ANGGAPAN

“Hatiku, bukanlah untuk orang-orang yang menyia-nyiakannya setelah aku mengurungnya dalam benteng itu. Lalu kau membawanya keluar dengan paksa dan hanya untuk membuangnya. Kesempatanmu telah habis setelah aku memberikan 1 kali kesempatan itu.”

-Felly Anggi Wiraatmaja-

By_P.N.Z

By : MILKOVÍ

Di pojok ruangan yang gelap itu. Ia menekuk lututnya. Membenamkan kepalanya. Dan, meneteskan air matanya. Pikirannya kacau. Sekacau laboratorium pribadinya, yang menjadi benteng bersemayam jiwanya. Jiwa yang kosong nan hampa, dan hatinya yang membeku setelah kejadian itu.

Kejadian, yang menjadi rangkaian cerita hidup barunya. Kehidupan yang ada di dalam dimensi waktu yang berbeda. Perbedaan yang terlalu jauh dan terlanjur larut dalam alunan waktu. Akrobatik kata terukir dalam sayatan darah yang tak terlihat. Jauh di sana, ia sendiri.

Mentari yang berusaha menyinari, seolah terhalang geraian rambut panjangnya, yang menutupi raut wajah cantiknya. Kedua bola matanya yang begitu indah, dengan sudut matanya yang runcing. Bibir itu terlihat begitu kelu. Termangu dalam pandangan yang kosong, hingga ia memejamkan matanya.

Dirinya berusaha menuntut akan ketidak adilan terhadap otaknya yang tak sejalan dengan arah hatinya. Yah.. hati itu telah keluar dengan paksa dari bentengnya. Hati itu, telah ada di tangan yang salah. Hancurnya dirinya, membentuk ruas jari yang tengah berdarah atas kebodohannya.

“Felly!!!!,” teriaknya dengan kencang. Namun suara teriakan itu, seperti angin yang berhembus tanpa bisa merasa kulitnya.

Tatapan matanya kosong. Sayu dengan penuh kelelahannya. Senyuman itu, seolah membuktikan rasa sakitnya. Hingga ia, menutup kedua matanya dengan sisa senyuman itu. Dikala ia merasakan, pelukan telah mendekapnya dengan hangat. Seperti ruang berteduh. Seperti benteng itu. Dan tentu saja, sedingin ruangan itu. Ruangan, yang sengaja ia bangun, hanya untuk hatinya yang sengaja mendingin. 

***

By : Carolina Pimenta

Felly Anggi Wiraatmaja. Dirinya yang tengah terbaring dengan bayangan itu. Seperti sebuah DVD yang kembali dalam ceritanya. Sebuah cerita, yang terputus karena masa itu. Masa yang seharusnya terajut dengan indah seraya jalannya kesempatan itu. Sebuah kesempatan yang seharusnya menjadi permata dan mutiara, hanya bisa menjadi gelas kaca untuknya. Untuk dia, laki-laki gelas kaca itu. Rhyansah Hamzah.

“Lo nemuin dia dimana Ndra?,” tanya Sastra.

“Di Laboratoriumnya Tia! Dan tangannya, penuh dengan darah. Gue nggak tahu kenapa dia kayak begini. Tia kemana sih?”

“Gue di sini!,” ucapnya tegas dengan bersandar di ambang pintu.

Sastra dan Diandra menoleh ke sumber suara. Benar. Tia. Agrintia Labirina Nabar. Gadis yang telah memperkenalkan Felly kepada Sastra dan Diandra. Pertemuan mereka yang tidak sengaja, telah mengukir banyak cerita setelah keduanya kembali ke Indonesia. Kembali membawa gelar Proffesor dan kembali dengan pernak-pernik kehidupan. Yah.. terutama, kehidupan gadis itu. Felly.

“Lo darimana? Lo nggak tahu kalau dia sekarat di ruangan lo?,” tanya Diandra berderet.

“Pelan-pelan kali Ndra,” ujar Sastra dengan memegang bahu Diandra. Memberikan kelembutan kepada gadis keibuan itu. Gadis yang selalu memperhatikan sekitarnya. Gadis, yang penuh dengan kasih sayang terhadap sekitarnya.

“Makasih atas kedatangan kalian di sini. Nggak seharusnya kalian melihat Felly dengan kondisi gilanya. Gue rasa, palanning kita pending. Ada hal yang harus gue urus selain, Felly!,” jelas Tia dengan berjalan melewati kedua sahabatnya itu.

“Nggak! Nggak bisa kayak gini, Tia. Bagi gue, Felly udah gue anggep seperti sahabatgue sendiri. Layaknya gue ke lo. Jadi, izinkan gue dan Sastra untuk membantu masalah dia. Gue yakin, Felly bukan tipikal orang yang mudah untuk bunuh diri. Dia akan menggila di atas panggungnya, atau bermain saham, atau kalau enggak melakukan eksperimen untuk launching produk… wait!,” pintanya saat Diandra menyadari sesuatu.

Sastra membelalakkan kedua matanya. Ucapan Diandra seolah menjadi kunci rahasia yang seharusnya Felly buka di depan mereka. Sedangkan Tia, hanya memasang wajah datarnya dan memperhatikan kedua sahabatnya yang menyadari akan sesuatu.

“Ceritakan semuanya, Tia!,” pinta Sastra saat tahu apa yang seharusnya ia ketahui.

“Setuju!,” ucap Diandra mendukung.

Tia menghembuskan nafasnya ringan seraya ia berjalan meninggalkan sahabatnya yang masih berdiri di kamar pribadinya. Menyeduh kopi instan dengan rasa coklat seolah menjadi rutinitas saat kepalanya terasa penat dan pusing. Terutama, di saat ia dituntut untuk menjelaskan sesuatu yang bukan seharusnya. Duduk di meja makan bernuansa bar itu, Sastra dan Diandra dengan seksama menunggu penjelasan Tia. Sosok, yang enggan untuk menggubris hal-hal disekitarnya.

Ukrania. Tempat dimana ia dan Felly mengemban ilmu untuk mendapatkan gelar Proffesornya. Keduanya, bertemu dalam satu instansi yang sama. Tentunya, berbeda bidang keahlian. Tia yang berada di bidang cairan kimia serta anatomi makhluk hidup, Felly yang berada pada perjalanan proses bisnis dan lingkupnya.

Akan tetapi, kemampuan Felly dapat dikatakan hebat saat ia dapat menyerap apa yang biasa dilakukan oleh Tia. Hingga, ia dapat menciptakan produk sendiri dengan racikan tangannya. Felly, kerap bermain di laboratorium Tia saat dirinya memiliki waktu senggang. Akan tetapi kali ini, kecelakaan kerja yang terjadi merupakan bentuk rangkaian masa lalunya yang tak dapat ia kendalikan.

“Masa lalu?,” tanya Sastra mengeyitkan dahinya.

“Gadis dingin, keras kepala seperti Felly mempunyai masa lalu pahit? Lo yang bener aja? Emang dia bisa sosialisasi dengan sekitarnya, orang dianya aja kek singa begitu. Mana ada orang yang berani deketin dia kalau covernya aja dia udah kek begitu, Tia?!,” nyata sekaligus tanya Diandra.

“Di mata lo emang kayaknya nggak ada. Tapi sebetulnya, ada. Bahkan kisahnya, lebih akrobatik dan unik dibandingkan kalian berdua.”

“Maksudnya?,” tanya Sastra heran.

“Jika kalian menemukan lelaki hanya pada satu kali pandangan, kemudian perjalanan kalian berkelok namun tetap sampai pada tujuannya, Felly justru kehilangan masa itu semua. kepahitan yang ia miliki, adalah wujud dimana kerasnya dia. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memiliki hatinya. Termasuk kita bertiga yang ia anggap ada di dalam kehidupannya. Begitu juga dengan mereka berdua,” jelas Tia seraya menolehkan kepalanya ke arah apartemen lain yang berhadapan gedunya dengan apartemen miliknya.

Tia menggerakkan gelas kopinya. Menatap langit malam yang biru bersemu hitam dengan rangkaian bintang yang tak menentu arahnya. Menerawang masa yang telah menjadi bagian timbunan gudang cerita. Yang tak dapat terhapus, meski sengaja dihapus. Itulah kenangan. Kehebatan otak manusia. Tentunya, saat otak itu sejalan dengan pasangannya. Yaitu, hati

“Mereka? Siapa?,” tanya Sastra dan Diandra bersamaan.

Seketika Tia menolehkan kepalanya ke arah semula. Menatap kedua sahabatnya dengan jijik. Tanpa mengucapkan apapun, Tia beranjak dari tempat duduknya. Meletakkan gelasnya, dan menghampiri Felly

“Lo?!!!.” Ucap Tia terkejut saat ia mendapati Felly yang terduduk di sandaran ranjang dengan lingkaran matanya yang menghitam.

Felly tidak menjawabnya. Ia hanya menolehkan kepalanya lemas. Kemudian, ia memejamkan kedua matanya. Langkah kaki terdengar begitu jelas. Saat Sastra dan Diandra tahu bahwa Felly telah siuman. Namun, kedua bola matanya tetap terpejam seolah ia menikmati waktu tidurnya. Yah… waktu yang dapat dihitung jari dalam agenda Felly.   

Mengerti akan perasaan Felly, Tia memutuskan untuk berjalan mendekat ke arahnya. Felly mengerutkan keningnya saat ia merasa ada sesuatu yang tengah menghalangi mentari yang tengah bersinar terang melewati dinding kamar Tia.

“Lo bisa tempatin apartemen gue sesuka lo, Fel. Biar gue yang akan menempati apartemen lo,” ucap Tia saat ia tahu apa yang dibutuhkan oleh Felly. Meskipun, Felly tidak memberikan keterangan apapun.

Tia meninggalkan Felly setelah ia meletakkan kunci apartemennya di nakas yang berada disamping tempat tidur itu. Begitu juga dengan Sastra dan Diandra. Meski Diandra berat meninggalkan Felly sendirian dengan kondisi seperti itu. Tapi, ia cukup tahu kalau Felly bukanlah gadis yang lemah. Felly adalah singa. Meski ia bisa terluka, tapi mereka bertiga yakin bahwa Felly akan kembali mengaum di kala waktu yang sudah Felly rasa cukup untuk menyembuhkan lukanya.

***

Felly beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan ke arah dapur, dan mengambil minuman coklat dingin. Berusaha menetralkan perasaannya yang masih bercampur baur. Ia tahu, tak semestinya ia melakukan itu semua. Namun, ucapan itu, begitu menyakitinya.

To : Felly Anggi Wiraatmaja

From : Rhyansah Hamzah

“Kamu anggap aku apa?,” tanyanya dalam deretan kata di massager.

“Kamu nggak pantas menanyakan hal itu kepadaku, Mas. Seharusnya, aku yang bertanya seperti itu,” balasnya.

“Kita ini cuma teman. Ketemu aja belum,” balasnya singkat.

***

Berdecak kecil saat Felly menyadari kebodohannya setelah duduk di sofa panjang, dengan posisi ia dapat melihat keramaian kota. Merasakan penyesalan dimana ia memberikan waktu untuk laki-laki itu merampas hatinya yang telah sengaja ia penjarakan di tempat itu. Benteng yang tak seharusnya dapat disentuh oleh siapapun. Felly tersenyum miris saat ia kembali membaca pesan yang berhasil membuatnya lemas akan sebuah keadaan.

Hingga ia, kembali memejamkan kedua matanya seraya menghembuskan nafas beratnya. Berusaha bernafas dengan normal di kala ia merasakan sesak di dadanyta. Dimana jantungnya terasa terhimpit akan emosi, cemburu, dan hatinya yang terbakar akan keputusan tajam itu.

Sebuah keputusan yang tak sesuai dengan perjanjian yang ada. Sebuah cinta konyol yang sama dengan permainan monyet. Dan juga, sebuah keputusan mutlak yang entah berada pada posisi pembalasan dendam, atau memang takdir memberikan keputusan itu. Sungguh posisi yang sangat membingungkan.

Kenapa hati ini terasa begitu kehilangan kamu, Mas. Kenapa hati ini merasakan perasaan yang hampir sama setelah aku kehilangan orang yang sama persis dimana aku mencintainya tujuh tahun silam. Arka, kenapa kau datang dengan wujud yang berbeda. Tuhan, kenapa engkau menyiksaku dengan takdirmu. Batinyya seraya Felly memejamkan kedua matanya. Mata yang terus mengalir sebagaimana wujud luka hatinya yang masih segar.

***

Ya Tuhan…

Aku tahu jika aku serakah…

Aku tahu, jika aku tak pantas meminta…

Aku tahu, jika aku hanya manusia…

Akupun juga tahu, jika tak seharusnya aku mengeluh akan keputusan-Mu…

Tapi…

Tolong izinkan aku…

Aku, yang telah menyerahkan hatiku untuknya…

Hati, yang tak seharusnya melebihkan ia daripada diri-Nya…

Tolong izinkan aku, hadir dalam mimpinya di sholat malam-Mu…

Tolong izinkan suaraku, terngiang untuknya di sisi adzan-Mu…

Tolong izikan segalanya atas diriku…

Terngiang di dalam pikirannya, di sisi ia selalu mengingat-Mu…

Felly Anggi Wiraatmaja

***

Comments

Leave a Reply