Biola yang Tak Pasrah Pada Kehendak Musisi : #CerpenKita Episode 3

Banyak orang-orang besar mencapai kejayaannya melalui penyerahan diri secara penuh pada kehendak jiwa tanpa merasa enggan atau memberontak terhadap permintaannya, seakan sebuah biola yang pasrah total pada kehendak diri musisi ahli.
-Kahlil Gibran-

Sumber : Lidia Adriana

Hari itu menjadi hari yang begitu berat untuknya. Kepalanya terasa berat seolah ada buah palakia atau bahkan pohon palakia yang menjalari seluruh kepalanya. Semuanya terasa kabur. Bahkan pandangan matanya seolah buram dan gelap. Yah… gelap… Namun…

“Nak, kamu tak apa?” tanyanya dengan lembut seraya memegang bahu putranya.

Kegelapan itu seketika tersingkir dengan paksa saat ia memejamkan matanya kemudian membuka matanya dengan cepat. Seolah ia memaksa tubuhnya untuk tetap hidup dan tidak masuk di dalam kegelapan itu. Kegelapan, yang tak menghentikan detak jantungnya.

“Tidak. Aku tak apa, Inong,” ucapnya dengan senyuman.

“Yakin, kau tak apa Rendy?” tanyanya dengan tegas tanpa menghilangkan kelembutannya.

“Tak apa Among. Aku hanya kelelahan, “ jelasnya singkatt.

“Kalian berdua tak perlu kawatir. Silahkan lanjutkan makannya,” ucapnya malam itu.

Inong dan Among saling berbagi pandang. Begitu pula Among yang menanyakan keadaan putranya kepada istrinya, dan kemudian di jawab dengan angkatan kedua bahu, membuatnya tak mampu untuk berkutik kembali. Hingga memutuskan untuk menuruti kemauan putranya Rendy. Yaitu, meneruskan makan malam kala itu.

“Rendy!!!” Panggil Inong dengan teriakan histeris.

Sungguh, berani bersumpah, pemandangan itu merupakan pemandangan yang begitu menakutkan. Putranya yang tiba-tiba bersandar di bahunya dengan kedua bola mata terpejam, dan seolah-olah putranya telah meninggal dunia. Perempuan itu seketika histeris dengan hebatnya seraya tangannya menepuk pipi putranya yang lemas.

“Among, apa ini yang terjadi dengan Rendy?!” panggil perempuan itu kepada suaminya untuk mendapatkan informasi yang ia inginkan.

“Bagaimana Among tahu Inong. Rendy bilang tak apa. Tapi nyatanya apa? Ia seperti ini,” jelas laki-laki itu juga ikut kawatir melihat wajah putranya yang semakin pucat saja wajahnya. Layaknya, tak memiliki darah sebab darah dalam tubuhnya telah dihisab oleh vampir.

“Janganlah Among berdiri di sana. Panggil dokter atau mantri sana!!! LIhat putramu ini!!! Tega kau melihatnya begini?!!!” ucap Inong dengan nadanya yang tinggi dan kawatir.

“Baiklah! Jaga Rendy di sini. Aku akan panggilkan dokter,” ucap Among seraya bergegeas pergi meninggalkan Rendy dan Inongnya.

Perempuan itu menangis tersedu. Air matanya berlinang seketika. Membanjiri pelataran pipinya yang tak lagi semulus masa mudanya. Usianya yang menunjukkan bahwa ia patut menjadi orang tua pendidik sebagaimana garis wajahnya yang menceritakan hal tersebut.

“Rendy.. Ren… Bangun Ren… Sayang…” panggilnya merintih kesakitan. Layaknya perempuan yang merintih ingin melahirkan seorang anak.

Perempuan itu panik. Raut wajahnya memerah layaknya kepiting yang baru saja matang setelah direbus. Menunggu datangnya laki-lakinya, perempuan itu tergopoh memanggil suaminya yang mulai nampak di ambang pintu seraya membawa dokter di belakangnya. Rendy yang masih tertidur di bahunya, mulai dibenarkan dengan menyangga kepalanya, kemudian memeluknya di lengannya layaknya seorang bayi.

“Dokter tolong anak saya” ucapnya merintih dengan tangisan yang begitu getir.

“Mari kita bawa ke kamarnya saja, Pak,” ucap dokter itu memberikan saran.

“Baik, Dok,” ucap Among.

Among meraih lengan Rendy. Kemudian membopongnya ke kamarnya sendiri untuk diperika di sana. Tubuh Rendy yang tegap dan lebih tinggi dari Among, membuat Among sedikit kesulitan untuk memapah dirinya ke arah kamar. Melihat hal tersebut, Dokter memiliki inisiatif untuk membatu Among.

Sedangkan, Inong tak dapat berhenti menangis melihat kondisi anaknya yang tiba-tiba demikian. Jika Inong menangis dengan tersedu-sedu. Maka, Among menangis dalam hatinya. Hal itu terlihat begitu jelas dari wajahnya yang muram. Begitu pula dengan tatapan matanya yang terlihat begitu susah saat memandangi Dokter yang mulai memerika kondisi Rendy dengan meletakkan stetoskop di dalam dadanya.

“Rendy bangun, sayang…,” rintih perempuan itu tak ada henti-hentinya.

“Sabar, Sayang. Rendy akan segera bangun. Hapus saja itu air matamu,” ucap Among menenangkan.

“Apakah makanan yang aku masak beracun hingga ia sakit demikian,” ucap perempuan itu dalam rintihannya.

“Taklah. Jika memang beracun, kenapa bisa aku sehat-sahat saja. Itu Rendy sendiri yang sakit. Sabar dulu, biarkan Dokter memeriksa. Setelah itu, barulah kita meminta keterangan dari Dokter apakah Rendy baik-baik saja,” ucap Among lagi-lagi menenangkan.

“Permisi, Pak.. Bu…,” panggil dokter setelah memeriksa Rendy.

Among dan Inong yang berada di ambang pintu, seketika berjalan cepat untuk mendekat ke arah Dokter yang menanyakan bagaimanakah kondisi Rendy. Putra satu-satunya dalam keluarga tersebut.

“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Among antusias.

“Rendy hanya banyak pikiran. Hal itu mengganggu metabolisme tubuhnya. Berat pikiran tersebut menyerang kepalanya, hingga kepalanya terasa berat, Dan hal itu tidak langsung diatasi dengan cepat seperti tidur, atau hiburan lainnya. Karena Rendy terlalu memaksa itulah yang membuat dirinya lemas, hingga tak sadarkan diri. Hanya itu saja. Ini saya sudah menyediakan rangkaian obat-obatan yang bisa ditebus di apotek rumah sakit sebagaimana nama rumah sakit yang tertera di sana,” jelas Dokter dengan menyerahkan selembar kertas.

“Lalu, hal apakah yang harus kita lakukan?” tanya Inong.

“Stress atau yang baisa disebut kebanyakan pikiran merupakan salah satu tekanan tersendiri bagi penderita saat penderita tak mampu lagi mengendalikan dirinya hingga stress itu lebih menguasai tubuh dibandingkan kehendak penderita. Oleh karena itu, hal yang dapat mengantipasinya, adalah keterbukaan atau sharing yang dapat dilakukan dengan penderita. Dengan begitu, kita dapat mengurangi beban pikirannnya, yang menjadi masalah tersendiri untuk penderita,” ujar Dokter panjang lebar menjelaskan sekaligus menjawab pertanyaan dari ibu Rendy.

“Baiklah kalau begitu, Dok. Terimakasih atas pertolongannya,” ucap Among dengan senyuman lega saat mengetahui Rendy tidak memiliki penyakit khusus. Melainkan, hanya stress hingga pingsan.

“Saya tinggal pergi dulu,” ucap Dokter tersebut seraya mengemas alat-alat kedokterannya.

“Mari saya antarkan, Dok,” ucapnya ringan.

Dokter menganggukkan kepalanya. Kemudian, melangkahkan kakinya keluar dari kamar Rendy diikuti dengan Among. Keduanya berjalan ke arah pintu keluar rumah. Kepergian Dokter itu, menjadi awal dimana semuanya diungkap sebagaimana misteri yang selama ini dipendam oleh Rendy.

“Apakah Rendy sudah siuman?” tanya Among.

“Belum,” ucap perempuan itu lemas. “Yasudah kalau begitu. Biarkan dia istirahat saja dulu, besok saja kalau sudah siuman, kita laksanakan apa yang dikatakan oleh Dokter. Kamu yang tenang, yang sabar. Kita tidur sekarang,” ucap laki-laki itu.

“Aku ingin di sini, menemani Rendy.”

“Jangan begitu, kamu juga perlu menjaga kesehatan. Jangan menyalang hingga pagi hari. Itu nggak baik buat kamu,” ucap laki-laki itu dengan lembutnya.

Perempuan itu terdiam. Tidak merespon apa yang dikatakan suaminya. Ia hanya bisa memandangi wajah putranya yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Bagaimana tidak apa yang terjadi telah melukai perempuan itu. Untuk pertama kalinya Rendy bertingkah demikian. Sesakit apapun Rendy, Rendy tidak pernah hingga tak membuka matanya tiba-tiba. Paling-paling, ia masih menyempatkan dirinya untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya, bahwa ia tengah membutuhkan waktu untuk istirahat. Namun, kali ini. Tidak demikian. Justru sebaliknya.

“Sayang.. dengarkan aku,” ucap laki-laki itu kepada istrinya.

“Cepat sembuh ya, Nak,” ucap perempuan itu seraya mengecup kening Rendy.

***

Sumber : Hisu Lee

Kedua matanya terbuka. Retina matanya telah menangkap bayangan atap-atap langit yang masih terlihat samar. Ia memejamkan kedua bola matanya lagi. Lalu, membukanya untuk memastikan bahwa ia dapat menangkap penglihatannya dengan jelas. Dan benar saja, usahanya kali ini telah berhasil. Suara itu terdengar begitu jelas. Sangat jelas bahkan. Hingga membuatnya memalingkan wajahnya ke arah sumber suara itu. Inong.

“Sayang, kamu udah siuman, Nak?” tanya Inong dengan berjalan lebih cepat menghampiri Rendy.

Rendy terdiam. Ia masih berusaha untuk membangun dirinya sendiri dan bersandar di papan tempat tidurnya. Sungguh, kepalanya terasa sangat berat. Inong membantu dengan sigap. Dan Rendypun dapat duduk sebagaimana dengan benar. Tentu saja hal itu dilakukannya dengan susah payah. Bahkan, membuatnya terasa begitu berat.

“Kamu minum susu ini, pulihkan energimu sayang,” ucap Inong dengan tenang.

Rendy menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia meraih cangkir kecil itu. Lagi-lagi hal itu dilakukannya dengan susah payah. Hingga membuat Inong kembali membantunya.

“Inong, boleh Rendy minta tolong?” tanya Rendy kepada Inongnya.

“Katakan sayang, katakan,” ucapnya dengan lembut seraya membelai kulit pipinya.

“Tirai itu, tolong bukakan. Sepagi ini akan terasa gelap, jika tirai kamarku ditutup semacam ini, dan tolong buka jendelanya. Aku ingin menghirup udara segar,” ucap Rendy dengan arah sapuan kedua bola matanya ke tujuan yang diinginkan.

Inong menerimanya dengan senyuman. Kemudian beranjak dari tempat duduk, dan mengabulkan apa yang diinginkan oleh putranya. Di tengah aktifitas itu, terdengar derap langkah yang hendak mendekat ke arah mereka. Rendy memperhatikan suara derap langkah itu. Samakin dekat suara itu, semakin terlihat bayangan langkah kaki itu yang berjalan menuju ke arah ruangan kamar tidurnya.

“Among,” desis Rendy menduga di tengah kondisi yang mana seluruh tubuhnya terasa begitu berat. Menggerakkan bibirnyapun terasa begitu berat. Sungguh, penyakit apa yang di deritanya datang tiba-tiba.

“Kau sudah tak apa kah?” tanya Among.

Rendy hanya berdeham. Mulutnya terasa kaku dan ngilu saat berbicara. Tubuhnya terasa masih lemas tak berdaya. Inong yang telah menyadari kehadiran Among, mendekat ke arah Rendy. Begitu pula dengan Among. Lebih dekat dengan Rendy saat duduk di pinggiran tempat tidurnya.

“Rendy… ada yang ingin Among tanyakan pada kau,” ucap Among membuka percakapan.

“Among, tidakkah nanti saja kita tanyakan hal itu kepada Rendy? Tubuhnya masih lemas,” ucap Inong kepada Among dengan raut wajahnya yang kawatir.

“Lebih baik sekarang dibandingkan aku menundanya, dan kemudian keadaan Rendy semakin memburuk. Rendy tidak akan mengatakan apa yang diinginkannya apabila ia tidak diketuk terlebih dahulu,” jelas Among membalas ucapan Inong.

Rendy yang memperhatikan pembicaraan kedua orang tuanya, mulai terasa pusing sendiri. Hal itu mulai disadari oleh kedua orang tuanya, maka dari itu Inong mengalah akan apa yang ingin dibicarakan oleh suaminya. Mengingat, apa yang dimaksudkan suaminya, juga masuk akal saat berhadapan dengan kondisi Rendy kedepan, apabila Rendy tidak dipaksa untuk terbuka kepada keduanya.

“Katakan tentang ini, Rendy…,” ucap Among dengan menunjukkan buku yang tengah ada di dalam genggamannya.

Rendy terdiam. Matanya terpaku pada buku itu. Tidak. Bukan hanya terpaku. Melainkan, terbelalak pula. Ia tak menyangka bahwa Among akan menemukan buku itu. Buku keramat untuknya. Bahkan, buku itu telah ia kubur di bawah pohon di belakang rumah. Buku yang ia pegang saat ia masih kecil. Kado ulang tahun dari kakek.

“Jawab Rendy,” ucap Among tegas.

Rendy masih terdiam. Masih terpaku. Dan, masih mematung. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah, tak habis pikir apabila Among menemukan buku itu mulai dari pertanyaan apa, bagaimana, hingga kenapa buku itu ada di tangan Among.

“Jangan berpikir terlalu dalam bagaimana Among mendapatkan ini, yang terpenting jelaskan mengenai buku ini Rendy,” jelas Among saat Among tahu bagaimana dan apa yang ada di dalam pikiran Rendy kala itu.

“Sayang… kenapa kamu diam?” tanya Inong memastikan bahwa Rendy tidak apa-apa dengan apa yang dikatakan oleh Amongnya.

“Rendy…,” ucap Rendy mulai membuka matanya.

“Rendy kenapa?” tanya Among.

“Rendy…,” ucap Rendy lagi dengan terbata. Kali ini, kedua telapak tangannya mulai terangkat. Bergetar. Bukan tremor atau apapun. Melainkan, jantung itu, seketika berdetak begitu kencang hingga terasa begitu nyeri dan sakit. Jantungnya bekerja lebih dari biasanya,

“Kenapa, Rendy?!” tanya Among lagi.

“Rendy…,” ucap Rendy lagi berusaha untuk meraih buku itu. Kali ini, matanya terasa begitu panas. Kabur. Samar. Bayangan yang ditangkap oleh retinanya kembali samar.

“Kenapa Rendy?” tanya Among lagi dengan nada yang memaksa. Seolah ia menyuruh Rendy untuk mengatakan apa yang seharusnya dikatakan. Namun, apa yang ingin Rendy katakan, tak pernah ingin dikatakan olehnya.

“Rendy…,” ucapnya lagi. Kali ini, retinanya menangkap bayangan benda itu dengan jelas saat pipinya terasa begitu basah. Tanpa ia sadari, ia menangis tersedu dengan apa yang telah ia lihat.

Jantungnya… jantungnya terasa begitu sakit. Dadanya terasa terhimpit. Tidak. Bukan lagi terhimpit, melainkan tersentuh oleh benda tajam. Seperti batu, dan terasa terpukul dengan batu itu. Hingga Rendy, memegang dadanya dengan salah satu telapak tangannya. Sedangkan, telapak tangan yang lainnya, berusaha meraih buku yang ada di dalam genggaman Amongnya.

“Kenapa kamu tidak bilang ke Among dan Inong Rendy!!!!” bentak Among seketika saat jari Rendy berhasil menyentuh buku itu dengan tangannya yang penuh gemetaran.

“Sayang!” panggil Inong tak kalah tinggi.

“Kenapa, Nak?!!! Kenapa kamu begini sama Among dan Inong? Kenapa kamu menyembunyikan apa yang kamu inginkan dari kami?!!! Kau anggap apa kami ini?!!!” ucap Among dengan meremas buku yang kotor itu.

Sumber : Sandeep Swarnkar

Rendy terdiam. Matanya yang terus menerus berarir, atau bahkan mengalir sekaligus, menatap nanar buku itu teremas dengan begitu kasarnya. Jauh salam hatinya, ia memberontak. Namun, rasa sakit itu menyiksanya. Akan tetapi, hatinya yang tergertak dan tergerak, meraih buku itu dan memeluknya dengan erat. Disanalah, air matanya seketika tumpah ruah, dan bahkan, ia menderu menangis layaknya ia telah kehilangan sesuatu yang begitu berharganya.

“Katakan Rendy!!! Katakan kepada Among!! Katakan, Nak!!! Bicaralah kau!!!” ucap Among dengan nadanya yang meninggi.

Rendy terdiam dengan seribu bahasanya. Ia hanya bisa menangis menderu dan semakin menderu dari sebelumnya. Rendy meraih buku itu dengan sekuat tenaganya, kemudian memeluknya. Sungguh, ia kalap di depan kedua orang tuanya, ia menangis seolah ia telah kehilangan sesuatu saat melihat buku itu diremas oleh Among, sekaligus ia mendapatkan sesuatu saat mengetahui bahwa buku itu habis hancur bersama dengan cacing-cacing tanah yang ada di bawah pohon belakang rumah.

Among memandang Rendy dengan tangisnya. Dan, seketika kedua telapak tangan itu memegang kedua bahu Rendy. Dan lengan yang kekar sekaligus mulai renta itu, memeluk Rendy dengan rapat dan erat, Seolah, ia menyesali apa yang ia lakukan selama ini merupakan salah satu kebodohan yang telah dilakukannya. Kebodohan orang tua yang tidak pernah mau mengerti apa yang diinginkan seorang anak, hingga keinginan itu terkubur dengan tangan tanpa dosa dari anaknya. Dan tak seharusnya tangan itu menguburnya dalam hati kesepian dan penuh dengan kesunyian.

Bahkan, memaksa kepala itu penuh dengan banyak rangkaian beban yang tak seharusnya dipikul sendirian dalam usia yang sedemikian belia. Sungguh, keparat orang tua yang demikian. Hal itulah yang menjadi titik dimana perasaan keparat itu kembali hadir dan menjalari seluruh ruang hati.

“Rendy…, kemari Nak,” ucap Among dengan nadanya yang bersungguh-sungguh atas apa yang ada.

Rendy yang tadinya menundukkan kepalanya, saat ini mengangkat kepalanya. Sungguh wajah itu memerah, mata itu seketika bengkak, dan gila lagi kedua tangannya masih terlihat gemetar. Terlihat dari jemarinya yang bergerak cepat dalam detik yang bahwa lebih cepat getaran itu dibandingkan relevansi waktu yang ada.

“Apa benar, karena buku itu membuat kamu menjadi seperti ini?” tanya Among memastikan.

“Katakan sayang, jangan diam,” ucap Inong menambahi.

“Kamu tak perlu takut, Ren. Katakan saja, Among akan berusaha mengerti. Begitu juga dengan Inong.”

“Rendy….,” ucapnya sepatah ingin memulai membicarakan sesuatu.

“Katakan, Nak.”

“Rendy ingin seperti ini, Among,” ucapnya dengan menyodorkan selembar kertas kecil yang berada di bawah bantalnya.

Among merima kertas kecil yang diulurkan oleh Rendy. Kedua matanya terbelalak. Melihat gambar itu, mengingatkan sesuatu padanya. Sesuatu, yang menjadi hal menohok untuk dirinya. Sesuatu yang memang benar-benar mempengaruhinya. Bahkan, pengaruh itu lebih besar dibandingkan buku yang tadinya ia bawa dari tanah belakang rumah setelah menggali tanah itu.

“Rendy, anakku…,” desis Among seraya menatap Rendy dan foto itu dengan bergantian.

“Maafkan Rendy, Among, Maafkan…,” rintihnya memohon pengampunan atas apa yang telah dilakukannya selama ini.

“Ren… kemarilah,” ucap Among seraya memegang kedua bahu Rendy.

Rendy yang terdiam mematung dengan segala jenis ketakutannya, berusaha untuk memberanikan diri. Hal itu dilakukannya setelah menatap kedua bola mata Inong yang tertuju padanya. Tatapan kedua bola mata Inong meyakinkan Rendy untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Among. Meski pada dasarnya, siap tidak siap ia harus menanggung resiko buruk yang akan menimpanya.

“Kamu tidak salah, Ren. Yang salah Among. Among yang salah. Dengan kamu demikian, Among bisa tahu maksudmu. Ini memang merupakan salah satu cita-cita Kakek dan Among dulu. Tapi, tidak ada yang mengabulkannya atau bahkan berusaha sekuat tenaga untuk itu. Hingga, semua rasa itu berlimpah ruah kepada kamu dan kamulah yang berkehendak atas itu,” jelas Among.

“Ren… Putraku. Among tidak marah jika kamu mengatakan bagaimana mimpimu dan maksudmu memilih impian itu. Among justru akan marah jika kamu, pasrah kepada Tuhan tanpa kamu berusaha sekuat tenagamu untuk meraih itu. Layaknya biola yang pasrah dengan permainan musisi. Among tidak menghendaki hal itu. Maka dari itu, Among sedih melihat kamu mengubur buku ini,” jelas Among melanjutkan.

“Rendy… Katakan sejujur-jujurnya. Among ingin mendengarkan apa yang sebenarnya ada di dalam benak kamu. Among ingin mendengarkannya, Ren,” pinta dan mohon Among untuk mendapatkan sebagaimana harusnya.

Rendy masih terdiam. Rasa takutnya masih terselimuti dengan rapi. Sangat rapi bahkan.

“Kamu ingin kuliah, Ren? Katakan sejujurnya sama Among, Nak?” bujuk Among dengan nadanya yang penuh dengan ketegasan tanpa menghilangkan kelembutannya.

Rendy terdiam. Air matanya tak berhenti mengalir. Inong yang melihat kedua lelakinya demikian, ikut terharu dalam bentuk suasana yang begitu mencengangkan. Inong lebih mendekat, kemudian membelai puncak kepala Rendy, dan menciumnya dengan lembut. Kedua telapak tangan keibuan itu, menyentuh kedua sisi pipinya.

“Ren… kami berdua, ingin mendengarkan kemauanmu, Nak. Tolong…. Bicaralah, agar kami bisa mengerti bagaimana langkah selanjutnya untuk membantu kamu meraih apa yang kamu cita-citakan. Jangan takut, Ren. Among dan Inong tidak akan memarahi kamu hanya karena mendengarkan bagaimana alasanmu dan kenapa kamu menggunakan alasan itu. Ayo, katakan, sayang….” Jelas Inong dengan tatapan lembutnya.

“Rendy mau jadi Arsitek Among. Rendy ingin bermanfaat untuk kampung halaman Rendy ini. Rendy ingin, menggapai sekaligus menuruti cita-cita yang sempat tertunda. Yang merupakan salah satu keinginan Kakek selama ini. Rendy hanya ingin itu, Among.”

“Lalu, kenapa kamu mengubur buku yang menjadi salah satu pacuan bahwa kamu menginginkan cita-cita itu berpihak pada kamu, Ren?” tamya Inong giliran.

“Karena Rendy berpikir, Inong dan Among tidak akan menyetujuinya. Maka dari itu, Rendy memilih untuk mengubur buku itu, dan…”

“Mengubur impian itu pula,” ucap Among memutus ucapan Rendy saat mengetahui maksudnya.

Rendy menatap ke arah Among. Kemudian, menganggukan kepalanya perlahan. Among dan Inong menghembuskan nafas beratnya. Keduanya saling berbagi pandang. Dan benar saja, bahwa kala itu, kesalahan terletak pada mereka. Menjadi orang tua, tidaklah seharusnya hanya memberikan kasih sayang dan cinta semata. Melainkan, perhatian yang memang merupakan salah satu dasar penting untuk mengetahui apa yang menjadi keinginan seorang buah hati.

Karena, dengan keinginan itu jadilah sebuah pengertian dan definisi sinkronisasi antara cinta, kasih sayang, dan perhatian. Ketiga komponen itu dapat dikatakan seimbang, dengan titik letak pengukuran seberapa jauh kedua orang tua mengerti bagaimana keinginan buah hati. Sesungguhnya, seorang buah hati dapat menunjukkan beberapa komponen sikap yang memang secara menonjol, tiap individunya akan berbeda. Ada yang memberontak dan keras, ada yang terpendam nan keras, dan ada pula yang memilih mengakhiri hidupnya sebagai satu-satunya jalan.

Padahal, semua itu merupakan salah satu kesalah pahaman strategi pengertian atau pendekatan kepada buah hati saja. Sehingga, terciptanya lingkungan keluarga yang hanya sewajarnya keluarga dalam tegur sapa. Bukan keluarga, sebagaimana indahnya keluarga layaknya seperti surga. 

“Kamu menginginkan kemana? Katakan saja kepada Among dan Inong, kami akan menyiapkan beberapa dana yang kamu butuhkan,” ucap Among dan Inong.

Seketika Rendy terbelalak. Seluruh tubuhnya seolah mendapatkan tenaga yang baru. Rasa sakit yang ada di jantungnya, dadanya, mulutnya, kedua tangan, lengan, bahkan jari kukunyapun, terasa begitu ringan seolah tanpa adanya beban.

“Among dan Inong mengijinkan Rendy untuk kuliah? Lanjut belajar lagi?” tanya Rendy tak percaya.

Among dan Inong menganggukkan kepalanya. Memantabkan hati Rendy, untuk menghilangkan rasa takutnya.

“Syukurlah…..,” ucap Rendy lega.

Seketika Rendy memeluk kedua orang tuanya. Dan mencium keduanya secara bergantian. Sungguh, sakit itu tak lagi terasa di dalam tubuhnya.

“Kita akan bahas itu nanti. Yang terpenting, kita makan pagi dulu. Kamu baru pulih, jangan sakit lagi hanya karena memikirkan sesuatu sendirian. Ingat itu, oke?” ucap Among.

“Baik, Among.”

“Yasudah, ayo turun ke bawah. Inong sudah menyiapkan makanan yang lezat untuk kamu,” ucap Inong.

Rendy menganggukkan kepalanya dengan tanggap. Merekapun turun ke bawah, ke arah meja makan, untuk menyantap makanan dan melanjutkan pembahasan dalam rangkaian sarapan pagi itu. Sungguh, sorot mata Rendy berbinar seperti kejora, dan bibirnya tak berhenti untuk tersenyum. Betapa bahagianya ia setelah melalui badai pikirannya yang menghancurkan dirinya.

***

Comments

Tinggalkan Balasan