“Kita akan kemana, Bang?” tanya Zania saat ia mendapati Hafied yang membawa motor merah besarnya.
“Naik aja dulu, nanti kamu juga akan tahu sendiri,” jelasnya.
“Nggak akan di suruh jadi supir kapal kayak kemaren kan, Bang?” tanya Zania takut.
Hafied tertawa kecil. Ia tersenyum geli saat melihat ekspresi Zania sekaligus mendengarkan pertanyaan gadis kecilnya. Dahinya yang berkerut, bola mata bulatnya yang terus memastikan wajah Hafied apakah ia akan menuruti Zania, atau justru ia akan menggoda Zania dengan keputusan konyolnya.
Dimana ia akan menjawab tidak, namun Hafied akan tetap membawa Zania ke anjungan kapal dan menyikapi Zania dengan lembut, hingga Zania tidak dapat menolaknya karena terlena, dan kembali merasakan ketakutan saat ombak mulai menyentuh badan kapal, dan Zania kehilangan kendalinya.
Ditambah, dengan posisi Hafied yang jauh dari jangkauannya dan sibuk dengan radio yang ada di depannya, untuk memastikan komunikasi antara kapalnya dengan kapal yang lain. Baginya, seorang Zania Vabrigas, menjadi supir kapal adalah hal menakutkan dibandingkan ia harus landing dari pesawat terbang.
“Enggak. Kenapa, takut gitu sih sayang? Orang nggak akan ke sana, kok.”
“Terus?” tanya Zania masih ragu.
“Naik dulu. Nggak percaya? Awas ntar nyesel kalau aku ambil gambarnya,” jelas Hafied dengan wajahnya yang menggoda.
Zaniapun mengerucutkan bibirnya. Ia berjalan mendekat ke arah Hafied dan mengunci kaitan helmnya. Kemudian, menaiki motor tinggi itu, tubuh kecilnya yang mungil, membuat ia mengharuskan untuk menaiki motor Hafied dengan menginjak pedal bawah motor. Tidak seperti biasanya, saat ia mengendarai motor maticnya. Motor, yang biasa digunakan oleh Bi Rumi untuk pergi ke pasar saat mama dan papa tidak sempat belanja ke supermarket.
“Udah siap?” tanya Hafied.
“Hmmm…,” deham Zania kesal.
“Nggak pegangan? Awas jatoh, ntar.”
Zania terdiam dengan menggelengkan kepalanya. Ia justru melipatkan kedua tangannya di depan dada. Dan, memalingkan pandangannya saat Hafied menolehkan kepalanya ke arah belakang, dan memastikan Zania untuk menuruti apa yang ia katakan.
Alhasil, Zania tidak memperdulikan apa yang ia katakan. Hafied yang mengerti akan hal demikian, hanya tersenyum gemas dengan hal itu. Tanpa mengucapkan apapun, Hafied menghidupkan mesin motornya. Kemudian, ia mengambil gigi dua, dan menjalankan rodanya.
“Abbaaaaaang!!!” teriak Zania terkejut saat tubuhnya terjungkat ke belakang dan membuat respon retoriknya, menyuruh gerak tubuhnya untuk meraih pinggang Hafied dan memegangnya erat.
“Apa lagi sayang? Katanya udah siap?” tanya Hafied dengan menghentikan motornya dan menolehkan kepalanya dengan senyuman gelinya.
“Abang jahat…,” ucap Zania dengan wajah meweknya.
Hafied justru tertawa geli saat melihat wajah mewek Zania. Ia tertawa lepas pula saat mendapatkan perlakuan pukulan kecil di pundaknya. Rengekan Zania, membuatnya lega. Dengan begitu, Zania tidak perlu menyembunyikan dongkolnya hanya karena hal kecil. Zania, yang selalu show-up alias mengutarakan bagaimana perasannya, tak perlu memendamnya hanya untuk menjaga keutuhan hubungan mereka.
“Abang kan, tadi udah bilang. Pegangan cantik. Kamunya aja yang nggak mau nurut,” jelas Hafied dengan senyuman gelinya.
Zania yang tak dapat menahan tawanya, akhirnya menuruti kemauan laki-lakinya. Setelah memegang kedua pinggangnya, Hafied mulai menjalankan motornya. Ia menurunkan giginya dan menjalankan roda kendaraannya dengan kecepatan sesuai batasannya.
***
Entah dibawa kemana, Zania sangat menikmati jalanan itu. Kawasan persawahan, perkebunan, yang menjadi teman sepanjang jalannya membuat Zania terdiam. Hafied menikmati pemandangan wajah wanitanya. Dari pantulan spion ia melihat bagaimana Zania menikmati itu. Bibir tipisnya, tak tanggung-tanggung untuk tersenyum saat angin semilir dan udara segar sejuk menerpanya. Membelai wajah imutnya, dan menemaninya sepanjang jalan.
“Kamu suka?” tanya Hafied memecah keheningan.
“Mmmmmm..” ucap Zania dengan menganggukkan kepalanya.
“Zania suka,” lanjutnya memperjelas dengan menatap Hafied melalui kaca spion.
Hafied tersenyum senang. Ia menatap ke arah Zania. Dan Zania mengerti akan tatapan itu. Dengan sigap, Zania meraih pundak Hafied dan memegang erat jacket yang tengah dikenakan oleh Hafied. Menikmati gigi motor hafied yang sengaja ditingkatkan dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Seketika angin yang segar itu menyambutnya dengan ramai. Udara yang mengitarinya terasa begitu dingin. Sungguh sesuatu baginya. Mata bulatnya seketika menyipit untuk menghindari debu yang ikut menyambutnya, Hafied berbisik dengan memiringkan kepalanya dan tetap fokus dengan arena jalan. Ia mengingatkan agar Zania menutup teropong helmnya. Tanpa mengeluh apapun, Zania menuruti ucapan lelakinya. Sungguh indah. Sangat indah.
“Kita dimana?” tanya Zania saat Hafied telah menghentikan mesin motornya.
“Paralayang, Malang. Jawa Timur.”
“Dimana itu?” tanya Zania.
“Tempat, yang akan menjadi istana kita,” ucapnya singkat.
Zania terdiam. Bibirnya seketika terbungkam. Sedangkan Hafied menatapnya dengan wajah yang datar dan penuh dengan keyakinan bahwa Zania akan menjadi sosok wanita pendamping untuknya. Mau tidak mau, harus mau.
“Kamu, sudah menjadi milikku Zania. Jika memang bukan milikku, maka aku akan memaksa takdir untuk menjadikan kamu sebagai milikku, dan aku akan menjamin itu,” gumamnya dalam hati saat Zania menggoyangkan telapak tangannya yang sedari tadi menggenggamnya.
“Abang kenapa?” tanya Zania.
Hafied menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Enggak, Abang nggak papa,” lanjutnya dengan membelai puncak kepala Zania.
“Dasar aneh, Abang. Udah ih, kita kemana lagi?” tanya Zania dengan wajahnya yang memicing, dan sorot matanya yang bahagia. Karena ia tak sabar menunggu kejutan apa lagi, yang akan diberikan oleh lelakinya.
“Hahahaha, dasar adek kecil. Tadi sok-sokan nggan mau, sekarang asik sendiri. Gimana toh?” ucapnya dengan melepaskan helm dan tersenyum geli.
“Abang ini gimana caranya?” tanya Zania yang berusaha melepaskan kaitan helmnya.
“Kamu nggak pernah pakek helm ya?” tanya Hafied memastikan seraya meraih dengan menggiring Zania untuk memasuki loket masuk setelah memarkir motornya dengan benar dan melepas helm Zania.
“Ya kan Zania nggak pernah bawa motor. Adapun Zania bawa motor hanya main golf di lapangan golf saat Zania males bawa mobil karena ribet parkirnya,” jelas Zania.
“Dasar istri,” ucapnya singkat seraya tersenyum saat berhasil melepaskan helm Zania.
“Yeay! Lepas,” ucapnya girang.
Tingkahnya yang sama persis seperti anak kecil berhasil mengundang perhatian orang-orang sekitar. Di tambah, dengan pakaian Hafied yang begitu mencolok karena tali yang menempel rapat di tubuh rampingnya. Tanpa menghilangkan kekarnya lengan dan telapak tangan yang selalu menggenggam erat jari mungil Zania.
“Ayo masuk!” ajak Hafied.
“Bang, kita dilihatin banyak orang tahu,” ucap Zania dengan melihat ke arah sekitarnya.
“Terus kenapa? Bodo amat,” ucap Hafied cuek.
Zania kembali mengerucutkan bibirnya. Berjalan bersama dengan pria seperti Hafied menjadi sensasi tersendiri saat beberapa wanita muda maupun tua selalu memperhatikan dirinya dengan kagum. Terutama melihat otot bisep trisepnya yang tidak terlalu berlebihan, dan ketegasan wajahnya tanpa menghilangkan kelembutan sentuhannya.
“Abang.. di sini banyak pelakor!!! Abang hati-hati, kalau lagi di luar dan nggak ada Zania. Abang jangan suka ngeladenin mereka, ya? Awas aja kalau…”
“Waaaaahhhh…” gumam Zania setelah Hafied mengarahkan kepala kecil Zania ke arah tempat yang seharusnya dilihat.
Seketika Zania berhenti berkicau layaknya burung beo betina. Ia justru tersenyum riang dengan seluruh gairahnya. Matanya seketika tertuju ke arah tempat itu. Dataran rendah dengan banyaknya rumah-rumah. Di apit antara tebing, awan, gunung, dan juga kabut putih. Ia baru menyadari, bahwa Zania tengah ada di puncak. Yah.. puncak dataran tinggi, Jawa Timur yang indah. Sangat Indah. Kota Batu Malang.
“Rentangkan tangan kamu,” pinta Hafied seraya menuntun Zania dari belakang untuk merentangkan kedua lengannya.
Lagi-lagi, Zania mendecak kagum dengan apa yang ia rasakan. Hawa dingin. Sejuk. Tenang, dan… nyaman dengan seluruh rasa yang menyelimutinya. Zania memejamkan kedua bola matanya. Ia merasakan kaitan jemari yang menelusup masuk di antara jari mungilnya. Jari yang lebih besar darinya, dan terasa penuh di sana.
Ia juga merasakan hembusan nafas di sela telinganya. Hangat. Genggaman tangan itu begitu erat. Sangat erat. Hanya senyuman dan senyuman yang bisa Zania lakukan. Entah mengapa demikian. Tapi untuk pertama kalinya, sosok Zania Vabrigas, ada di tempat umum seperti itu.
Dalam sejarah hidupnya, Ladipadya dan Lasikta tidak pernah mengajaknya ke tempat umum hanya untuk menikmati indahnya alam. Ia hanya bisa merasakan nuansa classic modern, dengan relasi papanya dan juga mamanya. Membicarakan masa depan perusahaan. Atau membicarakan bagaimana prestasi Zania.
Kalau tidak, membicarakan perkembangan statistik bisnis yang Zania pegang di Paris. Zania selalu berada di dalam ruangan VIP. Mungkin, bagi semua orang itu semua terlihatkan menyenangkan. Tapi tidak. Zania merasa, ia seperti burung yang terpenjara di dalam sangkar. Baginya, udara segar hanya ada di lapangan golf, atau pacuan kuda.
Untuk sekali lagi, ia baru merasakan dimana ia merasakan kebebasan atas segalanya. Ia juga baru tahu, kalau dunia luar itu indah. Sangat indah. Bahkan tak terbayangkan sebelumnya indahnya seperti apa. Untuk pertama kalinya pula, ia pergi bebas layaknya burung yang terbebas dari sangkar pemiliknya setelah ia di buru untuk menjadi burung yang patut untuk dibanggakan dengan kicauannya yang indah.
Penyelamat burung itu, seorang nahkoda kapal. Hanya supir kapal, yang selalu hidup dengan rangkaian ombak samudera. Membawa tanggung jawab yang besar di pundaknya. Dimana keselamatan dan nyawa penumpang, ada di tangannya. Di atas kemudi kapalnya. Dan, di atas telapak tangan yang selalu mengaitkan jemarinya, di atas jemari burung kecil itu. Dimata Zania, ia hanya seekor burung kecil saat di depan Hafied. Bukan ular.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.