MENANTI SENJA DI TIMUR

MENANTI SENJA DI TIMUR

Dia berdiri menantang matahari yang sebentar lagi turun dari tahta kemegahannya. Gadis kecil yang menimang sebuket bunga Edelweis. Bunga yang melambangkan keabadian yang sangat mustahil untuk kita lihat tumbuh di pantai. Tetapi gadis kecil itu memilikinya. Rambutnya yang hitam lurus melambai-lambai ditiup angin senja yang berhembus ke laut. Senyuman yang memaknai hidupnya yang sangat berarti, selalu menghiasi wajah mungil dan pucat itu.

Riak gelombang air memantulkan cahaya senja yang kemerah-merahan. Pasir di pantai berbisik memandangi kehadiran gadis mungil ceria itu. Mulut kecil yang memutih itu menyanyikan senandung sabda sang Ilahi. Nada-nada sunyi mengalun begitu saja dalam iringan musik merdu karya sang Abadi. Lukisan keletihan terlukis dari wajah sendunya yang mampu menembus mata dan menancap di hati setiap orang yang memandangnya.

Gadis kecil itu bernama Ita panggilan dari nama Thabita. Sebuah nama yang indah yang bermakna usaha yang baik. Nama itu aku sendiri yang memberikannya. Umurnya masih 5 tahun duduk di Taman Kanak-kanak.

Tetapi sebelumnya perkenalkan, namaku adalah Agust. Ita adalah keponakanku satu-satunya dan aku sangat menyayanginya. Dia adalah inspirasiku untuk hidup sebagai manusia. Kepolosannya menyadarkanku tentang kehadirannya di sisiku. Kami baru pagi tadi tiba di tempat ini. Aku sengaja membawanya ke tempat ini untuk mewujudkan impiannya.

Aku masih duduk di balkon rumah yang menghadap ke laut. Mataku tak henti-henti mengawasi gadis kecil yang ada di depanku. Sesekali aku menghela nafas panjang, untuk merasakan nikmatnya udara sorga yang memberikanku kehidupan. Kuhempaskan segala letih dan lelah yang bertumpuk di pundakku. Kupandangi bidadari kecil yang berdiri di depanku. Sementara tangannya tidak pernah lepas dari buket bunga Edelweis yang sedari tadi dipegangnya. Bunga yang aku berikan untuknya sebagai oleh-oleh sewaktu aku ikut pendakian ke Gunung Lawu.

Aku sibuk dengan segala pikiran yang menghantam kepalaku. Antara kebahagiaan dan kesedihan berperang dalam rongga otak untuk menguasai jiwaku. Aku tersenyum dari sisi bibirku yang terkatup rapat. Anak seusia dia mengertikah tentang cinta, hidup, kematian dan keabadian. Sesekali dia memanggil namaku, seakan-akan dia takut aku tinggalkan sendiri. Walaupun kenyataannya akulah yang takut ditinggalkannya.

Hari sudah semakin senja, matahari tinggal setengah dan sebentar lagi akan benar-benar lenyap dimakan samudera luas. Burung-burung laut terbang menembus angkasa menuju mentari yang tinggal setengah. Dia tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya berdiri, matanya yang bulat dan mungil menghantarkan sang surya ke peraduannya. Senandung kecil masih terus mengalir dari mulutnya yang pucat.

” Om, lihat itu!” Serunya membuyarkan lamunanku. Dia menunjuk ke arah laut sambil menarik-narik tanganku.

” Memangnya ada apa Ta?” Tanyaku keheranan sembari ikut melihat arah tangannya menunjuk.

” Itu loh Om, mataharinya jatuh ke laut. Pasti mataharinya mati ya Om, kan udah tenggelam kena air.” Katanya dengan nada polos yang hampir membuatku tertawa terbahak-bahak.

” Mataharinya tidak mati sayang, Cuma dia tidak kelihatan lagi karena bumi ini berputar.” Kata ku, tapi aku malah membuat wajah polosnya semakin bingung. ” Ya udah ya, ntar Ita akan tahu juga.” Tambahku.

” Ah…. Om curang, ayo Om sekarang Ita pengen tau.” Katanya sambil menggoyang-goyangkan tanganku.

Kupandangi wajahnya yang polos. Aku tersenyum kearahnya sambil mengangkat tubuhnya ke pangkuanku. Diapun melingkarkan kedua tangannya ke leherku dan terbenam di dadaku. Rangkulan tangan mungilnya menghangatkan kalbu. Sungguh dia bidadari kecilku yang turun dari sorga.

Aku bahagia memeluk tubuh mungilnya. Aku juga bahagia disaat seperti ini aku bisa memenuhi permintaanya. Sebuah permintaan yang membuatku sempat bingung. Dia ingin sekali pergi ke timur untuk melihat senja. Mulut kecilnya mengucapkan begitu saja tanpa aku tahu tentang maksudnya. Sejauh yang ku tahu bahwa senja itu ada di barat dan aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan timur. Timur itu panjang, sepanjang dia, aku dan kita memandang ke arah matahari terbit. Itulah timur, sama seperti barat, selatan dan utara takkan kita temui batasnya.

Tapi itu adalah sebuah teori tentang alam semesta, teori yang hanya menggabungkan kenyataan dengan ilmu pengetahuan. Tetapi kadang otak kita tidak dapat menjangkau sebuah alam ilusi yang sesungguhnya tidak boleh untuk kita abaikan. Tapi anak kecil di hadapanku ini telah memberiku sebuah kuliah berharga tentang dangkalnya otak kita untuk menjangkau sebuah imajinasi seseorang yang bermulut polos dan penuh arti. Sungguh dia begitu istimewa, usianya yang belia telah menunjukkan sebuah karunia yang besar tentang kekuatan dunia imajinasi seorang anak kecil, yang bahkan melebihi orang dewasa seperti aku.

Mungkinkah dia sendiri yang mengatakan itu? Ataukah ada sebuah kekuatan yang merasuki jiwanya untuk menggerakkan kedua bibirnya. Atau juga suara alamkah itu yang datang bersama angin yang berhembus. Tapi aku yakin dalam jiwaku, dia memang sangat istimewa.

Alasan itu yang membuatku untuk membawanya ke tempat ini. Karena kebetulan tempat ini adalah ujung paling timur dari pulau ini. Mungkin aku telah membohonginya, tapi yang ku tahu hanya sebatas ini. Ini yang ku anggap timur, aku tidak tahu tentang timur yang dimaksud. Yang terpenting aku sangat menyayanginya dan aku ingin membahagiakannya. Tidak lebih dari itu.

Malam semakin larut, dia sudah memasuki alam tidurnya di pangkuanku. Matanya yang terpejam memberitakan bahwa damainya jiwa mudanya. Namun wajahnya yang pucat membuatku sadar akan semua akhir yang harus aku lalui. Bukannya aku ingin mengingkari kuasa dari Ilahi. Sekali lagi aku hanya menggunakan kemampuan otakku yang sebatas hal-hal yang nyata. Tapi di dalam sebuah ruang kosong di relung hatiku, aku menantikan kuasa itu.

Matahari sudah terbangun kembali, ternyata pagi sudah datang. Rasa kantuk yang berat dikalahkan oleh kedatangan Ita. Seperti biasanya dia datang membangunkanku. Ada-ada saja caranya untuk membuatku untuk tidak melanjutkan tidurku. Tapi aku bahagia dengan kehadirannya. Dia datang dengan senyuman kesukaanku, bersama kehangatan mentari pagi yang menyelinap masuk dari celah jendela kamar yang sengaja tidak aku tutup.

” Om bangun…….!” Katanya sambil menarik selimut dari tubuhku, lalu dia naik ke tempat tidur dan menepuk-nepuk wajahku. Aku tersenyum dan memeluknya. ” Om, kata mama Om harus bangun, Ita sama mama mau pergi.” Tambahnya.

Aku baru ingat kalau hari ini Ita mulai menjalani pengobatan leukimia yang dideritanya. Sebenarnya inilah saat yang sangat aku takutkan. Aku takut jika nanti dia pergi dan tidak akan kembali lagi. Pasti tidak akan ada lagi yang memanggilku Om. Karena aku tahu dia tidak akan tersembuhkan lagi, leukimia yang dideritanya sudah mencapai stadium akhir. Tiba-tiba saja aku menjadi rapuh dan gelisah.

” Om ayo bangun….!” Teriaknya lagi.

Akupun bangkit dari tempat tidurku sambil melipat selimut. Dengan langkah gontai aku mengambil handuk untuk mandi. Sungguh pagi ini aku tidak mendapatkan semangat hidup yang seperti biasanya, walaupun Ita tetap tersenyum. Aku sangat menyesal tidak dapat mengantarkan mereka ke dokter, pagi ini aku harus ke kota untuk mengirimkan tugasku ke kampus. Untuk menemani Ita, aku meminta izin untuk beberapa hari dari kampus.

” Mbak, berangkatnya jam berapa?” Tanyaku kepada Mbak Nova, mamanya Ita.

” Sekitar jam sepuluhan lah Dik, ntar Mas Elang yang jemput kami ke sini.” Jawabnya.

” Kira-kira berapa hari Ita harus di rawat Mbak?” Tanyaku.

” Mbak gak tahu Dik, kita tunggu aja apa kata dokternya. Oh ya, kamu jadi ke kota pagi ini?” Tanyanya.

” Jadi Mbak, tapi nanti sekitar jam sembilan. Ya udah ya Mbak, aku mandi dulu.” Kataku.

Dalam hati sebenarnya aku menangis, namun aku malu untuk menunjukkannya. Tetes-tetes air shower terasa hangat dan asin, aku menangis. Dalam hati kecil yang paling dalam aku kagum dengan Ita, keponakanku itu. Anak sekecil itu, saat dia belum akrab dengan dunia ini, saat dia belum mengenal kehidupan yang sesungguhnya, dia harus mengalami penyakit yang paling ditakuti oleh umat manusia. Aku kagum dengan dia, dalam kemudaannya dia telah diberi tahu tentang kangker dan kematian yang seharusnya tidak dia tahu untuk saat ini. Aku selalu ingat kata-katanya.

” Om, kenapa Ita harus takut mati. Kata mama Tuhan itu baik, jadi Ita pengen lihat Tuhan. Kata mama juga, kalau Ita mati pasti bertemu dengan Tuhan, jadi Ita harus senang kan Om.” Kata-kata yang sungguh tegar. Setegar karang di samudera luas yang tak akan pecah walau diterjang ombak dan dijemur oleh panasnya matahari. Saat itu aku ingin berteriak, seandainya aku diberikan kesempatan untuk mengantikan segala rasa sakit yang dia derita.

Rasanya urusanku di kota terasa sangat lama, padahal aku hanya mengirimkan sebuah dokumen saja. Tapi kegelisahan ingin segera menemui Ita membuat waktu semakin lama. Aku ingin berlari memutar waktu untuk segera dapat melihat senyumnya.

Setiba di rumah sakit, aku melihat Mbak Nova dan Mas Elang masih duduk di kursi tunggu. Semuanya biasa-biasa saja, saat itu juga semua pikiran burukku hilang sudah tak membekas. Rasa letih yang kurasakan saat itu terbayar sudah melihat semuanya baik-baik saja.

” Mbak, bagaimana dengan keadaan Ita?” Tanyaku.

” Masih diperiksa Gus, doakan ya supaya semuanya kembali seperti biasa lagi.” Kata Mbak Nova sambil tersenyum ke arahku. Namun senyuman itu begitu pahit dan kosong. Senyuman seorang ibu yang gelisah menantikan saat-saat kepergian putrinya.

Tiba-tiba dokter dan dua orang perawat keluar dari ruang pemeriksaan. Mbak Nova dan Mas Elang langsung menyerang dokter itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun sebagai seorang profesional, dokternya mengajak mereka berdua untuk berbicara di ruang kerjanya.

” Dik, tungguin Ita sebentar ya. Mas sama Mbakmu mau bicara dengan dokternya.” Kata Mas Elang.

Aku memasuki ruang pemeriksaan Ita, bau obat yang sangat aku benci langsung masuk ke hidungku. Di tempat tidur terbaring Ita dengan jarum infus menancap di tangan kanannya. Dia tersenyum bahagia melihat kedatanganku. Itu yang aku suka dari dirinya, hidupnya adalah senyuman.

” Om tadi pak dokternya bikin ini di tangan Ita, rasanya sakit Om.” Katanya sambil menunjukkan tangannya yang terpasang infus. Aku hanya tersenyum membelai rambutnya yang kusut.

Mbak Nova dan Mas Elang masuk. Mbak Nova menangis sementara Mas Elang menunjukkan kegelisahan yang amat sangat mendalam. Aku langsung tahu apa yang dikatakan dokter kepada mereka. Pasti dokter berkata jika umur Ita tinggal sebulan, seminggu atau bahkan tiga hari lagi.

” Mbak gimana hasil pemeriksaan Ita, apa penyakitnya sudah membaik?” Tanyaku pura-pura tidak tahu dengan lukisan kesedihan mereka.

” Dokternya bilang kalau umurnya Ita tinggal dua hari lagi.” Kata Mas Elang dengan suara yang berat dan serak karena menahan tangis. Aku terdiam bagaikan patung, kata dua hari lagi membuatku beku. Bahkan diagnosa dokter lebih cepat dari apa yang aku bayangkan.

” Ma, Ita gak mau di sini. Kita pulang ke tempat yang kemarin aja ya Ma, Ita ingin melihat matahari lagi.” Tiba-tiba Ita membuyarkan keheningan yang sempat tercipta di kamar perawatan Ita.

Atas permintaan dari Mas Elang dan Mbak Nova, akhirnya Ita dibawa pulang ke rumah yang di pantai. Karena dia ingin melihat matahari terbenam, aku dan Mas Elang mengangkat tempat tidurnya ke dekat jendela yang menghadap langsung ke pantai. Dia begitu ceria untuk menantikan saat pergantian waktu. Sambil berbaring dia terus mendekap bunga Edelweis kesukaannya.

Dua hari begitu cepat untuknya. Aku duduk di samping tempat tidurnya untuk mengisi sisa-sisa waktu yang tertinggal untuknya. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku berikan kepadanya, namun aku harus berlomba dengan waktu untuk mencapai finis yang terasa begitu dekat sekali dengan ku.

Aku tahu bahwa suatu saat nanti Ita akan redup, seperti mentari yang jatuh ke dasar samudera. Kami akan berpisah dengannya, dipisahkan oleh ruang dan waktu yang berbeda. Aku ingin menumpahkan hidupku untuknya yang saat ini merasa sakit yang dalam.

” Om, lihat mereka memanggilku.” Katanya membuyarkan lamunanku. Aku melihat ke depan dimana dia melihat ada orang yang memanggilnya.

” Mana sayang, Om tidak lihat.” Kataku kebingungan.

” Ituloh Om.” Katanya. Untuk kesekian kalinya, mulut mungilnya membuatku bingung dengan apa yang dia lihat. Mungkinkah itu ilusi-ilusi orang yang sedang dalam masa menantikan akhir hidupnya. Tapi aku tidak ingin berpikir yang tidak-tidak.

” Ita kenal mereka?” Tanyaku.

” Tidak Om Ita tidak mengenal mereka, tapi mereka memanggil Ita.” Katanya. Aku begitu takut. Segala keberanian yang aku miliki terhempas ke lantai dan pecah berkeping-keping. Sekali lagi aku melihat ke arah laut, matahari sudah berada di batas samudera, dalam hitungan menit malam akan segera tiba.

Tiba-tiba tubuh Ita mengejang, nafasnya tersengal-sengal. Aku memeluk dan memanggil Mbak Nova dan Mas Elang. Wajahnya melukiskan sebuah kelelahan hidup yang telah berakhir. Rona wajahnya berubah menjadi begitu damai. Tidak ada lagi derita dan lelah yang terpancar di wajahnya yang pucat. Beberapa saat kemudian, jantungnya berhenti berdetak. Semuanya sudah selesai, sudah berakhir. Itulah Ita, dia sudah pergi dan matahari pun sudah tenggelam.

Dia pun pergi dengan damainya. Dia menantikan senja untuk mengiringi langkahnya menuju sang Esa. Dia pergi lebih cepat dari apa yang telah diperhitungkan oleh dokter. Ita sudah tidak ada, raganya sudah terbang menembus awan, menerobos angkasa menemui Tuhannya. Kupeluk tubuhnya yang mulai dingin, tetes-tetes air mata kehidupan mengalir membasahi rambutnya yang hitam. Kami kehilangan dia, bidadariku telah pergi meninggalkanku, tinggallah aku disini dalam kesedihan. Aku menangis, aku tidak malu lagi untuk meneteskan air mata. Aku menangisi kepergiannya, walau Ita pernah bilang kalau Om nya tidak boleh menangis. Aku tetap menangis, karena tangisan bukan hanya milik wanita tapi milik semua orang.

Aku terbangun dari tidurku, aku terkejut waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Ternyata Ita tidak membangunkanku. Tiba-tiba aku merasa sepi dan meneteskan air mata, aku baru sadar ternyata Ita sudah tidak ada. Dua hari sudah Ita pergi meninggalkan penderitaannya. Buket bunga Edelweis kesukaannya ku letakkan di atas nisan marmer bertuliskan nama Thabita. Hidupnya singkat namun meninggalkan sejuta kenangan. Hidup memang tak seabadi Edelweis. Semua kehidupan akan berakhir, cepat atau lambat aku pun akan menemuinya ke alam nirwana.

Aku mencoba menguburkan kesedihanku di dalam ruang waktu yang ku kunci rapat dan kuncinya ku buang ke dasar samudera luas. Kusampaikan doa ku bersama awan yang berarak ke arah matahari terbenam. Semoga burung-burung di udara mengabarkan kenangan bersama Ita keponakanku. Dia telah pergi dalam damainya. Dalam pelukanku dia mengakhiri semuanya. Bukan hanya hidupnya, tetapi juga deritanya dan kenanganku tentang dia.

Dia menginspirasiku untuk menuliskan sebuah cerita di atas kertas putih. Dia semangatku untuk memberitahukan kepada dunia bahwa Ita keponakanku akan abadi dalam kenanganku, seabadi bunga edleweis. Dan kenanganku saat bersamanya tidak akan lekang oleh hempasan ombak dan dinginnya hujan serta teriknya matahari. Selamat tidur panjang Itaku sayang, sore ini Om menunggumu bersama senja yang akan berlalu di timur yang tak berbatas.***

Sekian tentang MENANTI SENJA DI TIMUR.

Terima kasih/

Thestresslawyer.com


Terbit

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan