Doa syukur mengangkasa saat dirimu menapakkan langkah ke arah yang sama bersama dengan waktu. Dalam rengkuhan angin, dirimu hadir. Dalam balutan rangkai kata, kau datang bersama dengan asa. Melalui proses, hingga hati ini kecewa, kemudian terluka. Dan kau mencampakkan luka hati yang masih menganga. Memperhatikan dengan seksama, dan akhirnya kau iba, kemudian datang dengan alasan cinta. Kenyataan yang begitu binasa, saat tahu, bahwa kau telah lenyap dalam rasa cinta yang tercipta untuknya. Inilah, pesanku, Ini dariku…
-P.N.Z-
Malam yang dingin tak pernah Sastra anggap sebagai waktu untuk melepas lelah. Baginya, setiap saat adalah waktu untuk bekerja. Menuliskan seribu kisah dan menjadi sorotan utama saat dirinya tampil cantik sebagai seorang sutradara.
Ya, sutradara yang menjalankan naskahnya sendiri. Sastra Binara. Nama yang sesuai dengan profesinya. Padahal, ia tidak pernah membayangkan jika akan menjadi seorang wanita karir. Hanya satu yang ia bayangkan selama ini, yaitu bisa bersanding dengan pasangan yang sesuai dengan tipenya.
“Masuk,” seru Sastra santai dengan tetap memijat dagunya pelan.
“Permisi. Anda memanggil saya?” tanya laki-laki itu.
“Iya.” Sastra beranjak dari tempat duduknya sambil membawa kalender yang telah ia tatap beberapa jam lalu. “Silahkan duduk.”
“Terima kasih. Kalau boleh tahu, ada yang bisa saya bantu?” tanya laki-laki itu.
“Tanggal ini, saya menugaskan kamu untuk melakukan sesuatu. Kamu bisa kan, membobol pin hanya dengan mengetahui nomor ponselnya?”
“Bisa. Tapi….”
“Santai saja. Ini bukan untuk kepentingan perusahaan, atau membahayakan negara. Ini untuk kepentingan saya sendiri,” terang Sastra dengan tatapan yang menunjukkan bahwa hal itu berurusan dengan masa depannya. Masa depan yang sudah ditunggu oleh kedua orang tuanya.
“Baik. Saya akan membantu anda. Tapi, untuk tugas saya bagimana? Kalau tidak salah, saya ada pekerjaan keluar kota.”
“Saya akan mengganti jadwal kamu dengan meet and great dengan fans. Kamu bisa mengambilnya karena saya memang sengaja mengambil jadwal itu. Semuanya sudah diatur. Posisi kamu dalam hal ini aman. Saya minta informasi secepatnya.”
Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya. Ia lantas pergi meninggalkan ruangan penuh kehormatan itu setelah Sastra mengizinkannya. Mungkin untuk orang awam, bertemu dengan Sastra Binara dan bertatap langsung atau bahkan berbicara secara langsung, merupakan hal yang benar-benar di luar kenyataan. Bagi siapapun yang mendapatkan tugas dari Sastra, merupakan sebuah kehormatan baginya.
Sastra menatap kalender yang dipegangnya. Sebuah bayangan terlintas di dalam pikirannya. Bayangan itu berjalan seperti alur tulisan yang biasa ia buat. Seperti prediksi pasar yang ia targetkan untuk penjualan produk film yang diluncurkannya.
Namun, hal ini akan memberikan satu hal yang akan membuat Sastra kehilangan dirinya. Dirinya yang telah ia berikan kepada seseorang setelah menjatuhkan hati untuk orang itu. Setelah sekian lama, ia kembali dari perasaan dusta yang terus menyelimuti hatinya. Sampai ia menjalani masa di mana waktu terus memotong dirinya yang berusaha berdiri, dan kembali untuk percaya bahwa cinta itu suci.
Tapi, apalah daya bagi Sastra ketika sudah tak mampu untuk berdiri di tengah kakinya yang telah tersayat oleh pedang waktu. Hingga akhirnya, tibalah laki-laki itu. Sebuah perumpamaan yang terus menggantung dalam pikirannya. Ketika Sastra tak mampu untuk berdiri, ia berusaha untuk mengerakkan kakinya seperti suster ngesot. Sampai tibalah seseorang yang menunggu dirinya di ujung jalan. Berjongkok dan memberikan uluran tangannya.
Sosok itu tahu bahwa Sastra tak mampu untuk berdiri. Maka dari itu, laki-laki itu mambawa Sastra dalam gendongannya. Memberikannya dekapan hangat di tengah hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Hingga Sastra tak mampu mengedipkan matanya dan tak sadar bahwa telah menjatuhkan hatinya kepada laki-laki itu. Sebuah titik imaji yang sederhana, namun begitu menggugah.
***
“Sial, sial, sial, sial!” decak Sastra. Suaranya memenuhi sudut ruangan hingga terdengar begitu menganggu.
“Lo siapa?” tanya Sastra saat melihat seseorang duduk di sofa ruang tamu apartemennya.
“Seharusnya gue yang nanya lo siapa? Berisik aja, sih?” ucapnya seraya menyalakan lampu ruangan yang tengah mati karena kebiasaan Sastra yang selalu pulang larut malam.
“Diandra? Lo bikin kaget aja sih! Gue kira kuntilanak tahu,” dengus Sastra kesal.
“Masa cantik-cantik gini dibilang kuntilanak. Dasar bego. Lagian, lo kenapa sih pulang-pulang teriak kayak orang kesurupan?” Diandra menatap Sastra dengan kening berkerut.
“Lo ngapain ke sini malem-malem? Habis putus sama Fikri, ya?” tanya Sastra sewot.
“Sahabat datang bukannya seneng malah didoain yang nggak-nggak. Jangan-jangan kencan lo gagal lagi ya sama cowok itu? Siapa namanya? Brandy? Ah, bukan. Ian? Namanya susah amat.”
“Brian,” jawab Sastra singkat.
“Iya, itu. Eh, tapi lo beneran gagal kencan sama dia?” tanya Diandra polos.
“Males gue kencan sama orang yang statusnya nggak jelas. Kerjanya apa, asalnya dari mana, gimana keluarganya. Dia tuh tertutup banget sama gue. Dan lo tahu, pegawai gue udah gue suruh buat nyelidikin dia. Tapi hasilnya apa? Bukannya dapat informasi, yang ada malah gue ketahuan lagi nyelidikin dia.”
“Oh, ya? Pinter juga itu cowok.”
“Lo kok malah belain dia, sih? Udah, ah. Ada apa lo ke sini?” tanya Sastra sebal.
“Nih.” Diandra memberikan map merah yang sudah ada di atas meja.
“Kerjaan lagi? Lumayanlah, buat lari dari itu cowok nyebelin.”
Dindra menggelengkan kepalanya pelan. Ia tak tahan melihat tingkah sahabatnya yang sampai sekarang masih belum menemukan cintanya. Sedangkan dirinya, sudah siap dengan undangan pernikahan. Padahal, Sastra lebih tua beberapa bulan. Dalam urusan pekerjaan, Diandra memang kalah dengan Sastra. Tapi, untuk urusan cinta, Diandra dapat menjamin, ia bisa mengalahkan Sastra Binara.
“Sas, kalau begini terus, lo bakal kesulitan buat menemukan cinta sejati lo.”
“Maksudnya?” Sastra menatap Diandra heran.
“Cinta itu nggak bisa selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mungkin dia emang nggak mau membuka dirinya karena tahu siapa lo. Sastra yang nggak mau punya cowok yang memiliki satu titik kekurangan pun dari deretan tipe yang lo harapkan. Lo tahu, tipe yang lo harapkan itu adalah tipe yang sempurna. Dan seharusnya lo sadar kalau di dunia ini nggak ada yang sempurna, Sas.”
“Ini sejak kapan mereka mau ambil kontrak sama kita?” Sastra tak menghiraukan ocehan Diandra.
“Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Sas. Lo nggak seharusnya lari dari dia. Kasih dia kesempatan buat menyiapkan dirinya, membuka hatinya, dan juga membuka siapa dirinya. Lo terlalu gegabah dalam bertindak. Oke lah, kalau lo cekatan dalam ambil tindakan. Tapi, cinta bukan hal yang sama kayak bisnis, Sas. Bisnis akan selalu membutuhkan otak cerdas lo. Tapi, cinta nggak butuh semua itu. Cinta hanya butuh hati yang siap menanti, siap memahami, siap mengerti, dan juga siap untuk menerima apa adanya. Bukan salah Brian kalau dia kayak gini ke lo. Gue yakin, Brian adalah tipe cowok yang ingin diterima apa adanya.”
“Apa maksud lo gue harus menunggu? Sedangkan dia terus ada di dalam lingkup yang sama dan membiarkan gue menunggu? Cinta itu egois, Ndra.”
“Yang egois itu hati lo. Karena hati lo masih belum bisa mengerti. Jangankan mengerti, sekedar tahu dasarnya aja lo nggak bisa. Lo terlalu keras untuk menghadapi cinta yang terlalu lembut. Dan satu lagi, masa lalu pahit yang pernah ada di dalam kehidupan lo waktu itu, masih terpaku rapat di dalam hati lo. Lo masih belum menyadari kalau paku itu masih memiliki bekas atau bahkan masih tertancap rapat di dalam hati lo dan tertutupi oleh paku-paku yang lain sampai lo nggak tahu paku itu tertancap di mana. Gue cuma mau pesan, diri lo yang apa adanya bisa mendatangkan cinta sejati, karena emang dasarnya cinta itu buta. Makanya cinta itu apa adanya, bukan ada apanya.” terang Diandra panjang lebar.
Sastra terdiam. Ia menatap kosong ke arah lembaran kertas yang ada di tangannya. Diandra beranjak dari tempat duduknya, menepuk pundak Sastra dan berharap sahabatnya itu akan menyadari semua kesalahannya dalam memandang cinta.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.