“Lo kenapa?” tanya Dirga yang melihat Hafied bernafas tak sewajarnya.
Hafied hanya menggelengkan kepalanya di tengah menundukkan badannya seraya menatap lurus ke arah medan yang tengah mereka gunakan untuk lari sore itu.
“Fid. Gimana, kalau lo jangan lari pakek emosi. Itu nggak baik, Men!”
Hafied tetap tidak menjawabnya, ia hanya memberikan isyarat dengan menggelengkan kepalanya. Dirga menghembuskan nafas beratnya. Memandang sahabat gilanya, yang kini tengah semakin gila. Semua itu terlihat dari punggung yang selama ini bergoyang santai menikmati waktu, kini punggung itu menggila dengan seluruh beban yang ada di dalamnya. Dirga terus berpikir, bagaimana caranya agar ia dapat membantu sahabatnya itu.
“Fid!!! Tunggu gue!!!” serunya saat ia sadar bahwa langkah Hafied semakin menjauh darinya.
“Aish!!! Tuh anak, dasar!” lanjutnya bergumam dalam decakan kesal ringannya.
Dirga kembali berlari mengikuti langkah kaki Hafied. Ia mempercepat langkahnya agar ia berada di sisi yang sama dengan Hafied. Dirga menghabiskan sisa tenaganya untuk menyamai langkah Hafied yang semakin waktu semakin menggila.
Kerutan di dahinya terlihat begitu jelas di sana. Setiap pori kulitnya, mengeluarkan butiran keringat yang dapat menjadi bukti bahwa ia tengah berusaha menemukan apa maksud dari sahabatnya. Hingga akhirnya, dirinya sudah tak mampu untuk menyamai Hafied dan menarik lengah Hafied untuk berhenti bertingkah seolah-olah ia hendak bunuh diri dengan posisi dirinya yang demikian.
“Apaan sih, Ga?!” tanya Hafied dengan kedua alisnya yang menyatu.
“Eh, bego! Capten bego! Lo sadar kagak sih, kalau lo mau bunuh diri dengan cara seperti ini!!!” ucap Dirga dengan nafasnya yang tersengal-sengal.
“Semuanya bisa dibicarakan baik-baik Hafied Wahyu Pramono, plis!” lanjutnya yang sempat terputus karena nafasnya yang terus tersengal.
“Lepasin gue dulu, Ga. Kasih gue waktu sendiri,” ucap Hafied menimpali ucapan Dirga.
Dirga kembali menghembuskan nafas beratnya. Ia yang semulanya menundukkan tubuhnya seraya memegang lengan Hafied yang sudah penuh dengan keringat sama seperti dirinya. Kini, Dirga melepaskan genggamannya. Ia kembali menegakkan tubuhnya, dan menatap Hafied dengan wajah tegaknya. Serta, menegapkan kembali tubuhnya. Mengatur nafasnya senormal mungkin.
“Terserah lo mau apa Fid. Gue hanya nyaranin aja. Jangan terlalu gegabah dan tertipu dengan sistuasi. Cari tahu semuanya, dan atasi dengan bijak. Sebijak lo mengatasi badai lautan di tengah samudera yang tengah marah dengan lo. Dan, lo harus menjaga ribuan nyawa yang ada di atas kapal lo,” ucap Dirga.
Hafied hanya terdiam menimpali. Bibirnya yang ingin berucap, seketika terkatup rapat. Ia hanya dapat menundukkan kepalanya. Tak lama dari itu, Dirga memundurkan langkahnya. Kemudian, membalikkan tubuhnya dan melangkah menjauh dari Hafied. Sedangkan Hafied, masih terdiam di tempatnya.
Angin terus membelainya. Membisikkan ketenangan. Begitu juga dengan kemerasak dedaunan pohon yang mengitari jalanan. Namun, bisikan ketenangan itu juga tak mampu untuk menenangkan dirinya yang kacau. Tanpa ia sadari, Hafied mengangkat kedua telapak tangannya dan mengacak rambut pendeknya. Ia meremas kepalanya seolah berharap bahwa remasan di kepalanya dapat menurunkan frustasi yang tengah melandanya.
***
“Nih!” ucap Dirga dengan menyodorkan minuman soda kepada Hafied.
Suasana yang tercipta di apartement itu, sangatlah sunyi. Hafied datang dengan ribuan rasa yang ia sembunyikan. Kedua belah bibirnya, dia terkatup rapat. Pikirannya, melayang entah kemana. Dirga menyaksikan itu semua. Guratan wajahnya menunjukkan penyesalan, sakit, hingga rasa yang entah bagaimana, Dirga tak dapat mengerti. Pertama kalinya, Dirga tak dapat mengerti apa yang ada di dalam diri sahabatnya itu.
Hafied masih terdiam. Ia hanyut dalam rasa itu. Ia hadir dalam rangkaian kisah yang entah bagaimana. Semua itu membingungkan dirinya. Begitu juga Dirga. Ia tak mengerti harus memulai semuanya dari mana? Memasuki pikiran dan diri sahabatnya, adalah hal tersulit baginya.
“Ga, pernah nggak lo merasa kalau semuanya sia-sia?” tanya Hafied tiba-tiba setelah ia menyesap sedikit minuman sodanya.
“Pernah. Tapi pada kenyataannya, enggak ada yang sia-sia. Selama lo mau berusaha lebih keras dari sebelumnya,” jelas Dirga santai nan polos. Seperti sebuah wawancara talk-show.
“Tapi pada kenyataannya, gue merasa gila saat gue nggak bisa mendapatkan kepercayaannya,” jelasnya.
“Zania lagi?” tanya Dirga menembak.
Hafied terdiam. Seolah, tembakan Dirga tepat pada sasaran. Dan sasaran telah dilumpuhkan. Kemudian, sasaran digiring dalam kubu penjara, untuk di adili dalam persidangan. Begitulah ibaratnya.
“Gue nggak sengaja lihat ponsel, lo saat gue pulang duluan dan lo masih jogging di luar. Gue meyakini, kalau lo lupa meninggalkan ponsel di sini. Makanya lo ke sini, buat ambil ponsel lo, dan nggak langsung pulang. Gue melihat pesan yang dikirimkan oleh Zania. Dan gue mengerti bagaimana permasalahan kalian sekilas. Lo menyelesaikan dengan cara dewasa, dimana lo berpihak pada diri lo sebagai seorang dewasa yang menasehati anak kecil. Sedangkan, Zania meminta pengertian lo sebagai orang dewasa untuk melepaskan dia dan memberikan dirinya kebebasan bergaul? Bener?” tanya Dirga memastikan.
“Gue bingung, apakah gue terlalu menyiksa dia dengan ego gue atau gue terlalu menyiksa dia dengan rasa cinta gue yang nggak bisa gue bending, hingga dia merasa tersakiti. Gue bingung harus bersikap bagaimana? Karena terkadang, ketakutan yang ada di dalam diri gue, terus menghantui hingga gue menekan dia tanpa gue sadari. Sampai tiba saatnya ia berseruak dengan teriakan bahwa ia bukanlah hewan peliharaan yang harus gue atur dengan aturan ini itu. Gue bingung, harus bersikap seperti apa. Untuk pertama kalinya, gue melihat Zania menangis karena sikap posesif gue. Dan itu terlalu menyakitkan untuk gue terima sebagai suatu kenyataan bahwa gue melimpahkan seluruh keegoisan untuknya. Dan gue tersakiti dengan isak tangisnya, hingga gue nggak tahu harus bersikap bagaimana, gue… gue…,” ucap Hafied tercekat.
“Fied, hanya lo yang tahu bagaimana sikap, sifat, dan kepribadian dari Zania. Hanya lo yang tahu, gimana caranya bersikap terhadap Zania. Toh, gue yakin, kalau pada akhirnya, masalah ini akan selesai. Dan lo akan mengerti dimana letak kekurangan lo, atau kesalahan lo dengan berkomunikasi langsung dengan Zania. Dan, gue yakin, dengan begitu lo akan bisa mencari cara untuk memperbaiki diri,” ucap Dirga dengan memegang bahu Hafied yang berusaha tegar dengan dirinya yang mulai rapuh saat harus berkomukasi dengan jiwa dan raganya.
“Kalau lo menyelesaikan permasalahan dengan merenung dan mencari jalan keluarnya sendiri kayak gini, nggak akan selesai Fied. Hubungan itu, dua insan yang saling menyatu dalam sebuah komitmen. Kalau lo yang membangun, maka harus lo yang memulai. Karena pada dasarnya, awal mulanya permulaan hubungan kalian di lo sendiri. Sekarang gue nanya sama lo, pernah Zania bilang kalau dia mencintai lo lebih dulu? Gue yakin enggak. Perempuan itu bunga, kalau dipandang bagus, gue yakin lo bakalan metik kalau lo ingin. Bunga itu, nggak bisa putus dengan sendirinya dari tangkai tanaman, kalau nggak ada yang metik. Ya.. kecuali, kalau ada jinnya udah beda lagi ceritanya,” lanjut Dirga dengan berusaha untuk mencairkan suasana.
“Tapi gue nggak tahu harus memulai semuanya dari mana, Ga? Gue bingun harus berbicara dengan Zania model kayak gimana lagi. Gue serba salah, Ga.”
“Hafied Wahyu Pramono, dengerin gue baik-baik. Justru yang lebih serba salah itu Zania. Dia bingung harus kayak gimana ke lo, dia nyikapin lo juga bingung. Mau maju duluan, lonya udah nyengol duluan. Mau mundur, lonya ngelarang. Ibaratnya dia tuh lo ambang di tengah-tengah nggak ada kepastian. Gue kenal lo sebagai sahabat gue yang paling bisa menghormati perempuan. Alasan kenapa banyak cewek yang kagum sama lo, tanpa lo sadari. Jodoh, itu cerminan diri lo sendiri. Jangan menyalahkan Zania kalau banyak kaum Adam yang menginginkannya sedangkan kaum Hawa juga menginginkan lo. Jalan satu-satunya, kalian harus saling mengerti. Kadang cemburu itu, menganggu. Tapi, jangan sampai, cemburu menguasaimu kemudian menjadikan hubunganmu hancur hanya karena cemburu memperkeruh. Selesaikan baik-baik, dengan bahasa yang baik, dan jadilah pria yang dewasa dengan segala kedewasaan. Termasuk sikap, dan sifat yang bisa mendidik, Zania sebagai makmum lo nantinya. Paham kagak?” tanya Dirga sesuai menjelaskan.
“Gue balik dulu,” ucap Hafied singkat.
“Nah.. gitu dong, nyadar. Udah sono, pergi dari sini. Gue utus lo ke rumahnya Zania. Apelin dia, dan ajak bicara baik-baik. Paham kagak?” tanya Dirga.
“Iye, iye Capt, berisik dah lo,” ucap Hafied dengan senyumannya yang mulai kembali.
“Nah gitu, dong… nurut sama Bapak, Nak…,” canda Dirga dengan menepuk punggung Hafied secara perlahan.
“Gue balik dulu!” seru Hafied seraya membuka pintu mobilnya dan melambaikan tangannya ke arah Dirga yang tengah berdiri di ambang pintu lobi apartemennya.
“Hati-hati, Fied!!!” seru Dirga seraya melambaikan tangan membalas lambaian tangan Hafied.
Setelah perbincangan itu, Hafied berpikir perlahan. Dimana, ia memulai untuk membuka hatinya. Memaafkan, sebagai bentuk sayangnya. Hatinya yang tersumut emosi, hingga ego menguasai dirinya, menjadikan dirinya termenung dalam diri. Enggan membuka hati, dan hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Tak mau untuk berkomunikasi, dan terus terbakar api emosi dari cemburu yang terus menghampiri. Yah.. jalan satu-satunya, adalah membuka hati.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.