#CerpenKita
Episode 3
“Kembali kepada pembahasan, alasan mengapa saya senyuruh kalian gym, atau mengangkat beban, tak lain adalah meningkatkan masa otot kalian. Menyuruh kalian makan lebih banyak daripda minum, adalah langkah awal saya memberikan kalian pelajaran setelah saya tahu bagaimana cara kerja tubuh kalian. Saya memaklumi, jika kalian awan dalam resiko-resiko selama latihan berlangsung.”
“Namun, bukan berarti kalian dibutakan dengan pengetahuan mengenai resiko itu. Dengan kalian mengetahui resiko itu, kalian bisa menentukan strategi bermain pada arena pertandingan, tanpa harus saya mengarahkan lebih jauh. Atau bahkan, kalian dapat berjalan dengan sendirinya, seiring kalian mengetahui situasi di sekeliling kalian, bagaimana,” lanjut Makochi memberikan arahan ringan untuk keduanya.
‘Resiko, akan membuat kalian dapat menentukan strategi pada arena pertandingan tanpa arahan sekalipun.”
Kata itu terus terngiang dalam benak hati dan pikiran Yakuza. Memang, selama berada di negeri Garuda, ia tidak pernah mendapatkan wejangan mengenai hal tersebut. Yang ia tahu, ia hanya mendapatkan daftar latihan setiap hari, mingguan, dan beberapa latihan kusus. Mengenai dampak, resiko tindakan untuk menanggulangi sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi, Yakuza tidak mendapatkan itu.
“Pegang tali ini,” pinta Makochi.
“Kita suruh mainan lompat tali, Sensei?” tanya Lafaza dengan nada mengejeknya.
Makochi hanya tersenyum saat mengetahu raut wajah Lafaza yang masam karena ia diperlakukan seperti anak kecil. Atau bahkan atlet yang baru saja mengetahui tipe latihan. Selama ini, Lafaza tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Makochi. Tidak ada bedanya pada saat ia berada di Indonesia untuk mendapatkan latihan.
Lafaza tahu, jika ia baru kali ini bertemu dengan Makochi selama ia pulang pergi Indonesia-Jepang. Tapi, ia masih tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Makochi dalam melatih pemain-pemainnya. Yang ia tahu, semua latihan Makochi, samar. Bahkan Abstrak.
“Yakuza,” panggil Lafaza di tengah latihan skipping mereka.
“Hmmmm?” tanggap Yakuza dengan menolehkan kepalanya ke arah Lafaza yang tengah menunggu tanggapannya.
“Tidakkah kita di sini, diperlakukan layaknya anak kecil?” tanya Lafaza.
“Bukankah kita memang lanak kecil?” Sergah Yakuza bergurau.
“Yeee… kalau dibilang masalah umur, perbandingan kita dengan Makochi, jelas jauh berbeda, Orang sana udah kayak bokap gue,” jelas Lafaza.
Yakuza terkekeh mendengar ocehan ringan Lafaza.
“Lafaza, boleh aku menanyakan sesuatu?” tanya Yakuza.
“Hmmmm, apa?” ucap Lafaza siap siaga menerima pertanyaan apapun.
“Kenapa alasan kamu menganggapku sebagai sahabatmu? Padahal, kamu dan aku baru saja kenal di Jepang ini,” ucap Yakuza formal.
“Haruskan sahabat itu menggunakan sebuah alasan? Tidak, Yakuza. Kamu tahu sahabat bagiku, hanya cukup tahu,” jelasnya singkat tak kalah formal.
“Mmmmm… definisi yang singkat. Ah ya… mulai dari awal perkenalan kita, jujur gue belum tahu asal lo dari mana?”
“Gue berdarah Melayu. Turunan Malaysia. Bokap asal sana. Tapi Nyokap, dari Nangroe Aceh Darussalam. Gue blasteran. Dan untuk kepastiannya, gue ikut negara mana, gue ikut Indonesia. Kalau lo?” tanya Lafaza berbalik.
“Sumatera. Batak,” jawab Yakuza singkat.
“Batak? Kenapa nama lo Yakuza? Setahu gue, orang Sumatera tidak menggunakan nama luar seperti itu. Mereka sangat menyayangi budaya mereka. Begitu juga dengan hokum mereka. Sama halnya dengan gue. Aceh, tak dapat dipenggal hukumnya,” jelas Lafaza.
“Yakuza Manuandro, adalah nama Jepang gue. Jepang hampir sama dengan China. Jika kita berada di negara mereka, maka kita mengikuti nama mereka sebagai persamaannya. Memang miris, karena kita harus menghilangkan nama asli kita,” jelas Yakuza dengan tersenyum miring dan kecut.
Seketika, sekelabat kenangan buruk itu berkeliaran di dalam lintas jalur pikirannya. Semua Neutron dan Neuron yang ada di dalam otaknya seolah memberontak jika Yakuza melupakan kenangan buruk itu.
“Terus, nama asli lo siapa?” tanya Lafaza melanjutkan setelah mencerna penjelasan yang diberikan oleh Yakuza. Dan hal itu, membuyarkan lamunan Yakuza mengenai kenangan buruk itu.
“Parulian Hutasoit,” jelasnya singkat.
“Nama yang unik. Terus, gue enaknya manggil lo siapa?” Tanya Lafaza dengan senyuman.
“Terserah lo aja sih… kalau gue, oke-oke aja,” jelas Yakuza.
“Lo nggak saying sama nama itu?” tanya Lafaza.
“Sayang. Hanya saja belum saatnya,” ucapnya.
“Yaudah.. gue panggil kayak biasanya aja. Kalau kita balik ke Indonesia, baru gue panggil lo Uli. Gimana? Apa mau Par? Paru? Parulian? Ah… kalau Parulian kepanjangan, susah manggilnya, ini lidah agak belibet,” jelas Lafaza mengeluh.
“Uli,” ucap Yakuza singkat.
“Okke. Uli. Artinya apaan?” tanya Lafaza.
“Indah,” ucap Yakuza lagi.
“Hmmmmm…. Okke-okke… keren-keren,” ucap Lafaza saat membayangkan Yakuza dapat menyesuaikan lingkungan hidupnya. Ah.. tidak.. lingkungan dimana ia berada, di sanalah ia menyesuaikan.
Dari sana, Lafaza mengetahui bahwa Yakuza merupakan salah satu orang yang dapat menyesuaikan dengan suhu apapun. Yakuza, juga merupakan salah satu tipe orang yang menghargai budaya. Lafaza kembali mengingat, dimana Yakuza memaksanya untuk membungkukkan badan di kala mereka meminta maaf kepada Makochi sebagai salah satu bentuk hormat dan minta maafnya.
Bahkan, pada saat itu, Lafaza masih mengingat dengan jelas bahwa ia tidak terlalu membungkukkan badannya layaknya Yakuza yang membungkukkan badannya sama persis seperti sebuah sudut siku-siku yang memiliki besaran Sembilan puluh derajat. Sedangkan dirinya, hanya membentuk sudut yang dapat ia perkirakan memiliki besaran sekitar empat puluh lima derajat.
Di tambah lagi, pada saat prosesi tersebut, Yakuza meletakkan kedua telapak tangannya di depan perutnya. Seraya kedua kakinya, merapatkan posisi. Sedangkan ia, meletakkan kedua telapak tangannya tak serapi Yakuza yang melakukan itu. Seolah-olah, Yakuza, adalah orang Jepang aslinya.
“Yakuza, lo nggak ada darah dari Jepang, kan?” tanya Lafaza memastikan.
Yakuza terkekeh geli saat Lafaza bertanya demikian. Tanpa menjawab, Yakuza cukup menggelengkan kepalanya ringan.
“Gue asli Indonesia, Lafaza. Pure and Original Indonesian product,” jelas Yakuza dengan menggunakan bahasa Inggris.
“Lalu, kenapa lo bisa tahu tata cara dan budaya minta maaf negara ini? Gue aja yang mondar-mandir Malaysia-Jepang nggak sedetail itu tahunya,” jelas Lafaza.
“Karena Indonesia mengajarkan itu semua,” jelas Yakuza singkat.
“Maksudnya?” tanya Lafaza dengan menaikan salah satu alisnya.
“Indonesia mengajarkan sopan santun. Indonesia mengajarkan persatuan. Indonesia, mengajarkan hormat, harga, dan juga lembut. Gue tahu itu semua dari Indonesia. Itu seolah melekat sejak gue kecil. Mulai dari lahir, Ibu gue selalu mengajarkan itu.”
“Ah.. bukan.. Indonesia memiliki adat istiadat. Dan itu sudah ada pada jaman dahulu. Nenek moyang mungkin, dan itu turun temurun. Dari sana, gue mulai mengerti. Bahwa itu adalah bekal dasar. Dimanapun kita berada, kita akan membutuhkan itu.”
“Hanya aja, caranya beda untuk mengaplikasikannya. Kalau Indonesia meminta maaf dengan berjabat tangan. Dan saat berterimakasih, cukup dengan menerima, menundukkan kepala sedikit, kemudian tersenyum lebar. Berbeda dengan Jepang, jika pada saat berterimakasih, menggunakan tundukan badan empat puluh lima derajat, sedangkan untuk meminta maaf, menggunakan Sembilan puluh derajat tundukkan badan,” jelas Yakuza seraya melanjutkan penjelasn sebelumnya.
Lafaza hanya menganggukkan kepalanya. Ia terdiam. Yakuza memperhatikan Lafaza yang kembali menatap ke depan. Ia mulai menikmati latihan yang diberikan oleh Makochi. Yakuza tersenyum ringan saat memperhatikan Lafaza yang tengah asik dengan pikirannya sendiri. Yang tengah asik mencerna seluruh penjelasannya.
Yakuza merasakan detak jantungnya berdebar. Darahnya seketika berdesir dengan hebat. Kepalanya seketika terasa ringan. Begitu juga dengan detak jantungnya. Berdebar, dan berdetak lebih cepat dari biasanya. Layaknya orang yang tengah jatuh cinta.
Entah mengapa, Yakuza merasakan hal itu. Bahkan, jika ia mengetahui bahwa itu jatuh cinta. Ia masih belum bisa menerima jika ia harus jatuh cinta kepada Indonesia. Dirinya memberontak. Namun hatinya, terus memberikan pukulan keras mengenai rasa itu.
Yakuza, merasakan dadanya begitu sesak saat ia terus berusaha membenrontak. Hingga akhirnya, pikirannya teralihkan di kala Makochi datang, dan memberikan arahan untuk Yakuza dan Lafaza, agar mereka mengakhiri latihan pada sore itu.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.