#CerpenKita
Episode 5
Tiga bulan telah terlewati. Saat ini, adalah bulan keempat. Bulan terakhir dimana Uli berada di Jepang. Latihannya selama ini, berupakan salah satu bagian dari tanggung jawabnya sebagai Kakak.
Uli enggan menyebutnya jika untuk negaranya. Karena ia tahu bagaimana rasanya sakit setelah dilempar seperti sampah ke negara lain, dan merasakan betapa susahnya. Sehingga, Uli memilih, bahwa tanggung jawab yang ia lakukan saat ini, adalah bentuk tanggung jawab untuk adiknya. Lasta. Agar Lasta tak lagi ada niata untuk mundur menjadi Atlet karena nasib yang di alami oleh Uli.
“Yakuza!!!” panggil pelatih saat Uli masih sibuk dengan giringan kakinya membentuk angka delapan.
“Hei! Berhentilah sebentar!” ucap Makochi.
Yakuza menghentikan latihan itu. Iapun berjalan kea rah Makochi yang tengah berdiri di bangunan gedung istirahat. Makochi menunggu Yakuza di ambang pintu seraya mengacak pinggang.
“Ada apa Sensei?” tanya Yakuza.
“Kau, kembali ke asrama. Mandilah, dan berganti pakaian yang bagus. Akan ada orang yang ingin menggunakanmu sebagai salah satu timnas. Dia sponsor terbesar. Dia ingin bertemu denganmu setelah aku memberikan laporan hasil rekaman latihanmu, dan juga mengirim skor pertandingan kecilmu sebagai salah satu tolak ukur,” jelas Makochi.
“Aku?” tanya Yakuza memastikan dirinya dengan menunjukkan jari telunjuknya kea rah wajahnya.
“Ya! Kamu,” ucap Makochi yakin dan girang.
“Kenapa harus aku? Ada Lafaza dan teman-teman yang lain,” berontak Yakuza tak percaya.
Seketika Makochi menjitak dahi Yakuza. Dan ia meringis atas hal tersebut.
“Hei!!! Dungu!!! Dengarkan aku baik-baik. Ini adalah kesempatan terbaikmu! Jangan sampai kau sia-siakan! Paham tidak?!!! Jika kau sampai terlambat datang ke ruang meeting. Lihat saja nanti! Awas saja kau!” Ancam Makochi dengan menudingkan jari telunjuknya.
Bibirnya manyun, Ia menatap Makochi yang pergi meninggalkannya. Ia juga tak henti-hentinya membelai dahinya yang menjadi harta karun terbesar untuknya. Ia tak mampu jika harus menjadi sesuatu yang akan menjadikan dirinya sampah seperti dulu.
“Haish!!!” decah Yakuza kesal seraya meninggalkan lapangan dan berjalan kearah asrama.
Sesampainya di sana, Yakuza sudah dapat melihat Lafaza yang rapi dengan setelah jas tuksedonya. Sungguh pemandangan yang indah menurut Yakuza. Namun, bayangan serta suara ancaman Makochi terus terngiang di dalam telinga dan benaknya. Hingga mengharuskan Yakuza berlari terbirit kea rah kamar mandi, dan menyusul Lafaza ke ruang meeting.
“Selamat Siang, Makochi-san,” ucap salah seorang dengan setelan jas yang rapi dan membawa dua pengawal.
“Siang, apa kabar dengan, Anda?” tanya Makochi seraya menerima jabat tangan dari orang itu.
“Ah… Baik-baik saja. Bagimana denganmu?” tanya orang itu.
“Aku baik-baik saja,” ucap Makochi dengan senyuman.
“Mari, silahkan duduk,” ucap orang itu dengan memeprsilahkan duduk.
Yakuza dan Lafaza masih berdiri di belakang Makochi. Mereka berdua tak berani untuk mengambil langkah apabila Makochi tidak memberikan arahan kepada mereka berdua. Hingga akhirnya, Makochi menatap mereka berdua dengan tatapan yang penuh dengan ancaman. Yakuza dan Lafaza terbirit untuk duduk. Bahkan, lutu Yakuza dan Lafaza sempat berbenturan dengan Meja.
“Ahahaha, maafkan mereka. Mereka berdua memang ceroboh,” ucap Makochi dengan tawa ringannya untuk mencairkan suasana yang ada.
“Hahahaha, tidak-tidak. Aku dapat memaklumi itu, “ jelas orang itu tak kalah dengan Makochi.
“Bisakah kalian berdua keluar sebentar?” tanya orang itu kepada kedua pengawalnya.
“Dan, untukmu Makochi. Bolehkah, aku meminjam mereka berdua sebentar?” tanya orang itu seraya menjatuhkan tatapannya kea rah Yakuza dan Lafaza yang masih duduk dengan tegap layaknya seorang TNI yang berhadapan dengan atasannya.
“A… A… ya…! Aku.. tentu saja bisa. Bicaralah sesuka kalian,” ucap Makochi dengan mempersilahkan mereka menikmati waktu yang tersedia.
Orang tersebut tersneyum dengan bahagia. Makochi, beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Dan orang tersebut tak kunjung bicara. Hal tersebut membuat suasana yang ada di dalam sana terasa begitu aneh.
Yakuza terus memperhatikan raut wajah orang itu dengan ujung matanya. Ia terlihat siap untuk mengutarakan ucapannya setelah terdengar pintu ditutup dengan rapat. Barulah orang itu memulai sikapnya untuk hendak berbicara. Terlihat dari cara duduknya, ia adalah orang yang besar. Ia bahkan tak sungkan untuk menyenderkan punggungnya dan berbicara dengan santai dan lantang.
“Apa rencana kalian kedepan?” tanya orang itu memulai pembicaraan.
Lafaza seketika menolehkan kepalanya. Ia spontan melihat sekaligus menatap orang tersebut dengan tatapan yang siap untuk menjawan semua pertanyaannya.
“Menjadi atlet dunia, membeli rumah, mobil mewah, dan memiliki tunjangan serta asset yang dapat digunakan dalam jangka panjang,” ucap Lafaza antusias.
Yakuza masih terdiam. Orang itu menatap Yakuza dengan tatapan intimidasi. Hingga orang itu, mengubah sedikit posisi kepalanya karena Yakuza tak kunjung menggerakkan bibirnya sekaligus mengeluarkan suaranya untuk menjawab pertanyaan itu. Bahkan, Yakuza seolah acuh dengan tatapan perintah itu.
“Kenapa kau diam? Tidakkah kau mau menjawab pertanyaanku?” tanyanya dengan nadanya yang hendak meninggi meski oktafnya begitu rendah.
“Apa yang Anda tanyakan kepada saya? Anda tidak menyebutkan pertanyaan tersebut ditujukan kepada siapa? Kalian, memiliki banyak makna. Dan hal tersebut tidak menutup kemungkinan jika Anda bertanya kepada diri Anda sendiri,” jelas Yakuza.
“Tch!” decah orang itu setelah mendengar pernyataan dari Yakuza.
Lafaza menyentuh lengan Yakuza dengan sikunya. Tatapan serta ucapannya yang tak bersuara menyuruh Yakuza untuk berhati-hati dalam mengambil tindakan berbicara. Karena Lafaza tahu, siapa orang yang ada di depannya. Dan, Yakuza menyikapinya dengan santai dan seolah ucapan yang telah ia lontarkan benar adanya dan tidak menutupi kesalahan bahwa dirinya benar.
“Ada pepatah, tak kenal, maka tak saying. Saya menganggap, Anda bertanya demikian tanpa mengenal kami, bukanlah sebuah pertemuan yang bagus. Oleh karena itu, saya mengharapkan pertemuan pertama kita ini, akan menjadi sebuah pertemuan yang bagus, salah satunya dengan mengenal nama masing-masing, satu sama lain,” jelas Yakuza melanjutkan ucapannya.
Seketika orang itu tertawa dengan bahaknya yang renyah. Ia tidak menyangka dengan jawaban Yakuza yang sederhana dan familiar. Ia seolah menemukan dirinya yang dulu sebelum tahta membutakannya bahwa mengenal nama seseorang sebelum memanggilnya bukanlah suatu kesopanan. Sedangkan negaranya, sangat menjunjung tinggi kesopanan dengan budaya global yang ada.
“Siapa namamu, anak muda?” tanyanya kembali.
“Nama saya, Parulian Hutasoit. Nama Jepang saya, Yakuza Manuandro,” jelasnya singkat.
“Indonesia, ya?” ucapnya menjurus.
Yakuza tersenyum, seraya menganggukkan kepalanya. Dan tak lupa, ia membukukkan setengah bahunya sebagai bentuk terimakasih atas penghargaan bahwa orang itu langsung mengetahui darimana asal Yakuza.
“Tak perlu demikian, aku akan memanggilmu dengan nama aslimu, Anak Muda. Siapa nama panggilanmu?” tanya orang itu.
“Uli, Pak.”
“Baiklah, Uli. Apa rencanamu kedepan?” ucap orang itu to the point dengan pertanyaannya.
“Saya mencoba untuk menjadi berlian,” ucapnya singkat.
Seketika orang itu menegakkan tubuhnya, dan memperbaiki duduknya. Ia berdeham seraya melonggarkan dasi ketatnya yang seolah-olah seketika membuatnya tercekik dengan satu kalimat hasil ucapan Yakuza.
“Langsung saja, aku ingin kalian bermain di liga Jepang pada saat Asian Games nanti, formasi pemain yang kami harapkan sebagai sponsor adalah kalian. Saya percaya, bahwa kalian bisa menjadi juara untuk mengharumkan nama Jepang. Dan saya yakin, Makochi akan dengan senang hati memberikan kalian kepada anggota liga, nantinya. Saya berani berjanji untuk memberikan fasilitas yang lebih baik daripada asrama ini,” ucapnya tegas dan penuh antusias.
“Saya setuju, Pak,” ucap Lafaza tak kalah antusias.
“Bagaimana denganmu, Uli? Apa kau setuju juga? Aku berharap kau setuju. Karena jikapun nantinya kau kembali ke negaramu, aku tidak dapat meyakini sesuatu bahwa negaramu akan memberikan jaminan yang sama kepadamu. Ali-alih, yang kutakutkan akan menjadi kenyataan, kau akan dijadikan sampah masyarakat hanya karena satu kekalahan yang belum tentu menjadi suatu kefatalan. Hingga kau harus kemari, dan menggunakan nama Jepang dalam keseharianmu, dan menepis nama nusataramu itu,” jelas orang itu dengan lantang tanpa ada yang ditutupi.
Yakuza masih terdiam. Ia tak dapat menjawabnya. Hal itu terbaca oleh orang itu. Dan tanpa banyak kata, orang itu memberikan kartu namanya agar Yakuza mau memikirkannya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.