ONE SOMETHING | RASA Episode 3

“Abang, kita mau kemana?” tanya Zania saat Hafied terus terdiam dan membiarkan mereka berdua terus melangkahkan kakinya memasuki sebuah tempat yang sunyi.

“Ke tempat, yang akan kamu sukai,” uacpnya singkat.

Zania kembali terbungkam dengan jawaban mati yang diberikan oleh Hafied. Di tengah cahaya lampu yang remang, Zania terus mengikuti langkah Hafied yang melangkah terus-terus-dan terus tanpa ada kelokan sama sekali meski mereka berdua berulangkali melewati kelokan dan di sana terdapat jalan.

“Bang, kita sebenernya tuh mau kemana sih? Zania lama-lama tuh takut tahu deket abang kalau abang terus diem kayak begini.”

Seketika langkah Hafied terhenti. Ia melepaskan genggaman tangannya. Membalikkan tubuhnya. Menatap kedua bola mata Zania dengan senyuman kaku. Bukan sebuah senyuman, yang biasa ia lihat di kala Zania menghabiskan waktu dengannya. Senyuman itu, terlihat seperti sebuah rasa sakit, yang entah dimana letaknya.

“Keraguan kamu, juga membuat Abang ragu, Zania.”

“Abang…. Maksud Zania bukan itu.. Zania…”

“Zania Vabrigas. Pernah Abang menghalangi kamu melakukan sesuatu? Pernah Abang menghancurkan kepemilikan kamu? Pernah Abang bikin kecewa kamu? Dan, salahkah kalau Abang memberikan kejutan untuk kamu? Jika memang begitu, kenapa baru sekarang bilangnya?” tanya Hafied dingin.

“Abang…” desis Zania tak menyangka.

“Ketakutan kamu, adalah ketakutan Abang, Zania. Ketakutan kamu, seolah menunjukkan kamu ragu dengan niatan Abang. Dengan cinta yang selama ini abang berikan untuk kamu. Dengan rasa, yang selama ini sengaja abang rawat dan abang jaga hanya untuk kamu. Kenapa baru sekarang bilang seperti itu, Zania? Kenapa di kala abang ingin menunjukkan kalau abang ingin menggelar pernikahan di tempat ini?”

“Baiklah, abang emang bukan orang yang pintar dan cerdas seperti kamu. Bahkan, abang juga mengakui jika abang tak sejenius kamu. Yang bisa dengan mudah mengucapkan apa yang ada di dalam pikiran kamu. Terutama hati kamu. Abang tahu, kalau kamu lebih segalanya dari abang. Tapi, apakah salah jika abang sekali, saja ingin melakukan hal yang memang belum pernah abang lakukan sebelumnya.”

“Zania. Abang sadar betul, kalau kita berdua memiliki perbedaan. Tapi, perbedaan itu ingin abang satukan malam ini, Zania. Zania Vabrigas-“

Ucapan Hafied sengaja terpotong saat Zania memajukan langkahnya dengan cepat. Meraih tubuh tegap Hafied yang tengah berdiri di depannya. Mendekap dengan begitu erat, hingga ia bisa mendengar detak jantungnya. Nafasnya yang berderu berat menahan emosi dan rasa sakit yang dirasakannya, terdengar begitu jelas di telinga Zania.

Zania memejamkan kepalanya. Ia sadar bahwa Hafied tidak akan membalas pelukannya kali ini. Dan semua itu terasa lebih sakit dibandingkan dengan pinta yang biasa diberikan Hafied dengan ketegasannya. Mungkin, semua itu terkesan kasar. Tapi tidak saat Hafied menyentuhnya dengan kelembutan. Menghormati sebagaimana mestinya.

“Zania nggak pernah meragukan abang. Zania nggak ada sedikitpun-“

Karma kembali ke arah Zania dimana apa yang ia ucapkan terputus saat ia mendengar kecupan kecil di puncak kepalanya. Perlahan, Zania melonggarkan pelukannya. Mendongkakkan kepalanya ke atas, mulai memberanikan diri untuk menatap kedua bola mata Hafied. Dan benar saja, kedua bola tajam itu, seolah membunuhnya.

Zania berdegub dengan kencang. Ketakutannya, mulai terasa. Hawa itu, sangat mengintimidasi di depan laki-laki ini. Seorang Zania, merasakan hawa itu di depan Hafied. Ia tidak menyangka jika jantungnya seolah berada di bawah tekanan ketakutan. Di kedua bola mata itu, ia melihat kewibawaan yang tak patut untuk dianggap remeh. Kewibawaan, yang setajam pedangnya. Kewibawaan, yang tak patut untuk disangkal sebagaimana seharusnya.

“Abang…” desis Zania gemetar.

Hafied memegang kedua pipi Zania. Mendekatkan bola matanya ke arah kedua mata Zania. Yah… ke arah mata ular itu. Entah bagaimana cerita fabel jika seorang macan menikah dengan seorang ular. Keduanya sama-sama memiliki mata yang bulat.

“Sayang, aku udah mantab sama kamu. Aku, udah yakin sama kamu. Dan satu hal yang perlu kamu tahu, Abang. Hafied Wahyu Pramono, Yakin, kalau kamu adalah wanita yang tepat untuk menjadi ibu dari anak-anak Abang. Maka dari itu, jangan pernah meragukan Abang. Karena Abang, nggak pernah meragukan kamu sebagaimana kamu meragukan Abang,” ucapnya tegas.

“Maka dari itu, jangan meragukan Abang”.

Sebuah kata yang menohok pasti di dalam diri Zania. Ucapan itu menjadi ucapan yang tak terbantahkan. Zania tahu, kalau ucapan Hafied memang tidak pernah bisa dibantah. Jikalau Zania berniat untuk membantah, Zania tak akan bisa berkuasa setelahnya. Tapi kewibawaan itu, Zania terkesiap saat ia sendiri menakuti lelakinya.

“Sejak kapan kamu memandang Abang sama dengan kamu dalam segi kewibawaan? Zania Vabrigas. Kamu, adalah wanita yang tercipta dari tulang rusukku sebagaimana ibu hawa dan ayah adam. Aku, berhak membimbingmu dengan kelembutan. Bukan  berarti itu bisa kamu remehkan, sayang. Jika aku membimbingmu dengan keras, kamu akan patah. Karena tulang rusukmu bengkok. Jangan anggap aku sama dengan kucing saat kamu berhadapan dengan macan.”

Zania terdiam. Kemudian, ia tersenyum dengan binaran kedua bola matanya. Tanpa ada perintah atau titahan apapun, Zania menaikkan tumitnya, dan mencium pipi Hafied. Kemudian, membalasnya dengan senyuman seraya membalas perlakuan Hafied dengan memegang kedua sisi pipinya. Menatap kedua bola matanya, dan memajukan langkahnya untuk lebih dekat.

“Ayo menikah,” ucap Zania singkat.

Setelah itu, Zania melangkahkan kakinya meninggalkan Hafied, yang masih mematung dengan ucapan Zania. Namun, langkahnya terhenti saat ia menyadari bahwa Hafied tak melangkahkan kakinya.

“Abang-“ ucapnya terpotong saat ia hendak bertanya kenapa Hafied masih berdiri di sana.

“Zania.. Kemarilah.”

By : Vladimir Fedotov

Zaniapun kembali ke tempat Hafied. Masih dalam posisi dimana ia berada di belakang Hafied. Hafied masih tak mau membalikkan tubuhnya. Dan hal tersebut membuat Zania merasa ada suatu hal yang harus ia selesaikan. Zania memegang lengan Hafied dan membalikkan tubuh Hafied. Kedua matanya menunjukkan pertanyaan. Dan Hafied menjawabnya dengan tatapan rakusnya. Seolah ia hendak memakan Zania.

“Bang, kamu kenapa?”

“Seharusnya, aku yang menanyakan itu ke kamu, Zania.”

‘aku dan kamu’. Panggilan yang benar-benar menyakitkan di pendengarannya. Tidak. Bukan hanya di pendengarannya saja. Perasaannya juga.

“Beritahukan kepadaku bagaimana caranya aku meyakinkan kamu?” tanya Hafied dingin dan berat.

Zania menghela nafas beratnya. Ia tahu, kalau keraguannya selama ini akan menjadi kendalan hubungan mereka. Keraguan yang selalu menjadi rahasia indah di dalam hati Zania. Dimana ia tak mau mengutarakan keraguan itu. Tak lain, karena ia tak ingin kehilangan Hafied. Meski ia tahu, kalau Hafied akan kecewa dengan semua itu. Namun, apa yang ia lakukan tak jauh dari niatannya untuk menjaga apa yang ia anggap berharga.

“Kapal itu. Kapal itu-“ ucapnya terputus saat Hafied meraih lengan Zania, dan meninggalkan pintu masuk Pulau Lampu. Kembali ke arah kapal, dan berjalan masuk ke Anjungan kapal.

“Zania nggak mau nyetir kapal lagi, Bang.”

“Kenapa kamu nggak mau? Takut? Oke. Sini sayang. Abang nggak akan memaksa kamu nyetir kapal lagi kayak tadi. Kamu duduk di kursi ini,” pintanya singkat.

“Itu kursi kuasa, Abang. Zania-“

“Zania Vabrigas…,” panggilnya dengan seluruh titahnya yang tak terbantahkan.

Zaniapun menuruti apa yang diinginkan oleh Hafied. Ia duduk di kursi itu.

“Kamu tahu kenapa kursi ini tidak ada sandaran kepalanya? Seperti kursi direktur? Atau bahkan pemilik  perusahaan seperti ayah kamu, dan ayahku?” tanya Hafied seraya ia duduk di pinggiran mesin navigasi tanpa menyentuh tombol-tombol yang tertera di sana.

Zania menggelengkan kepalanya.

“Karena agar kami, tidak pernah lalai dengan tanggung jawab kami. Agar kami, tetap fokus menatap ke depan, melihat haluan ombak, dan menerima seruan angin apakah alam menerima kami untuk melewati jalur tersebut atau tidak. Jika kursi kami saja ada sandarannya, kemungkinan, kami akan tertidur di saat kami harus fokus dengan kemudi di atas ribuan nyawa penumpang.”

“Abang tahu, jika keraguan kamu karena pekerjaan Abang, Zania. Abang tahu, jika kamu menakutkan hal, dimana saat abang harus melawan badai ombak, yang siap menelan nyawa abang, kapanpun itu.”

“Kamu tahu ini apa?” tanya Hafied dengan mengambil kotak kecil yang ada di atas kemudi kapal.

Lagi-lagi, Zania menggelengkan kepalanya.

“Ini, namanya Radio. Dalam ilmu maritim, atau kelautan, radio digunakan untuk komunikasi antara kapal satu, dengan kapal yang lainnya. Tentu saja, dengan wilayah sekitar kapal itu berlayar. Hal tersebut dilakukan, agar terjalin kerjasama. Lautan ibarat sebuah kertas kosong tanpa ada sebuah garis. Tapi lautan, memiliki makna saat kamu pijaki. Dengan radio, kamu bisa bilang kepada kapal sahabatmu yang ada di area laut yang sama, untuk melewati jalur lain. Agar tidak tabrakan. Itu dilakukan saat kita sudah berada pada jarak satu mil laut. Dengan fasilitas kedua lampu, kuning, dan merah. Yang bertolak belakang dengan kapal lainnya. Misalkan kapal yang kamudikan sekarang berlampukan kuning, saat kapal sahabatmu menyetujui melewati jalur lain, lampunya akan merah. Kedua lampu itu, ada di depan badan kapal ini. Satu ketakutan kamu, terjawab. Dan pertanyaan ini, abang dapat saat pertama kali kita bertemu dan berkenalan.”

“Kamu pernah bertanya? Bagaimana kapal mengetahui jarak tujuannya dan tidak pernah nyasar ke area lautan lainnya? Dan ketakutan kamu, aku akan nyasar ke tempat lain, dan kemudian bertemu dengan gadis lain, lalu melupakan kamu?” tanya Hafied dengan decakan ringan seraya senyuman kecutnya.

Kemudian, ia tersenyum lembut seraya menatap ke arah kedua mata Zania. Beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah sisi kanan Zania.

“Pertanyaan kamu, memang konyol sayang. Sangat konyol. Tapi aku tidak bisa meremehkan itu jika pada akhirnya kamu akan terus meragukan pekerjaanku dimana kamu takut kehilangan aku karena aku ditelan lautan. No! Kecuali Tuhan berkehendak demikian. Ini, radio VHF. Digunakan untuk menentukan jarak antara dermaga selaku daratan, dengan lautan yang ingin kita tempuh.”

“Dan ini, radio RDF. Digunakan untuk menentukan jarah tengah lautan, dengan ujung lautan yang jauh jaraknya atau bahkan berkali-kali lipat jauhnya dari dermaga setelah kita menentukan jaraknya menggunakan radio VHF. Sulit menangkapnya ya?” tanya Hafied saat ia melihat kebingungan di kedua bola mata Zania.

Hafied tersenyum. Kemudian ia mengacak ringan rambut pendek Zania yang panjangnya sebahu. Hafied berjalan ke arah sisi kiri Zania. Mengambil secarik kertas, dan menuliskan bagaimana cara kerja kedua radio itu sebagai fasilitas penyelemat jika diibaratkan perhitungan nyawa.

“Itulah kenapa Abang nggak pernah takut dengan lautan. Karena ada alat, yang sekarang membantu kami mendekatkan diri dengan lautan. Atau bahkan, menjadi sahabat laut. Zania, jika kamu meragukan pekerjaan, Abang. Abang akan menjelaskan bagaimana cara kerjanya. Tapi jika kamu meragukan cinta kamu karena pekerjaan, Abang. Hanya kapal dan lautan yang bisa meyakinkan kamu dimana Abang sebagai perantaranya.”

Zania yang sedari tadi terdiam dan membisu seperti patung, bergerak dengan kecupannya yang mendarat di pipi Hafied. Di kala Hafied tengah membungkukkan badannya untuk menjajarkan tubuhnya dengan Zania yang ada di atas kursi kerjanya. Dan masih membawa kertas serta bulpoin yang ada di jepitan jarinya.

“Haruskah Zania mengulang kecupan itu dan mengucapkan kata kalau Zania, mulai yakin dengan Abang?” tanya Zania dengan senyuman simpul dan kedua matanya yang penuh dengan cintanya.

Hafied terdiam dalam pandangan matanya. Dan diamnya, mulai menjadi gerakan saat ia membalas kecupan itu di tempat lain. Tempat yang kembali membuat Zania memejamkan kedua bola matanya. Merasakan kecupan itu, di kala ia bertemu dengan Hafied. Baik sebelum Hafied berangkat, atau saat ia kembali di kala seperti ini.

Tuhan memang adil. Seadil-adilnya hakim semesta alam, dimana mempertemukan ia yang pernah murka dengan seluruh kendalinya. Baginya, kehadiran Hafied adalah cara tuhan menyadarkan dirinya, kalau ia bukan siapa-siapa dan tak patut mendahului kehendak-Nya.

Comments

Leave a Reply