Terimakasih aku berikan kepadamu. Yang telah memberikan sejuta bahkan entah berapa ukuran yang tepat. Kepadamu, aku memberikan sebuah luka yang selama ini kau rasa. Kepadamu, aku memberikan sebuah cinta kepada dunia, bahwa kau juga mencintai dunia yang telah memberikan kau banyak hal. Hingga kau membagikan banyak hal itu kepadaku. Dan, hingga aku mengerti bagaimana banyak hal itu. Hingga dari hingga, menunjukkan bahwa waktu terus memberimu luka. Namun, kutahu bahwa aku tak dapat melakukan apapun untukmu. Hanya untaikan kata yang menjadi titah. Dimana, aku memulai janjiku kepadamu. Agar aku berani berusaha untuk menepati janji itu. Begitu juga dengan kau, yang hadir dalam balutan luka. Menjadi memori tersendiri. Dan penyaksi luka ini. Dengan itu, aku tak mengerti apakah kau bersedih melihatku begini. Entahlah… Tapi ini adalah sakitku untuk, kau… Dan untuk kalian, inilah hadiah cintaku. Terimalah dengan baikm dan simpan dengan baik. Jika kalian ingin mengingatnya, maka ingatlah namaku. Doaku mengangkasa, agar saat kalian melihat namaku,maka kenangan itu membuncah hati kalian untuk bahagia. Maka dari itu, terimamalah hadiahku ini. Ini kuberikan kepadamu, kau, dan kalian. Ini dariku…
-P.N.Z-
“Ya siapa?!!!!” serunya saat menuruni tangga saat mendengar ketukan pintu yang terdengar di pagi hari itu.
Liburan yang panjang setelah rangkaian nomor soal dan juga jawaban terlampir di ats meja kuliahnya. Tak hanya itu, saja. Target kemenangan di dalam kompetisinya ia selesaikan sebelum ia ada dalam masa ‘offnya’ dari pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan. Baginya, liburan adalah hal yang tabu untuk menghentikan pekerjaannya. Namun, apalah dayanya ia yang terus dituntut oleh waktu untuk selalu bekerja, bekerja, dan bekerja.
Akan tetapi, semua itu berubah. Waktu yang terus memerintahkannya, seolah menurutinya setelah hatinya tergerak bersama dengan anugerah Tuhan, selain waktu. Cinta. Yah.. satu kata dengan beribu makna. Entah mengapa, waktu seolah dengan rela menjadi prajuritnya. Begitu juga dengan hatinya yang dulu, selalu menolak saat ia berhenti untuk bekerja.
“Kamu?” nyatanya dengan menyatukan alisnya.
Ia terdiam. Mematung di ambang pintu. Menatap kedua mata, yang selama ini sudah tak pernah ia lihat lagi. Dalam waktu yang cukup lama, dan bahkan sangat lama. Ia tersiksa bersama dengan iringan waktu yang menemaninya. Sepi, sunyi, dan sakit. Itulah yang ia rasakan saat ia sudah memiliki hal untuk menatap kedua bola mata itu lagi.
Bola mata cokelat, yang menjadi cinta pertamanya. Kedua bola mata, yang berhasil membuatnya jatuh cinta hingga ia menyerahkan hatinya yang utuh, kemudian kembali dengan posisi yang remuk saat semua janji yang terucap, perlahan menghilang dalam proses yang begitu cepat. Tak secepat saat ia menyatukan dan menjatuhkan hatinya.
Hati yang pernah dingin dan keras seperti batu, dan hati yang tak kenal akan kelembutan setelah luka yang paku yang tertancap di sana. Dengan luka bilahan pedang, yang menjelma sebagai masa-masa kenangan nostalgia yang terus menghantuinya selama lima tahun. Atas namanya, dia Zania Vabrigas, menghentikan waktu.
“Siapa, Zan?” tanya Lasikta Vabrigas. Mama Zania.
“Masa lalu, Ma” ucapnya datar tanpa menolehkan kepalanya ke arah belakang.
Lasikta mengerutkan keningnya. Iapun penasaran dan mempercepat langkahnya untuk melihat siapa tamu yang datang.
“Sejak kapan papa mengajarkan kamu untuk tidak mempersilahkan tamu masuk?” tanya Ladipadya Vabrigas. Papa Zania.
“Nak Dana, kan?” tanya Lasikta menebak.
Laki-laki itu mengangguk. Kemudian, ia meraih telapak tangan Lasikta dan menciumnya. Begitu juga dengan Ladipadya. Dengan sopan, Lasikta dan Ladipadya mempersilahkan Dana masuk ke dalam. Mereka memanggil pembantu rumah tangganya untuk menyiapkan hidangan. Kebetulan, keluarga Vabrigas hendak sarapan pagi.
Zania berdiam di ambang pintu. Berdiri termangu. Tubuhnya seketika menggil. Giginya menggegat menahan amarah yang terpendam. Kedua bola matanya yang terbuka, berputar ritme masa lalu yang pernah menyakitinya, sekaligus menghancurkannya.
“Zania, ayo masuk sayang!” ajak Lasikta dengan lembut.
Lasikta memandang putri tunggalnya yang berjalan seolah tanpa nyawa di dalam dirinya. Pandangannya kabur. Hal tersebut juga dibuktikan saat Ladipadya berulangkali memanggilnya, tapi Zania tidak memberikan respon. Sehingga, mengharuskan Lasikta untuk menyadarkan Zania dari lamunannya.
“Kamu nggak papa sayang?” tanya Ladipadya.
Zania menggelengkan kepalanya. Ia berusaha bersikap normal ditengah kenangan-kenangan yang selama ini berusaha ia lupakan dan terus menyiksanya berputar dengan lancar di jalan pikirannya.
Sarapa pagi yang menjadi impian Zania setelah ia kembali dari Yogyakarta, tempat dimana ia menempa ilmunya. Meninggalkan apartemen yang selalu menjadi tempat hangat kedua setelah rumah dan kamar pribadinya yang menyimpan banyak kenangan tentang dirinya. Lebih tepatnya, siapa sosok Zania Vabrigas.
“Posisi dimana kamu sekarang, Na?” tanya Ladipadya.
“Saya ada di Amerika Om, baru kembali ke Indonesia sekarang,” jelas Dana dengan senyuman.
“Berapa lama kamu ada di Amerika, Na? Kapan ya, terakhir kamu ke sini. Tante sampai lupa,” ucap Lasikta seraya mengambilkan nasi goreng yang sudah disiapkan oleh pembantu keluarga Vabrigas.
“Kelas tiga SMP, Tante. Saat masih berhubungan dengan Zania.”
“Kalian lost-contact?” tanya Ladipadya polos.
Seketika suasana hening. Lasiknya menatap suaminya dengan tatapan ‘lebih baik diam daripada memperparah keadaan’.
“Zania, naik ke atas dulu, Ma, Pa. Selamat Pagi,” ucapnya dingin dengan meninggalkan meja makan saat ia sudah tidak sanggup menahan rangkaian kenangan yang sudah tak ingin ia ingat lagi. Namun, waktu yang berjalan di hari itu, terus memaksanya untuk mengingat kenangan yang sudah tak ingin ia ingat lagi.
“Zania Vabrigas, kumohon bertahanlah di sini!” pinta Dana saat ia tahu bagaimana perasaan Zania yang tengah menahan sakit hari itu.
Zania menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuhnya. Menatap Dana dengan kedua bola matanya ularnya. Tatapan itu, menyiratkan banyak hal. Hingga bibir mungilnya terbuka dan berucap dengan dingin.
“Aku akan kembali ke kursiku dengan ketentuan jika kau pergi dari kursimu. Karena melihatmu, membuatku muak,” ucap Zania.
“Zania!!!” panggil Lasikta dengan nada yang meninggi.
“Sayang…” panggil Ladipadya berusaha menenangkan keduanya.
“Zania, aku akui aku memang salah. Tapi semuanya nggak sesuai dengan apa yang kamu pikirkan. Kepergianku, dan kembaliku ke kamu, nggak lain karena aku mau menjalin silaturrahmi dengan kamu. Salah, kah?”
“Hmmm. Salah. Dimataku, kembalinya kamu hanya akan menyiksaku. Dan kamu tahu, Mas. Kembalinya kamu, hanya membuka luka yang sudah disembuhkan oleh orang lain. Mas, Dana. Jika memang silaturrahmi itu hanya untuk kembali, dengan lantang Zania akan menjawab tidak. Mas, masa lalu kita, biarlah menjadi masa lalu. Lupakan semua itu. Karena kita, sudah memiliki jalan masing-masing.”
“Oke, oke, fine!!! Aku memang berniat untuk kembali. Aku..”
“Mas, aku bukanlah kelinci. Jika satu lubang tak dapat dilewati, maka masih ada lubang yang lainnya. Berbeda dengan ular. Saat ia telah kau sakiti dengan cambukmu, maka ia akan menajamkan bisanya.”
“Zania, dengarkan aku dulu…”
“Zania!” panggil Ladipadya.
Zania menolehkan kepalanya ke arah Ladipadya. Baginya, panggilan tegas sudah cukup membuatnya untuk menuruti apa yang akan dikehendaki oleh Ladipadya. Papa Zania. Sebagaimana seorang anak dan ayahnya, hanya dengan kontak mata saja mereka sudah mengerti akan maksudnya.
Tanpa ucapan atau kata-kata apapun, Zania kembali duduk ke meja makan. Di sana, Ladipadya memandang dengan seksama suasana, hingga ia memulai semuanya.
“Zania, Dana ke sini ingin kembali sebagaimana hubungan kalian sebenarnya. Ia kemari bukan untuk kamu musuhi. Ia kemari, bukan untuk mendapatkan hal yang tak pantas dari kamu. Papa tahu, kamu adalah gadis yang pintar dan cerdas. Tapi, semua itu tidak akan ada artinya, Zania. Duduklah dengan benar, dan redakan emosimu. Paham?!” tegas Ladipadya.
“Fine, Dad.”
“Dana akan membawa kedua orang tuanya kemari. Kemarin, dia sudah ke sini sendirian dan bilang kepada Papa dan juga Mama kalau ia akan melamar kamu. Mama dan Papa tidak bisa memberikan keputusan secara langsung tanpa bertanya terlebih dahulu kepada kamu. Oleh karena itu, Mama dan Papa menyuruh Dana untuk kembali hari ini. Mengingat, kamu akan kembali hari ini,” jelas Lasikta.
“Zania akan tetap menjawab tidak.”
“Papa tahu kalau kamu masih muda. Tapi semua itu tidak mustahil untuk usia menikah sayang. Zania..”
“Papa… Zania sudah memiliki laki-laki yanga ada disamping Zania. Zania tidak mau mengulangi langkah yang pada ujungnya akan ada di lubang yang sama. Papa tidak tahu bagaimana menderitanya Zania kala itu karena Papa ada di Swiss. Tapi Mama, lebih tahu mengenai hal itu. Zania heran, kenapa Mama mau menerima orang yang sudah menyiksa putrinya.”
“ Ma, Pa. Zania memang muda. Tapi, bukan berarti Zania tidak dewasa. Di mata Zania, masa lalu tetaplah menjadi masa lalu. Waktu, tidak dapat berulang kembali. Sehebat apapun Zania dan Mas Dana mengulang hubungan kami. Jelas tidak akan sama dengan yang dulu. Kerena, semuanya sudah berubah. Terutama perasaan Zania.”
“Ma, Pa.., kalian tahu apa harapan Zania saat itu? Di kala Zania sekarat karena kehilangan Mas Dana dan Zania masih belum menerimanya, Zania berharap untuk memilikinya kembali agar Zania bisa menghilangkan sekaratnya. Tapi sekarang, semuanya berubah Ma, Pa. Zania berharap, kalau Mas Dana, tidak akan kembali atau jangan pernah kembali. Ma, Pa. Bukan berarti Zania dendam akan hal itu. Tidak. Tapi, mimpi Zania sudah berubah seiring dengan harapan Zania. Ma, Pa, mungkin hal inilah yang Mama dan Papa tunggu dari Zania selama ini karena Mama dan Papa tidak tahu dengan siapa Zania jatuh cinta dan meletakkan perasaan itu. Zania…”
“Zania mencintai saya,” ucapnya dengan lantang dan memotong pembicaraan
“Abang….” gumam Zania.
“Dia siapa sayang?” tanya Lasikta kepada Zania.
Zania tidak menjawab. Melainkan, ia beranjak dari tempat duduknya dan berlari kecil ke arah laki-laki yang tengah berdiri di antara kedua dinding ruangan itu. Memeluk laki-laki itu, seolah ia tak mau kehilangan apa yang sudah dipeluknya. Begitu juga dengan laki-laki itu. Kecupan di puncak kepala Zania dan dekapan kedua lengan kekarnya, seolah menghiraukan keberadaan Ladipadya dan Lasikta.
“Abang kapan pulang?” tanya Zania dengan cemas.
“Baru saja.”
“Abang ke apartemen?” tanya Zania.
“Hmmm, aku ke apartemen,” jawabnya lembut seraya mengecup kening Zania.
“Abang belom mandi?” tanya Zania dengan senyumannya.
“Hmmm, karena aku kacau setelah tahu kamu tidak ada di apartemen,” jelasnya.
Zania terseyum geli. Dengan lancang, Zania kembali memeluk laki-laki yang ada di depannya. Laki-laki, yang selalu menemaninya dalam jarak dan waktu yang terus memisahkan mereka. Laki-laki, yang selalu memegang janjinya. Laki-laki, yang selalu bertanggung jawab dengan apa yang telah ia ucapkan. Laki-laki, yang selalu menghormati Zania, sebagaimana mestinya ia menjaga Zania. Dia, Hafid Wahyu Pramono.
“Kita selesaikan sekarang. Kamu jangan takut. Udah siap?” tanya Hafid.
Zania menganggukkan kepalanya pelan di saat Hafid menenangkan dirinya dengan memegang kedua pipi Zania. Menatap kedua bola mata Zania dengan penuh keyakinan. Sampai akhirnya, Zania tak mampu menahan rindunya di kala laki-laki yang tengah berhasil melawan ombak, badai lautan, atau bahkan segitiga bermuda. Baginya, Hafid, adalah laki-laki sempurna dengan sikap dan cintanya. Bukan janji, dan kasih sayangnya semata.
“Perkenalkan, saya Hafid. Kekasih Zania,” ucapnya tegas dengan mengulurkan tangan kanannya di kala tangan kirinya menggenggam mungilnya telapak tangan Zania baginya.
“Ah.. ya… silahkan duduk,” ucap Lasikta dengan menatap Ladipadya yang mana ia juga tak menyangka apabila putri tunggalnya tengah mencintai laki-laki dengan pakaian seperti itu.
Zania yang lahir dari rahimnya dan besar dilingkungan bisnis, bahkan bakatnya bergerak dibidang bisnis mencintai lelaki dengan gaya rambut pendek, dan mencorok ke depan. Dengan pakaian ketatnya yang serasi dan membentuk tubuh seksi atletisnya.
Tali yang melengkung membentuk bunga, berada di depan dadanya. Beberapa perangkat emas kuningan berada di area dada dan pundaknya. Urat dan ototnya mempertegas rahangnya, tulang pipi serta keningnya. Bibirnya yang mungil dan senada dengan hidungnya memperlihatkan betapa tampan ia. Lasikta tak menyangka bahwa putrinya akan memiliki selersa seperti itu. Sungguh bertolak belakang dengan Ladipadya.
“Saya berulangkali berusaha untuk kemari. Tapi Zania selalu menolak dengan alasan belum siap untuk menikah. Karena pada dasarnya saya bukanlah tipikal orang yang suka basa-basi. Dan kamu, mantan cinta pertama Zania. Kenalkan, saya Hafid Wahyu Pramono, kekasih Zania. Bukan kekasih, tapi tunangan Zania,” ucapnya tegas dan lantang.
Zania menerima uluran tangan Hafid. Dan Hafid membalasnya dengan senyuman. Hafid, kembali berfokus kepada kedua orang tua Zania. Keluarga Vabrigas.
“Dengan niat yang tulus, saya Hafid Wahyu Pramono ingin mempersunting putri Anda. Zania Vabrigas.”
“Apakah kau seorang nahkoda, Nak?” tanya Ladipadya.
“Ya, saya seorang Nahkoda.”
“Bisakah kau membagi waktumu antara dimana engkau bersama lautan atau samudera, dan juga bersama anak serta cucu-cucuku?”
“Saya akan menurunkan jabatan saya menjadi ANT III bila perlu. Dimana saya hanya berhubungan dengan data-data atau berkas bongkar muatan kapal dan tidak lagi menjadi awak kapal yang harus berlayar setiap hari dan kembali di kala-kala tertentu.”
“Bagaimana Zania?” tanya Ladipadya.
“Zania mau, Pa.”
“Dana, keputusan sudah ada sendiri. Saya, memang ayah yang mengasuh Zania, seharusnya Zania menuruti apa yang saya inginkan. Tapi, saya mengenal bagaimana Zania. Dengan pendidikan tanggung jawab yang saya ajarkan, saya yakin Zania telah menerima resiko atas apa yang sudah diucapkannya.”
“Kapan orang tua kamu ke sini?” tanya Ladipadya menantang.
“Orang tua saya, sudah ada di depan rumah Anda,” ucap Hafid tegas.
Zania membelalakkan kedua bola matanya. Bibirnya menganga, dan dengan seketika ia menolah ke arah Hafid. Ia tidak menyangka jika laki-lakinya lebih cepat dibandingkan Dana. Bahkan, semua itu tidak ada konfirmasi sama sekali. Hafid meremas lembut genggaman tangan Zania. Menguatkan Zania agar tidak takut sekaligus terkejut terlalu lama.
“Ah.. di depan? Di depan?” tanya Lasikta tak percaya.
“Ya, di depan.”
“Oke, biar aku yang menyambutnya. Ayo, Ma!” pinta Ladipadya kepada istrinya yang masih tak percaya dengan semua ini.
Dan benar, di halam rumah Zania, terdapat mobil yang terparkir di sana. Tak lama dari itu, keluarlah sepasang suami istri. Dengan senyuman bahagianya, seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas berwarna hijau lumut, dan juga topi pet berwarna hijau serta banyaknya perangkat emas kuningan di area dada dan juga pundaknya, berjalan memeluk Ladipadya.
Begitu juga dengan wanita paruh baya yang mengenakan baju magenta dan atasan putih, serta hijab yang dan selendang sarinya yang senada dengan roknya, memperlihatkan betapa anggunnya wanita itu. Dan, semuanya berjalan sesuai dengan sebagaimana mestinya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.