TARUTUNG DALAM SEBUAH NOSTALGIA
Aku masih bisa mengingat jelas, ketika seorang anak remaja pergi begitu jauh meninggalkan rumahnya demi sebuah tujuan yang dia sebut cita-cita, duduk dengan keringat yang mengalir turun dari ubun-ubunnya . Kini dia berdiri menjadi dirinya sendiri sebagai seorang perantau di negeri asing yang selama ini memenuhi pikirannya. Wajahnya yang keras memandang tajam dalam barisan antrian para calon mahasiswa baru di sebuah unversitas negeri di kota Semarang. Menjadi orang asing di negeri yang asing membuatnya tidak begitu terbiasa dengan suasana di sekitarnya. Dia hanya duduk memegang berkas-berkas kelengkapan dan sambil menunggu namanya di panggil.
“ Agustin Lamasi Hasoloan Hutabarat?” seseorang memandangnya dengan tatapan heran sambil sesekali melirik curriculum vitae yang di pegangnya. “Wong ndi mas?” Tanyanya lagi.
“ Maaf mbak, ga ngerti bahasa Jawa.”
“ Oh maaf. Masnya orang mana?”
“ Saya orang Sumatera Utara mbak, tepatnya dari kabupaten Tapanuli Utara kecamatan Tarutung.” Dia menjawab dengan lengkap tentang asal-usulnya.
“ Tarutung?”
***
“TARUTUNG???”
Itulah ekspresi yang sering aku dapatkan ketika pertama kali menginjak pulau Jawa ini. Aku sedikit berbeda dengan orang-orang batak yang ada di sini, mereka lebih memilih menyebut mereka berasal dari Medan untuk menghindari keheranan dari orang-orang walaupun mereka aslinya dari Siborongborong, Balige, Sidempuan dan lain sebagainya. Tetapi aku tidak, aku selalu bangga menyebutkan, “Aku dari Tapanuli tepatnya Tarutung”. Walaupun dapat dipastikan ekspresi si penanya akan berubah. Dan tak jarang mereka mengatakan, “Memangnya di Tarutung ada penduduknya?”, atau, “Emang Tarutung ada dip eta ya?”.
Aku terbiasa dengan itu. Dan aku sangat bangga. Setiap saat aku dapat mengenang kota kelahiranku yang indah itu. Kota kecil sejuk di kaki bukit barisan yang membentang dari ujung utara pulau Sumatera sampai ujung selatan pulau Sumatera. Kota yang konon ada sejak tahun 1877, yang merupakan tempat pavorit para pedangan pada masa itu untuk melakukan transaksi perdagangan yang lebih dikenal masa itu dengan system barter.
Tak kan pernah habis waktu untuk mengenang kota Tarutung. Dan tak kan pernah bosan untuk terbang mengelanan mencoba mencari celah ruang untuk berimajinasi pergi ke sana. Segala yang indah telah ku lalui di sana. Tumbuh besar hingga seperti sekarang ini ku lalui di sana. Walaupun aku selalu membayangkan untuk menghabiskan hari tuaku suatu saat nanti di sebuah pedesaan di Inggris Utara, namun angan-angan itu tidak pernah mampu mengantikan kenangan nostalgia di Tarutung.
Tarutung mungkin tanah yang diberkati, walaupun tidak berlimpah susu dan madu seperti tanah Kanaan. Juga tidak begitu kaya dibanding dengan daerah lain di tanah air. Namun dari sana telah lahir orang-orang besar, baik para jenderal, public figure, cendikiawan, rohaniawan dan lain sebagainya. Semua berasal dari lembah luas di kaki bukit barisan ini. Dan kini saat aku telah berjalan begitu jauh meninggalkan rumah, berjalan begitu jauh tanah leluhurku, aku masih dapat mengenang nostalgia itu. Tarutung dan segala yang dapat aku bayangkan di dalamnya. Dan kupastikan itu akan tetap hidup dalam ingatanku. Bagiku Tarutung adalah awal dari langkahku dan akan berakhir di sana.
Sekian tentang TARUTUNG DALAM SEBUAH NOSTALGIA.
Terima kasih.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.