LITTLE LATTER | LION Episode 6

Rangkaian kata yang tergerak dalam nurani membentuk ruang untuk hati berbisik dalam tanya. Tentang takdir yang membentang bersama rasa yang terbendung oleh perpisahan. Terbelenggu bersama waktu yang hanya terus berputar mengitarinya.

 Di depan cermin, Felly bertanya akankah semuanya dapat kembali. Waktu terlalu cerpat berlalu ketika ia ingin memulai segalanya.

“Malah ngelamun aja, lo,” celetuk seseorang yang mendekati Felly dan menyapanya layaknya seorang sahabat. Bukan hanya sekedar sahabat, Riska telah menjadi salah satu bagian dari hidup Felly. Sedangkan, bagi Riska, Felly adalah hartanya. Harta yang tak pernah ternilai oleh apapun. 

“Sejak kapan lo mau pakai gaun warna biru? Perasaan desainer lo pasti akan bikin baju dengan warna merah maroon dengan make-up yang menyala di mata singa lo dan bibir ketus lo itu,” komentar Riska heran.

Felly mengedikkan bahu. “Malam ini gue merasa aneh aja. Kenapa gue nyaman dengan gaun ini.”

“Tapi lo bakalan tampil pertama, Fel.”

Seketika Felly menoleh dan menatap Riska terkejut. Bagaimana tidak, dalam rundown yang dimilikinya, Felly akan tampil terakhir karena gaun yang ia gunakan adalah gaun masterpiece untuk malam ini. Tapi, kenapa tiba-tiba ia malah mendapat giliran tampil pertama? Riska yang mengetahui kebingungan Felly menunjukkan selembar kertas yang dibawanya.

“Gue kok nggak dapet rundown yang baru?” tanya Felly heran.

“Jangankan lo, ini aja hasil dari ngerampas punya orang make over,” jelas Riska.

“Kenapa tiba-tiba ada perubahan seperti ini, sih,” gerutu Felly kesal sekaligus bingung.

“Gue juga nggak tahu, Fel. Urutan gue juga diubah. Gue udah nanya sana-sini, tapi nihil. Mereka bungkam. Ah, nggak. Sengaja dibungkam.”

“Sengaja dibungkam? Maksud lo apaan?” tanya Felly bingung.

“Kita selama ini berjalan di atas panggung bukan hanya untuk mempromosikan satu produk, Fel. Tapi untuk semua produk. Lo tahu semua pakaian ini terkumpul menjadi satu karena memang sengaja dikumpulkan. Bahasa kasarnya, dikumpulkan oleh pengepul. Semacam itu,” terang Riska.

“Jadi selama ini….”

“Felly,” panggil make over yang mendekat ke arahnya.

“Ya?”

“Kamu akan tampil sebentar lagi. Ah ya, untuk rundown hari ini berubah. Kamu yang awalnya tampil dua kali diubah jadi satu kali aja. Nggak tahu kenapa pihak penyelenggara ngubah rundown secara mendadak. Kami sebagai tim hanya menurut karena itu memang wewenang mereka,” terangnya sambil menepuk pundak Felly.

“Gue bilang juga apa. Semua ini udah direncanain. Rasanya ada yang janggal, Fel,” keluh Riska.

“Tahu, ah! Sebel gue! Minggir, gue udah dapet panggilan segala lagi. Sial amat, sih malam ini,” gerutu Felly kesal.

Riska menatap Felly heran. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap sahabatnya itu.

“Gemayu! Sini lo,” panggil Felly kepada perias yang selalu setia meriasnya.

“Apaan sih, Cyin? Kok marah-marah?” tanya laki-laki berambut panjang yang sikapnya sangat kemayu seperti perempuan. Karena itulah Felly memanggil perias yang bernama Abrar itu dengan sebutan Gemayu. Ia menghampiri Felly yang berdiri dengan kedua tangan yang ada di pinggang. Seolah menantangnya.

“Gue keluar dulu apa ke ruangan dulu? Ini kok nggak jelas banget  rundown­-nya?” gerutu Felly yang semain kesal.

“Eike juga tahu kalau rundown itu acak-acakan dan seolah mempermainkan you. Tapi, so please, sabar dulu, Cyin. Eike juga mau cari informasi. Baru kali ini eike dibikin pusing sama rundown,” tutur Abrar yang kemudian meninggalkan Felly.

Tak lama kemudian, Abrar kembali dan mengatakan jika Felly akan keluar terlebih dahulu, baru menemui kliennya di ruangan belakang panggung.

“Cyin, lu siap-siap keluar, gih. Udah mau dimulai,” suruh Abrar yang membantu Felly membawa ekor bajunya. Baju itu begitu elegan dengan taburan swarowski di setiap bagian. Tatanan rambut Felly yang memeperlihatkan betapa jenjangnya lehernya, lengkap dengan anting serta cincin yang terlihat sangat serasi.

Felly berjalan di panggung catwalk dengan begitu elegan. Saat berjalan ke depan, ia merasa ada sebuah tangan yang tiba-tiba memegang pinggangnya. Meski terkejut, Felly tetap menjaga wibawanya dan bersikap seolah tak terjadi apapun. Ia menutupinya dengan senyuman. Tiba-tiba Felly melihat sosok yang menimbulakn bebagai pertanyaan dalam pikirannya.

“Kamu… Arka?” ucap Felly saat menyadari siapa yang tengah memegang pinggangnya.

Laki-laki itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan justru merapatkan pinggang Felly ke arahnya dan meraih mikrofon dari panitia yang menghampirinya. Laki-laki itu lalu memperkenalkan diri. Felly semakin tidak yakin jika laki-laki yang ada di sampingnya saat ini adalah Arka.

Laki-laki itu lalu menggiring langkah Felly untuk kembali ke belakang panggung dan meninggalkannya di sana. Membuat pikiran Felly penuh dengan berbagai pertanyaan.

“Gimana, Fel?” tanya Riska yang langsung menghampirinya.

Felly tidak menggubrisnya. Ia meninggalkan Riska dan kembali ke mejanya. Memikirkan siapakah laki-laki itu sebenarnya. Wajahnya tampak sangat familiar, tapi dia bukan laki-laki itu. Felly tersenyum miring, tatapan matanya terlihat begitu sendu.

Dia tidak akan pernah mencarimu, Felly. Dia sudah melupakanmu. Berhentilah! Berhentilah untuk mengharapkan kedatangannya lagi. Sudah cukup kamu merasakan sakit setelah perpisahan itu. Dia tak layak menjadi milikmu! Dia tak layak menjadi milikmu,” Rintih Felly dalam hati dengan deraian air mata yang tak mampu ia tampung lagi.

Felly segera menghapus aliran air matanya. Perlahan, ia menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali. Felly lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke ruangan belakang panggung. Ruangan di mana ia harus melalukan kontrak perjanjian dengan klien.

Langkah Felly terhenti. Ia sengaja berhenti. Tubuhnya kembali mematung dengan seluruh gemuruh jantung  saat  melihat sosok yang tak seharusnya ia lihat saat itu.

“Silahkan masuk,” ucap laki-laki itu. Laki-laki yang tujuh tahun silam meninggalkan Felly. Membuat gadis itu merasakan kehancuran. Dia laki-laki pertama yang mengambil seluruh hati Felly. Arkana Aditya.

“Arka….”

 Arka hanya tersenyum miring.

“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Felly bingung.

“Karena kamu ada di sini,” jawab Arka singkat.

“Maksud kamu apa?”

“Seharusnya aku yang menanyakan hal itu. Maksud kamu apa mengundangku ke sini dengan melakukan siaran televisi dan bercerita mengenai kita. Kamu sudah membuat aku kembali, Felly!”

“Jika memang kamu tidak ingin kembali, maka jangan kembali! Kamu tahu, kembalinya dirimu begitu menyakitiku, Arka! Tidak cukupkah kamu membuatku menangis dengan kepergianmu waktu itu? Tidak cukupkah kamu membuat aku menangis setelah aku melihatmu dengan wanita lain? Kamu sudah membuatku gila, Arka!” serang Felly dengan nada suara yang mulai meninggi.

“Lalu bagaimana denganku yang harus menjagamu dengan kontrak sialan itu? Apakah tubuhmu patut kamu buka dengan bikini mereka? Kamu sama saja dengan pelacur jika terus hidup seperti ini, Felly! Apakah gajimu kurang? Apa perlu aku menunjukkan penderitaanku untuk mempertahankamu agar kamu tidak pergi terlalu jauh, hah!” balas Arka penuh amarah.

“Mempertahankanku? Tidak pergi terlalu jauh? Arka… Kamu… Kamu masih memiliki rasa itu?”

“Aku… Aku… aku tidak mau rugi dalam bisnisku.” Arka segera mengalihkan pandangannya.

“Ka.” Felly berjalan mengikuti Arka yang tidak menatapnya. 

Tiba-tiba Felly berhenti tepat di depan Arka, lalu meraih kedua pipi laki-laki itu. “Aku tidak akan nanya sekali lagi karena aku tahu apa jawabannya. Tapi tolong kembalikan suratku.”

Mata Arka terbelalak kaget. Bagaimana bisa ia ketahuan jika  telah mengambil surat yang selama ini menjadi wasiat Felly.

“Aku tidak mengambil surat kamu, kok,” sanggah Arka.

By : Andrew Dunstan

“Kamu tahu dari mana kalau aku punya surat?” tanya Felly yang berhasil menjabak Arka.

“Fel.”

Felly terkekeh geli mendengar suara Arka. Suara itu kembali terdengar di telinganya. Suara yang sempat menghilang karena dirinya terlalu egois hingga membuat Arka tak mampu mempertahankan hubungan mereka. Sebuah hubungan bukanlah hal yang harus dipertahankan dari satu pihak, melainkan kedua pihak yang bersangkutan.

“Udah puas ngerjain aku?” tanya Arka.

Felly menghentikan kekehannya, lalu menunduk. Mendadak, ia merasakan sebuah pelukan yang selama ini sangat dirindukannya. Pelukan hangat yang penuh dengan kasih sayang.

“Jangan tinggalin aku,” ucap Arka lirih.

Felly tiba-tiba melepaskan pelukan Arka dan menatap laki-laki itu lekat. “Seharusnya, aku yang mengatakannya. Jangan tinggalkan aku lagi, Ka. Aku akui kalau aku egois saat itu. Tapi aku janji, aku tidak akan seperti itu lagi. Aku akan bagi waktu antara kamu dengan kesibukanku. Aku… aku….”

Kalimat Felly seketika terhenti saat bibirnya telah terkunci oleh dekapan dada Arka, membuatnya mampu mencium aroma laki-laki itu. Aroma yang sangat ia rindukan.

“Aku nggak akan pergi lagi, begitu juga dengan kamu. Yang lalu biarlah berlalu, yang terpenting kita harus saling memperbaiki satu sama lain. Aku ingin kamu kembali, Felly,” tutur Arka tanpa melepaskan pelukannya.

Felly mengangguk dengan seulas senyuman dan membalas pelukan Arka. Laki-laki yang sengaja meninggalkannya agar dia mau belajar tentang kesalahannya. Laki-laki yang mencintai Felly dan menjaganya dari jauh dengan berbagai cara, termasuk mengontrak agensi Felly.

Jika ada yang bertanya mengenai surat itu, maka surat itu bukanlah sebuah surat. Akan tetapi hanya susunan kalimat yang ada di antara deretan kata. Sebuah harapan dengan doa yang terselip di dalamnya. Satu kata permintaan maaf, satu kata penuh harapan, dan satu kata tentang janji untuk ditepati.

***

Tuhan, aku telah mencintai  ciptaan-Mu. Aku telah menyerahkan hatiku padanya. Engkau memang benar, tak seharusnya aku menyerahkan seluruh hatiku kepada ciptaan-Mu. Maka dari itu, atas permohonan maaf, aku berikan separuh hatiku untuk-Mu agar Engkau mengembalikan cintaku yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Aku ingin dia kembali.  Aku berjanji akan menjaganya layaknya menjaga hati yang telah kuserahkan pada-Mu. Kutitipkan surat kecil ini padamu, tolong kembalikanlah cintaku yang akan kurawat nantinya. Aku akan menjaga anugerah-Mu.

Felly Anggi Wiraatmaja

-TAMAT-

Comments

Tinggalkan Balasan