Jika kau mengajarkan aku cinta…
Maka tugasku adalah mengerti serta memahami cinta yang kau ajarkan padaku…
Jika kau mengajarkan sebuah perpisahan…
Maka tugasku adalah mengajarkan pertemuan…
Hingga kau dan aku…
Ada dalam ikatan yang telah dijanjikan…
Untukmu, di mana kau menyuruhku menentukan jalan pengertianku dengan memahami dirimu. Bayangan bersinar yang tak dapat kusentuh.
-P.N.Z-
Indahnya malam terasa lengkap saat secangkir kopi panas berada di sampingnya. Menikmati dinginnya hawa hujan di bawah termaram lampu dan tumpukan kertas yang selalu membuatnya terjaga. Mata indahnya terlihat nyalang di depan layar komputer yang berada di atas meja besar itu. Namanya yang terpampang di atas ukiran kaca menunjukkan betapa besar kuasanya. Ratu. Singa Liar. Itulah namanya.
Tidak! Bukan namanya. Melainkan panggilannya. Panggilan itu menyembunyikan nama indahnya. Felly Anggi Wiraatmaja. Perusahaan dengan saham terbesar dengan rating penjualan tertinggi menunjukkan betapa besar ia berhasil dalam menjalankan bisnisnya. Langkahnya yang anggun, telah membawa dirinya berada di atas kemenangan para kaki sepatu hitam dengan jas dan dasinya. Betapa cantiknya ia saat berada di depan mereka. Di depan muka dunia.
“Permisi, Bu. Apakah ada waktu? Ada berkas yang harus saya berikan kepada anda,” ucap salah seorang pegawai yang melihat kerutan di kening Felly.
“Masuklah. Apa yang akan kamu bicarakan?” tanya Felly seraya meletakkan bolpoinnya. Ia lalu beranjak dari kursi kerjanya menuju sofa dimana biasa mendiskusikan beberapa berkas yang harus diurus.
“Ini data yang anda minta mengenai perusahaan itu.”
“Bagus. Berikan dia koneksi lebih luas di pasar Asia. Ah, ya. Jangan lupa untuk tidak menyebutkan namaku. Satu lagi, kapan ada meeting dengan mitra perusahaan?” tanya Felly santai, tak menunjukkan jika isi kepalanya penuh dengan berbagai macam hal.
“Besok, Bu.”
“Besok, ya? Baiklah. Siapkan bahannya. Lemburlah sebelum kamu menikmati malam pertama dengan calon suamimu,” ucap Felly sembari menyerahkan amplop birunya yang indah.
“I-ini… apa, Bu?” tanya pegawainya was-was saat melihat apa yang diserahkan atasannya tersebut.
“Tenanglah! Aku jinak sekarang. Malam-malam begini suasana hatiku tidak seberingas pagi hari. Itu tiket untuk liburanmu. Ah, ya. Jangan lupa kembali dengan kerja keras!” pinta Felly santai. Sekilas tampak seulas senyum di sudut bibirnya.
Malam yang mendung itu menjadi malam yang sangat indah dan cerah meski di luar hujan deras. Dinginnya malam seketika berubah menjadi hangat saat senyuman Felly merekah. Pegawainya seketika terkesiap saat melihat Felly berjalan dengan senyuman indahnya. Ia tidak menyangka jika atasannya itu memiliki senyuman yang begitu indah. Sangat mempesona. Tidak seperti Felly yang biasa menjadi gunjingan para pegawainya yang mengatakan betapa beringasnya ia dalam mengatur perusahaan.
Tidak ada yang berani menatap matanya. Mata yang begitu tajam dengan bola mata hitam pekat. Sudutnya yang runcing membuat mata itu berhasil menakuti semua orang yang menatapnya. Hanya dengan menatapnya saja, mampu membuat kaki gemetaran dan keluar keringat dingin.
“Kembalilah ke ruanganmu. Sampai kapan kamu akan berada di sini tanpa mengedipkan mata? Bukankan kamu seharusnya terpesona dengan calon suamimu,” ucap Felly saat kembali ke kursi kerjanya. Ucapannya berhasil menyadarkan pegawainya dari lamunan.
“Terima kasih banyak, Bu. Senang bisa bekerjasama dengan anda,” ucapnya penuh kegembiraan.
Felly menatapnya. Matanya yang tajam, berbinar dengan begitu indah. Membuat pegawainya itu terpana. Bagaimana bisa Felly sangat indah malam ini? Seperti bunga segar yang mekar dan menyiramkan bau harumnya. Dia seperti bunga. Indah dan tajamnya seperti duri. Kejamnya seperti singa dan lembutnya seperti sutra.
Itulah dia. Felly Anggi Wiraatmaja.
Pegawainya berharap jika malam ini adalah waktu terindah di mana hanya ia yang bisa melihat betapa indahnya Felly.
Saat pegawainya keluar, Felly melepaskan kacamata kerjanya, kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berdiri menghadap ke arah jendela besar yang menghubungkan pandangannya dengan suasana kota yang indah dengan pijaran lampu.
Seperti bintang yang tengah berkumpul di langit malam ini. Hati Felly berdesir saat mengingat bahwa ia menanti hari esok tanpa sabar. Akhirnya, Felly memutuskan untuk tidur sejenak di atas tempat tidur yang sengaja ia gabungkan dengan ruangan kerja perusahaannya. Tempat istirahatnya saat enggan untuk kembali ke rumah.
***
“Permisi, Bu. Ruangan meeting sudah siap. Anda sudah ditunggu oleh para mitra,” ucap pegawainya yang semalam datang.
“Baiklah,” sahut Felly yang langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari ruangannya.
“Apakah anda yakin akan bertemu dengannya?” tanya pegawainya ragu.
Felly menoleh. Rambut panjangnya yang bergelombang, bergerak indah seirama gerakan kepalanya yang elegan. Matanya yang tajam seakan siap membunuh meski menunjukkan binar keindahan.
“Ha-”
“Bisakah aku bicara denganmu?” tanya seseorang memotong ucapan Felly dan berhasil membuatnya menganggukkan kepala.
Pegawainya menoleh, sedangkan Felly menatap lurus ke arah orang itu. Dengan sekali tatap, pegawainya langsung mengerti akan posisinya. Ia pun langsung meninggalkan kedua orang itu. Melihat kedua orang yang saling bersitatap seperti itu sudah membuat dirinya bergidik ngeri. Untuk pertama kalinya, ia bekerjasama dengan orang-orang yang begitu mengerikan meskipun mereka memiliki paras yang sangat tampan dan cantik.
“Masuklah,” ucap Felly sembari membuka pintu ruangannya.
“Tak perlu repot untuk membawakan aku vanilla late,” ucap laki-laki itu menghentikan telunjuk Felly yang hendak menekan tombol untuk memanggil OB.
“Baiklah. Duduk dan nikmati,” ucap Felly dengan nada santai tanpa menghilangkan suara dinginnya. Tapi, orang itu justru berdiri dan menghiraukan perintah Felly.
Tidak ada yang berani membantah perintah Felly kecuali orang itu. Hanya orang itu.
“Apa maumu?” tanya Felly datar.
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan map biru, membuat Felly menaikkan alisnya. Ia merasakan firasat buruk saat menerimanya. Senyum Felly mengembang saat membacanya. Sebuah senyum miris.
“Berhentilah!” ucap laki-laki itu.
“Apa kamu bilang? Berhenti? Lalu bagaimana denganmu?” tanya Felly getir.
“Kembalilah ke tempatmu dan pergilah!”
Suara itu menggema. Dinginnya ruangan itu seolah mewakili suasana hati Felly saat itu. Langit mendung dengan butiran air hujam yang jatuh seakan mengiringi tangisannya. Jemari lentiknya yang seharusnya memegang kedua pipi itu laki-laki itu dengan lembut, seketika harus menamparnya. Tak seharusnya ia menangis, tapi hatinya terasa sakit saat tamparan itu harus melayang di pipi laki-laki itu. Semuanya, tak seharusnya seperti itu.
“Kamu bisa menyakitiku. Lanjutkanlah! Tapi tolong jangan seperti ini,” ucap laki-laki itu.
Untuk kesekian kalinya, tamparan itu kembali mengujam pipi laki-laki itu. Ia seolah menikmatinya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Seharusnya kamu yang berhenti! Bukan aku!” ucap Felly dengan penuh penekanan di tengah isak tangisnya.
“Bagaimana aku bisa berhenti jika kamu sendiri tidak mau berhenti, Felly!”
“Karena aku ingin bermain denganmu! Apa kau tahu alasan kenapa aku melakukan semua ini? Aku ingin kau mempercepat langkahmu untuk menghentikan semua ini, Arka! Sampai kapan kau akan meninggalkan aku demi menuruti kemauan kedua orang tuaku? Sampai kapan kamu menolak untuk berjuang bersamaku? Aku menginginkanmu! Bukan uangmu! Aku ingin bersamamu! Bukan perusahaanmu! Aku tahu aku tak seharusnya melakukan ini. Tapi mengertilah sekali saja,” isak Felly.
“Jika itu yang kamu butuhkan, bisakah kamu memenuhi kebutuhanku sebagai ibu dari anak-anakku?” Arka menatap Felly dengan mata yang semakin berkaca-kaca.
Seketika Felly terbungkam. Tatapannya beradu langsung dengan bola mata Arka. Untuk pertama kalinya, ia dapat melihat kesedihan yang mendalam di sana. Bukan karena material yang mereka miliki, tapi karena posisi yang mereka inginkan.
Arka menginginkan Felly sebagai seorang istri. Bukan sekedar pasangan.
“Bisakah aku memilikimu sebagai seorang istri yang bisa aku lihat pertama kali saat aku terbangun dari tidur? Yang bisa aku lihat pertama saat hendak kembali menutup mataku? Menemani tidurku dengan membelai kepalaku? Bisakah aku merasakan masakan istriku setiap saat? Bisakah aku menerima bekal makan siang dari istriku dan melihat istriku tengah membacakan dongeng untuk anak-anakku? Aku tidak membutuhkan dirimu sebagai seorang pasangan, Felly. Di mana kamu harus selalu tampil cantik saat menggelanyut manja di lenganku. Saat kamu berada di pesta bersamaku atau saat kau berada di depanku. Bagiku, kamu terlihat cantik saat mengenakan baju longgar karena perutmu yang membuncit tanpa polesan make-up atau heels yang tinggi, dan berjalan di atas panggung sebagai musuhku untuk mempertahankan nilai saham dan juga meningkatkan keuntungan perusahaan. Bisakah kau menjadi keinginanku?” tanya Arka lembut dengan bulir air mata yang mulai menetes di pipinya.
Bibir Felly terasa kelu. Sekujur tubuhnya seakan membeku. Semuanya begitu sakit saat tahu bahwa yang selama ini ia anggap benar ternyata salah. Arka mencintainya bukan karena apa yang ia miliki. Tapi, kekurangan yang ia miliki menjadikannya wanita yang sempurna.
Pukulan kecil jatuh di dada Arka. Bagi Felly, itu adalah pukulan yang sangat keras. Tapi, bagi laki-laki itu, pukulan itu adalah pukulan cinta yang diberikan Felly. Isak tangis Felly menunjukkan betapa perempuan itu tersiksa dengan posisinya. Ia telah lama mengenal Arka. Laki-laki itu adalah cinta pertamanya. Arkana Aditya.
Pertemuan yang mengharuskan Felly tampil sempurna sebagai seorang wanita yang patut dibanggakan dengan kemampuan bisnis dan juga kecantikannya. Tapi, semua itu bukanlah keinginan Arka.
Bagaimana bisa Felly tidak mengerti kemauan Arka? Bagaimana bisa ia menjadikan Arka sebagai musuhnya? Bagaimana bisa ia tak sadar jika telah menjadikan Arka sebagai musuhnya? Bagaimana bisa ia menyangka bahwa uang adalah kebutuhan Arka? Bagaimana bisa ia meyangka jika kepergian Arka karena ketidak sempurnaan dirinya? Tapi ternyata, kesempurnaan itu hanya cukup dengan menjadi istrinya. Bukan pasangannya.
Arka meraih kedua tangan Felly yang terus memukuli dadanya. Merengkuhnya dalam pelukannya dan membawanya ke dalam dekapan dadanya yang lebar dan bidang. Membelai kepala Felly dengan lembut dan mencium puncak kepalanya. Memberikan suara detak jantungnya, betapa ia juga merasakan sakit saat melihat orang yang ia cintai menangis seperti itu.
“Maafkan aku, Arka. Maafkan aku. Kumohon maafkan aku.”
Tubuh Felly terus gemetar membuat Arka merapatkan pelukannya. Ia tersenyum di atas kepala Felly.
“Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Arka sembari mengusap air mata di pipi Felly
“Sekarang?” tanya Felly yang masih terisak.
Arka tersenyum bahagia seraya mencium kening perempuan itu. Perempuan yang siap meninggalkan segalanya dan memilih untuk berada di pelukannya. Perempuan yang siap menjadi ibu dari anak-anaknya. Perempuan yang sempurna dengan segala keputusannya. Baginya, perempuan itu adalah harta yang lebih berharga dari apapun.
“Ka…,” panggil Felly lembut sembari memainkan jari lentiknya di sekitar saku jas milik Arka.
“Ya?”
“Aku minta maaf kalau….”
“Jangan bicara seperti itu. Mau merubah keputusan lagi?” goda Arka dengan nada mengancam.
Seketika Felly menggelengkan kepalanya cepat. Bagaimana tidak? Menantikan momen sempurna ini membutuhkan waktu selama tujuh tahun. Ia tidak mau kehilangan laki-lakinya. Arka adalah miliknya.
“Kamu milikku. Jadi jangan coba-coba pergi lagi!” rajuk Felly.
“Tidak akan, selama kau jadi istriku, paham?” sahut Arka dengan kecupan di kening Felly
Felly mengangguk pelan dengan seulas senyum di bibirnya.
Arka kembali merengkuh Felly ke dalam pelukannya.
Felly akhirnya mampu menemukan sebuah kebehagiaan dimana ia menemukan dirinya yang sempurna. Di mata Arka, Felly akan sangat sempurna sebagai seorang ibu. Sedangkan status itu adalah hal yang paling dhindari oleh Felly. Akan tetapi, karena cintanya. Ia berani berkorban. Felly Anggi Wiraatmaja berkorban demi cintanya. Arkana Aditya. Felly berjanji, kisah indah itu akan menjadi sejarah dalam hidupnya, anak-anaknya, hingga keturunannya nanti.
“Keluarga bahagia. Jika itu adalah maumu, maka aku akan mencoba menurutinya, Arka,” batin Felly saat berada di pelukan laki-laki itu. Mendengarkan detak jantungnya yang telah berirama bahagia.
Benar, cinta membutuhkan pengorbanan. Cinta memang jahat dan tega. Terkadang, cinta memang tak mampu membendung rasa sakit. Tapi, cinta akan selalu kembali dan bahkan enggan untuk pergi saat cinta sudah menemukan tempat yang tepat.
Cinta itu ajaib. Tidak bisa diraba, hanya bisa dirasakan. Tapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan. Tidak ada kehidupan tanpa cinta. Semuanya memiliki cinta. Sangat indah, meski terkadang menyakitkan. Entah itu happy ending, atau sad ending. Hanya pemilik cinta yang bisa menentukan. Sedangkan, takdir dan waktu hanya bisa mengiringinya dan menarik kesimpulan dari cerita cinta yang sudah diputuskan.
***
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.