Pikir : #CerpenKita Episode 7

                                            Sumber : Photo by chuttersnap on Unsplash

 

#CerpenKita

Episode 7

 

Yakuza, melangkahkan kakinya gontai. Ia berjalan kea rah kamar asrama. Ia ingin mendekap dirinya yang ada dalam kebimbangan. Seketika ia teringat dengan Inong. Di saat seperti ini, Inong akan selalu mendampinginya dengan berbagai saran dan kasih saying. Bahkan, Inong selalu membuat dirinya nyaman dengan luka karena masakan Inongnya yang tersaji di saat itu juga. Sajian hangat, sederhana, dan lezat.


“Yakuza,” panggil seseorang.

Yakuza membalikkan tubuhnya yang tengah tengkurap di atas kasur aramanya. Kepalanya yang sengaja ia timpa dengan bantal, seolah menunjukkan betapa berat harinya. Memang, jika dilihat dengan kasat mata,

Yakuza hanya melakukan latihan, dan juga memakan beberapa menu latihan tambahan yang biasa diberikan oleh Makochi. Hal itupun, sudah menjadi salah satu kebiasaan Yakuza sejak ia berada di Jepang, dan mengenal Makochi sebagai pelatih yang memperkerjakan dirinya layaknya kerja rodi jaman dahulu.

“Hei, bangun, bangun!” ucap Makochi seraya ia menepuk pupu Yakuza.

“Bai, Sensei,” ucapnya ringan dengan mengusap kedua wajahnya.

Makochi terdiam. Ia memandang Yakuza. Terlihat di sana, ada sesuatu yang mengganggu, dirinya.

“Turunlah dari kasurmu, aku ingin bicara denganmu,” ucapnya ringan dan rendah.

Yakuza mengerutkan dahinya, tidak biasanya, ia seperti itu. Yakuza melihat ada yang berbeda dengan Makochi. Nadanya terdengar begitu mirip dan serius. Keningnya berkerut. Menandakan bahwa ia masih memikirkan Makochi.

“Hei, Garuda!!! Kenapa kau diam? Ayo turun!” ucap Makochi saat ia tak mendengar langkah seseorang mengikutinya. Dan iapun baru sadar bahwa, Yakuza masih duduk atas kasurnya, dan melamun.

“Ah… iya, Sensei. Aku datang,” ucap Yakuza dengan tergesa.

Makochi menatapnya disertai dengan dengusan nafasnya yang kesal. Bahkan, Makochi rela menyandar di ambang pintu dan menunggu Yakuza memakai bajunya untk keluar mengikuti langkah Makochi.


                                                  Sumber : Photo by Gilles Lambert on Unsplash

“Apa yang ingin Sensei ketahui tentang Yakuza?” tanya Yakuza.

Makochi terdiam. Ia menatap ponselnya. Begitu juga dengan Yakuza yang menatap Makochi dengan heran. Tidak biasanya Makochi lembut seperti itu. Terutama tatapannyya. Ia tahu betul bagaimana Makochi memperlakukannya sebagai anak didiknya. Tapi kali, ini Makochi memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Seperti, seorang putra.

“Berbicaralah padanya,” ucap Makochi dengan menyerahkan ponselnya.

Yakuza mengerutkan dahinya. Tatapan matanya menujukan pertanyaan siapa? Dan Makochi membalasnya dengan tatapan jawab saja, dan menurutlah kepadaku!

“Halo?” Ucap Yakuza ringan.

“Parulian Hutasoit?” tanya seseorang di seberang sana.

Yakuza menatap Makochi. Dan Makochi tidak emmberikan respon apapun tantang hal itu.

“Ya? Dengan saya sendiri,” ucap Yakuza singkat.

“Oke. Parulian, kami dari Kemenpora, Indonesia. Kami ingin menanyakan, perihal kepulangan kamu kemari? Ah! Sekaligus kontrak kamu dengan sponsor terbesar Jepang,” ucapnya singkat.

“Tch!” Yakuza tersenyum simpul di ujung bibirnya. Hatinya terus berdecak kesal dan ia terus membuntuti dirinya, bahwa ia sangatlah sial. Harapan yang selama ini ia lambungkan, seketika terjatuh.

Makochi mengerti akan hal itu. Seketika tatapan tajam terlontar kepada Yakuza. Dan Yakuza mengerti akan arti tatapan itu. Dimana langkahnya seketika terhenti. Yakuza berniat untuk memberikan ponsel itu ke Makochi. Tapi tidak saat Makochi menatapnya dengan tatapan membunuh.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Yakuza.

“Kami mengirimkan duta kepada kamu. Di sana, kamu akan mendapatkan penjelasan. Mungkin, sekitar pukul delapan malam, dia akan sampai di kantor asramamu. Hanya itu saja, semoga kamu berkenan, Putra Hutasoit,” ucapnya menutup telepon dengan menyebutkan nama marganya. Hutasoit.

Yakuza menghembuskan nafasnya. Ia memberikan ponsel kantor itu kepada Makochi. Makochi menerimanya dengan pasrah. Wajahnya yang tak lagi bersemangat, dan wajahnya yang terlihat begitu sedih, terlihat dengan kentara. Mulutnya yang selalu berkicau dengan aturan-aturan, mulai terdiam dan dingin.

“Apa kau kecewa denganku?” tanya Yakuza memulai pembicaraan yang sunyi.

Makochi yang berawal menunduk, kini ia menatap kedua bola mata anak didiknya. Entah mengapa, ia tak tahan melihat Yakuza. Makochi memeluk Yakuza. Ia meremas bahu Yakuza. Seolah menguatkannya. Dan, seolah Makochi tahu segalanya.

“Aku tahu ini sangatlah berat untukmu.”

                                               Sumber : Photo by Annie Spratt on Unsplash

 

Yakuza terdiam. Ia tak membalas ucapan Makochi. Mengingat, Yakuza dapat melihat dengan jelas bibir Makochi yang bergetar di kala ia terkatup dengan rapat. Menunjukkan, bahwa ia ingin melanjutkan ucapannya, namun tak mampu. Akan tetapi, Yakuza masih tetap di sana. Menunggu ucapan itu, karena ia yakin, Makochi akan mengucapkannya.

“Kau tahu, hal yang paling sakit selama hidupku apa? Jelas saja kau tidak tahu, karena kau menganggapku layaknya seoran ayah. Kau hanya menganggap aku sebagai gurumu. Tapi aku tidak mempermasalahkan itu. Aku akan bebricara sebagai seorang Ayah. Karena aku tahu bagaimana rasanya menjadi seorang Ayah. “

“Hal yang paling sakit bagi seorang Ayah, adalah saat dimana Ayah kehilangan putra yang ia cintai. Aku tidak akan memandang itu sebagai murid. Aku memandangmu sebagai putraku saat ini. Aku yakin, jika negaramu akan menggeretmu kembali ke sana. Dan kau dituntun untuk kembali ke negaramu. Bagaimanapun caranya.”

“Kau masih ingat dengan kata, bahwa hidup adalah pilihan? Aku yakin kau, tak akan lupa. Karena kau juga memperhitungkan mengenai hal itu. Aku yang bebicara sebagai Ayah, hanya menginginkan yang terbaik dalam dirimu. Aku tahu kau sedang ada dalam dilema. Selain, ketakutan dimana seorang Ayah kehilangan putranya, hal yang sangat aku takutkan bahkan lebih dari itu, adalah saat putraku mengambil keputusan yang salah. Hingga ia kehilangan dirinya sendiri. Dan kau tahu apa alasannya? Karena seorang Ayah tersebut merasa gagal telah mendidiknya untuk menjadi pria yang lebih tangguh dari diri Ayah itu sendiri,” jelas Makochi dengan matanya yang mulai berkaca.

“Sensei…,” panggil Yakuza raut wajahnya yang sendu.

Bagaimana tidak? Yakuza tidak menyangka jika Makochi akan berkata demikian. Yang ia tahu adalah, Makochi hanya bisa memberikan menu latihan berat, dan memberikan semangat dengan menggunakan kata-kata bahwa ia menganggap anak didiknya sebagai anak sendiri dan memperlakukan dirinya bak seorang Ayah.

“Tentukan pilihanmu, Nak. Jangan sampai kau merusak kehidupanmu dengan langkah yang salah. Aku yakin, jika kau dapat menentukannya, itu adalah pilihan terbaikmu. Dan, aku, tidak akan menyesal telah menganggapmu sebagai seorang putraku sendiri meski aku tahu, jika kenyataannya, bahwa aku harus kehilangan putraku sendiri,” lajut penjelasan Makochi dengan matanya yang berkaca.

Seketika Yakuza menekuk lututnya. Ia mencium lutut Makochi dengan tangisannya yang memecah. Yakuza tak dapat menanggung rasa sakit di hatinya. Dendam dan ego terus menyelimutinya. Bahkan, dirinya seakan ingin mati saja setelah kejadian itu. Setelah ia menjadi smapah negaranya.

Tapi Makochi menepis itu semua. Ia seolah memahami bagaimana perasaan Yakuza selama berada di Jepang. Yakuza berusaha bertahan untuk tidak menjadi dirinya sendiri dan menghilangkan jati dirinya. Bahkan ia rela untuk mengubah namanya. Ia juga enggan mendnegar nama Indonesia.

Bahkan, hatinya teriris saat Lasta adiknya menceritakan mengenai keberhasilannya sebagai sang juara dalam setiap liga. Yakuza menahan itu semua. Hingga hatinya terasa ingin meledak dengan tekanan itu, dan Makochilah yang menahan semua itu.

“Terbanglah, Garuda. Jika memang dunia menghendaki kau harus berperang dengan macan, jangan jadikanmu pribadi yang tamak. Hingga kau, menghilangkan rumah sarang Garuda. Setelah Garuda memberikanmu tanah kelahiran dan menjadi guru kehidupanmu, jika memang kau menunggangi macam, jangan bunuh Garudamu. Karena ia yang telah berteriak girang saat kau menjadi juara liga. Jadilah pribadi yang pemaaf, Parulian Hutasoit. Jadilah putra ayahmu yang sesungguhnya,” jelas Makochi dengan membangunkan Yakuza.

Tangisan itu semakin menderu. Yakuza menangis sejadi-jadinya. Ia menjeris sakit di dadanya. Dada yang menjadi letak sarah burung Garuda. Yang sempat ia tutup dengan sengaja, hanya karena amarah dan ego gila itu. Hingga, ia enggan untuk mendongkakkan kepalanya, hanya sekedar melihat apakah Garuda baik-baik saja.

“Bolehkah aku memanggilmu dengan nama yang kau gunakan di negaramu?” tanya Makochi.

Ia mengangguk. Ia tak dapat berkata apapun. Bibirnya seolah bukan diciptakan untuk bebricara di kala seperti ini. Hatinya tak kunjung selesai dengan rasa sendu itu. Hingga Makochi merentangkan kedua lengannya dan memberikan ruang kepada  Uli.

“Saya mencintaimu, Guru. Terimakasih telah membukakan pintu hati saya, mendobraknya dengan keras, dan menyejukkan ruang hati saya. Hingga amarah saya dan ego sayayang membakar semuanya, seketika lenyap dengan kesejukkan yang guru berikan, maafkanlah Uli jika Uli mengecewakanmu, Guru.”

Makochi hanya bisa memeluk Uli kuat. Ia merepas dan menepuk punggung Uli dengan penuh sayangnya. Hingga tanpa disadari, Uli mengucapkan sumpahnya.

“Saya, Parulian Hutasoit, berjanji. Akan kutunjukkan padamu, kepakkan sayap Garuda.”

Comments

Tinggalkan Balasan