“Lo ngapain ikut ginian?” tanya Safa.
“Nggak papa, ngilangin stress aja kalau gue lagi buntu otak,” jelas Zania saat berada di ruangan kerja Mahasiswa bersama dengan Safa.
“Masuk akal sih, daripada harus jalan ke mall dan malah pusing karena karamaian. Mending mainan ponsel dan sharing lewat grup,” timpal Dewanggi.
“Serah kalian, deh.”
“Lo mau kemana, Fa?” tanya Zania.
“Cari minum. Gerah banget gue. Mau ikut?” tanya Safa.
Zania menggelengkan kepalanya setelah ia melihat tumpukan sketsanya yang belum jadi. Dan ia merasa harus menyelesaikannya. Mengingat, ia tengah berada di bawah tekanan deadline yang menuntutnya untuk menyelesaikannya.
“Gue mau ikut, Fa. Tapi by the way, nitip lebih asik deh, hahahaha,” sahut Dewanggi.
“Yaelah. Nasib banget gue punya temen kayak kalian. Berasa nggak punya temen tahu,” keluhnya dengan wajah guraunya.
Zania terkekeh dengan jawaban Safa. Meski mulutnya mengeluh akan demikian, ia tetap menerima uang dari Dewanggi dan siap membawakannya minuman.
“Nitip sekalian deh, Fa. Boleh kan? Masak Dewa doang yang boleh? Lo nggak sayang sama gue?” tanya Zania dengan mengeluarkan uang dari dompetnya.
“Ya ampun, kalian tuh males banget ya. Mau minum aja harus ada yang mulai. Untung kalian kagak mati konyol karena dehidrasi. Coba aja kalau gue nggak ada niatan beli minum, selamanya kalian bakalan kerja dengan dehidrasi,” omelnya seraya keluar dari ruangan.
Dewanggi terkekeh dengan omelan Safa. Sedangkan Zania, menepuk kedua pundak Safa dan mengantarkan Safa hingga depan pintu ruangan kerja mahasiswa. Setelah kepergian Safa, Zania kembali ke meja lebarnya, dan kembali meraih pensilnya. Meneruskan sketsa bangunan yang menjadi kewajibannya untuk meneruskan prestasinya, sekaligus menjadi penerus keluarga Vabrigas.
“Lo kapan ada kompetisi, Wa?” tanya Zania di kala ia menggerakkan jemarinya yang lihai dalam membentuk garis hingga menjadi sebuah arsiran ringan.
“Minggu depan. Tapi gue belum ada bimbingan sama sekali dengan Proffesor. Lo gimana?” tanya Dewanggi kembali seraya tetap membaca naskah yang harus ia hafalkan dengan bahasa asing yang begitu membingungkan.
“Hmmmm, semangat.”
“Lo juga,” ucap Dewanggi membalas ucapan Zania.
Sunyi. Ruangan yang semula terasa ramai hanya dengan mengobrolkan hal ringan, kembali sunyi saat mereka kembali dengan apa yang seharusnya dikerjakan. Namun, semua itu kembali ramai saat deringan ponsel Zania memecahkan konsentrasi Dewanggi yang meliriknya dengan tatapan ‘ponsel lo berisik. Lebih baik silent atau matiin sekalian’. Dan hal tersebut membuat Zania keluar dari ruangan kerja mahasiswa itu.
Zania menatap layar ponselnya. Bibirnya mengembang membentuk senyuman. Lesung pipitnya tercetak jelas. Memperlihatkan gigi gingsulnya yang manis. Di kala ia melihat chatnya yang ada di grup itu, direspon baik oleh seseorang. Hal tersebut menunjukkan kalau Zania diterima baik di grup yang berisi para abdi negara.
Rasa asik, mulai terasa. Menjulur ke seluruh ruang hatinya, dan menggelitiknya untuk duduk di depan sofa ruangan kerja mahasiswa. Memainkan ponselnya, dan terfokus dengan chat grup yang asik. Meninggalkan sketsanya sebentar sekaligus menghilangkan penatnya.
“Oh my god, otot bisepnya…,” desis Zania di kala ia menemukan foto anggota grup setelah ia scroll-up ke bawah.
Ramainya grup yang bertukar informasi, mengalihkan perhatian Zania. Begitu juga dengan fokusnya saat ia melihat nomor yang sama merespon apa yang ia bahas di sana. Zania tersenyum seperti orang gila yang kehilangan akalnya. Entah mengapa, ia nyaman bermain ponselnya. Bukan seperti Zania yang enggan memegang ponselnya dan enggan pula kehilangan konsentrasinya. Terutama, meninggalkan pekerjaannya.
Akan tetapi, hari itu menjadi hari yang berbeda. Hatinya mengatakan lain dari biasanya. Dan, Zania menuruti kata hatinya di kala kebiasaannya yang selalu menolak hatinya. Beberapa pertanyaan terbesit di dalam benaknya ‘mengapa ia berbeda hari ini?’. Namun, semua terselip dalam rasa bahagianya saat ia mendapatkan respon yang positif. Terutama dengan laki-laki yang memiliki otot bisep yang sudah terbentuk dengan sempurna.
From : xxx533046
To : Zania
“Hai.”
From : Zania
To : xxx533046
“Hai.”
From : xxx533046
To : Zania
“Salam kenal. Hafied. Zania kan?”
“Kita satu grup. Kamu mau masuk TNI, atau Akademi Pelayaran?”
From : Zania
To : xxx533046
“Nggak keduanya. Kamu?”
From : xxx533046
To : Zania
“Aku Mualim. Kalau nggak mau masuk keduanya, ngapain masuk grup itu? Ada manfaatnya kah?”
From : Zania
To : xxx533046
“Ada. Ngilangin stress. Lagian aku udah punya almamater sendiri. Hanya iseng-iseng aja.”
From : xxx533046
To : Zania
“Nggak berfaedah banget, sih.”
From : Zania
To : xxx533046
“Nggak papa.”
Satu detik, dua detik, tiga detik, hingga lima menit. Zania menunggu balasan pesan dari lelaki bisep itu. kedua bola matanya tak lepas dari rangkaian pesan yang sudah tertera di sana. Biru. Centang dua. Namun, tidak ada balasan. Nihil. Zania menghela nafasnya.
“What? Pesan seorang Zania nggak ditanggapi? Songong banget nih cowok,” gumam Zania dengan melotot kesal ke arah ponselnya.
“Lo gila?” tanya Safa yang tiba-tiba sudah berdiri tegak di depannya dan menyaksikan tingkah konyol Zania.
Zania yang menyadari kehadirannya, hanya nyengir kuda. Kemudian, ia berjalan mendekat ke arah Safa, dan melihat apakah Safa sudah mendapatkan minuman yang sesuai dengan pesanan.
“Bakat juga jadi go-food, Buk.”
“Aseeem banget lo, Zan.”
“Hahaha, bercanda ih, Fa. By the way, makasih,” ucap Zania singkat setelah ia mencecap teh dingin yang berada di botol dengan brand kesukaannya. Memberikan kode cheers untuk Safa dan hanya dibalas dengan bibir Safa yang memanyun.
Tak lama dari itu, mereka berdua masuk ke dalam ruangan dan berniat untuk meneruskan pekerjaan mereka sebagaimana mestinya.
_______________________**************________________________
“Jadi itu awal Abang jatuh cinta sama Zania?” tanya Zania saat Hafied menceritakan titik temu dimana ia mendapatkan hasrat untuk mengenal Zania.
“Hmmmm kalau kamu?” tanya Hafied di tengah masih asik menatap kedua bola mata Zania di tengah kesaksiannya telah di dengar oleh pulau lampu.
“Sama. Awal, dimana Abang chatting Zania duluan. Dan, kemudian berlanjut di telfon di malam harinya. Mungkin saat Zania mengingat kapan kita jadian, tanggal berapa, dan bagaimana prosesnya, Zania nggak tahu kapan itu terjadi. Tapi semuanya terasa mengalir begitu saja seperti_”
“Seperti air,” ucapnya menyamai ucapan Zania.
Zania tersenyum. Begitu juga dengan Hafied. Senyuman di kala berusaha untuk saling mengerti sekaligus memahami di titik yang sudah menjadi pemecah antara keduanya. Hafied beranjak dari tempat duduknya. Mencetak lubang di tumpukan pasir pantai. Ujung pulau lampu yang kecil dengan seluruh keindahannya. Baik dalam situasi pagi dan malam.
“Kita mau kemana?” tanya Zania saat Hafied tengah mengulurkan telapak tangannya. Mengajak Zania untuk beranjak dari tempat duduknya, dan menjelajah entah kemana.
“Ke suatu tempat,” jelasnya singkat.
Tanpa mengulang kembali ucapan Hafied, Zania beranjak dari tempat duduknya. Menerima uluran tangan Hafied dan mengaitkan jemarinya di sana. Menggenggam dengan lembut, sebagaimana Hafied yang selalu memperlakukannya dengan lembut. Sangat lembut seolah Zania adalah barang yang rentan.
Jika cermin adalah kaca yang rentan. Zania adalah barang berharga yang lebih rentan dibandingkan cermin ataupun kaca tipis. Salah satu perumpamaan dimana alasan Hafied memberikan perlakuan yang begitu lembut sebagai bentuk bahwa ia menghormati Zania.
Zania tersenyum riang. Dimana ia yang awalnya selalu dihantui rasa takut dan juga keraguan, hingga membuat mereka berada pada titik panas yang seharusnya hangat sebagaimana saat ini. Menyatu dan melebur dalam keyakinan dengan menjelaskan sesuai dengan keadaan. Dari sana, Zania bisa tahu. Arti sebuah kejujuran dan hasil sebuah kejujuran, di saat ia harus jauh dari suasana persahabatan dan pekerjaan yang membutuhkan kejujurannya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.