” tanya Brian.
Sastra menganggukkan kepalanya. Brian yang mengerti apa yang harus dilakukan, meraih istrinya. Menyuruhnya berdiri, dan membawanya dalam pangkuannya. Membiarkan lengan istrinya melingkar di punggung dan lehernya. Membiarkan telapak tangannya memegang dan menggenggam telapak tangan istrinya. Membiarkan kedua bola matanya, memandang lekat mata istrinya. Itulah yang ia lakukan saat isrinya merasa takut dan kawatir. Sekaligus, cemas akan sebuah hal.
“Kemarin ada arisan ibu Jalasenastri. Mereka bercerita tentang permasalahan salah satu anggota. Kalau suaminya selingkuh. Permasalahannya, karena tidak bisa memasak. Alasan keduanya, karena sang istri memiliki jadwal kerja yang padat. Aku nggak bisa masak, Bri. Aku juga punya jadwal yang padat untuk bekerja. Mungkinkah kamu akan melakukan itu? Apakah kamu..”
“Sssstttt! Semua itu komitmen! Aku bilang apa tadi? Menerima kekurangan. Laki-lakinya nggak bisa menerima kekurangan istrinya yang tidak bisa memanage waktu untuk keluarga. Tidak bisa itu tidak akan selamanya menjadi tidak bisa sayang! Dengan belajar, kamu akan bisa. Nggak ada yang instan. Perlahan, perlahan, akan berhasil. Itulah namanya proses. Jika kita menghargai proses, nggak akan ada yan bermasalah. Percaya deh! Lagipula, justru aku yang lebih takut kamu lepas. Punya istri terlalu cantik itu juga bikin kawatir loh! Sadar nggak sih? Hmmmm?!,” jelas Brian seraya menggoda kenyataan yang ada.
“Brian…,” panggilnya sebal dengan mencibirkan kedua bibirnya. Dan tanpa komando apapun, Sastra memeluk laki-lakinya dengan erat dan gemas. Ia juga menggodanya dengan memainkan telinga Brian menggunakan bibirnya. Sehingga…
Kekehan ringan, keluar dari mulut laki-laki itu. Suaminya. Suami, yang sangat mengerti dirinya. Suami, yang sangat mencintainya dengan seluruh kesempurnaannya. Dimana Sastra, Brian terlalu sempurna untuk dimiliki. Dimatanya, Brian terlalu indah untuk dihianati. Dan dimatanya, Brian terlalu berharga jika tak diberikan cinta yang murni. Itulah Sastra untuk Brian. Dan Brian untuk Sastra.
Dimana Brian, yang mencintai Sastra dengan seluruh kekurangannya. Menjadikan kekurangannya sebagai kelebihannya. Menganggap kekurangannya, sebagai kessempuranaannya. Alasan yang sangat sederhana.
Tapi satu hal yang mereka miliki dala cintanya. Satu komitmen, dimana tak dapat dilanggar dalam ikatan cinta. Kepemilikan, dengan menjadikan satu-satunya. Yah.. satu-satunya yang dimiliki dengan dedikasi masing-masing. Kepemilikan, dimana di dalamnya telah ada kepercayaan, dan rentetan kawan-kawannya. Satu pondasi dasar yang akan menguatkan puingnya.
#Cerpen P.N.Z. | |
#CerpenKita #6 TERPENDAM | Episode 1 ASK ABOUT IT | Episode 2 REASON | Episode 3 | |
#CerpenKita #7 DEFENSE | Episode 1 KALAP | Episode 2 BEAUTY NIGHT | Episode 3 |
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.