QUEEN | LION Episode 2

Langit terlihat cerah dan matahari bersinar cukup terik. Hawa panasnya memantul di balik jendela yang besar. Desiran kota yang penuh kemacetan tak pernah menggubris pandangan matanya.

Indahnya mata itu di bawah bulu yang lentik. Sudut yang runcing dengan kelopak yang tajam. Bola mata yang hitam pekat menunjukkan ketegasan yang tak pernah terbantahkan oleh siapapun. Ingatlah! Oleh siapapun. Tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya.

Felly Anggi Wiraatmaja. Nama yang dapat membuat seluruh mata tertuju padanya. Wajahnya tak hanya terpampang di beberapa cover majalah bisnis. Ia juga masuk dalam deretan wanita cantik yang ada pada era itu. Menjadikannya ratu yang dapat berjalan di atas karpet merah atau panggung catwalk sesuka hatinya.

Bahkan, wajahnya termasuk dalam wajah termahal setiap pengambil fotonya. Terutama saat pengambilan foto close-up di bagian bibir. Bibir mungil dan seksi hingga tidak ada yang tak mendambakan wanita itu. Banyak orang yang memujanya. Baginya, dunia harus menjadi miliknya. Berada di atas genggaman tangannya dengan senyum menggelora.

Ketukan pintu terdengar begitu jelas. Kerutan di atas dahi Felly menunjukkan bahwa ia terganggu dengan hal itu. Mata Felly yang masih tertuju pada berkas yang ada di hadapannya memaksa mulutnya untuk menyuruh sang sekretaris masuk. Ruangan dengan aroma lavender begitu menyeruak keluar saat yang dipanggil masuk.

Langkahnya tedengar begitu ragu. Bagaimana tidak? Berjalan menuju ke arah Felly sama halnya memberikan lehernya pada pedang sang musuh atau menyerahkan dirinya yang tampak kecil bagi singa yang tengah tertidur lelap di depannya. Seperti itulah perumpamaan yang cocok bagi seluruh pegawai di kantor itu. Perusahan terbesar yang bergerak dibidang produksi dan jasa dengan tanggungan pegawai terbanyak dan juga gaji tertinggi.

Betapa berkuasaya Felly hingga melupakan siapa dirinya dan hanya meladeni ambisinya. Melupakan segala hal yang sudah menganggu pikirannya dan tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapapun yang ia anggap sebagai kutu dalam hidupnya. Baginya, kemenangan adalah hal yang mutlak. Felly tidak peduli dengan orang yang ia gunakan sebagai alat. Semua hal yang ia minta harus terpenuhi.

“Apa kamu masuk ke dalam ruanganku hanya untuk berdiri dan diam seperti patung?” Felly membuka suara setelah membuang napas berat.

“Per-”

“Keluarlah, aku benci dengan seorang pengecut. Kamu bisa meninggalkan kantorku dan tidak usah kembali lagi di sini. Aku akan menyediakan dana pensiunmu,” potong Felly datar.

“Sampai kapan lo mau sekejam itu, hah?” sahut seseorang yang tiba-tiba saja masuk  tanpa dipersilahkan.

Felly menatap mata itu tajam. Ia lalu memutuskan untuk meletakkan berkas yang telah menganggu pikirannya sejak tadi semalam. Berkas yang membuatnya memutuskan untuk tinggal di kantor dan tak menyentuh tempat tidurnya sama sekali.

“Keluarlah. Haruskah aku membunuhmu di sini?” tanya Felly dengan santainya.

Dengan langkah terges-gesa, sekretaris itu pergi meninggalkan para singa yang tengah berkumpul dengan bahasa tubuh mereka. Tatapan tajam yang muncul dari mata Felly berbalas dengan tatapan santai milik laki-laki yang mengenakan setelas jas warna hitam.

“Gue nggak sengaja lihat bursa efek milik lo,” ucap laki-laki bernama Billy itu.

Felly hanya menghela napas berat.

“Kantung mata lo ganggu banget,” ucap Billy lagi yang langsung menyesap kopi panas yang sudah ada di depan mejanya setelah pelayan pribadi Felly masuk ke dalam dan keluar setelah sekretarisnya. “Lo tahu siapa yang bergerak di belakang lo?” tanya Billy menyelidik.

Felly terdiam. Ia masih terus berpikir dengan apa yang sudah terjadi padanya. Bagaimana mungkin nilai sahamnya menurun setelah ia meningkatkan seluruh kualitas dalam semua aspek perusahan? Bahkan bursa efek miliknya terlihat sangat buruk setelah turunnya rating perusahaan gara-gara nilai saham itu.

“Kita berlima akan hancur, Fel. Terutama milik Riska. Sahamnya turun drastis hingga dia harus menjualnya sebanyak tiga kali tanpa bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Gue juga nggak tahu kenapa ini semua berdampak ke gue, Bram dan Riska. Gue datang ke sini berharap lo bisa menemukan jawabannya. Gue dan Bram terus berusaha mengambil kembali poin tinggi kami. Tapi kami hanya bisa menaikkannya sebesar nol koma lima persen saja.”

“Bagaimana keadaan Riska sekarang, Bil?” tanya Felly seraya menyesap coklat panasnya.

“Dia harus di rawat di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan. Dia kena stres berat, Fel. Gue berharap lo bisa selesaikan ini dengan baik, Fel. Kembalilah ke asal lo,” ucap Billy setengah memohon. 

Seketika Felly mengerutkan dahinya. Matanya menatap ke arah Billy tajam. Seakan menunjukkan bahwa dugannya benar. Untuk ke sekian kalinya, Felly menghembuskan napas berat.

“Gue balik dulu. Kami tunggu lo di rumah sakit dengan hasil yang sesuai dengan harapan kita. Gue tahu kalau ini akan sulit. Tapi, akan lebih sulit jika kita jatuh bersama, Fel. Jadi gue mohon, lo berkenan buat kerja sama dengan kami,” pungkas Billy seraya menepuk pundak Felly. Seolah menyalurkan sedikit elektron kekuatan untuk wanita itu. Billy lalu melangkah keluar dari ruangan Felly.

Denyutan di kepala Felly mulai terasa. Jari lentiknya memijat pelipis yang terasa berat. Seberat hatinya. Berulang kali Felly menghembuskan napas berat. Sampai akhirnya, ia menekan tombol di samping lengannya.

“Batalkan janji dengan orang itu. Berikan aku berkas yang kemarin dan siapkan rapat apabila dibutuhkan. Satu lagi, berikan aku sekretaris laki-laki. Dia terlalu lembek,” perintah Felly.  “Aku beri waktu lima menit!” 

Sejenak, Felly memijat kepalanya yang terasa pening dengan matanya terpejam. Namun, banyak lintasan kejadian yang seketika membuatnya kembali membuka mata. Kejadian buruk itu telah berhasil membuatnya takut. Felly Anggi Wiraatmaja yang memiliki keberanian untuk mengalahkan rekan kerjanya dalam permainan nilai dan angka presentase saham yang dipegangnya hanya takut pada satu kejadian.

Ia kembali menekan tombol di samping lengannya.

“Berikan aku laporan tentang perkembangan saham mulai dari awal dan kemas semuanya dalam satu berkas. Tetap bawa berkas panjangnya. Pergi ke ruanganku dalam waktu lima menit!” perintah Felly kepada pegawainya.

Matanya terus menerawang. Hipotesa dan juga peluang terus berputar dan menari-nari di dalam kepalanya. Permasalahan yang tidak biasa yang membuat saham perusahaan para sahabatnya ikut anjlok sama seperti dengan saham perusahannya.

Takdir? Tidak! Takdir tidak akan berpihak pada keburukan saat pemilik takdir bergerak pada kebaikan.

Ketukan pintu berhasil membuyarkan lamunan Felly. Ia sedikit terkejut saat pikirannya tengah fokus dengan permasalahan yang berhasil menyita dan menarik perhatiannya. Pegawainya memberikan setumpuk berkas yang telah diminta Felly. Mereka pergi setelah Felly memutuskan untuk mempelajari semuanya sendirian.

Tak lama kemudian, telepon berdering. Dengan tanggap, Felly menekan tombol penghubung pada telepon kantornya.

“Anda dapat menemuinya pukul tujuh malam,” terang pegawai Felly.

“Bagus. Siapkan tempat yang sesuai dan pesankan makanan yang pas,” pinta Felly.

“Maaf, Bu. Beliau meminta anda untuk datang ke kantornya.”

Felly mengerutkan kening. Sejak kapan dewan saham tidak mau menemui Felly dengan jamuan yang biasa Felly hidangkan?

“Bu Felly?” 

“Ah, ya. Baiklah. Aku akan menemuinya ke sana. Kamu datang bersamaku. Aku akan menyuruh wakilku untuk mengurusnya selama beberapa jam.”

“Maaf, Bu. Beliau meminta agar anda datang sendirian.”

“Apa? Sendirian?” 

“Iya, Bu.”

“Baiklah kalau begitu.” 

Felly berdecak kesal. Ia menata tumpukan berkas yang ada di atas mejanya dengan kerutan yang dalam di keningnya. Belum pernah ia mendapatkan masalah sebesar ini.

“Bagaimana mungkin ini semua terjadi? Tidak! Pasti ada yang salah. Tidak mungkin dewan pemegang saham bermain seperti anak kecil. Apa mereka pikir… Oh tuhan!” gumam Felly seraya membuka satu persatu berkas yang diantar oleh pegawainya.

Felly membaca satu-persatu berkas yang ada di depannya. Meneliti setiap angka dan mencari celah, kemungkinan, peluang dan kesempatan. Felly bahkan juga meminta seluruh data presentasi tim pemasaran untuk mengirimkan statisika penjualan luar negeri yang bisa meningkatkan devisa dan keuntungan yang dapat membeli beberapa persen saham.

Sambil menunggu terkirimnya berkas, Felly melihat satu persatu map yang ada di dalam tumpukan sebagai data panjang. Seketika keningnya berkerut. Bagaimana tidak? Angka dengan kesimpulan yang tertulis di sana tidak masuk akal. Bagaimana bisa saham bisa tetap stabil dengan penurunan keuntungan yang mencapai dua puluh persen dari delapan puluh persen keuntungan? Tidak masuk akal.

Felly terus mencari jawabannya. Akhirnya, ia menemukannya saat melihat presentase angka penjualan luar negeri. Bagaimana bisa keuntungan melebihi target nilai jika sudah dipatokkan harga penjualan dan nilai keuntungan saat semua produk terjual keras di pasar? Tidak. Bagaimana bisa semuanya menjadi seperti ini? Siapa yang mengendalikan Felly dari belakang? 

Papanya saja bahkan tidak berani menyentuh Felly jika berurusan dengan perusahaan. Papa Felly sampai mengaku kalah setelah tahu bahwa perusahaan yang Felly bangun lebih besar ketimbang miliknya. Banyak yang mengatakan jika Felly sangat berbakat dalam menggerakkan roda ekonomi dunia. Tapi bagaimana bisa Felly tidak menyadari jika ada yang mengendalikannya?

Perhatiannya teralihkan saat telepon di ruangannya berdering. Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Saatnya menyelesaikan semuanya. Ya, semuanya hingga ke akarnya dan menjamin untuk kali ini saja ia harus berpikir keras dalam menyelesaikan masalah yang biasanya dapat diselesaikannya hanya dengan menjentikkan jari.

***

By : STIL

“Silahkan masuk. Anda sudah ditunggu di dalam,” terang seseorang yang tengah mengantar Felly ke ruangan dewan saham.

“Permisi.” Felly mengetuk pintu saat melihat seseorang sedang duduk di ruangan itu. “Kamu?” pekik Felly saat melihat wajah laki-laki itu.

“Duduklah.”

“Apa semua ini motifmu? Maaf, aku tidak butuh berdiskusi denganmu!” ucap Felly ketus yang kemudian langsung memutar badannya dan melangkah keluar dari ruangan itu.

“Sampai kapan kamu akan lari, Felly?” tanya laki-laki itu dingin.

Seketika Felly menghentikan langkahnya. Tenggorokannya terasa tercekat. Matanya terbelelak. Jantungnya seketika terasa sakit seperti diremas. Hatinya terasa terbelah seperti terkena bilahan pedang. Rahangnya mengatup, berusaha mengendalikan dirinya. Kakinya yang gemetar dan tangannya yang seketika tegang seakan menjadi bukti bahwa Felly masih merasakan sakit akibat kejadian itu. Waktu yang selama ini ia gunakan untuk melupakan semuanya ternyata sia-sia dan tak ada gunanya.

“Tidak bisakah kamu kembali? Apakah waktu sepanjang itu tidak cukup untuk bermain-main?”

“Apa katamu? Main-main? Seharusnya aku yang berkata seperti itu! Tidakkah kamu puas dengan permainanmu. Sampai kapan kamu akan mempermainkan aku! Sampai kapan kamu mau seperti ini, Arka! Kembali katamu? Untuk apa kembali lagi jika kau sudah meninggalkan aku. Untuk apa aku harus merajut kembali kisahku denganmu jika satu kisah saja sudah kau hancurkan dalam seketika! Bisnis? Apakah kamu pikir aku wanita murahan yang hanya bisa melihat hartamu dan menuntutmu untuk menjadi darah sepertiku? Tidak! Kamu salah, Ka!” tolak Felly dengan penuh penekanan di setiap katanya.

Nada suara Felly yang penuh emosi menunjukkan betapa sakitnya dirinya dan betapa tak kuasanya ia menahan semuanya. Sesak menjulur masuk ke dalam relung hatinya hingga Felly merasa hatinya akan meledak. Semenjak kejadian itu, Felly terus berusaha memadamkan api di hatinya dengan mengejar pekerjaan yang tak seharusnya ia lakukan. Akan tetapi, semua itu telah hancur dalam sekejab.

“Aku hanya melakukan yang terbaik untukmu,” balas Arka lirih.

“Terbaik katamu? Dengan meninggalkan aku ke Amerika untuk merebut perusahaan itu dan kamu kembali dengan mengendalikan diriku? Apa kamu gila? Apakah Amerika sudah mengajarkanmu seperti itu? Arkana Aditya! Dengarkan aku baik-baik, bawa kembali semua yang telah kau berikan kepadaku dan jangan pernah muncul kembali di depanku! Apalagi bertemu dengan cara yang sama seperti anak kecil dan kamu tahu, aku tidak membutuhkan ini!” Felly melempar map yang berisi keterangan bahwa Arka memberikan bantuan penaikkan saham saat penjualan Felly tengah menurun drastis dengan memberikan pinjaman tanpa Felly bayar. Hal itulah yang selama ini tidak diketahui Felly.

“Bagaimana bisa aku tetap bertahan jika aku melihat kamu menghianatiku dengan sahabatku sendiri? Bagaimana bisa aku tetap di sisimu saat kamu sudah tak mau memberikan bahumu untukku? Bagaimana aku tetap ada untukmu saat aku harus melihatmu bertunangan dengan sahabatku sendiri? Apakah karena perusahaan Bram lebih besar dariku sehingga kamu memilih dia? Apakah karena aset dan juga kepemilikan milik Bram lebh besar daripada aku hingga kamu bertingkah seolah-olah aku hanyalah sebuah deretan cerita yang melengkapi cerita hidupmu? Apa yang kamu lakukan jika ada di posisiku, Felly?” balas Arka tak kalah kerasnya.

“Karena semuanya terlalu sakit untukku, Ka! Semuanya terlalu indah hingga aku tak tahu cara yang tepat untuk melupakanmu! Aku tidak tahu harus meletakkan cintaku di mana. Aku tidak tahu harus bagaimana hingga menerima keputusan itu dan berjalan tanpa tahu arah sampai aku ada di pusat fokus untuk memegang tanggung jawabku. Aku… aku….”

Seketika Arka meraih lengan Felly. Tanpa izin dan komado apapun, Arka mendekab tubuh Felly dengan erat. Membawa kepala mungilnya ke dalam dekapan dadanya yang bidang. Merengkuhnya dalam kenyamanan yang selama ini pernah menjadi ukiran hatinya. Kecupan ringan di puncak kepalan Felly menunjukkan betapa ia sangat mencintai wanita itu. Ia juga tahu kalau Felly tak mampu mengutarakan semuanya.

Derai tangisan Felly pun meledak dalam sekejab. Arka menerima Felly kembali setelah tahu tingkah gila Felly yang selalu membiarkan Bram yang terus menggubris kedua orang tuanya. Lagi pula, Arka juga baru tahu kalau Bram melakukan itu semua bukan karena niatnya merebut dari Arka. Tetapi rasa simpatinya yang terlalu berlebihan hingga tak bisa menyembunyikan betapa Bram menganggap Felly sebagai dirinya yang telah kehilangan kekasihnya, Nina.

“Menangislah. Aku akan ada di sini. Dan kembalilah, kumohon. Aku sangat kesulitan saat waktu terus mengingatkan hatiku bahwa aku sangat menginginkanmu,” ucap Arka perlahan.

“Aku tidak akan kembali jika kamu meninggalkan aku. Kamu jahat! Aku membencimu!”

“Jika kamu membenciku, kenapa kamu tidak melepaskan pelukanku?” Arka tersenyum tipis.

Seketika Felly melepaskan pelukan Arka dan menghentikan tangisannya. Tapi Arka mengunci pelukan itu hingga membuat keduanya saling bertatapan. Cukup lama mereka menatap dalam diam. Sampai akhirnya Arka memulai untuk mengakhiri segalanya. Kembali berpihak pada masa lalu untuk merajut kisahnya kembali.

Memulai semuanya dari awal. Bersepakat untuk berjanji bahwa semua yang telah terjadi, tidak akan terjadi kembali di masa yang akan datang. Melainkan membentuk masa yang baru dengan keterbukaan masing-masing dan memperjelas semua permasalahan dengan kepercayaan di antara keduanya.

Ya, mereka kembali. Bersama dalam jalan yang sama dan tujuan yang sama, setelah waktu memisahkan mereka karena peristiwa yang mencampuri waktu yang tengah mempertemukan mereka.

Setitik definisi cinta dan takdir yang saling berhubungan dan tak akan terpisahkan. Cinta adalah anugerah yang diselingi dengan usaha. Sedangkan takdir ada karena murni hasil dari usaha dan keputusan. Semuanya saling berkaitan. Semua yang berkaitan akan bergantung pada diri sendiri apakah dapat mengaitkan dirinya dengan hal yang ‘semua berkaitan’ atau akan berhenti dengan ‘semua hal yang berkaitan’ atau justru memulai dan menulis cerita baru bersama dengan ‘semua yang berkaitan’.

***

Comments

Tinggalkan Balasan