Suku Biak adalah suku yang ada di Kabupaten Biak Numfor yang berada pada posisi 134° 47’ – 136° 45’ BT dan 0° 55’ – 1° 27’ LS, dengan luas wilayah 21.672 km² (luas daratan 3.130 km² dan luas lautan 18.442 km²). Batas wilayah di sebelah utara dengan Kabupaten Supiori, di selatan dengan Selat Yapen, di barat dengan Kabupaten Manokwari dan di timur dengan Samudra Pasifik.[1]
Penamaan Biak sendiri diawali zaman pemerintahan Belanda yaitu pada abad ke-17, orang Belanda memberi nama kepulauan Biak-Numfor dengan sebutan Schouten Eilanden. Adapula yang menyebutnya dengan Numfor atau Wiak. Fonem w pada kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi b sehingga muncul kata Biak, sedangkan kata Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Keterangan cerita lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan bahwa nama Biak berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan pulau Warmambo (nama asli pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Ketika mereka berangkat meninggalkan pulau sesekali menoleh ke belakang mereka melihat pulau Warmambo masih tampak di atas permukaan laut. Kondisi ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan pulau Warmambo. Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.[2]
Asal usul
Suku Biak yang mendiami pulau Biak dan Numfor di kenal sebagai para penjelajah lautan yang tangguh, sama dengan kemampuan suku Bugis. Menjelajah lautan dari Maluku, Sulawesi, Jawa hingga ke Semenanjung Malaka. Penjelajahan suku ini dilakukan karena motif letak geografis yang kurang menghasilkan secara ekonomi, lahan yang kurang subur sehingga terjadinya kekurangan sumber pangan, selain itu ada juga alasan persaingan atau korfandi, yaitu adanya perselisihan antar suku, serta adanya perselisihan tata adat dalam suku ini. Namun hal yang paling mendorong suku Biak menjelajah adalah karena dorongan kebutuhan bahan pangan yang pada saat itu terjadi kemarau berkepanjangan di Biak, berawal berlayar di sekitar teluk Cendrawasih hingga ke kepulauan Raja Ampat, karena ketanggguhan suku Biak, mereka menguasai aspek perdagangan dan politik di wilayah Papua. Bukti-bukti kekuasaan suku ini bisa dilihat dari penamaan beberapa kota di Papua yang menggunakan bahasa suku ini, antara lain Manokwari dari kata mnuk yang artinya kampung tua, serta kota Sorong yang berasal dari kata soren.
Aktivitas berdagang suku Biak menggunakan sistem kongsi dagang antar sahabat yang disebut manibobi, yaitu dengan cara berlayar dan berdagang keliling. Komoditas yang mereka dagangkan antara lain sagu, kulit kayu massoi, burung cenderawasih, dan para budak. Mereka menjajakan berbagai komoditas ke beberapa gugusan kepulauan Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Teluk Doreri Manokwari, Amberbaken, hingga meluas hingga ke berbagai perairan nusantara hingga ke benua Eropa, hubungan dagang suku Biak terjalin dengan para pelaut di Ternate, Tidore, Halmahera, Flores, Gebe, Sulawesi, Buton, hingga ke negeri Tiongkok dan benua Eropa. Sebagai hasil kongsi dagang tersebut para pelaut suku Biak mendapatkan barang-barang berupa porselin dari Tiongkok, manik-manik, parang, tombak besi, gelang dari besi atau logam, serta berbagai jenis kain dari daerah dan beberapa negara yang disinggahi. Bahkan para pelaut suku Biak di zaman Belanda dikenal dengan sebutan Papoesche Zeerovers yang artinya para bajak laut Papua. Mereka berlayar menggunakan perahu layar tradisional; Wai roon biasanya digunakan untuk perang suku dengan suku-suku lain dan menangkap budak-budak. Wai mansusu dan Wai papan digunakan untuk berdagang . Suku Biak sudah menguasai ilmu navigasi yang baik dengan mengandalkan bintang, biasanya bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio (Romanggwandi).[3]
Tradisi
Masyarakat Biak masih memiliki kebudayaan kuno yang mengacu pada kepercayaan animisme sebelum masuknya injil ke Papua. Aliran kepercayaan tersebut lebih ditonjolkan melalui rangkaian upacara ritual yang lebih dikenal dengan Wor. Wor dalam bahasa Biak berarti lagu dan tari tradisional. Seorang anak yang terkena wabah penyakit dianggap bernasib malang, kegagalan berladang, bahkan kecelakaan dianggap sebuah malapetaka sehingga harus diadakan upacara adat untuk menangkal penyakit ataupun mara bahaya. Wor adalah ekspresi aktivitas semua aspek kehidupan suku Biak. Beberapa upacara adat yang masih sering dilakukan oleh suku Biak disebut sebagai tradisi Wor[4]
Tradisi Yakyaker suku Biak, yaitu tradisi pemberian maskawin antara lain berupa, hewan babi, manik-manik, guci, piring antik, hasil perkebunan, hasil laut, hewan hasil buruan, serta beragam harta benda lainnya yang dimiliki. Piring antik (ben bepon), dan guci masih sering di jumpai dalam ritual adat suku Biak. Pemberian maskawin atau disebut dengan istilah Ararem[5]. Ararem ini dapat terkumpul melewati prosesi adat suku Biak sejak kecil hingga menjelang dewasa. Antara lain mengeluarkan anak dari kamar, menggendong anak, menggunting rambut, membawa anak ke gereja semua ini harus dilakukan dengan pembayaran maskawin dari pihak marga atau ipar-ipar dalam tatanan adat suku Biak. Ararem ini nantinya akan disimpan ditempat khusus yang disebut arem. Setelah menentukan calon anak mantu maka orang tua akan mengundang om dan tante dari pihak ibu untuk melakukan peminangan. Apabila pihak perempuan menerima lamaran pihak laki-laki maka pihak perempuan akan mengajukan besaran maskawin kepada pihak laki-laki. Adapun besarnya jumlah maskawin (mahar) biasanya ditentukan oleh status perempuan bisa dilihat dari latar belakang keluarga, keperawanan, maupun kecantikan dan saat sekarang ini faktor pendidikan juga ikut menentukan besaran jumlah maskawin. Keunikan lain saat mengantar maskawin berupa piring antik dan guci adalah adanya bendera Merah Putih sebagai simbol lambang negara ikut mengantarkan prosesi maskawin, tradisi ini baru berkembang sejak masuknya Papua menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebaliknya pihak perempuan yang sudah menerima pihak keluarga laki-laki juga menyiapkan sesuatu berupa barang-barang rumah tangga sehingga dalam menjalan kehidupan kelak tidak mengalami kesulitan. Selain itu juga menjadi sikap dasar pihak perempuan yang nantinya kedepannya tidak jadi penilaian yang kurang baik dari pihak laki-laki.[6]
Makanan tradisional
Makanan tradisional suku Biak adalah Pokem atau otong lebih populer dengan nama gandum Papua adalah terigu dari tumbuhan (tanaman) Kelas Monocontiledonae, Familia Gramineae, Genus Sorghum, Species Sorghum rumbrawer (L) mirip dengan oats (Avena sativa). Tanaman ini merupakan asli dan dibudidayakan oleh suku bangsa numfor sebagai makanan pokok di Pulau Numfor kabupaten Biak Numfor, Papua. Bentuknya seperti padi namun batangnya lebih kecil. Umur tanaman 90 hari, pokem bisa dipanen setiap tiga bulan. Jadi dalam satu tahun bisa menghasilkan empat kali panen. Bagi masyarakat suku Biak, ada lima jenis tanaman pokem yang terdiri dari pertama pokem resyek atau pokem coklat, kedua pokem verik atau pokem merah, ketiga pokem vepyoper atau pokem putih dan ke empat pokem vepaisem atau pokem hitam dan kelima pokem venanyar atau pokem kuning.[7]
Proses pengolahan pokem dengan cara melepaskan bulir pokem dari tangkai, bulirannya ditumbuk agar lepas dari kulitnya, mirip dengan proses padi menjadi beras, kemudian diayak agar terpisah buliran dan kulit pokem. Pokem kemudian ditumbuk lagi hingga halus, dan siap untuk dimasak. Proses memasaknya sendiri dengan merebus tepung pokem dengan air kemudian ditambahkan santan kental agar gurih, diaduk hingga kental kemudian ditambahkan gula pasir dan susu apabila suka, diaduk hingga warna kekuningan dan siap disajikan.[8]
Kuburan tua Padwa
Marga Swabra adalah marga tua di suku ini berada di kampung Padwa Distrik Yendidori. Di kampung Padwa ini masih bisa ditemukan kuburan tua di dalam cerukan tebing-tebing karang tepi pantai, tengkorak yang berada ditepi tebing, maupun ada dalam peti kayu yang masih tertata rapi. Hal ini berkaitan dengan tata cara penguburan suku ini zaman dahulu, namun semenjak Injil masuk ke Biak tahun 1855 maka penguburan tradisi ini sudah jarang dilakukan[9].
Masih ada pertanyaan?
Masih butuh informasi lainnya?
Silahkan chat sama mimin kita, buat minta dibuatin tulisannya ya kekitaan.com/ButuhTulisan
Seneng bisa berbagi.
Pasti bermanfaat.
Suka menulis?
Silahkan daftar untuk menulis tentang fakta Indonesia lainnya.
Sama seperti di youtube #MasBro #MbakBro akan mendapatkan penghasilan dari views.
Mari #HIDUPdariKARYA
Mau tanya? klik kekitaan.com/mauNULIS
Terimakasih
id.wikipedia.org dibuka pukul 12:27 WIB pada Hari Senin tanggal 16 November 2020
Referensi
- ^ https://papua.go.id/view-detail-kabupaten-276/Profil-Kab.-Biak-Numfor.html
- ^ https://papua.go.id/view-detail-kabupaten-277/sejarah-singkat.html
- ^ https://historia.id/kultur/articles/suku-biak-suku-vikingnya-papua-PMLzX
- ^ “Tradisi Wor”. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2018-11-30.
- ^ https://budaya-indonesia.org/ARAREM
- ^ https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbpapua/tradisi-iyakyaker-suku-biak-numfor/
- ^ https://budaya-indonesia.org/Pokem-Gandum/
- ^ http://papua.litbang.pertanian.go.id/images/Document/pokem.pdf
- ^ “Pekuburan Tua Padwa » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia”. budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-04-08.
Kata kunci lain yang sering dicari …suku biak, suku biak di biak, suku di biak, suku di kabupaten biak, suku di papua, suku di pulau papua, suku indonesia, suku di indonesia
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.