Pergi : #CerpenKita Episode 10

Sumber : Thư Anh

#CerpenKita
Episode 10

Uli membuka kedua bola matanya. Ia menatap langit-langit kamar untuk sejenak. Kemudian, ia kembali membuka matanya. Mengambil nafas beratnya, dan menghembuskan dengan lembut dan santai.

Beranjak dari tempat tidur, adalah hal yang dilakukan ia kala itu. Uli  langsung beranjak dari ranjang tidurnya tanpa duduk terlebih dahulu di pinggiran tempat tidur. Atau hanya sekedar memejamkan matanya seraya kembali menarik selimutnya, meski otaknya telah sadar dan membangun dirinya, bahwa saatnya ia bangun.

Uli berjalan ke arah jendela. Ia membukanya, dan menghirup udara segar pagi itu. Melihat pelataran rumahnya yang basah, dan embun dedaunan yang menyentuh puing-puing jendelanya. Hal itu, tak luput membuat Uli mengulas senyum ringannya. Dan, cukup membuat Uli memejamkan matanya, untuk merasakan angin pagi yang begitu sejuk.

“Bagus, kan pelatarannya?” tanya seseorang.

Seketika Uli menolehkan kepalanya. Ia memandang ke arah sumber suara itu.

“Among,” panggilnya lirih saat ia menangkap bayangan Among di balik retinanya.

“Uli, Among sudah menyiapkan air hangat untukmu. Mandilah, sebelum Lasta mendahuluinya,” jelas Among di ambang pintu.

“Tapi, Uli tidak papa jika mandi menggunakan air dingin, Among,” jelas Uli polos.

“Among hanya tidak ingin, kau masuk angina nantinya,” jelas Among dengan memegang kedua pundak Uli dan menggiringnya untuk berjalan keluar kamar dan mendorongnya perlahan ke depan pintu kamar mandi.

“Tapi.. Among… Inong…” ucapnya terbata saat ia menyadari ada yang mengganjal di dalam diri Amongnya pagi itu.

Bagaimana tidak? Bukan hanya Amongnya yang aneh. Melainkan, dirinyapun begitu. Sejak kejadian buruk itu, Uli menghilangkan kebiasaannya untuk membuka jendela setelah ia berajak dari ranjang tidurnya. Sejak kejadian buruk itu, setiap bangun pagi, Uli tidak pernah lengsung beranjak dari ranjang tidurnya. Melainkan, ia lebih memilih untuk duduk di pinggiran ranjang dan menikmatinya dengan cara memejamkan kedua bola matanya.

Atau jika tidak demikian, Uli kembali menutup kedua bola matanya dan menarik selimut tidurnya. Seolah-olah, ia enggan untuk melihat wajah pagi. Dan memilih untuk kembali hadir dalam rangkaian mimpi indahnya yang dapat membuatnya nyaman dan tenang.

“Siapa di kamar mandi?!” seru lasta.

“Abang, Uli!!!” seru Uli tak kalah keras menyaingi suara adik perempuannya itu.

“Abang? Sejak kapan Abang Uli bangun pagi? Biasanya juga, lemot,” gumam Lasta dengan menaikkan salah satu alisnya. Menandakan heran dengan hal yang baru saja ia ketahui.

“Duduklah dulu, tunggu Abangmu selesai mandi,” jelas Among tanpa mengalihkan kedua bola matanya dari deretan tulisan Koran.

Lasta menolehkan kepalanya kea rah ruang makan. Benakknya mengatakan bahwa ada yang aneh dengan pagi ini. Bahkan, Inong tidak terlihat sama sekali berkeliaran.Hal itu membuat Lasta penasaran, hingga ia melangkahkan kakinya kea rah dapur untuk memastikan keberadaan Inong.

“MasyaAllah… Inong?!” ucap Uli seketika saat melihat banyak piring yang berjejer dengan berbagai jenis makanan yang entah apa saja namanya. Lasta tak dapat menghafal masakan-masakan padang yang diinovasi oleh Inongnya.

“Lasta… kenapa kau di sini? Tidak mandi? Cepatlah mandi! Nanti kau terlambar bernagkat ke tempat latihanmu,” jelas Inong tanpa melihat kea rah Lasta dan asik menatata makanan yang baru saja dituangkannya dari wajan.

“Kenapa pagi ini semua orang sangat bersemangat? Amongpun tidak biasanya membaca Koran dengan nyaman tanpa kopi di depannya,” jelas Lasta yang masih terheran.

“Begitu juga dengan Abang Uli yang mandi dengan bernyanyi layaknya penyanyi hebat saja,” gumam Lasta meneruskan keheranannya itu.

“Sudahlah, jangan mengurusi Among dan Abang Ulimu itu. Mandilah saja sana! Jika kau terlambar, bagaimana nanti?” ucap Inong menimpali.

“Ini masih pukul lima pagi, Inong. DanLasta pergi ke tempat latihan pukul setengah tujuh pagi,” jelas Lasta.

“Tidak ada salahnya mempersiapkan diri lebih pagi,” jelas Inong dengan membawa kedua piring yang sudah terisi penuh dengan makanan yang akan dihidangkan di meja amakan untuk makan pagi kali ini.

Lasta madih terdiam, dan ternganga dengan Inongnya yang berjalan begitu santai seolah tanpa beban di kepalanya. Melewati Lasta tanpa membicarakan sesuatu dan justru bernyanyi ringan seolah ia benar-benar menikmati kegiatannya pagi ini.

“Daripada kau hanya berdiri saja di sana, tidakkah kau ingin membantu Inong membawakan beberapa piring lagi di dapur?” tanya Inong saat melewati Lasta kembali dan berjalan kea rah dapur.

Lasta masih terdiam. Hingga akhirnya, ia tersadar saat Uli berdiiri di sampingnya, dan melemparkan handuk di atas kepala Lasta.

“Abang Uli!!!” seru Lasta tidak terima. Akan tetapi, Uli menanggapinya dengan bersiul ringan dan berdendang menikmati kesegaran ditubuhnya.

“Sudahlah, mandi saja sana. Tak perlu kau sebal begitu. Seperti tidak tahu saja, bagaimana kejahilan Abangmu itu,” jelas Inong saat melewati Lasta.

“Tch!” decah Lasta dengan mengerucutkan bibirnya.

Namun, semua itu tak berakhir kecut di dalam hati Lasta. Ia justru tersenyum tipis saat melihat Uli. Jauh di dalam sana, Lasta merasakan keberadaan Uli yang sebenarnya. Uli sosok kakaknya, yang telah menghilang beberapa waktu yang lalu. Uli, yang entah kemana kebiasaan jahilnya, bangun paginya, serta siulan setelah mandi paginya, atau nyanyian yang tak beraturan di kamar mandi itu, seolah menjadi titik bahagia bagi Lasta. Bagaimana tidak? Uli, kakaknya. Telah kembali ke dalam dirinya sendiri.


“Among akan mengantarkan kalian,” ucap Inong membuka pembicaraan di makan pagi keluarga Hutasoit.

“Untuk apa Among mengantarkan? Lasta dan Abang Uli bisa berangkat sendiri. Lagipula, kami menaiki bus atlet yang menjempus di halte depan pasar,” ucap Lasta seraya menenrima nasi yang dituangkan oleh Inong.

“Kau tinggal bilang saja, kalau kau mau rendang ini. Dan jangan memaksa telapak tanganmu meraih piring ini jika tak sampai,” ucap Among saat mengetahui maksud Uli.

Uli terkekeh ringan. Kemudian, memasang wajah melasnya untuk memberikan tanda bahwa ia menginginkan rendang yang terletak tak jauh drai jangkauan Among.

“Terimakasih, Among,” jelas Uli dengan menundukkan kepalanya dan tersenyum setelah ia menundukkan kepalanya.

“Uli! Tidakkan kau mendnegar ucapan Inong?” tanya Inong saat melihat Uli asik dengan sendirinya.

“Iya? Bagaimana?” tanya Uli dengan wajah bodohnya.

“Lihatlah, Bang putramu itu. Tak memperhatikan ucapanku. Kau juga, Bang. Tak memperhatianku,” ucap Inong merajuk.

“Aduh, Inong. Sudahlah, pagi-pagi hilangkan rajukmu itu,” ucap Lasta dengan membelai bahu Inong lembut.

“Aku mendengarkanmu. Kau memintaku untuk mengantar mereka berdua, kan? Tak perlu merajuk begitu. Aku akan mengantarkan mereka tanpa kau suruh. Dan janganlah kau merajuk semodel itu. Kau bisa merusak mood Lasta dan Uli pagi-pagi begini,” ucap Among dengan nadanya yang santai.

“Sudahlah, kalian berdua makan. Kau juga. Mari kita makan pagi ini. Kalian berdua, habiskan makanannya. Jangan sampai kalian kehilangan energy saat menerima latihan dari couch nanti. Paham tidak?” lanjut Among menasehati dan memastikan nasihatnya digunakan atau tidak oleh istri dan kedua anak-anaknya.

“Siap,” ucap Uli dan Lasta secara bersamaan.

Merekapun, menikmati makanan yang telah tersaji di sana. Bahkan mereka tak segan-segan untuk menambah porsi makanan setelah Uli menantang Lasta untuk menghabiskan rendah di atas piring itu. Mengingat, pada ssat Uli berada di Jepang, Lasta selalu membuat Uli merindukan masakan padang dan ikan rendang.


“Among,” panggil Lasta.

“Apa?” tanya Among seraya melihat kea rah putrinya. Putrinya yang kini, tinggi badannya melebihi tinggi badannya.

“Lasta dan Abang Uli bisa berangkat sendiri. Among, bisa meninggalkan kami. Tak perlu menmani kami untuk mendapatkan bus yang akan menjemput kami. Di sini, penuh dengan polusi, Among. Dan itu tidak baik untuk, Among,” jelas Lasta.

“Jika tak baik untuk Among, apa baik untuk kalian?” tanya Among membalikkan fakta yang telah diutarakan oleh Lasta.

Lasta terdiam seketika saat mendengarkan jawaban ultimatum semacam itu. Ia hanya bia menlan ludahnya kasar dan kembali memandang jalan raya pagi itu.

“Maksud Lasta, polusi itu tak baik untuk Among di usia yang demikian. Kalau kita, kan masih muda. Apalagi, setiap hari kita berolahraga dan mengeluarkan keringat. Toksin dalam tubuh kita, otomatis keluar dengan sendirinya, Among. Kalau Among? Setelah pension dari atlet, Among lebih memilih untuk menemani ayam kita, Jalu. Setiap pagi, Among selalu menyuruhnya untuk berkokok. Hingga Among lupa untuk olahraga. Itulah alasan Lasta berkata demikian,” jelas Uli dengan senyuman hangatnya.

“Nah.. itu maksud Lasta. Untung saja, Abang Uli mengetahui maksud Lasta,” ucap Lasta seketika dengan nadanya yang girang, khususnya saat ia menyadari bahwa Uli tengah membelanya.

“Heleh! Kalian ini bisa saja. Alasan Among yang lain mengantarkan kalian, bukan hanya menerima resiko itu. Tapi Among ingin tahu, apakah kalian berangkat dengan bisa yang benar. Karena Among masih teringat dengan betul, bahwa kalian tidak bisa membedakan bus itu akan turun di mana.”

“Saat kamu masih Sekolah Menengah Atas, kamu salah memasuki mobil, Uli. Hal itu membuat Inongnya menjerit sedih karena kehilangan putranya. Begitu juga dengan kamu, Lasta. Saat Sekolah Menengah Pertama, kamu justru tidak pulang sehari dan Among temukan di terminal ujung Kabupaten karena kamu tidak mengenali bus yang akan kamu naiki. Sehingga, kamu tidak sampai di tujuan.”

“Untuk kedua kalinya, Inongmu menangis dan menjerit kehilangan putrinya. Lagi-lagi, Among tak dapat makan rendang masakan Inongmu. Untuk kali ini, Among tidak ingin hal itu terjadi lagi. Among tidak ingin, kalian tidak sampai di tempat yang kalian tuju. Karena bagi Among, ini adalah moment yang berharga untuk, kalian. Begitu juga untuk Among, dan Inong,” jelas Among berturut.

Seketika, Uli dan Lasta terdiam. Pikirannya berkelana ke masa itu. Waktu dimana membuat mereka tengah berasa di tempat dan posisi mereka kala itu. Lamunan terus berlanjut. Kedua bola mata mereka, seolah melihat dengan jelas kejadian itu melalui ingatannya yang jelas.

Terdengar suara panggilan yang familiar. Pikirannya masih mencerna, apakah panggilan anak itu, masih berada di posisi kala itu. Ah.. tidak.. Namun, sepertinya iya. Mereka berdua tak dapat membedakan panggilan itu. Semuanya terasa sama, hingga mereka hanyut dalam pikiran masing-masing.

“Nak, Nak,” panggil Among.

Uli dan Lasta masih terdiam. Pandangan mereka seolah tak berada di tempat yang tepat. Pikiran mereka seolah kosong. Bibir mereka terkatub dengan rapat. Bahkan, hembusan anginpun, tak dapat mempengaruhi gerak mereka dengan sapuannya.

“Hey, keturunan Hutasoit!” panggil Among dengan menepuk bahu mereka secara bersamaan dengan suaranya yang melengking.

Mereka berdua terkejut. Kemudian, menundukkan kepalanya, dan mengambil nafas beratnya. Kemudian, menghembuskan nafasnya dengan berat pula.

“Among,” panggil Uli dan Lasta secara bersamaan.

“Apa?” jawab Among.

“Bikin kaget, saja,” jawab Uli dan Lasta bersamaan.

“Waaahhh.. Anak Among kompak sekali?” ucap Among menanggapi dengan tawa renyahnya sekaligus, membelai puncak kepala kedua anaknya.

“Janganlah begini, Among. Kami bukan anak kecil lagi,” Ucap Lasta.

“Baiklah-baiklah. Kalian berangkat sana, itu busnya sudah datang,” ucap Among seraya menunjuk ke arah bus yang datang. Dan benar saja, bus itu adalah bus mereka. Bus dengan gambar Burung Garuda.

“Kami berangkat dulu, Among,” jelas Uli.

“Hati-hati, Nak,” ucap Among dengan menepuk punggungnya. Hal itu juga dilakukannya kepada Lasta.

Uli dan Lasta melambaikan tangannya saat mereka berada di tempat duduk. Dan Among membalas lambaikan mereka dari bawah bus besar itu. Seraya dalam hatinya mengucap akan doa baik untuk mereka berdua. Sekaligus berharap, bahwa peristiwa yang menjatuhkan Uli sekaligus semangatnya, cukup satu kali saja dalam seumur hidupnya.


Sumber : Photo by Bruno Nascimento on Unsplash

“Uli?!” panggil seseorang dengan nada rendahnya.

Terlihat dari arahnya, Uli berjalan dengan gontai. Ia kembali menggunakan celana training team, serta jacket tim sebagai suatu kesatuan yang memdakan team itu dengan team yang lainnya.

“Apa kabar?” tanya Uli saat sampai di depan orang itu.

“Justru aku yang seharusnya menanyakan kabarmu. Berapa lama kau menghilang dari sini, hah? Tak tahukah kalau juga bisa merindukanmu?” ucap orang itu tak berhenti layaknya sebuah kereta yang melaju dengan begitu cepat.

“Tapi aku justru merasa jijik jika kau yang merindukanku. Aku merasa seperti homo yang tidak memiliki harga diri,” jelas Uli dengan kekehan ringannya.

“Ah tahulah! Sudah. Aku tak ingin berdebat denganmu. Mari masuk! Pelatih sudah menunggumu,” jelas orang itu dengan menepuk punggu Uli.

Mereka berdua masuk ke dalam gedung itu. Menyusuri lantai-lantai yang menjadi saksi bisu untuk Uli atas kegagalannya hingga ia menghilang ke negara Jepang. Kemudian, kembali saat ia melihat garuda yang tengah terpuruk dengan kondisi dari segi berbagai bidangnya.

Dollar yang naik sedangkan hutang negara masih belum terlunasi banyak. Melainkan justru suku bunga yang semakin menanjak hingga rupiah melemah di mata dollar. Banyak kawasan pula yang telah dijual untuk melunasi hutang negara, sekaligus perkembangan kejuaraan atlet yang masih minim.

Dari sanalah Uli tergerak dengan seluruh gertakan hatinya. Hingga, ia memantabkan keputusannya untuk menolak tawaran bahwa ia dapat menjadi warga negara Jepang dengan fasilitas kepemilikan rumah, sekaligus fasilitas mewah lainnya.

Bahkan, Jepang menawarkan gaji harian, mingguan, bulanan, hingga tahunan untuk Uli selama Uli mau menjadi warga negara Jepang hanya dengan menyalurkan kemampuan sepak bolanya.

Akan tetapi, teriakan Garuda masih menggema di dalam telinganya. Hingga memasuki dan memenuhi reluh hatinya, dan membuatnya berdiri kembalis serta berlari untuk kembali dalam pelukan Garuda. Meski ia tahu, bahwa semuanya tak akan menyikapi sama seperti Jepang menyikapinya.

“Duduklah,” ucap orang itu. Tak lain, sahabat Uli yang masih bertahan di kala ia merasakan hal yang sama dengan Uli.

“Selamat datang, Parulian Hutasoit,” ucap pelatih menyambut Uli dengan senyuman ramahnya.

Uli membalasnya. Ia berusaha melupakan rasa sakit yang masih membekas di hatinya.

“Bagaimana dengan tim?” tanya Uli santai.

“Kurasa, nanti kamu yang mendongkrak. Aku tak ingin bertele-tele di sini, lihatlah ini dulu,” ucap pelatih dengan menyodorkan map tebal berwarna hitam.

Uli memandangnya map itu. Seperti sebuah ultimatum yang ia dapatkan sebelum meninggalkan atlet. Sebuah keputusan yang mengharuskan ia dilempar ke Jepang, tertulis dengan jelas di dalam map tebal hitam itu.

“Jadwal tanding?” gumam Uli saaat melihat judul yang bercetak tebal dan berukuran lebih besar dari huruf-huruf lainnya.

“Ya… besok kau bermain. Aku tak akan membiarkan kita kalah score dalam permainan awal. Dan aku tidak akan berpikir kembali mengenai kemampuanmu setelah Makochi memberi tahu kepadaku melalui duta besar,” jelas pelatih santai.

“Tch!” Uli berdecah karena tak menyangka. Bagaimana tidak? Lawan tanding pertama adalah Jepang. Dan di sana, terdapat nama Lafaza sebagai salah satu lawan tandingnya. Sahabatnya sendiri sewaktu dirinya berada di Jepang.

“Kutinggal dulu, karena masih ada urusan yang harus aku selesaikan. Aku sengaja tidak menyuruh manager team untuk mejelaskan. Karena aku tidak ingin ada kesalahan. Setiap tahun kita kalah dengan Jepang. Setidaknya, aku kali ini berharap ada titik kemenangan dengan membawaku bermain. Persiapkan dirimu baik-baik, Uli.Aku percayakan pertandingan ini kepada kalian berdua sebagai pemain inti,” jelas pelatih dengan beranjak dari tempat duduknya, dan pergi meninggalkan Uli sekaligus sahabatnya yang duduk tak jauh darinya.

Uli menghembuskan nafas beratnya. Kemudian, merebahkan punggungnya yang seketika terasa kaku di kursi yang tengah ia duduki saat ini. Menengadahkan kepala adalah salah satu cara yang Uli lakukan saat ia berada di bawah tekanan kondisi.

“Ini kesempatan kita, Uli. Untuk membuktikan bahwa, kita juga manusia. Ada kalanya kita bisa meraih kemenangan dan juga kekalahan. Kita tunjukkan, bahwa kita telah berusaha. Jangan seperti ini, ayo berjalan bersama dan hadapi bersama. Jika kau tidak kuat, akulah yang akan menguatkanmu di lapangan. Sekarang, giliranmu yang menguatkan aku nantinya,” jelas sahabatnya itu seraya meramas pundak Uli dengan

Uli menganggukkan kepalanya. Kemudian, mengusap wajahnya dengan kasar menggunakan kedua telapak tangannya. Kedua bola matanya memandang ke depan seolah-olah di depan adalah musuhnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke ruang ganti untuk mulai berlatih dari ini. Begitu juga dengan sahabatnya.


Uli membuka paginya dengan rutinitas seperti biasanya. Seperti membuka jendela, menghirup udara segar Sumatera, dan menikmati pemandangan bunga mawar yang telah ditanam oleh Inong untuk menyejukkan mata.

“Uli, tak mandi kah Nak?” tanya Among yang tengah berdiri di ambang pintu.

Untuk kedua kalinya setelah Uli hadir di Indonesia dan berkumpul kembali dengan keluarga, Among memperingatkannya untuk mandi. Hal tersebut memang sengaja Among lakukan. Mengingat, Among selalu melihat Uli melamun di ambang jendela layaknya seorang perempuan yang merana. Dan itu, tidak memakan waktu selama satu atau dua jam saja. Melainkan, lebih dari itu.

Dan Among tahu, bahwa ketepatan waktu seorang atlet sangatlah diperlukan. Among juga melihat dengan jelas bahwa Inong tengah sibuk menyiapkan gizi untuk Lasta dan Uli. Oleh karena itu, Among rela untuk bangun lebih pagi dari biasanya, hanya untuk membangun Lasta dan Uli.

“Ah ya, Uli akan mandi Among,” ucap Uli.

“Uli, tunggu sebentar,” ucap Among.

“Iya?” tanya Uli saat melihat kedua bola mata Among, berbicara bahwa Among ingin menyampaikan sesuatu.

“Jadilah atlet yang baik, Nak. Jadilah pahlawan dengan kejujuranmu, dan anggap semua bebanmu adalah permainan yang mudah untuk diselesaikan,” ucap Among kepada Uli yang tengah berdiri tak jauh darinya.

Uli terhenyak. Bagaimana tidak? Among seolah-olah tahu bahwa pertandingan pertamanya merupakan salah satu beban untuk Uli. Karena ia harus melawan Lafaza sahabatnya di kala mereka masih berada di Jepang. Di sisi lain, ada titik kekecewaan untuk Uli mengenai takdir Tuhan.

Hal itu membuat Uli terus bertanya mengapa Lafaza tidak kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Jepang. Uli teringat, bahwa Lafaza juga bernasib sama dengannya. Lafaza kalah dalam satu liga, dan semua kejuaraannya seketika lenyap di mata semua orang. Terutama pelatihnya. Hingga ia menjadi pemain cadangan, yang bahkan tidak dimainkan.

Hingga Lafaza dibuang seperti sampah di Jepang, dan di sanaia menjadi dijadikan berlian oleh Jepang dengan kesabarannya. Dilema memang. Namun, semuanya telah menjadi keputusan takdir. Dan Uli tidak dapat menentang itu. Mau tidak mau, Uli harus menerimanya.

“Wah, rendang lagi?” ucap Uli girang.

“Dasar muka rendang kau, Bang,” ucap Lasta mengejek.

“Cobalah ini, resep baru dari Inong,” ucap Lasta dengan memberikan makanan itu kepada Uli.

“Mmmmm, terimakasih, Lasta,” ucap Uli trenyuh. Tidak biasanya Lasta berbaik hati untuk membagi makanannya. Tapi pagi ini, Lasta membaginya dengan Cuma-cuma.

Semuanya terasa berbeda bagi Uli. Keluarganya memberika semangat yang membara, hingga Uli enggan untuk tidak membalasnya. Uli mengambil nafasnya dalam-dalam. Kemudian, menghembuskan nafasnya dengan pelan, dan menghabiskan sisa paginya sebelum pertandingan dimulai.


“Lafaza,” panggil Uli dengan gumaman ringan saat teamnya hendak ke ruang ganti.

“Parulian,” ucap Lafaza saat menangkan Uli di seberang sana.

Uli keluar dari rombongan timnya. Ia melangkahkan kakinya ke belakang, dan membalikkan punggungnya. Terlihat di sana, Lafaza tengah berlari ke arahnya. Hal itu juga dilakukan oleh Uli. Mereka mendekatkan jarak untuk saling bersua dalam pelukan.

“Apa kabar kau?” tanya Lafaza.

“Aku baik. Bagaimana dengan kau?” tanya Uli.

“Beginilah aku, Uli. Maaf, karena tidak berkeputusan sama dengan kau,” ucap Lafaza.

“Tak papa, aku mengerti. Mari kita selesaikan permainan ini,” jelas Uli.

“Betul. Aku pergi dulu, timku sudah menunggu. Jika kau rindu Makochi, pergilah ke timku. Di sana ada Makochi. Kite terbang kemari dengan Makochi,” ucap Lafaza.

Uli hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia menatap punggung Lafaza, yang menjadi titik hitam, kemudian menghilang. Uli menghembuskan nafasnya. Ia memundurkan langkahnya dan berlari kea rah ruangan dimana timnya berada.

“Kau dari mana?” tanya sahabatnya saat Uli sampai di sana.

“Bertemu dengan kawan,” ucap Uli santai.

“Cepatlah ganti bajumu, pelatih sebentar lagi datang,” ucap sahabatnya mengingatkan.

Uli menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia berjalan ke arah ruang ganti untuk mengganti pakaiannya. Tak lama dari itu, pelatih datang dengan membawa beberapa kertas dan gambar-gambar. Terlihat, bahwa itu sebuah strategi.

Pelatih memberikan arahan untuk tim. Memberikan aturan-aturan di luar aturan lapangan. Aturan itu hanya berlaku untuk tim. Pelatih memberikan penjelasan sejelas-jelasnya. Hingga akhirnya, waktu penjelasan habis setelah alrm ruangan berbunyi. Hal itu menunjukkan bahwa pertandingan akan dimulai. Dan semua perserta pertandingan, diharuskan keluar ruangan dan berjalan menuju lapangan pertandingan.


Sebelum permainan dimulai, setiap tim menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing negara. Kemudian, menentukan bola milik. Dan memulai, pertandingan dengan aturan lapangan yang sudah dijelaskan oleh wasit sebelum pertandingan dimulai.

Quarter pertama berjalan dengan iringan bola yang sejalan. Lafaza dan Uli menikmati giringan bola yang mengarah kea rah mereka. Semuanya, berjalan dengan lancar. Saat bola telah dilarikan ke arah Uli dan Uli membawanya ke arah lawan gawang, dan membuat tim Jepang mulai menyerang Uli untuk merebut bola.

Hal itu tidak dapat dipungkiri oleh Uli. Sehingga, mau tidak mau, Uli menepis egonya, dan melemparkan bola kea rah sahabatnya. Kemudian, ia berlari kea rah dekat gawang lawan, setelah ia memberikan kode bahwa Uli akan siap menerima bola dari sahabatnya.

Penantian itu dilakukan oleh Uli dengan larinya ke arah gawang lawan. Akan tetapi, langkah Uli berhenti saat ia melihat pemain tim Jepang menerjang sahabatnya secara kasar. Hal itu tidak dilihat oleh wasit. Sehingga, kasus itu terabaikan.

Uli kembali berlari kea rah yang berbeda, karena Jepang yang kini tengah menyerang. Uli berlari untuk mendekati gawang dan menjaganya. Ia memberikan kode kepada sahabatnya untuk menyampaikan pesan kepada teman timnya yang lain, bahwa tim hanya perlu fokus untuk menjaga bola agar tidak mencapai score.

Hal itu berhasil. Kemudian, Uli sebagai kapten di sana, memberikan olah perintah, untuk melakukan penyerangan balik, dengan oper bola pendek. Cukup mengecoh lawan memang. Akan tetapi, hal tersebut tak bertahan lama. Tim jepang menerjang Uli dari belakang, dan menghalang-halanginya dengan kasar saat Uli hendak mengoper bola ke arah teman timnya yang lain.

“Pelanggaran woy,” ucap Uli geram saat ia melihat wasit hanya terdiam ketika melihat kejadian itu.

Tim lain melaporkan ke wasit. Dan wasit mendekat dan memeberikan timing, kepada kedua tim untuk melihat replay siaran ulang permainan. Dan hal itu membuat keadilan pada tim Indonesia.

Permainanpun berjalan kembali. Masih berada di kuarter pertama dengan kepemilikan bola pada tim Indonesia. Maka dari itu, tim Indonesia mendapatkan hak penyerangan lawan. Dalam tahan yang berbeda, Uli menggarap timnya.

Uli menggunakan seluruh strategi yang digunakan oleh Pelatih. Semua anggota tim Indonesia hanya perlu memperhatikan kode jari Uli. Dan semua anggota tim Indonesia mengerti akan maksudnya.

“Kita bentuk segitiga dengan satu orang di tengah. Sisanya, kecohkan lawan saja, sesuai kemampuan kalian, insting kalian, dan apapun yang kalian bisa. Kasih waktu kita untuk fokus dalam segitiga tersbut,” ucap Uli di kala permainan masih berlanjut.

Pesan Uli tersampaikan dari mulut ke mulut. Semuanya berjalan dengan kompak. Akan tetapi, pasa saat pemain tengah dalam bentuk segitiga mengoper bola kea rah Uli, bola mengenai pemain yang tak jauh dari sana.

Terhimpit situasi agar bola tidak berada di tangan Jepang, tanpa sadar pemain tim Indonesia menggelindirngkan bola kea rah belakang. Hal itu menjadi salah satu pelanggaran. Di tambah, melajunya bola beriringan dengan pemain Jepang yang berjalan ke depan untuk mengambil bola. Namun, bola sudah lebih dulu berjalan di atas kakinya hingga membuatnya terjatuh dan melukai sikunya.

Seketika, wasit menghampiri dan memberikan kartu peringatan. Hal itu membuat tim Jepang marah karena ada salah satu anggota timnya yang cedera karena tim Indonesia. Sehingga, hal tersebut membuat Uli mengambil tindakah.

“Kalian tidak bisa main bola? Tidak mengerti laju bola, hah? Kalau begini bagaimana? Jangan menganggap bahwa dengan adanya pemain cadangan, kalian bisa semena-mena dalam melukai anggota lawan,” jelas salah satu tim Jepang.

“Maaf, kita memang salah. Kita mengakui kesalahan kita. Karena itu semua memang tidak disengaja,” jelas Uli.

“Maaf, Maaf, mudah sekali kalian meminta maaf. Jika kalian berada di posisi kita, mau? Oke, kita akan kasih tahu gimana rasanya kehilangan salah satu anggota tim,” ucap salah seorang lain dari tim Jepang.

“Kita mau berbuat baik. Dan bahkan, baik itu harus. Tapi kalau salah, kami juga tidak enggan untuk meminta maaf. Namanya juga sengaja, tidakkan bisa menerima maaf?” ucap Uli tak kalah sarkatis dengan pemain yang baru saja membalas ucapannya.

“Tapi tidak segampang itu!!!” ucap pemain Jepang dengan nadanya yang mulai meninggi.

Wasit yang mengetahui kondisi lapangan semakin panas dengan pertengkaran, mencoba untuk menenangkan dengan memberikan bola kepada pemain Jepang sebagai salah satu aturan lapangan.

“Bagaimana ini, Uli?” tanya sahabatnya dan rekan-rekan tim lain secara bergantian.

Uli berjalan kea rah pelatih dan memberikan kode untuk memasukkan pemain cadangan. Sebelum permainan dimulai kembali. Setiap tim diberikan waktu untuk istirahat sekaligus diskusi mengenai situasi lapangan.

“Gini teman-teman. Kita tidak perlu kawatir dengan ancaman mereka. Yang terpenting, kita harus lebih hati-hati dalam mengambil tindakan. Kita berada pada visi dan misi yang sama. Bahwa niatan kita tanding di sini, adalah untuk mengepakkan sayap Garuda. Mengambil piala sekaligus medali, untuk score yang lebih tinggi dari sebelumnya.”

“Kita hanya perlu melakukan yang terbaik. Usaha dengan sepenuh jiwa dan raga. Bermain dan menikmati permainan sepenuh hati. Tidak papa dengan pelanggaran yang diberikan. Jangan kawatirkan itu. Yang terpenting, adalah bagaimana kita kembali berteriak dan menguak suara Garuda yang kini tengah di ambang sakit. Jangan takut. Karena kita tidak sendirian berada di tengah lapangan dengan ribuan penonton yang hadir di stadion. Kita bersama-sama sebagai tim. Jadi, ayo kita lakukan bersama,” jelas Uli memeberikan motivasi untuk teman-teman tim Indonesia.


Permainan, kembali dimulai. Kali ini, Jepang menjadi pemilik bola. Dan menjadi tim penyerang. Tim Indonesia melakukan strategi sesuai dengan pelatih. Namun, untuk quarter kedua ini, pelatih memberikan wewenang kepada Uli untuk menentukan jalannya tim seperti apa selama itu dapat mencetak score sebelum waktu tibanya nanti keputusannya seri.

Uli memahami hal tersebut. Sehingga, Uli mengambil langkah untuk lebih mempertahankan bola dan tidak memeprdulikan apabila itu hanya mengoper atau saling giring dari satu pemain tim Indonesia ke pemain lainnya.

Namun, Uli tetap memeprhatikan lengahnya tim Jepang berada dimana. Di sanalah Uli berniat untuk mencetak angka sebagai score pertamanya. Meski banyak kendala dalam permainan waktu, namun strategi itu dapar berhasil di quarter kedua tersebut.

Uli seketika bersimpuh. Kemudian, mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Semuanya bersorak kegirangan dan stadion penuh dengan gemuruh gembira saat tim Indonesia berhasil mencetak angka meski dalam quarter kedua.

“Selamat Uli,” ucap salah satu teman pemain Indonesia.

“Bukan aku. Tapi kerjasama kalian,” ucap Uli dengan senyuman bahagianya.

Bagi Uli, kerjsama tim yang dapat menentukan keberhasilan itu. Bukan strategi dirinya. Karena baginya. Percuma saja jika ia menjadi kapten dengan banyak strategi dan teman-teman sesame tim enggan untuk melakukan itu. Maka dari itu, kerjasama adalah kunci keberhasilan dari sebuah tim.


Sumber : Photo by Lesly Juarez on Unsplash

Setelah berhasil mencetak angka. quarter ketiga dimulai. Dengan bola milik tim Indonesia. Kali ini, Indonesia menjadi tim penyerang. Kembali menggunakan strategi yang sebelumnya karena masih belum ada titik kegagalan dalam penggunaan strategi tersebut. Maka dari itu, Uli sebagai kapten masih mengijinkan pemain setimnya menggunakan strategi yang sama.

Dalam prosese penyerangan di tengah ia hendak mencetak gol kembali, bola dapat direbut oleh tim Jepang. Lebih tepatnya, sahabatnya sendiri saat ia berada di Jepang. Lafaza. Dalam penyerangan salah satu anggota tim Lafaza mengucapkan kata-kata yang kasar dan merendahkan. Dan Lafaza mendengar hal tersebut. Ia tidak menanggapi untuk menasehati. Melainkan, justru mengoper bola ke arah teman tim Jepang yang berkata kasar dan tidak sopan tersebut.

Uli mengerutkan dahinya. Ada sepintas pertanyaan mengapa Lafaza tidak memberikan perintah nasihat untuk teman setimnya sebagai seorang kapten. Bahkan, semuanya seolah-olah biasa saja. Akan tetapi, hal tersebut membuat Uli kembali menekan egonya untuk mentoleransi kesalahan tersebut sebagai suatu pelanggaran dalam etika di dalam lapangan.

Hingga akhirnya, Uli menyimpan hal tersebut sendirian, dan terus memberikan semangat kepada rekan-rekan setimnya untuk lebih gencar dalam mencetak angka. Dalam proses tersbut, Jepang kembali meneriakkaan kata-kata kasar dalam lapangan dan hal itu ditujukan kepada tim Indonesia.

Karena merasa geram, Uli meggiring seorang lawan untuk mendekati wasit dan memberikan sedikit kecohan agar ia berkata kasar. Hal itu terdengar jelas oleh wasit. Sehingga, Jepang menerima peringatan sebagai kesalahan dalam etika berbicara.

“Yaudah, minta maaf deh, cuman berkata gitu aja jadi masalah,” jelas salahs eorang pemain dari tim Jepang.

“Oke kita memaafkan, selama jangan diulangi lagi,” ucap Uli dengan bijak.

Karena keduanya telah menerima konsekuensinya, permainanpun dilanjutkan dengan cara bermain masing-masing. Yang mana, permainan itu tak jauh dari digiringnya bola untuk mempertahankan kedudukan bola, atau hanya sekedar mengoper bola hanya untuk mempercepat jalannya pencetakan angka.

“Woy!!!” teriak salah seorang pemain dari tim Indonesia.

Uli mendengarkan teriakan itu seketika. Teman setimnya yang memgang pundak pemain tim Jepang saat merasakan ada sesuatu yang mengganjal di tengah jalannya permainan. Dan lagi-lagi, tak bisa dipungkiri, bahwa peluit wasit menghentikan jalannya permainan.

“Ada apa lagi?” tanya Uli.

“Dia berdiri menghalangi gue saat gue mau ambil bola dari teman setim kita, Uli. Dia menghalangi di saat aku tidak membawa bola. Lengannya menekan dadaku dan aku mencoba menghindarinya, tapi dia tetap melakukan hal yang sama. Hingga kakiku akhirnya terinjak oeh kakinya. Itu membuatku hendak terjatuh terjungkal ke depan jika aku tidak dapat menyeimbangkan diri,” jelas salah satu teman setimnya.

“Tapi kamu tidak jatuh, kan? Justru kalian yang menghalangi,” jelas tim Jepang yang tengah bermasalah dengan tim Indonesia kala ini.

“Sudah-sudah,” ucap Wasit hendak memberikan tindakan.

“Bentak dulu lah, Pak. Kita dnegarkan dulu penjelasan kedua belah pihak,” ucap Uli mempertahankan keadaan.

“Wajarlah kalau melakukan kesalahan ringan kayak gitu,” ucap Lafaza.

“Apa yang kau maksud, Lafaza?” tanya Uli.

“Ya… mau gimana lagi. Kita udah meminta maaf tadi. Tapi, manusia tidak luput dari kesalahan. Okelah, kita mau berbuat baik kemudian meminta maaf. Tapi, kalau melakukan kesalahan lagi, wajar dong, itu manusiawi,” jelas Lafaza memberikan kode agar wasit menjatuhkan kartu peringatan kepada tim Uli.

“Tidak bisa begitu, manusia harus berbuat baik. Kalau salah ya meminta maaf,” jelas Uli tak sabaran.

“Itu hanya pemikiranmu saja. Logisnya, cobalah piker sendiri. Kita ini manusia, bukan malaikat, Uli,” jelas Lafaza dengan menekankan suaranya pada saat menyebutkan namanya.

“Sudah-sudah, biarkan saya memberikan tindakan atas peristiwa ini. Jangan berdebat sendiri. Kita akan memakan banyak waktu jika kalian bermain saling adu balas dendam seperti ini. Ayolah, sesama atlet saling menghargai. Jangan menjunjung tinggi pemikiran kalian masing-masing. Toh, itu juga akan merugikan kalian sendiri!” jelas Wasit mengambil tindakan.

Akhirnya, kedua tim menerima konsekuensi yang akan didapatkan dari wasit. Merekapun kembali bermain dalam pertandingan di quarter ketiga sebagai salah satu akhir quarter karena waktu akan habis sebagaimana aturan main lapangan sepak bola.

Dan hal itu memberikan cetakan angka yang sama. Satu kosong dengan score kemenangan di tangan Indonesia pada quarter kedua. Tepat pada saat menggunakan strategi yang diberikan oleh Uli. Bukan hanya teriakan dari tim Indonesia atas kemenangan itu. Melainkan, seluruh penonton di stadion menikmati kemenangan itu.

Terlihat di sudut lapangan. Among, Inong, dan Lasta menyaksikan pertandingan itu. Mereka bertiga menatap Uli dengan tatapan harunya. Kedua bola mata mereka, menyiratkan rasa syukur atas kembalinya Uli. Parulian Hutasoit. Kembalinya dirinya, jiwanya, yang menjadi titik tiang kokoh kemenangan itu.

Bagi Inong, bukan strategi yang menentukan itu. Tetapi, kesabaran dalam menghadapi rintangan yang ada di depan mata untuk menghalangi. Begitu juga untuk Among. Kemenangan itu bukanlah asal dari strategi itu. Melainkan, menepis rasa sakit dan bekas luka hati serta menyembuhkan luka hati atas kekecewaan yang ada  merupakan kunci utama untuk maju saat itu juga.

Dan yang terakhir, bagi Lasta. Menekan ego sebagai bentuk kerjasama merupakan salah satu kunci keberhasilan suatu tim dalam menjadi visi dan misinya. Sedangkan untuk Uli, tidak ada yang bisa memberikan keberhasilan saat seseorang itu tidak mengetahui apa prinsip hidupnya, dan bagaimana seseornag itu dapat menjaganya dan memeprtahankan prinsip hidupnya.

-TAMAT-

Comments

Tinggalkan Balasan