ARENA BAJINGAN | BEBAS Episode 3

#CerpenKita Episode 3

Devina menghentikan laju mobilnya saat satpam rumahnya telah membuka gerbang. Ia mematikan mesin mobilnya dan menarik nafasnya dalam-dalam. Devina memejamkan kedua matanya. Ia menyandarkan kepalanya di kursi mobil. Untuk sejenak, Devina ingin tertidur. Ia merindukan waktu dimana ia dapat tertidur dengan tenang dan nyenyak tanpa bekal pekerjaan dan problematika hidup yang cukup membosankan untuknya.

“Kau sudah tahu bahwa akan menjadi seperti ini dan kau masih terbakar? Masih terkejut dengan apa yang ada di depan matamu, Devina?” gumam Devina dalam hati.

Devina membuka kelopak matanya. Jarinya menggerayai seatbelt untuk melepaskan kaitannya. Kemudian, ia meraih piala nobel dan buket bunga yang diperoleh dari acara tadi. Langkah kakinya terhenti saat ia melihat seseorang tengah berdiri di depannya. Pikirannya memberontak atas apa yang dilihatnya. Hatinya bertarung menyebutkan dirinya nyaman, atau tidak. Hanya satu yang dapat Devina pastikan malam itu. Amarahnya, belum reda. Tentu saja, tidak akan pernah reda. Sebab, Devina membenci sebuah perkara itu.

“Bisa aku bicara denganmu?” tanyanya.

“Masuklah,” pinta Devina dengan berjalan mendahului. Dan Ia, mengikuti langkah kaki Devina.

Devina meletakkan Nobel ke dalam Almari hias yang ada di ruang tamu rumahnya. Kemudian, ia memberikan buket bunga itu kepada pelayan agar diletakkan di dalam vas bunga.

“Kalau sudah, letakkan bunga itu di dalam ruang kerja saya,” ucap Devina sopan.

“Apakah Jawa selalu begitu?” tanyanya.

“Duduklah. Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Devina dengan menyilangkan kaki jenjangnya saat ia telah duduk di atas sofa itu.

“Apa yang kau bicarakan pada Amel?” tanyanya.

“Hanya permintaan maaf sebab aku telah ikut bekerjasama dengan kalian untuk membohonginya,” ucap Devina.

“Kau tidak mau jujur denganku? Banyak sekali yang kau sembunyikan dariku, Devina?” tanyanya.

“Dirga,” panggil Devina dengan suaranya yang berat dan dalam.

Tatapan mata itu. Yah, Dirga mengenal tatapan mata itu. Mata itu, tidak pernah menatapnya seperti ini. Dirga menjumpai tatapan mata itu saat pertama kali bertemu dengan Devina sore itu. Tatapan mata yang dimulai dengan tundukan kepalanya, kemudian rapat bibir tipisnya, dan putaran tengkuk leher dan kepalanya yang berirama seperti seorang psikopat.

“Bukankah kau sudah bicara padaku malam itu, jika aku tidak berhak atas dirimu?”

“Ya. Lalu kenapa?” tanya Dirga memberanikan diri.

“Maka aku kau juga tidak berhak atas diriku. Apapun itu. Kau yang memulai api Dirga. Jangan salahkan aku jika aku menuangkan bensin,” tukas Devina.

“Pergilah. Aku tidak menerima tamu larut malam,” ucap Devina dengan beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Dirga dengan menaiki tangga rumahnya.

***

Aroma bunga anyelir yang berbaur memenuhi ruangan kerjanya. Devina, menggerai rambutnya. Ia mengenakan piyama satin berwarna biru laut. Yah… Devina telah melepaskan baju pestanya. Ia mengakhiri malam itu dengan merendam diri di dalam kamar mandi yang penuh dengan aroma jeruk. Aroma yang menyegarkan. Baginya. Devina Asmoro.

“Apa langkahmu?” tanya perempuan itu dengan memegang cangkir kopinya saat melihat Devina memasuki ruang kerjanya.

Devina membalikkan tubuhnya, menatap perempuan yang tengah duduk dengan menyilangkan kakinya di sofa pojok ruangan itu. Di tengah pendaran cahaya bulan yang masuk ke dalam ruangan kerja gelap itu, Devina menyesap coklat panasnya.

“Tentu saja menyelesaikannya,” ucap Devina membalas ucapan perempuan itu.

“Bicaralah apa maumu? Bukankah kau dan aku ada di posisi yang sama?” tanya perempuan itu.

“Tentu saja. Jika kau bersedia bermain denganku, maka aku akan menyediakan tempat untukmu. Kedatanganmu, akan mempermudah langkahku untuk sekaligus penilaian hubunganku dengan Dirga,” ucap Devina sembari duduk di kursi kerjanya.

“Apakah kau sudah mundur?” tanya perempuan itu dengan mengeryitkan dahinya.

“Tidak. Aku mengambil hal yang sudah seharusnya aku miliki saja,” ucap Devina seraya mengetukkan jari telunjuknya ke atas meja kerja berulang kali. Hingga terdengar irama itu. Lagi. Yah… irama itu. Irama yang terakhir kali Amel dengarkan. Irama itu, cukup membuat Amel merinding malam itu.

Dari balik siluet wajah tegasnya, bibir tipisnya, Amel merasakan dingin yang begitu luar biasa dingin selain karena AC yang ada di dalam ruangan itu. Terdengar pula, nafas Devina yang menderu dengan teratur. Yah… Amel tidak dapat menyangkal, bahwa Devina telah menyentuhkan jarinya di atas kepala mereka.

“Dev, tidak bisakah kau melepaskan mereka satu kali ini saja?” tanya Amel.

“Jika kau memang bisa melepaskan mereka dengan rencana mereka yang menginap di villa semalam, dengan triple couple yang mana itu merupakan jadwal weekend dan seharusnya ia bersama denganmu, maka pergilah. Aku akan berjalan dengan langkahku sendiri.”

“Kau menakutkan Devina.”

“Bukankah kau sudah melihatku menakutkan sejak pertama kau bertarung denganku di pasar saham kala itu?” tanya Devina dengan menatap Amel dari kejauhan.

“Kau melakukan ini untuk cintamu, Devina?” tanya Amel.

“Tidak. Untuk hakku. Dia yang memulai untuk bermain denganku Amel,” ucap Devina dengan menggerakkan gelas yang berisi coklat panas itu.

Amel terdiam. Gerakan itu. Gerakan yang sama persis saat Devina hendak menaiki panggung tadi. Kemudian, meledakkan bom untuk orang-orang yang mengundang Devina untuk terlibat dalam permainannya.

“Aku, Devina Asmoro. Aku diam, bukan berarti aku tidak tahu. Tapi, aku mewaraskan tindakan yang tidak waras sebab aku sadar, jika aku menyentuh kepalanya, maka aku tidak akan mampu untuk menahan kemampuanku untuk tidak mematahkannya,” ucap Devina dengan suara berat dan dalam.

“Di tanggal itu, adalah tanggal dimana seharusnya Dirga mengambil keputusan yang tepat. Ia sudah tahu, jika tanggal itu adalah tanggal dimana dia harus datang. Yah… aku cukup tahu, bahwa kami masih ada dalam hubungan dasar meski Dirga telah menganggapnya jauh. Aku cukup tahu, dimana cicle kelompoknya bukanlah kelompok yang wajar. Pemikirannya, dan prinsipnya. Aku cukup tahu semuanya perlahan,” tukas Devina.

“Tch!” Decah Devina dengan menyunggingkan senyumnya. Tentu saja, senyum itu masih diiringi dengan ketukan jari telunjuknya di atas meja, dan goyangan cangkir yang memutar.

“Kau sudah menghancurkannya baru saja, Devina. Apalagi yang hendak kau perbuat?” tanya Amel dengan nada suaranya yang gemetar.

Arena Bajingan
By : unsplash.com

“Jika malam ini aku dihadapkan dengan seorang bajingan, maka aku akan menghadapinya sebagai seorang bajingan. Sebab aku, pernah menjadi bajingan,” jawab Devina.

“Kapan kau menyelesaikan semuanya Devina? Kumohon maafkanlah dia. Biarkan dia lepas. Tetap diamlah Devina. Jangan sentuhkan jarimu di atas kepala mereka jika kau sudah tahu bahwa kau tidak dapat menghentikannya. Maka aku yang memohon kali ini untuk hentikan semuanya Devina. Kau menyakiti Adito juga. Aku mencintainya, kumohon hentikan,” pinta Amel dengan berdiri dan menyatukan telapak tangannya.

“Devina,” gumam Amel. Telapak tangannya terjatuh lemas. Suaranya melemah. Hanya satu yang Amel tahu. Yah… hatinya telah mati. Telinganya telah tuli, matanya telah buta. Sepenuhnya. Yang hidup, hanya logikanya. Perempuan itu, Devina Asmoro. Telah menjadi iblis malam ini.

Devina beranjak dari tempat duduknya. Kemudian, ia mengambil ponselnya dan menyambungkan telfon dengan seseorang. Tentu saja, Amel tidak tahu siapa. Yang Amel tahu pasti, Devina akan menghancurkan segalanya circle itu, akan dihancurkan oleh seorang Devina sebagai seorang bajingan.

“Lakukan perintahku. Dan, belilah bangunan villa itu atas namamu. Pengurusan sertifikat bangunan, atas namaku. Bertindaklah sesuai dengan intruksiku. Dan, jangan bersuara apapun. Jadilah dinding yang dapat berbicara,” ucapnya mengakhiri telfon itu.

“Tanggal Adito pergi, adalah tanggal dimana kau harus datang. Jika kau berkehendak Adito menghilang, maka jangan datang. Dan sebaliknya. Jika kau menganggapku telah menyakiti Adito, itu hakmu. Aku ulangi sekali lagi, aku melakukan ini untuk mendapatkan hakku.”

 “Mengembalikan tindakan yang tidak waras untuk kembali waras. Dia yang mengajakku bermain, maka aku yang harus menang bukan. Kau tahu, aku benci dengan kekalahan. Jika dengan diamku, dan ucapan Dirga dia tidak mundur. Maka, aku yang membuatnya mundur. Tentu saja, dia mengotori dirinya sendiri dan jarinya. Kau berpikir aku mengotori jariku? Tidak. Aku hanya menggunakan kekuasaanku,” jelas Devina panjang.

Amel terdiam. Salivanya terasa begitu tercekat saat mendengar Devina telah menggunakan kekuasannya. Yah, Amel tahu bahwa Dirga membuka pintu selebar itu menggunakan kekuasannya. Dan, Devina mendorong mundur hanya dengan satu kali ia memberikan sambar petirnya.

***

-Sebuah hubungan yang lebih dari satu, adalah hasil dari diri kita sendiri. Apakah kita membuka komunikasi lebih yang mana dapat membuatnya nyaman dan terus bertahan. Dan itu bukanlah hal yang benar. Jika hal yang salah dibenarkan, maka kita telah menyakiti dua orang dalam waktu yang sama-

Dirgantara Alfa Pradila

.

.

-Maka dari itu, kualitas diri kita akan menjadi buruk di waktu yang sama dengan anggapan yang sama dari dua orang yang berbeda-

Devina Asmoro

Sebelumnya
Bebas : #CerpenKita Episode 1
Ketukan Pintar : #CerpenKita Episode 2

Comments

Tinggalkan Balasan