Derap langkahnya tedengar seperti malaikat maut. Sentuhan heels tinggi di atas lantai marmer perusahaan itu berhasil membuat seluruh karyawan tertunduk ketakutan. Matanya yang tajam seperti singa seakan siap menyantap siapa saja yang berani menghalangi jalannya.
Tidak ada yang tidak mengenalnya. Felly Anggi Wiraatmaja. Gadis yang berhasil membawa lari perusahaan dengan nilai saham tertinggi dalam waktu dua tahun. Tak ada yang meragukan kemampuannya. Perusahaan yang bangkrut total saja bisa kembali berdiri kokoh saat berada di genggaman Felly. Bahkan, para pemimpin laki-laki seakan tunduk kepadanya.
“Apakah aku menganggu?” tanya Felly dingin.
“Tidak. Selama yang kamu bicarakan itu sesuatu yang berbobot,” jawab Reynaldy santai seraya menghampiri putrinya.
Felly hanya berdecak kesal saat Papanya tersenyum jahil.
“Ada apa? Tumben kamu ke sini pagi-pagi? Ada masalah dengan perusahaanmu?” tanya Reynaldy penasaran karena tak biasanya Felly mendatangi kantornya.
“Felly mau berpindah tempat, Pa. Felly rasa perusahaan yang bergerak di bidang kepenulisan lebih bisa membuat otak Felly segar,” ucap Felly berbohong.
Pernyataan Felly sukses membuat kening Reynaldy membentuk kerutan karena tidak biasanya puterinya itu pilih-pilih dalam melakukan suatu pekerjaan.
“Papa santai aja. Perusahaan yang Felly pegang saat ini akan tetap Felly awasi. Tapi gantikan aku dengan Dion,” lanjut Felly.
“Dion memilih untuk masuk ke sekolah pilot di New Zealand. Jadi, jangan mengharapkan dia untuk terjun ke dalam perusahaan,” sahut papanya santai.
“Apa? Bagaimana bisa Papa menurtinya? Jangan bilang Papa ingin Felly yang akan menggerakkan semuanya?”
Reynaldy mengangguk seraya meraih kopi panas yang sudah tersedia di atas meja di dalam ruangannya. Felly pun menyesap teh panas dengan ekstrak jahe pedas untuk meredam emosinya yang sudah mulai memuncak. Bagaimana bisa ia kembali terjepit dengan situasi seperti ini? Ramalan yang buruk.
“Jika kamu berminat, pimpinlah kedua perusahaan itu. Papa akan bersyukur karena beban Papa bisa terkurangi dengan adanya campur tanganmu. Setidaknya kamu bisa mengendalikan nilai saham dan strategi pasarnya sehingga Papa tinggal menghitung keuntungannya,” balas Reynaldy santai.
Ucapannya Reynaldy sukses membuat Felly terbatuk. Memimpin satu perusahaan saja sudah cukup melelahkan. Sekarang malah diminta untuk mengurus satu perusahaan lagi. Felly tidak suka dengan ide papanya.
“Apa Papa pikir memimpin perusahaan seperti menjaga warung pecel? Ini perusahaan, Pa! Kumohon mengertilah dan jangan mempersulitku lagi,” tolak Felly mulai kesal.
“Papa tidak mempersulit kamu. Justru Papa mempermudah kamu. Anggap saja kedua perusahaan yang akan kamu pimpin seperti warung pecel sehingga kamu merasa mudah mengurusnya,” timpal Reynaldy dengan senyuman kemenangan.
“Udah, ah. Percuma juga ngomong sama Papa. Nggak bakalan ada hasilnya. Malahan Felly yang tambah pusing,” dengus Felly kesal.
“Kamu mau ke mana? Pikirkan lagi sayang. Cuma warung pecel,” seru Reynaldy saat Felly keluar dari ruangannya.
***
Felly memasuki kantor mamanya dengan raut muka yang kesal. Kemarahannya berhasil membuat seluruh orang yang ada di kantor itu berkeringat dingin kecuali Anjani. Mamanya.
“Tersenyumlah. Ekspresimu itu menakuti pegawai Mama,” gurau Anjani menyambut kedatangan putrinya yang jarang sekali ke kantornya.
“Mama!”
Anjani ternyum geli melihat tingkah Felly yang terkadang masih seperti anak kecil.
“Mama tahu, Papa….”
“Papa sudah cerita semuanya. Lalu?” tanya Anjani to the point seraya duduk berhadap-hadapan dengan Felly di sofa ruangannya.
“Baguslah. Jadi, Felly nggak perlu cerita panjang lebar lagi. Mama bisa bantu Felly, kan?”
“Kenapa tidak,” timpal Anjani seraya menyodorkan map berwarna cokelat kepada Felly.
Felly membuka map itu dengan senyuman lebar. Tapi, senyuman itu langsung luntur ketika membaca dokumen itu. Ia tak menyangka jika mamanya sudah berkomplot dengan papanya.
“Mama beneran tanda tangan ini? Sama papa juga?” tanya Felly memastikan bahwa ia tidak salah lihat.
“Benar. Lakukanlah. Kamu tidak perlu memulainya dari awal. Tinggal meneruskannya saja, Sayang. Jadi, kami pikir kamu mampu mengatasi keduanya,” terang Anjani santai.
Felly menghela napas kesal. Tanpa sepatah kata pun, Felly beranjak dari tempat duduknya dan menerima map pemberian mamanya sebagai takdirnya. Bukan nasib yang bisa ia ubah dengan usahanya.
“Oh ya, Fel. Nanti malam ada makan malam bisnis. Datang, ya. Mama sama Papa akan menunggu kamu. Jangan sampai telat pulang ke rumah. Dan untuk warung pecel itu, kamu bisa memikirkannya sambil berjalan,” pesan Anjani santai dengan senyuman tipis di bibirnya.
Felly mengangguk pasrah. Ia melangkah keluar dari ruangan mamanya dengan gontai. Ia tidak menyangka kalau Dion, adiknya bisa menikmati pendidikannya di New Zealand. Sementara dirinya harus terpenjara di ruangan kerjanya.
***
Anjani menjerit senang saat menyambut kedatangan dengan sahabat karibnya yang kebetulan suaminya adalah sahabat dari Reynaldy. Mereka pun saling berpelukan. Felly pun ikut berdiri dan menyambut kedatangan tamu orang tuanya dengan senyuman. Akan tetapi, senyumannya memudar saat melihat sosok yang tak seharusnya ia lihat.
“Kamu kenapa ada di sini?” ucap Felly dingin.
“Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Kenapa kamu ada di sini?” balas laki-laki itu tak kalah dingin.
“Ini rumahku!” timpal Felly ketus.
“Sayang, kenalin ini Arka. Anaknya teman Mama dan Papa.” Anjani memperkenalkan keduanya. “Arka, kenalin ini Felly. Putri Tante.”
Arka dan Felly tidak menjawab. Keduanya saling menatap tajam. Suasana yang semula riang seketika menjadi sepi.
“Bisakah Felly berbicara berdua dengan Arka?” Felly meminta izin sehalus mungkin meski suaranya tetap terdengar begitu ketus.
“Tentu boleh, Sayang. Ajak saja Arka berkeliling,” jawab Mama Arka.
“Dengan senang hati, Tante,” jawab Felly dengan senyum yang dipaksakan. “Ayo, ikut aku. Akan kutunjukkan taman kesukaanku,” lanjut Felly yang bangkit dari duduknya. Ia lalu beranjak pergi meninggalkan ruang makan diikuti oleh Arka yang mengekor di belakangnya. “Apa kamu merencanakan ini semua?” tuduh Felly saat keduanya sudah berada di taman belakang rumah Felly.
“Kenapa kamu selalu menuduhku? Seharusnya aku yang bertanya, kenapa aku mendapatkan undangan makan malam dengan tiba-tiba. Apa kamu merencanakan ini semua?” Arka membalikkan pertanyaan Felly.
“Arka!” tiba-tiba Felly membentak laki-laki itu.
“Percuma saja kamu marah sama aku. Aku juga nggak tahu kenapa semaua ini bisa terjadi.” Arka menanggapi dengan nada datar.
Felly menghela napas panjang. Berusaha menahan seluruh emosinya. Tiba-tiba ia memajukan langkah kakinya untuk lebih dekat dengan Arka. Tatapan matanya yang tajam seolah hendak menerkam Arka yang tengah menatapnya datar. Menunjukkan jika ia menerima tantangan mantan kekasihnya itu.
“Apa kamu datang ke sini demi menyelamatkan perusahaanmu?” tanya Felly ketus.
Arka menautkan kedua alisnya, masih menatap Felly datar.
“Sudah kuduga. Kenapa kamu kembali lagi, Arka? Apakah New York tidak cukup bagus untukmu sampai mengharuskanmu kembali dengan cara yang menjijikkan? Apakah kamu pikir semuanya mudah? Aku berjuang keras agar bisa melupakanmu!” bentak Felly meluapkan segala yang mengganjal di hatinya
“Seharusnya aku yang berkata seperti itu! Kenapa kamu mengubah sektor bisnismu? Apakah seni tidak cukup untuk menghindariku? Kenapa kamu beralih ke perusahaan yang harus melibatkan aku? Apakah kamu pikir aku ke New York bukan untuk melupakanmu! Kamu salah, Felly! Aku juga berjuang keras untuk melupakanmu dan terus menghindar sesuai dengan keinginanmu hanya karena hal yang konyol!” balas Arka dengan tatapan yang sudah berubah garang. “Kamu rela memutus hubungan kita hanya karena hal yang konyol dan sekarang kamu menyuruhku pergi lagi hanya karena hal konyol juga. Apakah Paris mengajarkanmu untuk mencampur urusan pekerjaanmu dengan urusan pribadi? Jika New York tidak berhasil membuatku melupakanmu, lalu bagaimana dengan Paris? Bukankah kamu juga berada di posisi yang sama denganku!”
Kalimat panjang Arka sukses membuat Felly terbungkam.
“Kamu masih mencintaiku?” ucap Felly tiba-tiba.
Pertanyaan Felly membuat Arka terdiam.
Felly yang sedari tadi memperhatikan kilatan di kedua bola mata Arka solah menangkap sebuah kesedihan yang terpancar di sana. Kesedihan yang ditujukan untuknya. Pancaran mata itu membuat Felly telapak tangannya bergerak naik untuk menyentuh pipi Arka.
“Apakah ini sakit?” tanya Felly lembut seraya menatap mata Arka.
Arka terdiam. Ia merasakan jari-jari lembut Felly menyentuh dada bidangnya. Bibirnya terkatup rapat dan tanpa sadar matanya telah berkaca-kaca dan setetes air mata jatuh di pipinya.
“Ka, jawab aku!”
Arka tetap terdiam. Tapi air matanya semakin banyak, menunjukkan betapa ia tak kuasa menahan seluruh sakit yang dipendamnya dalam hati. Sakit akibat kehilangan Felly.
“Bicaralah, aku akan mencoba mendengarkan,” bujuk Felly lembut tanpa melepas sentuhan tangannya dari pipi Arka.
“Kenapa kamu melakukan ini? Apakah kamu kasihan karena aku begitu menyedihkan?”
“Bisakah kita tidak bertengkar? Aku hanya menuruti kata hatiku. Matamu mengatakan semuanya. Berikan aku kepastian.”
“Oke. Dari mana kamu ingin mengetahuinya?”
“Apakah pertunanganmu….”
“Aku cuma ingin bertunangan denganmu. Jadi, aku membatalkan pertunangan itu. Tapi kamu terlalu cepat mengakhiri hubungan kita sebelum aku sempat menjelaskan semuanya,” jelas Arka memutus ucapan Felly.
Pengakuan Arka membuat Felly lemas hingga tak dapat menompang tubuhnya. Akan tetapi, Arka dengan cepat menahan dan menompang tubuh Felly dengan memegang kedua sisi pinggangnya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Arka khawatir.
Felly tidak menjawab. Ia justru menangis setelah mendengar pengakuan Arka. Isak tangisnya yang terus menderu menjadi saksi saat Arka mengharuskan dirinya untuk memeluk Felly.
“Aku mau nikah, aku mau nikah, Ka….” Isak Felly dalam pelukan Arka.
“Ayo menikah, Fel,” sahut Arka yang untuk pertama kalinya tersenyum malam itu.
“Aku mau nikah. Maafin aku, Ka.”
“Fel, semuanya bukan sepenuhnya salah kamu. Aku yang membuat kamu menunggu terlalu lama. Tapi nggak seharusnya juga kamu meninggalkan aku dan menyuruhku untuk menghindarimu,” tutur Arka seraya melepaskan pelukannya tanpa melepaskan pinggang Felly agar gadis itu tetap berada dalam jangkauannya.
“Aku nggak kuat harus menanggung semua kenangan itu, padahal kamu udah janji buat nikahin aku. Tapi kamu….”
“Nyatanya apa?”
“Jadi kamu ke sini….”
“Tentu saja. Walaupun niat awalnya untuk urusan bisnis tapi kalau udah kayak gini jadi beda topik. Cukup satu kali saja kamu melupakan aku,” ucap Arka tegas yang kemudian mengecup kening Felly.
“Sekeras apapun berusaha mengindari kamu, tapi nyatanya hal itu malah membuatku semakin tidak bisa melupakan kamu.”
“Itu karena kamu adalah takdirku dan aku adalah takdirmu. Kita bisa merubah nasib dengan kerja keras, tapi saat takdir tidak berpihak, maka semuanya akan sama hasilnya,” jelas Arka seraya menghapus air mata Felly yang terus berlinang.
Felly tersenyum tipis. Ia memeluk Arka erat dan merasakan detak jantung Arka dengan nyaman. Napasnya yang dulunya terasa sesak kini kembali normal dan terasa lega setelah mengetahui semuanya. Begitu juga dengan Arka. Hatinya yang sempat berlubang seolah terobati dengan sempurna oleh cinta dari Felly.
Tidak akan ada yang bisa merubah takdir kecuali diri-Nya. Diri-Nya hanya akan memberikan hak kepada umatnya untuk merubah nasibnya. Seperti halnya dengan Arka dan Felly. Kesakitan yang mereka alami akibat perpisahan yang membuat mereka berusaha untuk melupakan satu sama lain justru berlainan dengan kehendak-Nya yang pada akhirnya mempertemukan Arka dan Felly dengan mudah. Dua kata yang tipis maknanya sudah pasti akan berbeda hasilnya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.