Menginjak : #CerpenKita Episode 9

Sumber : Photo by Paul Volkmer on Unsplash

“Abang Uli!!!!” teriak Lasta.

Uli tersenyum dengan lebarnya. Melihat wajah adiknya, Uli merasakan kedamaian. Kedamaian itu datang seketika di saat Uli disajikan pemandangan dimana Lasta menggunakan seragamnya sebagai pemain tim nasional.

“Abang!!! Lasta rindu,” ucap Lasta dengan bahagia di saat melihat Uli mulai mendekat ke arahnya.

Mereka berdua berpelukan. Lasta bahagia, karena Uli kembali ke Indonesia dan memilih untuk pulang ke rumah. Untuk sejenak, Uli menghirup aroma bandara Indonesia. Hingga, ia mulai teringat akan sebuah hal. Inong dan Among.

“Lasta, kau kemari sendiri?” tanya Uli.

“Taklah, Bang. Aku kemari dengan Among dan Inong. Kemarilah, ikut denganku. Among dan Inong menunggu di ruang tunggu, bukan pintu keluar. Aku saja yang berinisiatif kemari, hingga aku bisa bertemu denganmu lebih dulu dibandingkan Among dan Inong,” jelas Lasta.

“Mmmm, baiklah. Ayo ke sana, aku yakin Among dan Inong tengah menunggu,” jelas Uli dengan berjalan kea rah ruang tunggu.


“Among,” ucap Uli saat melihat Among yang berwajah cemas menunggu kedatangan putranya.

“Uli! Kau sudah datang?” tanya Among memastikan bahwa yang ada di depannya, benar-benar putranya.

“Kau banyak tanya lah, Bang. Jelas-jelas ini, Uli. Anak kita,” ucap Inong dengan beranjak dari tempat duduknya. Kemudian, berjalan mendekati Uli.

“Kemarilah, Nak. Inong ingin memelukmu,” jelas Inong melanjutkan sebelum Among memeluknya.

Uli menerima pelukan dari Inong. Ia juga tak lupa memeluk Amongnya. Begitu juga dengan Lasta. Hingga akhirnya, Uli merangkul merela bertinga dalam satu pelukan. Wajar saja, tubuhnya yang tinggi membuat lengannya lebar dan kakinya tinggi.

“Uli, ada yang ingin Among katakana padamu,” jelas Among setelah Uli memeluknya.

“Ish!! Among.. Kita balik dulu, lah…, biarkan Abang Uli makan rendang,” ucap Lasta.

“Tahulah kau Abang! Tega sekali dengan, anak kita,” ucap Inong membela Lasta.

“Yalah, yalah… Ayo pulang. Kita habiskan rendang di rumah,” ucap Among menyerah dengan demo para perempuan yang ada di keluarganya.


Merekapun kembali pulang. Menyambut Uli dengan berbagai masakan nusantara yang siap memanjakan lidahnya. Uli tersenyum bahagia dengan keputusannya. Ia kembali ke Indonesia, dan bisa kembali bertemu dengan Garuda.

“Ayo makan, Bang,” ucap Lasta.

“Mmmm, ayo. Maaf kalau Abang terlalu suka dengan udara kampong,” ucap Uli.

“Hahaha, maklum lah. Sudah, nanti lanjutkan menikmati udara ini, “ ucap Lasta dengan menggeret Uli untuk berjalan ke ruang makan, dan meninggalkan halaman rumah yang tengah membuatnya terpukau.


Sumber : Photo by Vitchakorn Koonyosying on Unsplash

Uli menghirup aroma masakan Inong yang membuatnya bahagia. Semuanya terasa hangat. Begitu juga dengan suasana hatinya kala itu. Indonesia kembali membuatnya terpukau dengan masakan-masakan enak yang sesuai dengan lidah dan seleranya, sekaligus menyajikan udara yang sejuk dan pemandangan yang indah. Hingga, Uli sangat menikmati makanannnya dan lupa bahwa ia telah menghabiskan tiga piring makanan. Hal itu cukup membuat keluarganya terngaga.

“Akhirnya,” ucap Uli lega saat perutnya kenyang dengan sajian makanan yang telah dimasak oleh Inong.

“Uli, Among hendak bicara denganmu,” ucap Among.

“Aish! Cara bicara Among kaku sekali. Santailah sedikit, “ ucap Uli mencairkan suasana.

“Dasar kau ini. Ini! Terimaklah, bacalah baik-baik,” ucap Among seraya menyodorkan amplop putih yang panjang.

Seketika Uli terdiam. Ia menatap amplop itu dengan seksama. Meski pada dasarnya, seketika banyak pertanyaan yang muncul di dalam benak dan pikirannya. Hal itu masih membuat Uli terdiam. Hingga Among meraih telapak tangan Uli, dan memberikan amplop itu di atas telapak tangan Uli.

“Bacalah. Kau ini, sehabis makan mengantuk saja,” ucap Among mencairkan suasana. Terutama, suasana hati Uli saat itu, yang seketika membeku. Dan Among mengetahui itu. Oleh karena itu, Among berusaha mencairkan suasana dengan berkata ringan seolah-olah amplop itu bukanlah suatu beban untuk Uli.

“Hahaha, iyalah Among. Maaf, maaf. Uli akan membacanya, nanti. Bolehkah Uli tidur sejenak? Mengantuklah aku ini. Karena terlalu kenyang tadi,” jelas Uli meminta ijin untuk meninggalkan meja makan.

“Pergilah. Biarkan Lasta dan Inong yang mencuci piringnya,” jelas Among ringan.

Uli memilih untuk pergi ke kamarnya. Ke dalam sebuah ruangan yang bagi dirinya, menyimpan banyak kenangan. Setiap sudut tembok yang ada, menjadi saksi bisu bagi Uli. Dan setiap lembaran kertas sticky note di madding meja belajarnya, ia tulisan sejuta target kemenangan dalam hidupnya.

Karena bagi Uli, kehidupan itu seperti air yang tengah mengalir. Jika ia mengikutinya, maka ia tak dapat menentukan takdir dirinya. Dan juga sebaliknya. Itulah alasan kenapa Uli selalu membuat target di dalam hidupnya. Dan, hanya cukup ia saja yang tahu. Bahkan, sebelum ia berangkat ke Jepang, Uli selalu berpesan kepada Inong agar tidak membersihkan ruangan itu. Karena Uli tidak ingin, ada satu kenangan sakit yang hilang dari sana. Dan bagi Uli, kenangan sakit itu merupakan cambuk untuknya.

Dalam keheningan ruangan itu, Uli kembali menatap langit dari jendela kamarnya. Ia duduk di kursi belajarnya, dan memandang selembar amplop putih yang telah diberikan Among kepadanya. Firasatnya tak dapat ditentukan kala itu. Hanya ada rasa yang saling berkecamuk did alam benak hatinya. Bahkan pikirannyapun, tak dapat untuk di ajak bekerjasama seperti biasanya.

Uli menarik loker yang ada di samping meja belajarnya. Ia mengambil dengan pelan buku itu. Ah.. bukan buku bagi Uli. Melainkan, buku kenangan untuknya. Dalam setiap huruf yang ia ukir di sana, terdapat beberapa foto juga di sana. Buku itu menyimpan banyak kenangan hingga Uli tak dapat melupakan hal itu. Meskipun ia akan kembali sakit saat melihat buku itu.

Akan tetapi, kesakitan itu bukanlah suatu alasan yang mutlak bagi Uli agar ia melupakan segalanya. Agar ia, meninggalkan orang-orang yang telah menjadi bagian dari masa lalunya. Yang telah mengajarkan dirinya rasa sakit, hingga ia sedih setengah mati. Atau justru mengajarkan bahagia hingga ia tak dapat menahan tawa.

Semua itu merupakan salah satu roda kehidupan. Bahkan, jika Uli memilih meninggalkan orang-orang di masa lalunya itu, kemudian ia hadir dengan orang-orang yang menjadi masa depannya, orang-orang masa depan itu akan memiliki nasib yang sama dengan orang-orang masa lalu itu.

Karena dengan komunikasi itu, orang-orang masa depan akan mengukir kenangan, yang nantinya tak akan lupus ari sebuah kesalahan hingga menghadirkan rasa sedih setengah mati atau bahagia hingga tak dapat menahan tawa.

Dengan perlahan, Uli memantabkan hatinya. Menggerakkan jemarinya untuk menepiskan buku kenangan itu dengan nafasnya yang berat. Menandakan bahwa ia tengah berusaha untuk menguatkan dirinya, dan memantabkan hatinya. Sekaligus, memandang ke depan untuk kembali bersama dengan orang-orang yang menjadi masa lalunya, dan mengubah mereka untuk menjadi bagian masa depannya.


“Kami menunggumu di Gedung Latihan Timnas.”


Sumber : Photo by Lucas Lenzi on Unsplash

Seketika Uli tersontak. Hingga ia membelalakkan kedua bola matanya. Ia berulangkali membaca tulisan bagian itu. Yang tercetak dengan tebal di antara rentetan tulisan yang memberikan keterangan mengenai informasi tanggal.

Uli juga tak henti-hentinya untuk mengulangi setiap kata-kata itu. Memastikan apakah itu benar atau tidak.Uli juga tidak menyadari akan satu hal. Bahwa, air matanya telah mengucur dengan derasnya. Uli sesenggukan saat ia tahu bahwa ia telah berhasil mendapatkan kembali Garuda di dadanya. Ia tak tahu harus bagaimana untuk meminta maaf karena ia telah menutup rumah hatinya untuk Garuda.

“Alhamdulillah,” ucap Among yang tengah berdiri di ambang pintu saat menyaksikan Uli bersujud syukur atas apa yang telah dihadirkan oleh Tuhan.

“Kamu kembali kepada Indonesia, Nak?” tanya Among memastikan.

Uli yang tahu kehadiran seseorang di sana. Dan Among menyaksikannya dengan tatapan mata yang tak kalah deras dari air matanya. Uli bangkit dari sujud syukurnya. Ia berjalan cepat setengah berlari kea rah Amongnya, dan memeluk Amongnya dengan pelukan yang sangat erat.

“Iya, Among. Uli kembali kepada Indonesia. Maafkan Uli, Among. Karena sempat menghilangkan rasa cinta itu untuk Indonesia. Maafkan Uli, Among. Maafkan Uli,” jelas Uli di tengah isak tangisnya.

“Kembalilah, Nak. Jangan meminta maaf kepada Amongmu ini. Meminta maaflah kepada Garudamu. Buatlah ia mengepakkan sayapnya kembali dengan kehadiranmu. Dan buanglah perasangka burukmu tentang Garuda. Anggap aja, semuanya baik-baik saja dan tidak ada apa-apa,” jelas Among dengan memegang kedua pundak Uli.

Uli tidak dapat menjawab Amongnya. Ia hanya bisa berlutut kepada Amongnya untuk meminta maaf sekaligus meminta restu. Begitu juga dengan Inong yang menyaksikan peristiwa itu. Inong tak dapat menahan tangisnya. Begitu juga dengan Lasta.

Kedua perempuan yang tengah menyaksikan Uli dengan Amongnya, telah dapat bernafas dengan lega. Khususnya Lasta. Hatinya, terus bergemuruh saat melihat Uli menangis sesenggukan.

Untuk pertama kalinya, Lasta melihat kakaknya selemah itu. Selama ini, Uli selalu bisa menyenbunyikan rasa sakitnya. Ia seolah-olah menikmati rasa sakit itu, tanpa mengumpat sekalipun. Dan Lasta bangga, karena Uli telah menunjukkan betapa hebatnya seorang atlet yang diharusnya kuat, meski ia berada pada kadar yang lemah.

“Inong,” panggil Uli saat melihat ibunya tengah berdiri menyaksikan dirinya dan Among yang tengah berpelukan.

Uli berlari ke arah Inongnya. Ibunya. Memeluknya dengan hangat dan erat. Ia menundukkan kepalanya di kepala ibunya. Mengingat, tinggi badannya yang menjulang tinggi, melebihi Inongnya membuat dirinya harus menundukkan kepalanya untuk meneteskan air mata itu di kala ia membutuhkan bahu untuk sandaran.

“Lasta,” panggil Uli saat ia juga menyadari bahwa Lasta tengah berdiri di samping Inong menyaksikan Abangnya yang memeluk Inong. Tatapan matanya yang haru, sekaligus menunjukkan iri pada sikap Uli yang demikian.

Lasta merentangkan kedua tengannya. Yang siap menyambut pelukan itu. Uli menyadrai hal itu. Hingga akhirnya, ia memeluk Lasta layaknya ia memeluk Among dan Inong. Dan lasta menyambut pelukan itu jauh lebih hangat.

Jarang-jarang Uli bersikap layaknya anak kecil yang bahagia karena mendapatkan nilai seratus dari guru setelah ia mendapatkan nilai lima puluh karena satu kesalahannya. Dan kemudian, menganggap bahwa dirinya tak lagi pantas untuk mendapatkan nilai seratus sekaligus menganggap bahwa dunia telah mencampakkan dirinya.

“Datanglah besok bersamaku, Bang. Ayo kita latihan bersama di gedung yang sama.”

Comments

Tinggalkan Balasan