#CerpenKita
Episode 5
“Yakuza!!! Pakai otot dadamu agar kau dapat mengangkat tubuhnya dengan benar.” panggil Makochi dengan teriakan dari jauh lapangan.
“Hei, kau juga! Lafaza! Itu kenapa kau bergelantungan saja seperti itu? Kau di kirim oleh negaramu bukan untuk menjadi kelelawar. Tapi, jadi atlet. Paham tidak?! Lakukan pull-up dengan benar. Agar kau dapat menggunakan dadamu untuk pantulan bola selain kaki. Dan mengurangi pelanggaran lapangan hanya karena bola mengenai kedua tanganmu. Ini berlaku untuk kau juga Yakuza! Paham tidak kalian? ” tanya Makochi memastikan anak didiknya latihan dengan benar. Sesuai dengan prosedur yang telah ia berikan.
Pagi itu, Lafaza dan Yakuza bangun lebih pagi. Bahkan jauh lebih pagi dibandingkan pemain-pemain yang lainnya. Mereka diharuskan menyentuh air dingin pada saat angin yang menunjukkan bahwa musim dingin akan segera tiba.
Makochi menyuruh mereka untuk mandi air dingin. Makochi juga membiarkan mereka kedinginan di kamar mandi. Bahkan, Makochi rela menjaga depan kamar mandi untuk memastikan apakah mereka benar-benar mandi atau hanya sekedar mencuci mukanya.
Hal itu, sengaja dilakukan oleh Makochi semata-mata hanya demi mereka berdua. Agar mereka dapat focus dengan latihan, tanpa ada kantuk sama sekali. Bahkan, Makochi sudah menanggulangi sebelum tiba kalanya nanti mereka akan sakit dikarenakan flu. Terutama, penyakit itu tak tanggung-tanggung apabila datang menyerang.
“Bagus. Ganti baju kalian! Jangan pakai pemanas ruangan. Jika kalian ketahuan, awas saja kalian!” ancam Makochi.
Yakuza dan Lafaza hanya menganggukkan kepalanya tanpa dapat menjawab pertanyaan Makochi. Mengingat, bibirnya tengah sibuk gematar merasakan dingin. Dan gemetaran di bibirnya, tak lagi ia komando. Melainkan, kondisi itulah yang menyuruhnya.
Mereka berdua terbirit berlari ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya. Bersepatu, dan mempercepat kegiatan itu tanpa menggunakan sunblock, atau apapun itu. Karena, Makochi sudah memanggil nama mereka berdua. Tentunya, dengan ancaman-ancamannya yang akan menjadi mimpi buruknya jika itu menjadi kenyataan.
“Ini minum ini,” ucap Makochi dengan menyodorkan secangkir minuman berwarna merah saat Yakuza dan Lafaza sampai di meja makan asrama.
“Ini apa, Sensei?” tanya Yakuza.
“Jahe merah,” ucapnya singkat.
“Aku tak suka, Sensei,” celetuk Lafaza dengan menatap kea rah cangkir itu.
Begitu juga dengan Yakuza yang menatapnya ngeri dan jijik. Jangankan jahe merah, saat sakit batuk, Inong selalu memberikan minuman jahe untuknya agar batuknya redam dan dahak dapat keluar. Rasanya yang pedas, manis karena gula, dan… aromanya yang aneh saja sudah membuatnya ingin muntah. Apalagi jahe yang diberikan oleh Makochi. Warnanya saja merah, Seketika ia merasa bahwa ia hendak meminum darah bagaikan vampire.
“Oh Tuhan, murid-muridku…,” keluh Makochi memejamkan kedua bola matanya. Kemudian, ia menatap Yakuza dan Lafaza sembari menghembuskan nafas beratnya.
“Tempelkan cangkir itu ke mulut kalian.”
Yakuza dan Lafaza sudah mengambil nafas dan hendak berbicara. Namun, Makochi sudah menyadari hal itu. “Dan jangan membantah,” ucapnya ringan. Sehingga, merekapun menuruti kemauan Makochi.
Pada saat cangkir itu ditempelkan di mulut masing-masing. Makochi memberikan perintah agar mereka meneguknya dengan cara tak bernafas. Merekapun melakukannya. Akan tetapi, mereka sempat hendak menyudahinya. Makochi mengambil tindakan untuk memencet hidung Yakuza dan Lafaza secara bersamaan.
Kemudian, Makochi memberikan intruksi agar mereka mendorong cangkir mereka masing-masing. Dan, mencekokinya dengan ancaman-ancaman yang berhasil membuat mereka berdua menurut akan perintah Makochi.
Makochi tersenyum puas. Kini, kekawatirannya akan mereka terserang flu di kala pertandingan, tak lagi menghantuinya. Yang ada, ia dapat melatih mereka berdua tanpa harus takut daya tahan tubuh mereka terganggung hanya karena capek.
“Sensei, sebentar lagi kita latihan apa?” tanya Yakuza.
“Running, zig-zag, delapan, sama out off,” jelas Makochi seraya menikmati minumannya.
“Sekaligus, Sensei?” tanya Lafaza.
Makochi menganggukkan kepalanya karena ia tak dapat menjawab pertanyaan Lafaza dengan mulut yang penuh dengan minuman ionnya. Seketika Lafaza mendenguskan nafasnya lemas. Ia tak dapat membayangkan bagaimana bentuk kakinya nanti. Sedangkan, Yakuza tersenyum bahagia.
Bayangan dimana Lasta memberikan kabar semalam melalui chat, membuat Yakuza tersenyum. Meski bayangan it uterus merusak kebahagiaan yang terselib di hatinya, Yakuza berusaha menepis saat melihat rangkaian Kata dari Lasta. Adiknya yang kini juga tengah berusaha membunuh bayangan buruk itu.
“Yakuza,” panggil Makochi.
“Ya?” tanya Yakuza polos yang baru tersadar dari lamunannya.
“Ayo kembali latihan,” ucap Lafaza dan Makochi yang kini sudah berdiri untuk bersiap latihan.
“Ah.. Iya…,” ucap Yakuza tersipu malu saat menyadari akan kesalahan dirinya.
Makochi dan Lafaza menatap Yakuza dengan heran. Tak biasanya wajahnya bersinar hingga membuatnya termangu akan sesuatu dan melupakan tugasnya. Padahal, baru saja ia bertanya perihal latihan. Seolah-olah, ia menginginkan sesuatu dari latihan tersebut. Seperti sebuah timbal balik.
Tanpa berpikir panjang lagi, Makochipun memulai latihannya. Mereka berdua juga mulai terbiasa dengan dosis latihan yang tengah diberikan oleh Makochi secara perlahan. Bahkan, mereka semakin hidup pada saat bola berada di hadapan mereka. Dan, mengharuskan mereka menggiring pada medan-medan tertentu.
Bahkan, mereka juga mulai terbiasa menggiring bola apabila bola tersebut ada pada posisi umpan untuk meletakkan mereka berdua pada posisi penggunaan dada, leher, kepala, atau kaki bagian dalam. Mereka mulai terlihat lihai dalam permainan itu. Dan mereka, mulai menikmati latihan-latihan yang diberikan oleh Makochi. Tak hanya itu saja, mereka juga perlahan-lahan menurut dengan semua intruksi dari Makochi.
Untuk : Abang Uli.
Abang, Indonesia kembali buka kontingen atlet. Abang kapan kembali? Abang, kau tak lupa kan dengan negaramu? Lasta terpilih untuk menjadi tim nasional, Bang. Tapi ganda, putri. Tak apalah, itu dapat menjadi pengalam untuk Lasta. Bagaimana kabar Abang? Baik tak? Lasta harap, Abanga dapat tonton pertandingan Lasta. Atau kalau tidak, kita dapat berangkat latihan bersama meski beda cabang olahraga. Abang, bagaimana di sana? Enak tak? Ingin sekali aku seperti Abang. Ah… hanyalah khayal, Bang. Sudahlah aku tak mau bertele-tele. Among menyuruhku untuk latihan terus menerus meski tenggat waktu latihan habis. Abang tahu tak? Among menyuruh tukang urut untuk urut kakiku ini, begitu pula tangan. Lasta juga dibelikan makanan enak oleh Among. Lasta jadi tahu, kalau menjadi atlet nasional itu enak. Semua ada. Kemarilah, Bang. Ayo kita kembali makan, rendang. Empek-empek saat di rumah. Tidakkah Abang rindu makanan rumah? Kita di Asrama hanya makan itu-itu saja, tapi kita harus bernutrisi sedangkan makanan itu-itu saja. Kutunggu, kau pulang, Bang.
Untuk : Lasta
Maafkan Abang, karena baru bisa membalas pesan kamu semalam. Terimakasih, karena sudah memberi tahu Abang mengenai info kalau ada event olahraga. Walaupun kecil-kecilan, itu akan bermanfaat untuk Abang, Lasta. Kamu tetap semangat. Jangan memandang kesalahan Abang waktu itu sebagai tolak ukur kegagalan kamu. Abang di sini juga berjuang. Entah kapan pulang, Abang masih belum bisa memastikannya. Jadi, jangan kawatir tentang kepulangan Abang. Titip salam untuk Inong dan Among. Abang di sini baik-baik saja, begitupun kamu harus baik-baik saja. Itu aja dari Abang, Lasta. Kalau ada waktu, nanti Abang kabari lagi.
Yakuza tersenyum saat membaca pesan adiknya semalam. Ia tak dapat menyangka, jika Among memberikan dukungan penuh untuk Lasta adiknya. Ketakutan yang terus menghantuinya perlahan pudar setelah membaca pesan Lasta bahwa ia sangat senang saat dinobatkan menjadi tim nasional. Meski alasannya hanya sederhana. Mengenai makanan.
Akan tetapi, hal tersebut bukanlah suatu masalah yang membumbung bagi Yakuza. Justru, dengan adanya perasaan senang itu, Yakuza meyakini bahwa Lasta akan menekuni kegiatannya dan menjadikan hal tersebut, bukanlah suatu hal yang pantas untuk dibuat main-main.
Sedikit kelegaan di dalam hati Yakuza, mengenai adiknya Lasta. Karena kini, Lasta tak lagi memandang bahwa seluruh kekalahan akan menjadi titik puruk bagi individu itu. Bahkan bagi Yakuza, dengan Lasta berbicara demikian, ia dapat memperkirakan jika, tak lagi memandang kegagalam atlet professional yang biasa menyabet juara menjadi ujung tanduk untuk mengakhiri karirnya.
Melainkan, dengan adanya hal itu dapat menjadikan titik awal untuk kembali bangkit dari sebuah keterpurukan. Sempat Yakuza tak mempercayai pepatah, jika kegagalan adalah kemenangan yang tertundak. Tapi Lasta, telah membuktikan itu. Dan membuatnya percaya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.