Ini Aku : #CerpenKita Episode 1

Aku mencintai tanah kelahiranku dengan sebagian cintaku pada negeriku, dan aku mencintai negeriku sebagai cintaku pada bumi, semua yang ada di dalamnya adalah negeriku, dan aku mencintai bumi dengan keseluruhan diriku karena bumi adalah milik manusia dari manifestasi jiwa Tuhan.
-Kahlil Gibran-

Sumber : Wes Grant

Kota itu jauh. Sangat jauh. Jika hendak ke sana, ia harus melewati lautan yang terbentang luas. Mengagungkan namanya, kemudian merentangkan kedua tangan untuk merasakan hembusan angin yang diberitahukan oleh luasnya langit. Yang terbit pelangi, setelah proses hujan. Diamnya pepohonan, dan sunyinya ombak lautan.

Hanya dengungan deru mesin yang ia dengar bila ia pergi ke tempat itu. Melalui kaca jendela yang sempit nan kecil, hanya bagian-bagian alam yang dapat ia lihat. Awan-gemawan yang putih bersih seputih salju, atau hijaunya hutan dari bawah seperti sebuah bunga kol yang segar.

Atau, perpaduan warna biru laut dan langit, yang menyatu dalam rangkaian keindahan alam. Itu semua tak dapat ia nikmati sebagaimana ia saat memijakkan kedua kakinya di tanah itu. Siborong-borong. Tepatnya, Tapanuli Utara. Di sana, ia menjadi salah satu suku yang ada. Batak. Batak Toba.

“Oey!!! Diem-diem bae,” ucap salah seorang yang tiba-tiba datang dengan menggelantungkan lengannya di atas punggung laki-laki itu.

“Ih, ngagetin aja,” ucapnya.

“Justru yang bikin kaget itu kamu, bukan aku,” jelasnya singkat.

“Kok aku? Emang kenapa sama aku? Perasaan, dari tadi tuh aku diem-diem aja. Nggak ada masalah. Kamu tuh, yang datang tiba-tiba tanpa ada apa-apa,” jelasnya menyangga. 

“Yah kaget lah. Gimana nggak kaget? Lihat kamu sendirian di sini dan melamum di pinggiran sungai kayak gini, berasa kalau kamu mau bunuh diri hanyutin diri ke sungai.”

“Hah?! Gila!!! Enggaklah! Dasar! Ngapain juga, hanyutin diri ke sungai. Mandi di bak air rumah aja sama kok rasanya dengan hanyutin diri ke sungai,” jelasnya menyangkal dugaan orang tersebut.

“Ya kan, tetap aja beda. Hanyut, dan berendam di dalam bak mandi di rumah,” ucapnya tak mau kalah.

Yah.. begitulah mereka. Perdebatan menjadi salah satu bumbu keceriaan mereka sebagai seorang sahabat. Mulai dari kecil, mereka hidup di tempat yang sama. Dengan budaya yang sama, aturan masyarakat atau norma adat istiadat yang sama. Hingga, selerapun sama. Dari segi apapun.

Akan tetapi, cinta yang hadir di dalam hati mereka mengikis rasa sakit akibat perdebatan itu, meski perdebatan itu belangsung begitu lama. Namun, rasa sakit itu seketika tak pernah lagi ada karena hadirnya cinta di antara keduanya. Sebagai rasa kasih dan belas, antar manusia. Hanya saja, waktu mendekatkan mereka sebagai salah satu tempat untuk berbagai beban dunia.

“Lo kenapa?” tanyanya.

“Nggak kenapa-kenapa,” jawabnya singkat dengan kedua matanya yang memancarkan keseriusan.

“Serius ini, lo kenapa?” tanyanya lagi.

“Nggak papa. Gue serius, gue nggak papa. Tolonglah, jangan maksa gue untuk berbicara sesuatu saat gue nggak papa dan nggak pengen membicarakan sesuatu,” jelasnya dengan nadanya yang cepat, alir yang menyatu, dan juga raut wajah kesalnya.

“Nah… gini nih… Lo kalau nggak ada masalah apa-apa, lo nggak akan kayak gini. Lo akan menjawab dengan santai,” jelasnya.

Seketika terdiam, dan terhenyak. Taka ada suara apapun, kecuali gemericik air yang mengalir. Warnanya yang bening, seperti sebuah kaca, dapat memantulkan indahnya pemandangan alam bawah sungai itu.

“Gue bingung,” jawabnya singkat.

“Lo bingung kenapa?” tanya sahabatnya.

“Bingung harus gimana saat berhadapan dengan Inong dan Among,” ucapnya terhenti.

“Perasaan, tiap hari lo udah berhadapan dengan Among dan Inong. Kenapa masih bingung dan salah tingkah kayak anak remaja baru jatuh cinta gitu, sih?” tanya sahabatnya.

“Ah tahulah!!!” ucapnya dengan nada sebalnya.

Seketika, kerutan di keningnya terlihat dengan jelas. Alisnya menyatu dengan cepat. Garis yang mengapit kedua hidungnya terlipat tipis. Dagunya yang segaris dengan bibir mungilnya terlihat berusaha mengokohkan dirinya dengan gigitan gigi depannya. Hidungnya yang mancung sempurna dengan proporsional wajah tegas, sekaligus rahangnya yang tegas, memperlihatkan betapa sempurnanya sahabatnya itu.

Yah.. Tulus memang sempurna. Banyak perempuan yang mengidamkannya. Termasuk, perempuan yang selama ini, memandang bahwa dirinya dan Tulus merupakan saudara kembar. Walaupun sudah jelas, marganya dengan Tulus berbeda. Marganya, yang mengharuskan dirinya terpaku pada posisi dimana dirinya berada, dan terkungkung untuk mempertahankan marganya hanya untuk sebuah aturan dari nenek moyang, membuat dirinya tertekan.

Aritonang. Ah… membahas marganya, tak akan membuatnya selesai dalam sekejab untuk bercerita dengan durasi waktu yang singkat. Membuka buku aturan-aturan keluarganya yang baginya begitu rumit, tak akan menyelesaikan ceritanya dan pemikirannya dalam durasi waktu yang begitu singkat.

“Ayolah, cerita. Lo bikin gue penasaran mulu kalau kayak gini,” jelas sahabatnya memaksa.

Ia tetap terdiam. Memandang derasnya air sungai yang tergulung ringan. Membentuk busa putih seperti cream susu yang biasa ia minum di kala ia menginginkan secangkir kopi dan susu yang dicampur bersamaan.

“Apa cita-cita lo?” tanyanya singkat saat udara sungai menyadarkan lamunannya.

Ia menghembuskan nafasnya. Begitu berat  dan bahkan lebih berat daripada saat sahabatnya yang tengah pusing memikirkan sesuatu mengenai orang tuanya. Ia juga terdiam. Menatap segarnya aliran air sungai, gemulung air yang tenang dan busa yang ringan. Hingga lamunannya terbuyarkan di kala sahabatnya menyadarkannya menggunakan siku.

“Susah ya, kalau berbicara tentang cita-cita?” tanyanya.

“Mmmm,” jawabnya. Jawab laki-laki itu dengan hembusan nafasnya yang kembali berat.

“Tulus…,” panggilnya rendah.

“Hmmmm?” gumamnya menyahuti sahabatnya itu.

“Haruskah ada cita-cita?” tanyanya.

“Harus, Ren…,” ucap Tulus ringan.

“Gimana dengan gue?” tanya Rendy.

“Terusin akan aturan-aturan keluarga lo yang rumit itu,” ucap Tulus ringan.

“Tch! Sahabat gue sendiri aja nggak pernah memandang gue punya cita-cita. Untuk apa lo nanya cita-cita ke gue kalau lo sendiri udah nggak memandang gue demikian?” tanya Rendy sinis.

“Kalau lo ngerasa lo punya cita-cita, seharusnya lo menentang pernyataan gue yang menganggap lo nggak punya cita-cita, bukan pasrah dengan keadaan dan marah,” jelas Tulus tak kalah sinis.

“Lalu, gimana dengan diri lo sendiri yang nggak berani nentang aturan dan norma dalam keluarga lo?” jawab Rendy yang berhasil skakmat.

Lagi-lagi, perdebatan di antara mereka tak dapat terhindarkan. Dan perdebatan mereka kali ini, seketika dapat membuat Tulus menatap Rendy dengan tatapan yang tajam. Seolah-olah, ia berada dan terjebak pada jawabannya sendiri. Dan Rendy hanya tersenyum miring setelah memandang wajah Tulus yang terkejut akan jebakannya itu.

“Gue tahu lo punya cita-cita. Dan terkadang, kita emang perlu untuk menentang aturan. Selama itu baik untuk kita. Kita cowok, Lus. Kita yang nantinya akan menghidupi keluarga? Lo tahu sendiri gimana pengolahan sawah kita? Hasil perkebunan dan ladang yang itu-itu aja. Dan harga jualnya juga itu-itu aja. Sekiranya, lo selama ini udah temenan sama gue. Udah mulai dari SD, bahkan TK sekalipun, lo nggak mungkin nggak tahu cita-cita gue apaan,” jelas Tulus.

Tulus masih terdiam. Ia memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Rendy. Dan tanpa disadari, Tulus menghembuskan nafas beratnya, sama seperti saat Rendy menghembuskannya tadi.

“Ren… gimana kalau kita buat perjanjian?” tanya Tulus dengan nadanya yang rendah namun penuh keyakinan.

“Apa?” tanya Rendy santai.

Belum sempat Tulus mengucapkannya, Rendy sudah dapat menangkap bagaimana maksud Tulus. Sampai di sana, Rendy tersenyum dengan decahan ringannya. Untuk pertama kalinya, Rendy berhasil membuat Tulus membuka pikirannya dan berpacu ke arah yang lebih maju lagi.

Mulai sejak kecil, Tulus sangat mencintai kampung halaman mereka. Hingga ia kalap setiap sesi perkenalan diri di kelas baru, ia tak jauh dari deskripsi kampung halamannya. Memang, kampung halaman mereka menyuguhkan pendangan yang sangat menawan. Mulai dari sungai yang memiliki air jernih, ladang, kebun dan sawah yang sangat segar, sekaligus, nyanyian hewan para peternak, siap menghiasi hari-hari warga di sekitar. Semuanya, benar-benar alami.

Namun, sejak kecil, Tulus memang mengidamkan cita-citanya untuk membangun kampung halamannya, menjadi sebuah destinasi yang indah. Dimana semua orang dapat mengidamkannya, dan ingin tinggal di sana. Begitu juga dengan Rendy, yang selalu mengidamkan kekayaan untuk seluruh warga di kampung halamannya. Sehingga, tak ada lagi kesenjangan sosial di sana.

“Setuju?” tanya Tulus menantang.

“Okke! Ayo! Siapa takut!!!” ucap Rendy dengan senyuman semangatnya.

Tanpa berpikir panjang lagi, mereka berdua beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan sungai, dan berjalan menyusuri pesisir sungai. Selama perjalanan, mereka berbincang mengenai rencana ke depan seperti apa. Hingga tanpa mereka sadari, mereka sampai di depan rumah Rendy.

Di sanalah, titik perpisahan mereka. Senyuman dan semangat, kembali terulas dari sudut bibir mereka. Binar kedua bola mata mereka, menunjukkan betapa agungnya keinginan mereka, yang terlarang hanya karena sebuah aturan yang telah mendarah daging menjadi sebuah kepercayaan. Hingga, mereka berdua, harus menanggung semuanya.

***

Sumber : Ian Espinosa

“Darimana, Lus?” tanya Inong.

“Nongkrong tadi dengan Rendy,” jelas Tulus ringan.

“Oh… ngapain tadi Rendy?” tanya Inong dengan menyiapkan makan malam di atas meja makan.

“Ya.. begitulah… mengurus jenis pupuk apa yang mau diberikan ke ladangnya,” ucap Tulus singkat. Tentu saja berbohong. Penjelasannya yang singkat, tak lain adalah untuk menghiondari kemungkinan yang nantinya akan menempatkan dirinya di tengah kesulitan apabila ia ketahuan berbohong.

“Among mana?” tanya Tulus ringan.

“Among masih belum pulang dari kantor. Tumbenan sekali kamu mencari Among, Lus? Ada yang ingin dibicarakan?” tanya Inong skakmat.

Tulus terbungkam rapat. Jantungnya seketika berdetak begitu kencang. Darahnya berdesir hingga ke ubun-ubun. Matanyapun terbelalak dan dirinya memaksa otaknya untuk menggerakkan kedua bola matanya untuk berkedip. Tubuhnya membeku dan mematung. Kaku seperti mayat yang baru saja mati. Semua itu tak lain karena dirinya terasa seperti orang yang tengah tertangkap basah di kala ia telah mencuri sesuatu.

“Among pulang,” terdengar suara seruan yang begitu jelas. Bagaimana tidak, jika ruang makan, tak jauh dari pintu masuk rumah.

“Itu Amongmu datang, Inong tinggal dulu ke depan untuk membawakan tasnya,” jelas Inong kepada Tulus yang masih mematung. Tak banyak perubahan dalam ekspresi dirinya. Sehingga, ia tak mampu untuk menjawab pernyataan dari Inong. Jangankan menjawab. Menganggukkan kepalanya saja, Tulus tak mampu.

“Kau kenapa, Nak?” tanya Among saat melihat Tulus yang berdiri di sudut meja makan dengan tatapan kakunya.

“Tulus…,” panggil Inong untuk menyadarkan Tulus yang masih sama seperti sebelumnya.

“Kau kenapa, Dek mematung macam malin kundang begitu?” tanya Burju. Kakak Tulus.

Tulus masih terdiam meski ia telah mendapatkan lemparan tali pertanyaan dari seluruh anggota keluarganya.

“Inong tidak mengutuk dia, kan?” tanya Burju berbisik dan wajah yang tengah menunggu kepastian. Harap cemasnya, terpancar jelas di wajah Burju.

“Tak mungkin lah, Inong melakukan itu. Kau ini ada-ada saja,” ucap Inong tegas.

“Tulus!!!” panggil Among dengan nadanya yang lebih keras.

“Iya? Iya Among? Kenapa?” tanya Tulus gelagapan.

“Kau kenapa, Nak?” tanya Among lembut.

“Hah? Kenapa? Maksudnya bagaimana?” tanya Tulus balik yang merupakan jawaban tak sambung dengan pertanyaan yang telah dilontarkan.

“Dan, kenapa kalian berdiri di sini?” tanya Tulus mulai sadar.

“Bagaimana tidak jika kami melihat kamu mematung di sudut meja makan begitu? Seperti patung malin kundang itu? Inongpun tak mengutukmu. Kau tak punya riwayat stroke bukan?” tanya Burju memastikan sekaligus menjelaskan.

“Taklah Abang. Aku tak papa. Aku pergi dulu. Mau mandi. Jikalau kalian hendak makan, panggillah aku,” pinta Tulus ringan dengan meninggalkan anggota keluarganya di sana.

Ketiganya saling memandang. Bertanya dan menjawab dengan mengedikkan kedua bahunya. Bagaimana bisa menjawab jika Tulus menjawab tak ada apa-apa meskipun mereka telah menduga banyak hal. Semuanya akan percuma.

“Kenapa dia, Inong?” tanya Burju.

“Eh.. eh.. eh… ini tangannya nakal banget ih..,” ucap Inong menampis telapak tangan Burju saat melihat Burju hendak mengambil makanan lebih dulu tanpa menunggu anggota keluarganya.

“Among dan tulus lama lah… Keburu lapar ini,” ucap Burju dengan wajahnya yang memelas.

“Setidaknya panggillah,” pinta Inong yang tak bosan-bosannya mengajarkan kedua putranya termasuk Burju untuk peduli dengan orang-orang sekitarnya.

“Ampun… Baiklah. Akan kupanggil Tulus di atas,” ucapnya seraya beranjak dari tempat duduk dan berjalan menaiki tangga. Ke arah kamar tidur Tulus.

“Wooy… Adek. Cepatlah keluar dari kamar mandi!!! Aku tunggu kau ini!!! Perutku lapar!!! Cacing-cacing ini sudah mendemo!!! Jangan biarkan aku mati karena tak makan hanya untuk menunggu kau selesai mandi!!!” seru Burju di luar kamar mandi yang terdengar aliran deras airnya.

“Ya!!! Aku akan keluar sebentar lagi! Ini tinggal bilas lah, Bang!! Sabar sebentar!” sahut Tulus tak kalah seruannya dengan Burju. Burju meninggalkan kamar tidur, kemudian ia berjalan ke arah meja makan dengan menuruni tangga.

“Belum. Rupanya masih membilas,” ucap Burju singkat saat langkah kakinya sampai di meja makan. Dan, hendak duduk.

“Yasudah duduk dulu,” ucap Among menyahuti seraya berjalan dari belakang.

“Tulus bagaimana?” tanya Burju dengan menyodorkan piring di depan Inong agar Inong memberikan nasinya.

“Nah, itu Tulus,” ucap Inong di kala menuangkan nasi di atas piring Burju.

“Sini, Nak,” ucap Among yang masih berdiri tak jauh dari meja makan.

Tulus mempercepat langkahnya. Mengimbangi langkah Among untuk berjalan ke arah meja makan. Di sana, Inong dan Kakaknya Burju telah menunggunya di meja makan untuk menikmati hidangan keluarga mereka. Rendang. Kesukaan Among. Awalnya. Namun, berbeda setelah Burju dan Tulus mencobanya secara berkala. Hingga lidah mereka terbiasa dengan kentalnya bumbu rendang.

“Tulus, kenapa nggak di makan itu, Rendang? Kepedesan ya, Inong masaknya?” tanya Inong.

“Tidak. Tidak, Inong. Rasanya sudah enak. Dan, sesuai dengan selera seperti biasanya,” jelas Tulus memberikan keterangan.

“Lalu, kenapa seperti itu makannya? Jangan bohong. Inong tahu kalau kamu tidak suka dan suka itu bagaimana?”

“Bagaimana Inong?” ucap Tulus kembali menantang. Lebih tepatnya, ia menutupi bahwa ia memang kalah telak dengan apa yang dikatakan Inong.

“Dulu, waktu kecil. Inong pernah membawa kamu untuk berlibur ke pulau Jawa. Yogyakarta lebih tepatnya. Di sana, ada pantai yang terkenal dengan mitos, magic, dan beberapa komponen lainnya. Seperti tebing yang menjulang tinggi, atau warna langit dan air pantai yang terasa lengket setelah kering air pantai itu di kakimu.”

“Amongmu meminta untuk mencoba makanan yang ada disekitar pantai. Mencicipi beberapa camilan di sana. Sampai akhirnya, kamu memesan soto. Dan makanan itu hanya kamu cecap-cecap saja. Tidak kamu habiskan. Karena Among menyuruhmu menghabiskan, kamupun tak mau menghabiskan. Sampai akhirnya, semua selesai makan kecuali kamu. Kamu meninggalkan makanan itu di meja. Yang kamu makan hanyalah ayam yang dipotong-potong kecil, dan sampai di mobil, barulah kamu bilang kalau rasa soto itu kuahnya sama seperti sup sayur yang biasa Inong masak saat di rumah,” jelas Inong membuktikan bahwa Tulus saat ini benar-benar tak selera untuk makan.

“Ah… Inong ada saja. Tulus tidak begitu. Tulus mau makan kok, ini makan,” terang Tulus dengan menyuapi mulutnya yang tengah getir. Segetir otaknya dan jantungnya yang masih meronta dan merengek ingin mengutarakan sesuatu.

“Tulus, putra Among. Bukan kau jika mau makan tapi makanan yang kau masukkan ke dalam mulut hanya beberapa biji nasi saja. Mau bukti lagi kalau kau memang tak berhendak makan? Among akan menerangkan kepadamu lebih jelas,” jelas Among memberikan tantangan.

“Sudahlah, Dek. Kenapa kau tak makan saja itu dengan lahap? Ini makanan kesukaanmu. Kenapa kau susah sekali tinggal makan? Inong tidak salah bumbu, kan?” ucap Burju kepada Tulus dan Inongnya.

“Tidaklah! Inong bahkan hapal betul resep apa yang harus Inong masukkan ke dalam masakan ini. Tidak mudah Inong membiarkan keluarga ini kelaparan hanya karena Inong salah memasukkan bumbu,” jelas Inong.

“Tulus… Jika kau tak suka makanan ini, lantas apa yang membuat kau tak selera makan sedangkan yang ada di depanmu adalah makanan kesukaanmu?” tanya Among dengan lembut.

“Ada yang ingin tulus bicarakan, Among.”

“Ah… Adek dari tadi berpikir sesuatu untuk diutarakan, Among. Jadi, makanan yang hemdak ia makan ia gunakan bahan untuk menemukan ide,” jelas Burju girang saat ia menganggap bahwa ia menemukan penyebab Tulus untuk berbicara. Padahal, Tulus sendirilah yang memutuskan untuk bebicara dan bicara tersebut, merupakan penyebab ia tak selera untuk memakan makanan kesukaannya.

“Katakan, Nak. Katakan…,” ucap Inong dan Among bergantian.

“Jom katakan,” ucap Burju menimpalinya.

Suasana hening seketika. Hanya terdengar denting jarum jam yang menunjukkan bahwa waktu terus berjalan. Dan angka yang tertera di sana, memberitahukan bahwa hari mulai petang. Tiap anggota keluarga menunggu kedua bibir simetris Tulus terbuka. Mengeluarkan suara beratnya dan naik turunnya jakun di tenggorokannya. Tulus memejamkan kedua matanya, jemari tangannya menggenggam sendok dan garpu dengan erat. Berharap, bahwa kenyataan baik berpihak kepadanya. Sungguh ia sangat menginginkan itu. Sampai akhirnya, ia membuka kedua bola matanya, dan menggerakkan kedua katup bibirnya untuk memberikan jalan suaranya keluar.

Sumber : Ehud Neuhaus

“Tulus ingin kuliah,” ucapan singkat itu berhasil lolos dari bibirnya dan seketika itu juga, kedua matanya tertutup kembali seolah apa yang ia ucapkan merupakan bom yang akan meledak dalam jangka waktu detik.

Hening. Tak ada suara apapun. Begitu juga dengan ledakan. Ah… Jangankan ledakan, suara dari Among, Inong, atau bahkan Burju Kakaknya tak keluar sama sekali dari mulut mereka. Hal itu membuat Tulus membuka matanya perlahan. Berawal dari ujung matanya, hingga sudut matanya, kemudian disusul salah satu matanya hingga keduanya terbuka jelas.

“Ma.. ma..maaf…,” ucap Tulus dengan menundukkan kepalanya. Seolah ia siap ditembak di kepalanya yang telah berpikir gila.

“Universitas mana yang kamu inginkan?” tanya Among.

“Maksudnya?” tanya Tulus.

“Kau bilang kau hendak kuliah bukan? Among tanya, Universitas mana yang hendak kau tuju?” tanya Among dengan menatap Tulus tegas.

“Universitas? U.. Univeristas?” tanya Tulus tak percaya akan apa yang dikatakan oleh Among.

“Iya. Universitas mana yang kau inginkan?” tanya Among sekali lagi.

“Among tidak marah dengan keputusan, Tulus?” tanya Tulus masih tak yakin.

“Marah untuk apa dulu? Jika kau mau menggunakan Univesitas itu hanya untuk sekedar mencari gelar, kemudian kau lulus tak dapat bermanfaat untuk masyarakat, barulah Among akan marah padamu. Jika kau menggunakan Universitas itu untuk menuntut ilmu, kemudian kau dapat menjadi sosok yang tersohor karena ilmumu, Among akan bangga mengatakan bahwa Tulus, anakku, akan kurestui ia menuntut ilmu, hingga pada titik yang ia mau,” jelas Among tegas.

Tulus terdiam. Bibirnya yang terkatup rapat, semakin rapat. Tatapan matanya berkaca. Ia tak mampu mengatakan apapun itu. Dan, ia hanya bisa terdiam seribu kata setelah mendengar pernyataan dari ayahnya yang selama ini tak pernah ia bayangkan. Sungguh, pernyataan itu merupakan bom yang meledak melebihi ledakan gunung Krakatau. Ah.. tidak hanya itu saja, ledakan itu lebih keras terasa di dalam jantungnya hingga jantungnya berdetak begitu kencang mendengar semuanya. Yah, semuanya seolah-olah seperti mimpi. Mimpi yang selama ini, ia takuti.

Benar. Benar memang adanya, ketakutan itu menghancurkannya. Ketakutan itu, yang membuat dirinya tak mampu dengan sendirinya untuk menghadapi semua kenyataan, bahwa segalanya yang seharusnya ia dapatkan dengan mudah dan menjadi bayangannya bahwa semuanya sulit, adalah salah satu hal dimana bermula dari ketakutan.

Saat itu, Tulus selalu membayangkan bahwa orang tuanya, khususnya Among tidak setuju apabila Tulus memutuskan untuk menempuh pendidikan lanjutan setelah lulus SMA. Tulus memandang bahwa ayahnya akan mengadili dirinya dengan kasar dan brutal. Memang, Tulus dan Ayahnya jarang membicarakan sesuatu terkecuali semuanya itu sangatlah penting.

Namun, bayangan buruk yang ia ciptakan sendiri atas dasar ketakutan yang tak ia sadari menjadi titik dimana ia hancur dengan segala keputusan itu. Namun, satu hal yang membuat dirinya yakin akan sesuatu. Bahwa, ketakutan akan memberikan bayangan buruk hingga membuat diri sendiri manyatakan apabila diri sendiri tak mampu untuk melakukan itu. Namun, pada nyatanya, keberanian yang mengharuskan menerima resiko memberikan gambaran bahwa ketakutan itu sendiri yang menghancurkan keberanian yang ada. j“Tunjukkan saja Universitas mana yang ingin kau gunakan untuk menempuh pendidikan. Sisanya, nanti serahkan data-datanya dan datanglah ke ruang kerja Among. Kita bicarakan sisanya di sana. Untuk saat ini, Jom kita makan dulu. Habiskan makananmu,” pinta Among dengan menepuk bahu Tulus.

Tulus menganggukkan kepalanya. Ia menatap ayahnya dengan tatapan binar. Dan, tak enggan lagi untuk menyantap makanan yang tersedia di atas meja makan. Bahkan, Tulus memakan beberapa porsi makanan dengan lahap. Sangat lahap. Lebih lahap dari sebelumnya, atau bahkan waktu-waktu yang lainnya sebelum hari itu. Ah… tidak. Hari ini. Hari yang begitu membuatnya bahagia.

***

Comments

Tinggalkan Balasan