PARALAYANG | RASA Episode 10

“Gimana? Kamu suka?” tanya Hafied di sela Zania yang tak pernah menghentikan senyumnya.

“Terimakasih telah memabawaku kemari,” ucap Zania dengan seulas senyumannya.

“Sama-sama,” ucap Hafied dengan anggukan kepalanya perlahan.

Zania terdiam. Ia menikmati pemandangan itu. Berada di atas bukit. Melihat dataran rendah bak seperti lembah. Banyak rumah dengan genting yang berbeda. Banyak pepohonan yang membalas senyumannya. Udara yang terus bercanda tawa untuk hadir di depan matanya, di setiap pori kulitnya. Tak lupa menyapa bulu halus disetiap bagian tubuhnya. Zania, memejamkan kedua matanya.

“Kamu udah makan?” tanya Hafied di sela Zania menikmati udara sejuk pegunungan di sana. Paralayang.

“Belum, Abang udah?” tanya Zania.

“Sama. Belum juga. Makan yuk sekarang?” tawar Hafied kepada perempuan kecilnya.

“Makan di mana?” tanya Zania.

“Ikuti Abang. Abang yakin, kamu suka.”

“Hmmmm,” ucap Zania dengan menganggukkan kepalanya.

Hafied membalasnya dengan senyuman hangat di kala hawa dingin di sana, menyentuh setiap pori-pori tubuhnya. Namun, angin dan udara sejuk terus berhembus dari tempat itu. Paralayang. Tempat yang menyajikan pemandangan indah, embun yang memukau, serta hamparan tanaman organic menjadi salah satu tempat objek wisata yang digemari berbagai kalangan. Kususnya pemuda dan pemudi.

Jalanan yang terjal, berkelok, sekaligus, menanjak, menjadi adrenalin tersendiri bagi pengendara motor kopling. Dimana, pengendara harus bisa mengatur gigi, gas, kopling, rem, dan juga, mengatasi medan yang ada. Mereka dapat dikatakan gagal pada saat motor yang dikendarai mundur, dan mengharuskan pengendara menurunkan giginya, dan membiarkan motornya menaiki medan dengan mesin yang berat. Karena bila tidak, maka motor akan terus mundur, dan dapat menyebabkan kecelakaan karena motor yang mundur akan menabrak motor di belakangnya.

“Kamu mau pesen apa?” tanya Hafied kepada Zania saat ia telah menerima menu makanan yang disajikan oleh pelayan resto.

“Abang mau pesen apa?” tanya Zania balik.

“Loh, kok nanya Abang? Kan Zania punya selera sendiri,” ucap Hafied bijak.

“Maksud Zania, bertanya kayak gitu, karena Abang kan yang tahu tempat ini lebih dulu daripada Zania. Pasti sebelumnya, Abang pernah ke sini. Dan yang pasti, Abang lebih tahu tempat ini daripada Zania. Termasuk menu makanan yang enak apa? Abang pasti tahu itu. Makanya, Zania nanya sama Abang,” jelas Zania dengan nadanya yang lembut.

“Mau bakso hijau? Tapi pedas, gimana?” tanya Hafied langsung menawarkan.

“Boleh. Kebetulan, hawanya dingin, Bang.”

“Minumannya?” tanya Hafied seraya menuliskan menunya dalam kertas pesanan.

“Enaknya apa?” tanya Zania.

“Mix jussy?” tanya Hafied.

“Okke, boleh.”

Hafied menuliskan semua pesanannya. Sekaligus mencantumkan beberapa camilan ringan yang menurutnya enak. Ia berpikir, Zania pasti suka. Karena ia tahu, bahwa Zania merupakan perempuan yang gemar dengan makanan pedas. Entah kenapa? Matanya seolah berbinar dan bibir tipis mungilnya, begitu indah saat ia melihat makanan pedas di depan matanya. Hal itu, yang selalu membuat Hafied rindu.

“Kenapa namanya bakso hijau?” tanya Zania setelah pelayan resto pergi meninggalkan mereka berdua.

“Karena baksonya digiling dengan brokoli hijau. Makanya, daging sapi yang digiling berwarna hijau,” jelas Hafied.

“Kalau yang Mix Jussy? Kenapa dinamakan itu?” tanya Zania.

“Karena jus buahnya dicampur dengan sayur-sayuran. Dan, antara buah serta sayur yang dimasukkan dalam jus, memiliki berat yang imbang. Jadi, rasanya nggak dominan dimananya. Baik di buahnya, atau sayurnya. Karena keduanya porsinya sama,” jelas Hafied seraya memegang salah satu telapak tangan Zania yang tergeletak di atas meja.

“Ohhh, gitu ya? Abang tahu tempat ini darimana?” tanya Zania menyelidik.

“Dulu, waktu Abang masih jadi Taruna, Abang sering main ke sini sama temen-temen Abang di Asrama. Tentu aja waktu liburan. Kalau nggak gitu, nanti Abang suruh push-up dan kena hukuman kalau keluar dari Asrama tanpa ijin. Toh, kalaupun dibolehin keluar, jangka waktunya pendek banget. Nggak akan sampai untuk perjalanannya aja.”

“Tempatnya, bagus. Zania suka. Jadi pengen punya rumah, atau apartement di sini. Pemandangannya bener-bener indah banget, Bang.”

“Syukurlah kalau suka. Abang jadi nggak sia-sia bawa kamu ke sini. Karena kamunya suka, jadi berasa berhasil buat milih tempat. Ibarat ngerjakan tugas atau soal, Abang bener jawabnya. Jadinya nilainya bagus. Seneng, lah…,” jawab Hafied dengan senyuman.

Zania tertawa renyah saat mendengar jawaban laki-laki di depannya. Dan Hafied menikmati suasana itu dengan rasa yang genap. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Dan, Hafied ingin mengutarakan itu.

“Zania, ada yang ingin Abang bicarakan sama kamu,” ucap Hafied dengan nadanya yang lembu, namun serius.

Zaniapun terdiam. Anggukan kepalanya memberikan intruksi kepada Hafied untuk memulai pembicaraan.

“Maafin Abang ya, Zan. Untuk masalah kemarin. Abang terlalu posesif sama kamu hingga kamu tertekan dengan semua sikap Abang. Tadinya, Abang ingin mengunjungi rumah kamu, untuk membicarakan ini. Tapi nanti, nggak enak sama Mama dan Papa kamu. Jadi, Abang memilih tempat ini, Zania. Maafin, Abang karena Abang belum bisa mengendalikan ego dan juga emosi Abang, hingga harus berkata kasar ke kamu, atau berbicara dengan nada yang tinggi kepada kamu. Maafkan Abang… Zania.”

“Tapi, kamu nggak usah takut atau kawatir. Abang akan berusaha untuk memperbaiki semuanya. Mencoba untuk mengendalikan diri Abang sendiri. Tolong dan mohon maklumi Abang. Karena memang baru kali ini, Abang menghadapi perempuan, Zania. Jujur, sebelumnya Abang nggak pernah berhubungan serius dengan perempuan. Dan, baru kali ini dengan kamu, Abang menjalin itu semua. Dan… Dan… hubungan ini berbeda dari sebelumnya. Itu alasan kepada Abang, masih awam dalam menjalani, mengatasi, hingga Abang bingung harus bersikap seperti apa ke kamu. Abang sendiri juga baru tahu, bahwa kamu bukanlah pribadi yang dapat ditekan dengan segala aturan. Kebebasan adalah aturan kehidupan kamu, Zania. Tapi Abang masih belum bisa mengerti bagaimana kamu, Zania.. tolong… tolong maafkan, Abang ya.., Abang… Abang…,” ucap Hafied terbata di tengah penjelasannya.

“Bang Hafied. Dengerin Zania. Pertengkaran kita, itu bukanlah keburukan dalam diri kamu. Ego kamu, juga bukanlah sebuah kesalahan yang mutlak. Begitu juga dengan emosi kamu. Alasan kamu, belum pernah menjalin hubungan serius dengan siapapun, bukan menjadi titik dimana kamu tidak mengetahui apapun tentang sebuah hubungan. Dan untuk masalah cemburu, itu bukan semuah kewajaran bagi Zania. Abang, cemburunya Abang, tidak pernah Zania artikan sebagai kekangan. Melainkan, cinta yang tak terbendung dari kamu, Bang. Besarnya cintamu tak tertahankan, hingga pada saat ada sebuah kesalahan dalam cinta, kamu menyalahkan diriku tanpa kamu sadari bahwa itu adalah bentuk cinta bertindak. Zania, memaklumi itu. Kamu, terlalu cinta. Aturan yang kamu bangun, merupakan salah satu komitmen untuk memulai. Zania mengerti itu, meski Abang mengutarakannya, terkadang membuat Zania terluka. Semua itu, kesalahan yang termaafkan, Bang. Hanya, satu hal yang tidak bisa Zania maafkan, dalam sebuah komitmen. Yaitu, saat Abang melanggar janji.”

“Okke. Abang untuk saat ini tidak melanggar janji. Tapi, pada waktu yang akan datang? Siapa yang tahu? Kita nggak akan tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Yang bisa kita jalani, adalah antipasti. Mungkin, pada suatu saat, kita akan saling menyakiti. Tapi, pada akhirnya, Zania berpesan kepada Abang. Tolong jaga komitmen ini. Memang, Zania tidak pantas menuntu Abang untuk menjaga komitmen ini sendiri. Karena kita yang menjalani. Namun, tolong selalu ingat ini, bahwa yang membangun rumah untuk tempat berseminya cinta kita, tumbuhnya cinta kita, adalah kamu, Bang. Kamu yang memulai, oleh karena itu aku meminta kepada kamu, Bang. Tolong jaga baik-baik bangunan itu. Karena aku, hanya bisa menjaga ruangan itu. Untuk kokohnya bangunan, ada di tangan kamu. Karena kamu adalah laki-laki. Yang notabenenya meminjami aku tulang rusukmu. Dari sana, sudah jelas aku tak sekuar kamu, Bang. Jadi tolong mengerti tentang itu,” lanjut Zania menjelaskan.

Dalam hitungan detik, Hafied meraih kedua telapak tangan Zania. Ia mencium kedua telapak tangannya. Dan tanpa rasa malu, atau canggung, Hafied meneteskan air matanya di atas telapak tangan Zania. Dan Zania membelai kepalanya dengan salah satu telapak tangannya yang ia tarik dengan sengaja untuk membelainya. Sedangkan Hafied tersedu dalam bisu setelah mendengar semua penjelasan Zania.

Dimana, Zania memafkan seluruh kesalahannya karena rasa sayangnya. Bukan karena hal itu merupakan kewajaran, atau sesuatu kewajiban sebagai manusia yang dianugerahkan hati untuk memaafkan. Letak kebijakan itu, merupakan salah satu cinta Hafied kepada Zania. Perempuan yang dapat membedakan sebuah rasa. Perempuan yang selalu berjalan dengan pikiran dan hatinya yang searah. Perempuan, yang membuatnya jatuh dan terpukau dengan seluruh kata lembutnya.

Bukan karena itu sebuah puisi yang indah, atau nada lembutnya. Melainkan, kata yang dituturkannya, merupakan sebuah langkah awal untuk mengajarkan ia dewasa. Meski pada dasarnya, Zania tidak berniat untuk menggurui dirinya.

Hanya saja, kebijaksanaan gadis itu, dalam bertindak, mampu membuka kedua mata hatinya untuk melihat. Hingga ia mampu berjalan dalam kegelapan, dan mencari cahaya sebagai salah satu langkah untuk mulai membentuk pribadi yang baik. Atau bahkan lebih baik.

***

-TAMAT-

Comments

Tinggalkan Balasan