#CerpenKita Episode 2
Sepatu tingginya mengetuk lantai dengan irama yang teratur. Di tengah koridor sekolah yang sepi, ia menegakkan kepalanya. Melewati jendela-jendela dan pintu-pintu kaca ruangan yang ada di sana. Di sekolah Internasional itu, ia memberikan pendidikan bahasa untuk yang membutuhkan. Mayoritas murid dengan spesies kulit, bahasa, belahan benua yang berbeda, dan tentu saja bahasa negara yang berbeda.
“Miss. Sudah selesai mengisi pelajaran?” tanya seorang pegawai.
“Ya. Baru saja. Permisi,” ucapnya memberikan sapaan yang bagi orang lain, hal itu sudah termasuk ramah dibandingkan dengan dirinya yang hanya membuka mulutnya saat ada orang lain menyapa terlebih dahulu dan berbicara penting.
Ia menutup sinar matahari yang begitu terik, panas dan cahaya menganggu matanya yang baru saja keluar dari gedung pendidikan itu. Ia menundukkan matanya dan berjalan ke arah mobil yang terparkir tak jauh dari bangunan pendidikan itu. Dalam hatinya, ia berharap bahwa waktu berjalan begitu cepat.
Namun terkadang, ia juga berharap waktu berjalan begitu lama. Seperti halnya pergantian malam. Saat pagi memberikan peristiwa yang indah, maka saat itu juga ia tidak mengharapkan waktu berjalan begitu cepat dan juga sebaliknya. Saat ini, dan di detik ini pikirannya terasa begitu kalut. Sangat kalut. Pelipisnya terasa begitu pening. Dadanya terasa begitu terbakar hingga menembus punggung. Jari-jari kaki dan telapak kaki terasa begitu dingin. Tapi, saat telapak tangannya menyentuh dahi maka terasa begitu panas.
“Selamat Siang Nona, sebentar lagi Anda harus menghadiri acara pertemuan pemegang saham. Perias sudah tiba di rumah dan menunggu Anda,” Sebuah voice note itu terdengar saat ia membuka ponselnya seraya menunggu lampu merah yang tengah ada di depan matanya berubah menjadi hijau.
“Pertemuan itu lagi,” Ia menghembuskan nafas beratnya.
“Tch!” Ia berdecak dengan mengangkat alisnya untuk menenangkan dirinya yang tengah terbakar kali ini.
Bagaimana tidak. Pertemuan ini akan menjadi titik pertemuannya dengan Dirga. Yakin. Karena ia yang berprofesi sebagai atlet itu, begitu menginvestasikan semua uangnya dalam bentuk obligasi dan saham di beberapa perusahaan. Dan, hari ini adalah hari perayaan dari sebuah komunitas bisnis yang cukup besar. Tentu saja, Devina lebih ingin tidur dibandingkan ikut hadir. Hanya saja, Hanny dan Amel terus mendesaknya.
***
“Buatkan aku dessert saja. Karena nanti malam akan ada Galla Dinner di undangan.”
“Kalau sudah, antarkan ke kamar saya di atas,” perintah Devina kepada seorang pelayan rumahnya.
Ia berjalan meninggalkan pelayan itu dan meletakkan kunci mobilnya di tatakan mangkuk yang tersedia di atas dapur. Ketukan heels itu terdengar berirama dan cukup menjadi penanda agar seseorang keluar dari ruangan.
“Kau periasku hari ini? Ah baiklah. Tidak ada lagi di rumah ini, yang memiliki janji denganku selain perias, pelayan, dan juga satpam.”
“Tentu saja demikian, Nona.”
“Ya, hari ini aku menginginkan riasan yang tebal. Buat mataku riasan Asia sepenuhnya. Kau bisa memberikan bentuk garis mata yang lurus. Jangan bulatkan mataku dengan tangan riasmu itu,” pinta Devina dengan melepaskan jas mantelnya.
“Anda jadi menggunakan batik? Bukan gaun?” tanya perias itu.
Devina menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya sedangkan perias menyiapkan alat-alat riasnya. Terdengar ketukan heels yang mendekat ke arah kamar mandi. Devina tidak mempedulikan hal tersebut. Sampai akhirnya, di tengah air yang mengguyur tubuhnya terdengar seorang tengah berseru.
“Devina!!! Jangan lama-lama. Acara kita tidak hanya Galla Dinner!”
“Damn!”
Itu suara Amel, dan Hanny. Yah, mereka di sana hadir sebagai tamu undangan juga. Tentu saja pertemanan mereka dimulai dari sebuah perkenalan di dalam circle pembisnis. Memang, tidak semua yang ada di dalam circle itu adalah pembisnis. Bisa pula, ada mereka menjadi pembisnis sebagai sampingan saja.
“Apakah kau belum merias Devina sama sekali?” tanya Amel dengan nada suaranya yang khas Medan.
“Iya Nona. Karena, Nona Devina baru saja datang,” ucap perias itu.
“Bisa kau rias dia dengan waktu yang cepat? Undangan dimajukan. Kurasa, Devina tidak melihat emailnya. Beberapa jam lalu ada pengumumannya,” terang Hanny.
“Mungkin saja saat itu ia tengah mengisi mata pelajaran,” sahut Amel.
“Saya usahakan Nona. Tapi, Nona Devina menginginkan riasan yang tebal di bibir dan tumpukan banyak di mata dengan nuansa Asia. Saya membutuhkan banyak waktu untuk itu,” jelas perias.
“Bagaimana ini? Apakah dia tidak tahu kalau dia akan naik panggung kali ini?” tanya Hanny kepada Amel.
“Kurasa dia tidak tahu. Sebab, aku menyampaikan undangan melalui pelayan Devina dan lupa untuk menyampaikan kenaikan panggung itu,” ucap Amel.
“Baiklah. Kita tidak punya banyak waktu,” ucap Hanny meninggalkan obrolan itu dan membuka pintu kamar mandi.
Devina berteriak hingga terdengar begitu nyaring sampai salivanya hendak terputus. Kemudian, Hanny menarik lengan Devina yang masih basah untuk keluar. Devina menyempatkan dirinya untuk menggunakan handuk piyamanya. Menutup rambut basahnya, dan memakai sandal kamar mandinya.
“Kau keringkan tubuhmu. Kurasa tak perlu berendam terlalu lama. Lagipula, kau menggunakan lengan panjang. Telapak tanganmu sudah cukup untuk ukuran cantik. Tinggal merias bagian-bagian yang belum. Ah ya, cepat lakukan itu Devina. Amel lupa menyampaikan kalau undangan dimajukan waktunya dank kau menjadi pemenang kali ini. Bukankah terlambat dapat membuatmu malu?” terang Hanny.
“Tuhaaaaannnn… kenapa kalian baru bicara sekarang,” ucap Devina dengan berjalan cepat ke arah Dressing Room untuk mengeringkan tubuhnya. Dan mengurangi basah rambutnya.
***
Riasan rambutnya yang tergelung ringan, dan tergerai berantakan menyisakan sedikit helaian rambut panjang curly di depan daun telingan yang mengenakan anting mutiara memberikan kesan yang rapi, dengan baju batik berwarna dasar hitam dan motif wayang yang berwarna emas, serta hells tingginya yang berwarna hitam glossy serta lipstiknya yang berwarna merah muda menyala, dan riasan mata yang gelap di eye-line, tulang pipinya yang memadukan Shimmer sekaligus blush-on berwarna peach membuatnya terlihat sangat anggun. Tentu saja, terlihat angkuhnya saat ia menegakkan kepalanya.
“Oh itu dia,” gumam Devina.
“Adakah yang menarik perhatianmu? Di tengah gedung megah ini?” tanya Amel.
“Tentu saja ada. Kau lihat perempuan yang bersama Dirga ke arah angka dua belas,” terang Devina.
“Kau mengenali dia?” tanya Hanny.
“Tidak, tapi aku ingin memberitahunya,” ucap Devina dengan menggoyangkan gelas yang tengah berisi minuman yang utuh itu.
“Kau tidak akan nekat untuk mempermalukan dirimu kan, Dev?” tanya Amel memastikan.
“Justru kau akan suka dengan nasihatku kala ini. Sebab, kau harus tahu sesuatu,” ucap Devina.
Hanny dan Amel saling menatap. Mereka tidak mengerti dengan apa yang terjadi kepada Amel. Di tengah keramaian itu, mereka mengambil tempat duduk saat Devina melangkahkan kakinya untuk mengambil tempat duduk.
Devina menyilangkan kakinya. Kain rok batik yang membungkusnya membuka belahan kakinya hingga di atas lututnya. Begitu juga dengan lengan tangannya yang berbentuk segitiga lebar itu menutup lengan kecilnya dan menutup kulit putih bersihnya seperti salju, kini terbuka saat Devina meneguk minuman yang ia pegang. Jari lentiknya, cukup menggoda saat mengusap ujung gelas kaca itu.
“Devina Asmoro,” ucap seseorang menggema di seluruh ruangan.
Beberapa detik, semua orang menolehkan kepalanya ke arah kanan dan kiri. Ada yang mengangkat kepalanya pula untuk mencari sosok Devina. Hingga, ada pula yang berbisik tentang siapa Devina.
“Kau tidak naik ke atas panggung?” tanya Amel dengan berbisik.
Devina tidak menjawab. Ia kembali menyecap minumannya. Kemudian, Devina menjajarkan kaki jenjangnya. Berdiri. Meletakkan gelas kaca itu, dan berjalan ke depan. Satu, dua tepuk tangan terdengar. Sampai akhirnya riuh dan menjadi hiruk pikuk kala itu. Menyambut Devina Asmoro dan berjalan melewati karpet merah. Kaki jenjangnya, tungkai kakinya yang kecil, lengannya yang putih seperti salju, bajunya yang semi-formal bernuansa batik. Riasannya yang anggun, lehernya yang jenjang serta gigi gingsulnya yang terpampang nyata cukup membius suasana.
Sorotan lampu panggung mengiringi dirinya berjalan di atas panggung. Menghampiri mimbar, dan menerima sambutan untuk mendapatkan piala nobel penghargaan sebagai seorang investor antam emas terbanyak dan terbesar. Penyumbang yayasan pendidikan gratis terbanyak sebagai amal dari hasil investasinya. Hingga ia dijuluki sebagai pemulia pendidikan.
“Bisa memberikan kami sedikit mengenai perasaan Anda atas hasil peran Anda?” tanya MC.
“Ya. Saya akan berbicara bahwa pendidikan, adalah tolak ukur dimana manusia memanusiakan manusia untuk menjadi manusia yang lebih baik. Maka dari itu, saya menjadikan dua persen dari hasil investasi saya selama saya bermain reksadana di perusahaan antam untuk negara yang membutuhkan pendidikan ini,” ucap Devina singkat.
“Adakah ucapan tambahan?”
“Tentu. Terimakasih atas dukungan kalian para investor yang mana telah membantu menggerakkan roda pasar saham dan obligasi di negeri ini,” ucap Devina.
“Ada lagi?”
“Saya rasa cukup. Terimakasih,” ucap Devina dengan menundukkan kepalanya kemudian kembali seperti semula dan tersenyum menunjukkan gingsulnya. Acara penerimaan nobel itu berakhir dan dilanjutkan dengan acara Galla Dinner. Penerima nobel terakhir seperti urutan juara dari tiga ke arah satu, Begitulah mulanya.
“Devina,” panggil seseorang saat Devina berjalan ke arah tempat duduknya.
“Selamat,” ucapnya.
“Ya Dirga. Terimakasih.”
“Siapa dia?” tanya perempuan itu.
“Dia kekasihku,” ucap Dirga.
“Kenalkan, aku Devina Asmoro. Seperti yang sudah kau lihat tadi,” ucap Devina dengan senyuman miringnya.
Tentu saja senyuman itu miring. Bagimana tidak? Devina tengah berbicara dengan seorang perempuan yang cukup membuatnya terbakar kala itu sebab karena perempuan itu, Dirga berbohong pada Devina mengenai acara mereka berdua. Dari kejauhan, Amel menghampiri dan meninggalkan Hanny di meja.
“Adito? Kau di sini juga? Dengan siapa?” tanya Amel.
“Dengan teman,” jawab Adito.
“Bagaimana hubunganmu Devina?” tanya perempuan yang tadi menanyakan siapa Devina. Perempuan, yang tengah berada di sisi Dirga. Persetan dengan kata-katanya.
“Tentu saja baik. Meski aku tahu, bahwa Dirga tiga pekan yang lalu bermain dengan sampah!” ucapnya santai. Sarkatis tentunya.
“Devina,” panggil Dirga.
“Ya, Dirga? Kau tahu sendiri kan bagaimana aku kekasihmu. Bagiku, pantang untuk hidup berdampingan dengan orang yang sakit jiwanya dan hilang akal sehatnya,” ucap Devina dengan menatap Dirga tajam.
“Dan lebih baik aku berdekatan dengan pelacur dibandingkan dengan penggoda serta mulialah aku, ada di samping pengemis dibandingkan pemungut sampah,” ucap Devina melanjutkan dengan menolehkan kepalanya ke arah perempuan yang tengah berdiri di samping Dirga.
Perempuan itu menunduk. Ia tidak lagi kembali menatap Devina yang tengah berdiri tegak di depannya. Devina membunuh perempuan yang tengah malu dengan tingkahnya kemarin hari, sebab berkehendak menjalin pertemanan yang tidak wajar. Bertemu setiap weekend dengan Dirga yang manjadwal itu adalah jadwal yang biasa digunakan oleh Devina dan Dirga menghabiskan waktu bersama.
Saat ini, memang hubungan Dirga dan Devina tengah mendingin. Devina tengah berusaha mempertahankan hubungannya dengan melihat tujuan hubungan itu. Dan Dirga yang tidak berkehendak untuk ditekan jadwalnya secara khusus membiarkan Devina untuk mulai mengerti pola alur pikirnya.
“Maaf, maksud Anda apa?” perempuan yang berdiri di samping Dirga mulai membuka suaranya.
“Aku hanya mengingatkan kekasihku mengenai prinsipku. Ada masalah denganmu mendengar prinsipku? Atau, kau merasa bahwa prinsipku sesuai dengan keadaanmu atau justru kau merasa tersinggung dengan apa yang aku ucapkan sebab kau pernah berada di posisi yang aku ucapkan baru saja?” tanya Devina skakmat.
“Aku permisi,” ucap perempuan itu meninggalkan kerumunan.
Amel yang tengah berdiri hanya bisa menolehkan kepalanya ke arah Dirga, Devina, perempuan itu, dan perempuan satu lagi yang tadinya berada di samping Adito ikut pergi mengikuti perempuan yang tadinya ada di samping Dirga.
“Adakah yang tidak aku ketahui Dito?” tanya Amel. Kekasih Dito.
Adito terdiam. Ia tidak menjawab. Kemudian, memegang tengkuk lehernya. Dan merapatkan bibirnya yang terkatup.
“Aku ingin pulang. Aku lelah dengan aktivitasku,” ucap Devina meninggalkan Dirga, Adito, dan Amel.
Amel menyusul Devina dan memilih meninggalkan kedua lelaki tersebut. Begitu juga dengan Hanny yang tiba-tiba berdiri saat mengetahui bahwa Devina berkehendak untuk meninggalkan pesta.
“Ada apa denganmu?” tanya Amel menghentikan langkah Devina.
“Aku marah pada diriku sebab aku membela laki-laki persetan itu. Aku membohongimu bahwa Adito telah keluar dengan perempuan yang sama selama tiga pekan yang lalu dan itu juga bersama dengan Dirga. Mereka double date dan bukan dengan kita. Lalu apa pernikahan bagi kau dan Adito yang sudah bertemu dengan kedua orang tua kalian?” ucap Devina kalap.
Amel seketika memegang bahu Hanny yang ada di sampingnya. Bagaimana tidak? Kakinya terasa dingin seketika dan lututnya gemetar. Hatinya terasa terbakar hingga menembus punggung, perutnya terasa mual dan kepalanya terasa pening terhantam batu. Jari-jarinya terasa mati rasa.
“Kau tahu, Mel. Adito tidak memberitahumu dan aku dilarang Dirga memberitahumu. Kau tahu penyelasanku dimana? Aku menuruti kemauan laki-laki gila dan keparat itu untuk membohongimu. Aku tahu, bahwa perkenalanku dengan kau adalah hasil perkumpulan kita dengan laki-laki gila itu. Tapi, ketidak mampuanku memberitahumu itu membuatku merasa bahwa aku munafik padamu. Kau marah? Silahkan. Sebab aku juga mempertimbangkan bagaimana hubunganmu dan Adito sebab aku tahu, bahwa hubunganmu lebih dalam dibandingkan aku,” ucap Devina dengan meninggalkan Amel dan Hanny.
Devina menundukkan kepalanya. Sedangkan Hanny berusaha untuk menenangkan Amel yang baru saja merasakan bom yang meledak di dalam tubuhnya. Bahkan, Hanny juga tidak mengerti tentang semua itu. Yang mengerti hanyalah Devina. Dan Devina, hanya terdiam menutupi semua keadaan yang mana keadaan itu tengah menghimpitnya.
“Kau sudah menghukum dirimu sendiri Devina. Kau berkata Sarkatis pada perempuan itu layaknya seekor Singa yang melihat Anjing hutan,” gumam Amel dengan menatap punggung tegas Devina.
Langkah kaki Devina terus berjalan, menerobos kerumunan, dan menghilang di tengah-tengah punggung manusia-manusia yang haus akan uang. Manusia-manusia yang sama seperti hewan, dan manusia-manusia yang bahkan seperti sampah. Amel tersenyum miring. Malam ini, menjadi malam menakjubkan untuknya.
***
“Berlian, tidak akan pernah bisa dileburkan menjadi batu emas. Ini sumbanganku untuk kalian perempuan dunia.”
–Ini dariku, Devina Asmoro–
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.