<<Sebelumnya
#CerpenKita #7
KALAP | Episode 2
“Kamu jangan lihatin aku mulu. Ntar mobilnya nabrak, lho,” ucap Sastra.
Brian tersenyum, lalu kembali menatap ke depan. “Habis kamu cantik, sih. Jangan cantik-cantik, dong. Ntar kalau kamu diambil orang, gimana?” rayu Brian gombal.
“Kamu tuh, ya. Emang dasar.” Sastra menghadiahi Brian dengan pukulan pelan di pundaknya.
“Aku kan jujur,” kekeh Brian saat melihat kerucutan bibir mungil Sastra.
“Brian, aku boleh nanya sesuatu nggak sama kamunya?” tanya Sastra tiba-tiba.
“Nanya apa?” ucap Brian.
“Apakah sebelumnya kamu juga merasakan takut untuk mencintai pacar kamu yang lain?” tanya Sastra polos. Tatapannya tertuju lekat pada laki-laki di sampingnya.
“Aku baru punya satu pacar,” jawab Brian tanpa menoleh.
“Cuma satu? Beneran?” tanya Sastra lagi yang masih setengah tak percaya.
Brian mengangguk dengan seulas senyum di bibir. “Dan cewek itu adalah kamu,” tolehnya.
Sastra sontak menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Tidak menyangka jika dirinya adalah perempuan pertama yang dipilih oleh Brian untuk menjadi pasangannya. Sejenak, Sastra berpikir sambil mendekatkan wajahnya ke arah Brian untuk mengamati seluruh guratan wajahnya.
“Kamu kenapa, sih?” Brian menjauhkan wajahnya saat Sastra menatapnya dalam-dalam.
“Wajah kamu nggak jelek-jelek amat. Kok kamu nggak laku, ya?” celetuk Sastra polos.
Seketika Brian tertawa. Memecah keheningan dan ketegangan yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa dengan kepolosan seperti itu, Sastra menjadi seorang CEO di sebuah perusahaan yang memilki lima ribu pegawai.
“Kok aku nggak pernah sadar ya kalau sering satu majalah sama kamu. Saat meet-up bussines, aku juga nggak pernah lihat kamu,” ucap Sastra heran.
“Karena kamu terlalu cuek dengan sekitarmu. Aku selalu lihat kamu, kok. Jadwal kamu hampir mirip denganku. Hanya saja kedatangan kamu lebih dulu daripada aku. Kita juga sering pemotretan bareng, bahkan kita juga sering dapat undangan bareng.”
“Jadi selama ini kamu nguntit aku, gitu?”
Brian hanya mengangguk pelan. “Kenapa emangnya?”
“Terus kamu mulai suka sama aku sejak kapan? Apa udah lama?” tanya Sastra seolah sedang menginterogasi.
“Sejak kapan, ya? Aku nggak tahu sejak kapan. Emang cinta bisa diukur kapan dimulainya dan kapan berakhirnya? Nggak akan bisa Sastra sayang,” tukas Brian yang tatapannya masih fokus ke depan.
“Kamu pinter amat buat bikin gombalan gitu. Aku yang punya perusahaan kepenulisan aja nggak terlalu bisa bikin kata-kata sebagus itu,” ucap Sastra sambil menunjuk-nunjuk pipi Brian dengan jari telunjuknya.
“Kemampuan kamu kan cuma bisa bikin aku terpesona.”
“Emang kamu terpesonanya dari sisi mananya?” Sastra menanggapi gombalan Brian seraya mengedipkan kedua matanya berulang kali. Membuat Brian tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Sastra.
“Ih! Brian sukanya gitu,” gerutu Sastra sambil mengerucutkan bibir mungilnya yang mengundang tawa dari Brian.
“Kamu itu kok gemesin banget sih kalau digodain.”
Sastra memandang Brian kesal. Hal itu bukannya menghentikan tawa Brian, tapi malah membuatnya semakin terbahak.
“Stop ketawanya. Nggak lucu tahu!” gerutu Sastra yang masih cemberut.
“Oke. Aku berhenti. Aku suka sifat kamu yang cuek tapi ramah,” ucap Brian yang akhirnya menjawab pertanyaan Sastra tadi.
“Cuek tapi ramah? Maksudnya gimana?”
“Kamu cuek terhadap laki-laki yang memandangmu terlalu berlebihan. Tapi, kamu ramah kepada seluruh rekan kerja dan juga pegawaimu hingga mereka enggan untuk tidak mengabdi kepada perusahaanmu,” jelas Brian.
“Wow! Kamu ternyata udah terlalu banyak mengamati aku, ya,” timpal Sastra kagum.
“Jadi?” Brian menunggu jawaban yang seharusnya diucapkan oleh Sastra.
“Ayo ketemu sama Mama dan Papaku,” sambung Sastra yang kemudian mengalihkan pandangannya ke depan.
Brian tersenyum bahagia saat bisa mempercepat langkah untuk segera menghalalkan Sastra. Perempuan yang nantinya akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Perempuan yang akan selalu ada di sisinya dan mengisi seluruh ruangan hatinya.
Perempuan pertama yang berhasil menarik seluruh perhatiannya, hingga Brian Vasine Pramana, berani meletakkan hatinya dan memberikannya kepada sosok yang sekarang duduk di sampingnya itu. Sastra Binara.
Cinta datang tanpa diundang dan tak dapat terukur dalam dimensi waktu. Tapi, waktulah yang menentukan semuanya bersama dengan takdir. Waktu jugalah yang menciptakan sebuah dorongan untuk melenyapkan ketakutan tentang takdir yang tidak mengizinkan Brian berpihak pada pemikirannya. Pemikiran yang membuatnya harus membohongi diri sendiri dan Sastra demi menuntut waktu agar berpihak padanya. Agar Sastra berada di sisinya. Namun, ketakutan itulah yang menghancurkan segalanya. Di mana waktu dan takdir bekerja sama untuk mengubah segalanya.
Membohongi diri sendiri sama halnya dengan menyiksa diri sendiri. Apa yang sudah terpikirkan tidak selalu menjadi hal yang benar dan patut untuk diterapkan, karena terkadang hal yang benar-benar dihindari untuk dipikirkan adalah hal yang patut untuk diterapkan.
Satu titik yang perlu diingat. Kita tidak akan pernah bisa memahami waktu dan takdir karena mereka saling berkaitan. Namun, keterkaitan dua hal tersebut merupakan salah satu kelebihan yang membuat waktu dan nasib dapat memahami kita melebihi apapun. Bahkan, diri kita sendiri.
***
-TAMAT-
#Cerpen P.N.Z. | |
#CerpenKita #6 TERPENDAM | Episode 1 ASK ABOUT IT | Episode 2 REASON | Episode 3 | |
#CerpenKita #7 DEFENSE | Episode 1 KALAP | Episode 2 BEAUTY NIGHT | Episode 3 |
Seneng bisa berbagi.
Pasti bermanfaat.
Suka menulis?
Silahkan daftar untuk menulis chord / lirik lagunya.
Sama seperti di youtube #MasBro #MbakBro akan mendapatkan penghasilan dari views.
Mari #HIDUPdariKARYA
Mau tanya? klik kekitaan.com/mauNULIS
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.