Lari : #CerpenKita Episode 2

Sumber : Photo by Iván Acedo on Unsplash

#CerpenKita
Episode 2

 

“Gimana rasanya?” tanya Momo-Chan.

“Minum. Minum. Minum mana minum?” tanya Lafaza denan nafasnya yang masih tersengal kepada Momo-Chan yang tengah memegang minuman ion.

Momo-Chan tertawa saat mendengar suara Lafaza yang lemas. Sedangkan, Yakuza hanya tertunduk lemas seraya merasakan keringat.yang terus bercucuran. Kepalanya yang pening terasa begitu berat. Ia mencoba memandang sesuatu di sekitarnya. Ah tidak, ia mencoba memandang sesuatu di depannya.

Sepatu. Yah… Yakuza mendapatkan sepatu sebagai sesuatu yang hendak ia pandangi. Hanya sekedar memastikan apakah penglihatannya terganggu saat kepalanya terasa berat. Dan benar saja. Ia dapat melihat sepatu itu dengan jelas. Akan tetapi, bayangan hitam melingkari benda tersebut. Yakuza menggelengkan kepalanya. Ia berusaha mendapatkan pandangan yang diinginkannya.

“Aw!!!” decah Yakuza saat kepalanya terasa menyengat seketika.

Ia merasa, ada benda yang menjatuhi kepalanya. Berat. Menyengat. Dan…. Yakuza tak ingin banyak berpikir saat benda tersebut terus menempel di atas kepalanya. Bahkan ia merasa, benda itu memang sengaja untuk ditempelkan di kepalanya. Yakuza mencari tahu dengan mengedarkan pandangan kepalanya.

“Makochi,” panggil Yakuza saat ia mendapati kedua mata elang Makochi tengah menatapnya.

“Momo-Chan. Kembalilah ke arena latihanmu. Biar Ayah yang menangani mereka. Sudah cukup mereka datang hanya untuk dimanja di sini,” ucapnya kepada putri tunggalnya.

“Oey!!! Lafaza. Tak bisakah kau berhenti minum minuman ion itu? Kau tak akan kuat berlari jika perutmu dalam keadaan yang begitu penuh. Yang ada, semua minuman itu akan keluar kembali dari mulutmu. Dan perutmu akan kaku,” jelas Makochi kepada Lafaza yang tengah menghabiskan keempat botol minuman ionnya.

Melihat wajah Makochi yang mulai memerah karena tingkah Lafaza, membuat Lafaza menutup minuman ionnya, dan menggantikan hausnya hanya dengan menekan air liurnya. Dan bahkan, ia hanya menatap minuman itu seperti sebuah berlian yang sangat ia teguk di hari itu. Sungguh membuatnya gila saja berada di negara yang berbeda.

“Dan kau enak sekali aku yang memegangi es di kepalamu? Tak biasanya Garuda mengajarkan hal ini kepada rakyatnya?” sindir Makochi.

“Ah ya.. Maaf, Sensei,” ucap Yakuza seketika mengambil alih es batu yang tengah dipegangi oleh Makochi di atas kepalanya.

Makochi menatap mereka berdua dengan sangat awam. Bahkan, mereka seperti sampah yang tak berguna. Tapi pada dasarnya, Makochi dapat melihat bagaimana mereka akan mewangi di kala saatnya tiba nanti.

Yakuza… Makochi mengenalnya saat anak itu datang dengan keras kepalanya. Egonya, dan juga amarahnya yang tak dapat terbendung. Berbeda dengan Lafaza. Ia datang dengan begitu konyol. Ia bahkan seperti orang bodoh dan dungu. Namun, hanya satu hal yang Makochi tahu tentang mereka, di saat baru perkenalan mereka.

Bola. Mereka sangat aktif atau bahkan hyper active saat bola menyentuk kaki mereka berdua. Seluruh bagian otak mereka merangsang retorika seluruh tubuhnya. Mereka seolah menjadi diri mereka sendiri saat diri mereka bersanding dengan bola. Bahkan, senyum mereka, tawa mereka, tak henti-hentinya terulas di kala mereka bermain bola.

Sedikit kembali ke dalam sebuah peristiwa. Makochi melihat keduanya mendarah daging dengan bola, saat kedatangan mereka di hari ketiga. Dimana, pada hari kedua, mereka hanya mendapatkan forsir pemanasan, yang bahkan bagi mereka terasa bahwa latihan itu hendak membunuh mereka.

Seolah mereka tak dapat menghirup udara segar sebagaimana mestinya. Namun, di mata pemain-pemain lainnya saat Makochi memberikan latihan mereka berdarah sama dengannya dan negara yang tengah mereka tempati, mereka menikmati itu. Yah… rakyat Jepang menikmati latihan yang diberikan oleh pelatih Jepang layaknya memakan sushi segar yang lezat. Namun, tidak untuk Yakuza dan Lafaza.

Makochi sempat tak mengerti mengenai hal tersebut. Karena bagi Makochi, mereka hanya manusia biasa. Sama dengan pemain-pemain lainnya yang pure datang dari seluruh penjuru negara  Jepang. Namun, pada kenyataannya, mereka berbeda. Berada di bawah tekanan, bukanlah sesuatu yang biasa mereka hadapi dan mereka alami.


“Sensei mau kemana, Za?” tanya Lafaza.

“Mana gue tahu?” ucap Yakuza.

“Ada-ada aja itu orang,” ucap Lafaza.

Yakuza tidak menanggapi. Melainkan, ia hanya mengamati apa yang akan dilakukan oleh Makochi untuknya dan juga Lafaza. Ia memperhatikan seluruh gerak-gerik Makochi. Mulai dari ia mempersiapkan tali yang panjang. Hingga Makochi mempersiapkan medan lari dengan batasan bubuk kapur.

Tak lama dari itu, Makochi memanggil keduanya. Melambaikan telapak tangannya, seraya memanggil nama mereka satu persatu. Memberikan kode, agar mereka mau menghampiri Makochi. Yakuza dan Lafaza saling memandang. Sorotan mata keduanya, seolah menunjukkan bahwa mereka tak mengerti apa yang diinginkan oleh Makochi, dan apa yang hendak dilakukan oleh Makochi untuknya. Yang mereka tahu, mereka hanya cukup menuruti kemauan Makochi.

Merekapun berjalan ke arah Makochi. Yakuza, masih tetap memegangi es batu yang berada di atas kepalanya. Begitu juga dengan Lafaza, yang tak mau lepas dengan minuman ionnya. Melihat hal tersebut, Makochi kembali menggelengkan kepalanya.

Dari sana, Makochi tahu bahwa mereka berdua, hanya hidup jika ada bola. Dan mereka, tak akan memasukkan konyol, dungo, atau bahkan bodohnya sikap yang seharusnya dilakukan oleh atlet sebagaimana mestinya. Untuk pertama kalinya, Makochi mendapatkan peserta didiknya yang hanya hidup dengan bola, tanpa ada jiwa di dalamnya. Sungguh miring, baginya.

“Yakuza! Lepaskan es batumu. Itu akan membuat darah di kepalamu membeku. Kau akan pusing, nanti,” jelas Makochi.

Yakuza menuruti kemauan Makochi. Kemudian, ia berganti melihat kea rah Lafaza. Tanpa, memberikan komando, Lafaza meletakkan minuman ion di lapangan rumput yang tengah ia injaki. Karena ia tahu, tatapan Makochi hendak menghadik dirinya yang tengah memegang minuman ion itu.

Sehingga, sebelum ia mendapatkan semprotan yang sama seperti Yakuza, ia memilih untuk mengambil tindakannya sendiri. Dan, syukurlah jika Makochi meredakan emosinya yang kian meledak karena tingkahnya yang baginya itu bukanlah suatu masalah.

“Kalian tahu, mengapa saya menyuruh kalian untuk melakukan gym setiap hari?” tanya Makochi.

“Biar ototnya besar, Sensei,” jelas Yakuza.

“Dan, saat kita berada di arena pertandingan, musuh akan mundur dengan sendirinya hanya karena melihat otot kita yang terawat,” tambah Lafaza.

Makochi menepuk jidatnya. Ia tak menyangka, mereka akan menjawab jawaban yang bahkan anak bayi yang baru bisa berbicara, dapat menjawab pertanyaan kecil seperti itu.

“Apakah di Indonesia tidak pernah diberitahu?” tanya Makochi.

“Mmmmmm….,” gumam Yakuza memutar memorinya. Sedangkan Lafaza hanya menjawabnya dengan kedikkan kedua bahunya.

Sumber : Photo by Henry & Co. on Unsplash

“Lantas bagaimana bisa kalian mendapatkan beasiswa ke negara Jepang ini, anak-anakku?” tanya Makochi menyesali hal tersebut.

“Karena kita bisa main bola,” jawab Lafaza dengan senyuman percaya dirinya.

Dan lagi-lagi, Makochi menggelengkan kepalanya seraya menepuk jidatnya secara bersamaan. Bagaimana tidak? Ia merasa tengah mendidik anak balita yang baru saja mengerti sebuah olahraga. Otaknyapun, tak sampai kenapa mereka dapat lolos dari seleksi beasiswa yang bisa membawa mereka berdua ke depan Makochi.

“Kalian memang benar-benar tidak tahu atau kalian memang tidak tahu menahu meski kalian tahu?” tanya Makochi memastikan.

“Memang tidak tahu, Sensei,” jelas Lafaza.

“Saya pernah dengar, Sensei. Tapi lupa,” jelas Yakuza dengan cengiran kuda yang justru akan menambah kekesalan Makochi dalam menangani mereka.

“Baiklah.. percuma saja aku menanyakan hal ini. Aku sendiri yang merasa bodoh dan seolah-olah mengikuti kalian yang seperti itu,” jelas Makochi rendah. Seolah ia menyerah mendidik mereka berdua.

“Maaf, Sensei,” ucap Yakuza dengan menundukkan kepalanya sekaligus membungkukkan setengah badannya. Sedangkan Lafaza mengikuti apa yang dilakukan oleh Yakuza seraya setengah mengintip ke arah Makochi.

Sumber : Bruno van der Kraan

Yakuza menepuk perut Lafaza, sehingga Lafaza kembali membungkukkan badannya. Meski karena nyeri. Karena, Yakuza tahu, bahwa Jepang memiliki budaya tersebut. Dan, mengenai untuk kehormatan, ia mengingat setiap kata perempuan itu.

Perempuan, yang telah membuatnya dibenci karena laki-laki itu. Ah tidak… bukan perempuan itu. Tapi, laki-laki itu yang mengharuskan Yakuza berada di negara ini. Jepang. Dimana ia harus tunduk dengan aturan dan mengikuti budaya mereka. Bahkan, Yakuza rela mengubah namanya dan menghilangkan nama marganya. Hutasoit.

Tak hanya nama marganya. Melainkan, nama yang sesungguhnya. Nama yang diberikan oleh perempuan itu. Sekaligus, nama marga yang diberikan oleh laki-laki itu. Hatinya yang lembut, seketika mengeras. Nafasnya yang menderu hangat, seketika dingin sedingin hatinya. Sayap yang berada di punggungnya, harus terkikis rata tak tersisa.

Semua itu terjadi seketika, saat ia melakukan satu kesalahan, yang tidak ia ketahui apakah ia salah pada bagian itu atau tidak. Bahkan, harapannya, ia mendapatkan arahan seperti Makochi yang tak henti-hentinya mengarahkan. Tapi di negara itu, ia justru mendapatkan perlakuan seperti sampah di kala ia menangis menginginkan arahan.

Banyak kata yang terus berkecamuk di dalam hatinya. Salahkah jika dirinya yang ingin terbang seperti Garuda dan menjadi tonggak Pancasila, menginginkan arahan hingga mengharuskan ia pergi ke negeri penjajah ini, dan melupakan namanya?

Comments

Leave a Reply